RTCCTV-Live kuliah-Prerecording majlis-

Thursday, July 10, 2008

FILSAFAT ILLUMINASI

Filsafat Illuminasi Suhrawardi [1]

by: harja saputra (2004)

Sejarah membuktikan bahwa perkembangan filsafat di dunia Islam terinspirasi dari pemikiran para filosof Yunani yang telah mendominasi ranah intelektual manusia jauh sebelum agama Islam diturunkan. Secara umum, pemikiran para filosof muslim (baca : filsafat Islam) merupakan sintesa sistematis antara ajaran-ajaran Islam, Aristotelianisme, dan Neo-Platonisme baik yang berkembang di Athena maupun di Alexandria (Nashr, 1964:411). Sintesa yang dilakukan pada dasarnya bertujuan untuk mengharmoniskan hubungan antara filsafat dengan ajaran Islam.

Upaya untuk mengharmoniskan hubungan filsafat dengan agama diawali oleh al-Kindî. Menurutnya, filsafat adalah pengetahuan yang benar (knowlwdge of truth) dan agama juga diwahyukan untuk menyampaikan kebenaran. Oleh karena filsafat dan agama menjadikan kebenaran sebagai tujuan, maka keduanya tidak mungkin bertentangan antara satu dengan lainnya. Lebih jauh dari itu, al-Kindî juga menyatakan bahwa orang yang menolak filsafat adalah orang yang menolak kebenaran sehingga dapat juga dikategorikan sebagai orang yang mengingkari agama. Dalam pandangan Islam, orang yang menolak agama disebut dengan orang kafir (Ridah, 1950:103-104).

Dalam aspek metafisika, pemikiran al-Kindî dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Aristoteles. Sebagaimana halnya dengan Aristoteles, ia juga menjuluki metafisikanya dengan nama filsafat pertama. Dalam salah satu pokok pemikirannya dinyatakan bahwa filsafat yang termulia adalah filsafat pertama yaitu ilmu tentang Yang Benar Pertama yang menjadi sebab bagi segala yang benar. Dalam bahasa al-Kindî, yang dimaksud dengan Yang Benar Pertama adalah al-haqq (Tuhan). Konsep al-haqq yang dikemukakan al-Kindî tersebut merupakan gagasan orisinil aristoteles tentang penggerak pertama yang tidak digerakkan (Atiyeh, 1983:17).

Harmonisasi antara filsafat dan agama selanjutnya diteruskan oleh al-Farâbî dan Ibn Sînâ. Lain halnya dengan al-Kindî, kedua filosof tersebut tidak mempergunakan pemikiran Aristoteles sebagai pondasi dalam bangunan filsafatnya. Keduanya cenderung mengikuti aliran Neo-Platonisme yang banyak diminati pada waktu itu. Pemikiran Neo-Platonisme yang mewarnai pemikiran kedua filosof ini adalah mengenai teori emanasi.[i] Teori emanasi yang mereka kemukakan pada dasarnya mencoba menjelaskan proses terjadinya alam materi dari “Yang Maha Satu”. Sebagaimana halnya dalam Neo-Platonisme, mereka juga menyatakan bahwa sumber dari alam materi ini adalah dari pancaran “Yang Maha Satu” (Tuhan). Tuhan sebagai wujud pertama berpikir tentang diri-Nya dan dari pemikiran tersebut muncul wujud kedua yang mempunyai substansi yang disebut dengan akal pertama. Wujud kedua berpikir tentang wujud pertama dan dari pemikiran ini muncul wujud ketiga yang disebut akal kedua. Proses ini berlanjut hingga mencapai akal kesepuluh di mana pada tahap tersebut muncullah alam syahâdat (alam materi) sebagaimana yang dapat disaksikan oleh manusia (Nasution, 1995:27-28).

Filsafat emanasi yang dikembangkan oleh kedua filosof muslim tersebut memberikan dampak yang cukup luas di kalangan filosof muslim yang muncul kemudian. Sebagai bentuk sintesis terhadap pemikiran ini, sebagian filosof muslim mencoba memperkenalkan wacana teosofi (gabungan filsafat dan tasawuf).[ii] Wacana teosofi klasik dalam dunia Islam pertama sekali diperkenalkan oleh Abû Yazîd al-Busthâmî. Nuansa filsafat yang mewarnai pemikiran sufistiknya terlihat dari gagasannya mengenai konsep ittihâd (penyatuan). Menurutnya, sufi akan sampai pada penyatuan dengan Tuhan melalui fanâ’ al-nafs (“penghancuran diri”) dan baqâ’ (hidup terus menerus) yaitu kesadaran diri terhadap hilangnya wujud jasmani, namun tetap disadari kekalnya wujud ruhani (al-Taftazânî, 1983:106).

