Filsafat Illuminasi Suhrawardi [1]
by: harja saputra (2004)
Sejarah membuktikan bahwa perkembangan filsafat di dunia Islam terinspirasi dari pemikiran para filosof Yunani yang telah mendominasi ranah intelektual manusia jauh sebelum agama Islam diturunkan. Secara umum, pemikiran para filosof muslim (baca : filsafat Islam) merupakan sintesa sistematis antara ajaran-ajaran Islam, Aristotelianisme, dan Neo-Platonisme baik yang berkembang di Athena maupun di Alexandria (Nashr, 1964:411). Sintesa yang dilakukan pada dasarnya bertujuan untuk mengharmoniskan hubungan antara filsafat dengan ajaran Islam.
Upaya untuk mengharmoniskan hubungan filsafat dengan agama diawali oleh al-Kindî. Menurutnya, filsafat adalah pengetahuan yang benar (knowlwdge of truth) dan agama juga diwahyukan untuk menyampaikan kebenaran. Oleh karena filsafat dan agama menjadikan kebenaran sebagai tujuan, maka keduanya tidak mungkin bertentangan antara satu dengan lainnya. Lebih jauh dari itu, al-Kindî juga menyatakan bahwa orang yang menolak filsafat adalah orang yang menolak kebenaran sehingga dapat juga dikategorikan sebagai orang yang mengingkari agama. Dalam pandangan Islam, orang yang menolak agama disebut dengan orang kafir (Ridah, 1950:103-104).
Dalam aspek metafisika, pemikiran al-Kindî dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Aristoteles. Sebagaimana halnya dengan Aristoteles, ia juga menjuluki metafisikanya dengan nama filsafat pertama. Dalam salah satu pokok pemikirannya dinyatakan bahwa filsafat yang termulia adalah filsafat pertama yaitu ilmu tentang Yang Benar Pertama yang menjadi sebab bagi segala yang benar. Dalam bahasa al-Kindî, yang dimaksud dengan Yang Benar Pertama adalah al-haqq (Tuhan). Konsep al-haqq yang dikemukakan al-Kindî tersebut merupakan gagasan orisinil aristoteles tentang penggerak pertama yang tidak digerakkan (Atiyeh, 1983:17).
Harmonisasi antara filsafat dan agama selanjutnya diteruskan oleh al-Farâbî dan Ibn Sînâ. Lain halnya dengan al-Kindî, kedua filosof tersebut tidak mempergunakan pemikiran Aristoteles sebagai pondasi dalam bangunan filsafatnya. Keduanya cenderung mengikuti aliran Neo-Platonisme yang banyak diminati pada waktu itu. Pemikiran Neo-Platonisme yang mewarnai pemikiran kedua filosof ini adalah mengenai teori emanasi.[i] Teori emanasi yang mereka kemukakan pada dasarnya mencoba menjelaskan proses terjadinya alam materi dari “Yang Maha Satu”. Sebagaimana halnya dalam Neo-Platonisme, mereka juga menyatakan bahwa sumber dari alam materi ini adalah dari pancaran “Yang Maha Satu” (Tuhan). Tuhan sebagai wujud pertama berpikir tentang diri-Nya dan dari pemikiran tersebut muncul wujud kedua yang mempunyai substansi yang disebut dengan akal pertama. Wujud kedua berpikir tentang wujud pertama dan dari pemikiran ini muncul wujud ketiga yang disebut akal kedua. Proses ini berlanjut hingga mencapai akal kesepuluh di mana pada tahap tersebut muncullah alam syahâdat (alam materi) sebagaimana yang dapat disaksikan oleh manusia (Nasution, 1995:27-28).
Filsafat emanasi yang dikembangkan oleh kedua filosof muslim tersebut memberikan dampak yang cukup luas di kalangan filosof muslim yang muncul kemudian. Sebagai bentuk sintesis terhadap pemikiran ini, sebagian filosof muslim mencoba memperkenalkan wacana teosofi (gabungan filsafat dan tasawuf).[ii] Wacana teosofi klasik dalam dunia Islam pertama sekali diperkenalkan oleh Abû Yazîd al-Busthâmî. Nuansa filsafat yang mewarnai pemikiran sufistiknya terlihat dari gagasannya mengenai konsep ittihâd (penyatuan). Menurutnya, sufi akan sampai pada penyatuan dengan Tuhan melalui fanâ’ al-nafs (“penghancuran diri”) dan baqâ’ (hidup terus menerus) yaitu kesadaran diri terhadap hilangnya wujud jasmani, namun tetap disadari kekalnya wujud ruhani (al-Taftazânî, 1983:106).