Wacana teosofi berikutnya diperkenalkan oleh Husein ibn Manshûr al-Hallâj dengan konsep hulûl-nya. Hulûl adalah paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu lenyap. Munculnya paham ini didasarkan atas pemikiran yang menyatakan bahwa dalam diri manusia terdapat sifat ke-Tuhan-an (lahût), dan dalam diri Tuhan terdapat sifat kemanusiaan (nasût). Dengan demikian, penyatuan antara Tuhan dan manusia bisa terjadi dalam bentuk hulûl. Untuk dapat memperoleh penyatuan tersebut, manusia terlebih dahulu menghilangkan sifat-sifat kemanusiannya dan menghadirkan sifat-sifat ketuhanan yang ada dalam dirinya. Ketika penyatuan terjadi, ruh Tuhan dengan ruh manusia bersatu dalam tubuh manusia (Mahmûd, 1966:69).

Kosep hulûl yang diprakarsai oleh al-Hallâj kemudian disistematisasikan oleh Ibn ‘Arabî dengan kosep wahdat al-wujûd (unity of existence). Dalam terminologi Ibn ‘Arabi, nasût diubah menjadi al-khalq (makhluk) dan lahût menjadi al-haqq (Tuhan). Pemikiran ini timbul dari paham yang menyatakan bahwa Tuhan ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya dan oleh karena itu ia menciptakan alam. Di kala Ia ingin melihat diri-Nya, maka ia melihat alam karena tiap-tiap makhluk hidup yang ada di alam terdapat sifat ketuhanan. Dengan demikian, alam merupakan cermin bagi Tuhan. Dalam cermin itu diri-Nya kelihatan banyak, tetapi sebenarnya hanya satu. Di sinilah muncul paham kesatuan (Ali, 1997:50).

Usaha untuk mencari relasi filsafat dengan tasawuf ternyata tidak hanya didominasi oleh Ibn ‘Arabî dan para pengikutnya. Tetapi, usaha tersebut juga dirintis oleh para filosof lain dengan metode dan pendekatan yang berbeda. Salah satu di antara para filosof itu adalah Suhrawardî. Ia memperkenalkan filsafat iluminasi (al-isyrâqiyat) yang bersumber dari hasil dialog spritual dan intelektual dengan tradisi-tradisi dan agama-agama lain. Suhrawardî memperkenalkan diri sebagai penyatu kembali apa yang disebutnya sebagai hikmat al-ladûnniyat (kebijaksanaan ilahi) dan al-hikmat al-’âtiqat (kebijaksanaan kuno). Ia yakin bahwa kebijaksanaan ini adalah perenial (abadi) dan universal yang terdapat dalam berbagai bentuk di antara orang-orang Hindu, Persia, Babilonia, Mesir Kuno dan orang-orang Yunani sampai masa Aristoteles (al-Taftazânî, 1983:195).

Sikap kompromistik Suhrawardî terhadap agama-agama lain menimbulkan kritik keras di kalangan pemikir muslim. Bahkan sebagian di antaranya menuduh bahwa Suhrawardî anti Islam. Penilaian semacam ini tentu saja salah kaprah. Di mata Suhrawardî, agama-agama lain bukanlah musuh yang harus dijauhi atau dilawan, tetapi adalah teman yang harus didekati untuk diajak berdialog. Agama-agama lain itu tidak merusak dan menyimpangkan Islam. Tetapi sebaliknya, agama-agama lain itu dapat memperkaya pemahaman tentang Islam. Di sinilah terletak universalitas Islam karena Islam sangat luas dan mencakup agama-agama lain dalam pengertian ajaran-ajaran esoteriknya. Kebijaksanaan perenial dalam agama-agama lain adalah kebijaksanaan perenial dalam Islam. Oleh karena itu, Islam dapat melakukan dialog yang sejati dengan agama-agama lain tanpa kehilangan identitas dirinya.

Di samping berhasil melakukan dialog dengan berbagai agama, Suhrawardî pun berhasil mengadakan dialog dengan berbagai pemikiran filsafat, khususnya filsafat peripatetik[iii] yang banyak diikuti oleh para filosof muslim. Model dialog yang dirancang Suhrawardî adalah berupa kritik sistemik terhadap sejumlah pemikiran filsafat peripatetik (Nashr, 1968:329).

Sejalan dengan proses pemikiran Suhrawardî menuju kematangannya, ia pada mulanya menulis karya-karyanya yang masih bercorak peripatetis yang bertumpu kuat pada metode diskursif. Suhrawardî menegaskan bahwa karya yang bercorak peripatetis mesti dikuasai lebih dahulu sebelum mempelajari teosofinya (Suhrawardî, 1372:10). Dengan instruksi semacam itu, Suhrawardî seakan merentangkan jalan tahap demi tahap bagi pembaca karya-karyanya untuk sampai pada puncak karyanya Hikmat al-Isyrâq (The Wisdom of Illumination).

Melihat struktur pemikiran yang tertuang dalam tulisan-tulisannya, Suhrawardî sebenarnya sudah memiliki bangunan pemikiran filosofis yang direncanakan secara matang. Ia menempatkan Hikmat al-Isyrâq sebagai magnum opus-nya karena hampir semua karya sebelumnya ditujukan untuk mendukung substansi Hikmat al-Isyrâq. Sehingga peminat Suhrawardî dapat dengan mudah merujuk pada karya-karya sebelumnya bila ingin mengetahui pemikirannya secara mendetail. Artinya, dengan mengkaji Hikmat al-Isyrâq seseorang dapat mengetahui pemikiran menyeluruh mazhab Suhrawardî (Rayyan, 1966:66-67).

Secara umum, sistematika Hikmat al-Isyrâq terbagi ke dalam dua bagian utama. Bagian pertama mengulas sejumlah kritik terhadap pemikiran peripatetis terutama terhadap konsep epistemologi. Bagian kedua membahas konsep cahaya dengan berbagai dimensinya.

Pada bagian pertama, sejalan dengan arah kritik yang dilancarkan, maka kritik epistemologi berkisar antara logika dan sumber ilmu pengetahuan. Dalam kajian tentang sumber ilmu pengetahuan, Suhrawardî membaginya ke dalam pengetahuan hushûlî dan hudhûrî. Pengetahuan hushûlî terbagi ke dalam dua jenis sarana untuk mencapainya. Pertama diperoleh dengan memaksimalkan fungsi indrawi atau observasi empiris. Melalui indra yang dimiliki, manusia mampu menangkap dan menggambarkan segala objek indrawi sesuai dengan justifikasi indrawi yaitu melihat, mendengar, meraba, mencium dan merasa. Kedua diperoleh melalui sarana daya pikir (observasi rasional), yaitu upaya rasionalisasi segala objek rasio dalam bentuk spritual (ma’qûlat) secara silogisme yaitu menarik kesimpulan dari hal-hal yang diketahui kepada hal-hal yang belum diketahui (Yazdî, 1994:9).

Sedangkan pengetahuan hudhûrî adalah pengetahuan dengan kehadiran (observasi ruhani) yaitu pengetahuan yang bersumber langsung dari pemberi pengetahuan tertinggi berdasarkan mukâsyafat (pengungkapan tabir) dan iluminasi. Konsep ilmu hudhûrî ini dikembangkan Suhrawardî dengan penekanan pada aspek ketekunan dalam mujâhadat, riyâdhat dan ‘ibâdat daripada memaksimalkan fungsi rasio, dengan kata lain ilmu hudhûrî lebih menekankan olah dzikir dari pada olah pikir (Ziai, 1990: 17).

Bagian kedua dari Hikmat al-Isyrâq mengungkapkan pemikiran teosofi Suhrawardî yang memuat konsep metafisikanya. Pada bagian ini, Suhrawardî menjelaskan konsep teosofi yang berpusat pada kajian cahaya (al-isyrâq) sebagai media simbolik. Suhrawardî mengelaborasi cahaya untuk mengungkapkan kesatuan pemikirannya baik pada tataran epistimologi, teologi, dan ontologi. Pembahasan utama pada bagian ini meliputi hakikat cahaya, susunan wujud (being), aktivitas cahaya, cahaya dominan, pembagian barzâkh (alam kubur), persoalan alam akhirat, kenabian, dan nasib perjalanan manusia menuju purifikasi jiwa.