Wacana teosofi berikutnya diperkenalkan oleh Husein ibn Manshûr al-Hallâj dengan konsep hulûl-nya. Hulûl adalah paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu lenyap. Munculnya paham ini didasarkan atas pemikiran yang menyatakan bahwa dalam diri manusia terdapat sifat ke-Tuhan-an (lahût), dan dalam diri Tuhan terdapat sifat kemanusiaan (nasût). Dengan demikian, penyatuan antara Tuhan dan manusia bisa terjadi dalam bentuk hulûl. Untuk dapat memperoleh penyatuan tersebut, manusia terlebih dahulu menghilangkan sifat-sifat kemanusiannya dan menghadirkan sifat-sifat ketuhanan yang ada dalam dirinya. Ketika penyatuan terjadi, ruh Tuhan dengan ruh manusia bersatu dalam tubuh manusia (Mahmûd, 1966:69).
Kosep hulûl yang diprakarsai oleh al-Hallâj kemudian disistematisasikan oleh Ibn ‘Arabî dengan kosep wahdat al-wujûd (unity of existence). Dalam terminologi Ibn ‘Arabi, nasût diubah menjadi al-khalq (makhluk) dan lahût menjadi al-haqq (Tuhan). Pemikiran ini timbul dari paham yang menyatakan bahwa Tuhan ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya dan oleh karena itu ia menciptakan alam. Di kala Ia ingin melihat diri-Nya, maka ia melihat alam karena tiap-tiap makhluk hidup yang ada di alam terdapat sifat ketuhanan. Dengan demikian, alam merupakan cermin bagi Tuhan. Dalam cermin itu diri-Nya kelihatan banyak, tetapi sebenarnya hanya satu. Di sinilah muncul paham kesatuan (Ali, 1997:50).
Usaha untuk mencari relasi filsafat dengan tasawuf ternyata tidak hanya didominasi oleh Ibn ‘Arabî dan para pengikutnya. Tetapi, usaha tersebut juga dirintis oleh para filosof lain dengan metode dan pendekatan yang berbeda. Salah satu di antara para filosof itu adalah Suhrawardî. Ia memperkenalkan filsafat iluminasi (al-isyrâqiyat) yang bersumber dari hasil dialog spritual dan intelektual dengan tradisi-tradisi dan agama-agama lain. Suhrawardî memperkenalkan diri sebagai penyatu kembali apa yang disebutnya sebagai hikmat al-ladûnniyat (kebijaksanaan ilahi) dan al-hikmat al-’âtiqat (kebijaksanaan kuno). Ia yakin bahwa kebijaksanaan ini adalah perenial (abadi) dan universal yang terdapat dalam berbagai bentuk di antara orang-orang Hindu, Persia, Babilonia, Mesir Kuno dan orang-orang Yunani sampai masa Aristoteles (al-Taftazânî, 1983:195).
Sikap kompromistik Suhrawardî terhadap agama-agama lain menimbulkan kritik keras di kalangan pemikir muslim. Bahkan sebagian di antaranya menuduh bahwa Suhrawardî anti Islam. Penilaian semacam ini tentu saja salah kaprah. Di mata Suhrawardî, agama-agama lain bukanlah musuh yang harus dijauhi atau dilawan, tetapi adalah teman yang harus didekati untuk diajak berdialog. Agama-agama lain itu tidak merusak dan menyimpangkan Islam. Tetapi sebaliknya, agama-agama lain itu dapat memperkaya pemahaman tentang Islam. Di sinilah terletak universalitas Islam karena Islam sangat luas dan mencakup agama-agama lain dalam pengertian ajaran-ajaran esoteriknya. Kebijaksanaan perenial dalam agama-agama lain adalah kebijaksanaan perenial dalam Islam. Oleh karena itu, Islam dapat melakukan dialog yang sejati dengan agama-agama lain tanpa kehilangan identitas dirinya.
Di samping berhasil melakukan dialog dengan berbagai agama, Suhrawardî pun berhasil mengadakan dialog dengan berbagai pemikiran filsafat, khususnya filsafat peripatetik[iii] yang banyak diikuti oleh para filosof muslim. Model dialog yang dirancang Suhrawardî adalah berupa kritik sistemik terhadap sejumlah pemikiran filsafat peripatetik (Nashr, 1968:329).