Dengan konsep al-Isyrâq-nya, Suhrawardî menyatakan bahwa seluruh alam semesta merupakan rentetan dari intensitas cahaya. Gradasi sinar dari sumber cahaya berakhir pada kegelapan. Semua kajian dalam bagian kedua membentuk bangunan teosofi berupa perpaduan antara filsafat dan tasawuf. Oleh karena itu, Suhrawardî dianggap sebagai pencetus dan pelopor konsep kesatuan iluminasi (wahdat al-‘isyrâq). Hal ini dikarenakan usaha Suhrawardî untuk mengoptimalkan proses iluminasi sebagai ilustrasi holistik dari kesatuan wujud (wahdat al-wujûd) yang dikembangkan Ibn ‘Arabî (Netton, 1994:258).

Gagasan mengenai kesatuan iluminasi yang diajarkan oleh Suhrawardî merangsang munculnya sikap protes dan anti pati dari kalangan ahli fiqh (islamic jurisprudence). Karena dianggap sesat dan mendatangkan keresahan dalam masyarakat, para ahli fiqh itu kemudian mengadili Suhrawardî serta menjatuhkan hukuman mati (hukuman gantung) kepadanya. Meskipun dengan berat hati, Suhrawardî menerima keputusan itu demi mempertahankan pemikiran yang diyakininya sebagai kebenaran paling hakiki (Ziai, 1990:22).

Hukuman mati yang dijatuhkan kepada Suhrawardî mengingatkan kita pada perjalanan sejarah pemikiran manusia dimana Socrates juga harus meminum racun demi membela idealismenya. Namun sejarah juga membuktikan bahwa hukuman mati yang dijatuhkan terhadap tokoh yang memperjuangkan kebenaran ternyata tidak efektif untuk menghentikan alur pemikiran mereka. Karir intelektual Suhrawardî boleh saja dihentikan, tetapi warisan yang ditinggalkan tetap hidup bahkan mampu mempengaruhi generasi-generasi sesudahnya. Pengaruh teosofi Suhrawardî dapat ditelusuri melalui karya-karya yang muncul belakangan atau aliran-aliran pemikiran yang terpengaruh olehnya.

Uraian yang dipaparkan di atas menunjukkan beberapa kelebihan Suhrawardî dibandingkan dengan para filosof teosofi muslim lainnya. Harmonisasi filsafat lintas agama dan lintas aliran pemikiran yang dipeloporinya menunjukkan sikap objektif dan bebas nilai yang patut dicontoh oleh setiap pemikir. Meskipun sarat dengan kritikan dan hujatan, pemikiran Suhrawardî tetap perlu untuk dikontekstualisasikan terutama untuk menyejukkan suasana keberagamaan manusia di alam modern saat ini. Di samping itu, rekonstruksi terhadap pemikiran Suhrawardî dapat dijadikan sebagai sarana untuk memperkuat bangunan pemikiran metafisika filsafat Barat yang dinilai sedang mengalami krisis spritualitas.




CATATAN:

[i] Teori emanasi Plotinos diawali dengan pemikiran yang menyatakan bahwa semua makhluk yang ada, bersama-sama merupakan keseluruhan yang tersusun sebagai suatu hirarki. Pada puncak hirarki terdapat “Yang Satu” (to hen) yaitu Allah. Dari “Yang Satu” dikeluarkan akal budi (nus). Akal budi merupakan suatu intelek yang memikirkan dirinya sendiri. Jadi, akal budi tidak satu lagi karena di sini terdapat dualitas yaitu pemikiran dan yang dipikirkan. Dari akal budi itu kemudian muncul jiwa dunia (psykhe). Akhirnya, dari jiwa dunia dikeluarkan materi (hyle) yang bersama dengan jiwa dunia merupakan jagat raya (Bertens, 1983:19).

[ii] Teosofi adalah modifikasi antara latihan intelektual teoritis melalui filsafat dan pemurnian hati melalui sufisme (Morewedge, 1992:73).

[iii] Istilah filsafat peripatetik berasal dari bahasa Yunani peripatein yang berarti berjalan dengan berkeliling. Kata tersebut juga merujuk kepada kata peripatos yang berarti serambi gedung olah raga di Athena, tempat Aristoteles mengajar sambil berjalan-jalan (Ziyâdat, 1988:1274) . Dalam tradisi filsafat Islam, istilah itu dikenal dengan masysyâ’iyyat yang berarti melangkahkan kaki dari satu tempat ke tempat lain. Penggunaan istilah peripatetik (masysyâ’iyyat) mengacu kepada metode mengajar Aristoteles yang menggembleng siswanya dengan cara berjalan-jalan. Oleh karena itu, istilah peripatetik mengacu pada seluruh bangunan filsafat Aristoteles (Ma’luf, 1997:764).

SALAM BAR FATIMA AZ-ZAHRA S.A



...SALAM WILADAH MUBARAKAH FATIMAH AZ-ZAHRA S.A ...

...SOALAN CEPU ALIAS MENYENTAP BENAK....

Adakah Jabatan Imam Allah?

Masalah kepemimpinan merupakan salah satu persoalan yang sangat mendasar di dalam kehidupan manusia. Sejak kecil, setiap orang akan mengenal dan berinteraksi dengan persoalan ini. Kita mengenal istilah orang tua sebagai pemimpin di rumah, guru di sekolah, direktur di perusahaan, komandan di keperwiraan, kepala pemerintahan dan seterusnya. Intinya, persoalan kepemimpinan meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Ia menjadi pondasi dan tulang punggung keberlangsungan spesies manusia dimanapun dan kapanpun mereka berada. Tanpa adanya kepemimpinan, maka seluruh pilar dan sistem kehidupan manusia niscaya porak poranda atau khaos—lawan katanya adalah kosmos, yakni teratur. Hal ini sangat jelas sehingga tak perlu pembuktian lagi. Bahkan dalam skala komunitas yang paling sederhana sekalipun, kalimat “broken home” adalah istilah umum yang ditujukan bagi seorang anak yang tidak merasakan adanya figur pemimpin dirumahnya.

Pada dasarnya, makna pemimpin adalah pengatur, pembimbing, penuntun, pengawas, penegak aturan dan pemberi keputusan sehingga hubungan antara kepemimpinan dan keteraturan adalah perkara yang mustahil bisa dipisahkan. Secara esensial, penataan sekelompok masyarakat sangat bergantung pada dua kunci utama bagi terwujudnya suatu tatanan kehidupan yang harmonis, yakni adanya seperangkat aturan atau hukum dan figur pelaksananya atau penegak aturan tersebut yakni hakim. Untuk itu, munculnya kesadaran dan kebutuhan manusia bagi adanya seperangkat hukum dan keberadaan hakim adalah perkara rasional. Sedangkan penolakan atau penerimaan salah satu darinya saja adalah irasional.

Sehubungan dengan hal ini, secara garis besar agama bisa dimaknai sebagai seperangkat aturan yang diharapkan bisa menata hubungan dan perilaku manusia kepada Tuhan dan alam kehidupannya. Di setiap agama, wacana kepemimpinan adalah topik sentral yang tak bisa disepelekan terutama bagi keberlangsungan ajaran tersebut dan juga penganutnya. Saat ini, agama-agama di dunia umumnya dibagi menjadi dua kelompok. Pertama adalah agama-agama yang melandasi ajarannya berdasarkan wahyu atau “agama samawi”. Dan kedua adalah agama-agama yang melandasi ajarannya berdasarkan kebijakan dan tradisi.

Dalam kaitannya dengan studi kristologi, pembahasan komprehensif ditujukan kepada agama-agama yang mendasari ajarannya melalui wahyu Tuhan atau profetisme, yakni kenabian. Dan pada saat ini, agama-agama seperti Islam, Yahudi dan Kristen adalah ajaran-ajaran yang meyakini tentang keberadaan para nabi Tuhan. Secara substansial, kendati masing-masing agama itu punya banyak perbedaan, tapi secara umum, seluruh agama wahyu ini punya satu simpul yang sama, yaitu adanya pengakuan dari masing-masing agama tersebut bahwa Abraham [Islam: Ibrahim] adalah seorang nabi Tuhan.