Sejalan dengan proses pemikiran Suhrawardî menuju kematangannya, ia pada mulanya menulis karya-karyanya yang masih bercorak peripatetis yang bertumpu kuat pada metode diskursif. Suhrawardî menegaskan bahwa karya yang bercorak peripatetis mesti dikuasai lebih dahulu sebelum mempelajari teosofinya (Suhrawardî, 1372:10). Dengan instruksi semacam itu, Suhrawardî seakan merentangkan jalan tahap demi tahap bagi pembaca karya-karyanya untuk sampai pada puncak karyanya Hikmat al-Isyrâq (The Wisdom of Illumination).
Melihat struktur pemikiran yang tertuang dalam tulisan-tulisannya, Suhrawardî sebenarnya sudah memiliki bangunan pemikiran filosofis yang direncanakan secara matang. Ia menempatkan Hikmat al-Isyrâq sebagai magnum opus-nya karena hampir semua karya sebelumnya ditujukan untuk mendukung substansi Hikmat al-Isyrâq. Sehingga peminat Suhrawardî dapat dengan mudah merujuk pada karya-karya sebelumnya bila ingin mengetahui pemikirannya secara mendetail. Artinya, dengan mengkaji Hikmat al-Isyrâq seseorang dapat mengetahui pemikiran menyeluruh mazhab Suhrawardî (Rayyan, 1966:66-67).
Secara umum, sistematika Hikmat al-Isyrâq terbagi ke dalam dua bagian utama. Bagian pertama mengulas sejumlah kritik terhadap pemikiran peripatetis terutama terhadap konsep epistemologi. Bagian kedua membahas konsep cahaya dengan berbagai dimensinya.
Pada bagian pertama, sejalan dengan arah kritik yang dilancarkan, maka kritik epistemologi berkisar antara logika dan sumber ilmu pengetahuan. Dalam kajian tentang sumber ilmu pengetahuan, Suhrawardî membaginya ke dalam pengetahuan hushûlî dan hudhûrî. Pengetahuan hushûlî terbagi ke dalam dua jenis sarana untuk mencapainya. Pertama diperoleh dengan memaksimalkan fungsi indrawi atau observasi empiris. Melalui indra yang dimiliki, manusia mampu menangkap dan menggambarkan segala objek indrawi sesuai dengan justifikasi indrawi yaitu melihat, mendengar, meraba, mencium dan merasa. Kedua diperoleh melalui sarana daya pikir (observasi rasional), yaitu upaya rasionalisasi segala objek rasio dalam bentuk spritual (ma’qûlat) secara silogisme yaitu menarik kesimpulan dari hal-hal yang diketahui kepada hal-hal yang belum diketahui (Yazdî, 1994:9).
Sedangkan pengetahuan hudhûrî adalah pengetahuan dengan kehadiran (observasi ruhani) yaitu pengetahuan yang bersumber langsung dari pemberi pengetahuan tertinggi berdasarkan mukâsyafat (pengungkapan tabir) dan iluminasi. Konsep ilmu hudhûrî ini dikembangkan Suhrawardî dengan penekanan pada aspek ketekunan dalam mujâhadat, riyâdhat dan ‘ibâdat daripada memaksimalkan fungsi rasio, dengan kata lain ilmu hudhûrî lebih menekankan olah dzikir dari pada olah pikir (Ziai, 1990: 17).
Bagian kedua dari Hikmat al-Isyrâq mengungkapkan pemikiran teosofi Suhrawardî yang memuat konsep metafisikanya. Pada bagian ini, Suhrawardî menjelaskan konsep teosofi yang berpusat pada kajian cahaya (al-isyrâq) sebagai media simbolik. Suhrawardî mengelaborasi cahaya untuk mengungkapkan kesatuan pemikirannya baik pada tataran epistimologi, teologi, dan ontologi. Pembahasan utama pada bagian ini meliputi hakikat cahaya, susunan wujud (being), aktivitas cahaya, cahaya dominan, pembagian barzâkh (alam kubur), persoalan alam akhirat, kenabian, dan nasib perjalanan manusia menuju purifikasi jiwa.
Dengan konsep al-Isyrâq-nya, Suhrawardî menyatakan bahwa seluruh alam semesta merupakan rentetan dari intensitas cahaya. Gradasi sinar dari sumber cahaya berakhir pada kegelapan. Semua kajian dalam bagian kedua membentuk bangunan teosofi berupa perpaduan antara filsafat dan tasawuf. Oleh karena itu, Suhrawardî dianggap sebagai pencetus dan pelopor konsep kesatuan iluminasi (wahdat al-‘isyrâq). Hal ini dikarenakan usaha Suhrawardî untuk mengoptimalkan proses iluminasi sebagai ilustrasi holistik dari kesatuan wujud (wahdat al-wujûd) yang dikembangkan Ibn ‘Arabî (Netton, 1994:258).
Gagasan mengenai kesatuan iluminasi yang diajarkan oleh Suhrawardî merangsang munculnya sikap protes dan anti pati dari kalangan ahli fiqh (islamic jurisprudence). Karena dianggap sesat dan mendatangkan keresahan dalam masyarakat, para ahli fiqh itu kemudian mengadili Suhrawardî serta menjatuhkan hukuman mati (hukuman gantung) kepadanya. Meskipun dengan berat hati, Suhrawardî menerima keputusan itu demi mempertahankan pemikiran yang diyakininya sebagai kebenaran paling hakiki (Ziai, 1990:22).
Hukuman mati yang dijatuhkan kepada Suhrawardî mengingatkan kita pada perjalanan sejarah pemikiran manusia dimana Socrates juga harus meminum racun demi membela idealismenya. Namun sejarah juga membuktikan bahwa hukuman mati yang dijatuhkan terhadap tokoh yang memperjuangkan kebenaran ternyata tidak efektif untuk menghentikan alur pemikiran mereka. Karir intelektual Suhrawardî boleh saja dihentikan, tetapi warisan yang ditinggalkan tetap hidup bahkan mampu mempengaruhi generasi-generasi sesudahnya. Pengaruh teosofi Suhrawardî dapat ditelusuri melalui karya-karya yang muncul belakangan atau aliran-aliran pemikiran yang terpengaruh olehnya.
Uraian yang dipaparkan di atas menunjukkan beberapa kelebihan Suhrawardî dibandingkan dengan para filosof teosofi muslim lainnya. Harmonisasi filsafat lintas agama dan lintas aliran pemikiran yang dipeloporinya menunjukkan sikap objektif dan bebas nilai yang patut dicontoh oleh setiap pemikir. Meskipun sarat dengan kritikan dan hujatan, pemikiran Suhrawardî tetap perlu untuk dikontekstualisasikan terutama untuk menyejukkan suasana keberagamaan manusia di alam modern saat ini. Di samping itu, rekonstruksi terhadap pemikiran Suhrawardî dapat dijadikan sebagai sarana untuk memperkuat bangunan pemikiran metafisika filsafat Barat yang dinilai sedang mengalami krisis spritualitas.
CATATAN:
[i] Teori emanasi Plotinos diawali dengan pemikiran yang menyatakan bahwa semua makhluk yang ada, bersama-sama merupakan keseluruhan yang tersusun sebagai suatu hirarki. Pada puncak hirarki terdapat “Yang Satu” (to hen) yaitu Allah. Dari “Yang Satu” dikeluarkan akal budi (nus). Akal budi merupakan suatu intelek yang memikirkan dirinya sendiri. Jadi, akal budi tidak satu lagi karena di sini terdapat dualitas yaitu pemikiran dan yang dipikirkan. Dari akal budi itu kemudian muncul jiwa dunia (psykhe). Akhirnya, dari jiwa dunia dikeluarkan materi (hyle) yang bersama dengan jiwa dunia merupakan jagat raya (Bertens, 1983:19).
[ii] Teosofi adalah modifikasi antara latihan intelektual teoritis melalui filsafat dan pemurnian hati melalui sufisme (Morewedge, 1992:73).
[iii] Istilah filsafat peripatetik berasal dari bahasa Yunani peripatein yang berarti berjalan dengan berkeliling. Kata tersebut juga merujuk kepada kata peripatos yang berarti serambi gedung olah raga di Athena, tempat Aristoteles mengajar sambil berjalan-jalan (Ziyâdat, 1988:1274) . Dalam tradisi filsafat Islam, istilah itu dikenal dengan masysyâ’iyyat yang berarti melangkahkan kaki dari satu tempat ke tempat lain. Penggunaan istilah peripatetik (masysyâ’iyyat) mengacu kepada metode mengajar Aristoteles yang menggembleng siswanya dengan cara berjalan-jalan. Oleh karena itu, istilah peripatetik mengacu pada seluruh bangunan filsafat Aristoteles (Ma’luf, 1997:764).