Di dalam Alkitab Perjanjian Lama (Yudaisme: Tanakh), Abraham memiliki beberapa gelar yang masing-masing mencerminkan jabatan langit yang diembannya. Hal ini memposisikan Abraham sebagai orang pilihan yang mulia disisi Allah dan juga dihadapan keturunan dan para pengikutnya. Dia disebut sebagai nabi (Kej 20:7) [1], bapa sejumlah besar bangsa (Kej 17:15-16) [2], sahabat Allah (2Taw 20:7; Yes 41: 8) [3], dan yang terpenting dari semua adalah raja-imam (Kej: 12:7; 13:4) [4]. Jabatan Abraham sebagai imam Allah ini memang sangat unik dan berbeda dari kedudukan-kedudukan dia sebelumnya sehingga ada pendapat umum bahwa Kejadian 14 merupakan salah satu bab yang paling sukar dalam Kitab Kejadian.[5] Istilah “raja” dan “imam” yang selanjutnya dipadukan menjadi raja-imam mengindikasikan kepada otoritas penuh yang dijabat oleh Abraham dan keturunannya. Yakni sebagai penguasa dan pemimpin sekaligus. Hal ini otomastis berimplikasi bagi adanya suatu wilayah kekuasaan dan kepemimpinan (Kej 17:8-9) [6]. Adapun peristiwa pemberkatan Abraham sebagai Imam Alah bisa ditemukan dalam Kitab Kejadian di pasal 14:1-24. Peran Abraham sebagai pemimpin atau imam yang dipilih dan dinobatkan secara langsung oleh Allah ini—melalui perantaraan Melkisedek—adalah peristiwa yang tak dinafikan kebenarannya, baik oleh Yahudi maupun Kristen.

Secara etimologi, kata “imam” dalam bahasa Ibraninya di Authorized Version (AV) adalah kohen [7] dan nasiy [8]. Masing-masing dari kata ini di ulang sebanyak 750 kali dan 132 kali. Kedudukan ini juga menandai perjanjian atau covenant antara Abraham dan Allah yang mana melalui keturunannya itu Dia akan mengutus seorang yang diurapiNya atau Mesiah, dan akan menjadi berkat bagi seluruh bangsa di bumi (Kej 18:18).[9] Pengesahan kovenan ini ditandai dengan kewajiban penuh bagi Abraham dan keturunannya untuk mentaati hukum-hukum Ilahi berdasarkan prinsip kebenaran dan keadilan.[10]

Untuk itu, kendati sudah ada tiga jabatan langit yang diberikan kepada Abraham, yakni sebagai nabi atau rasul dan kedudukan khususnya sebagai sahabat Allah. Namun masih ada satu jabatan langit terakhir yang tertinggi, yakni sebagai imam Allah. Kedudukan ini juga dianugerahkan kepada Abraham dan keturunan biologisnya. [11] Adapun dari segi pelaksanaan bahwa meskipun jabatan imam Allah ini munculnya belakangan, namun inti dari ajaran Allah kepada manusia itu sendiri sebenarnya baru bisa direalisasikan, apabila hukum-hukum tersebut telah selesai disyariatkan oleh para nabi. Dan setelah itu, syariat ini akan ditegakkan oleh imam-imam Allah yang berasal dari keturunan biologis Abraham. Fakta ini jelas sangat rasional karena tak ada hakim kecuali setelah adanya hukum. Dan hukum pun mustahil bisa ditegakkan kecuali setelah adanya para hakim.

Pada dasarnya, jabatan imam Allah merupakan satu-satunya jabatan tertinggi dan tunas dari “Pohon Kejadian” yang menjadi tujuan atas penciptaan manusia di bumi. [12] Sedangkan kenabian atau kerasulan adalah cabang dari “Pohon Kejadian” tersebut. Artiya, institusi ilahiah ini secara gradual diawali oleh keimaman—yang menduduki puncak dari hierarki rububiyah itu, kemudian disusul dengan kerasulan atau kenabian. Sedangkan penampakan atas jabatan imam Allah di alam dunia (syahadah) secara hierarki adalah kebalikan dari hakekatnya di alam sorgawi (ghayb). Di alam dunia, kemunculan jabatan-jabatan langit ini diawali lebih dahulu dengan kenabian, kerasulan dan imamah.

Setelah Ibraham wafat, jabatan-jabatan ini terus diwariskan melalui keturunan biologis Ismail dan Ishak yang mana keduanya adalah nabi. Dalam Alkitab dinubuatkan bahwa dari Ismail dan keturunannya akan muncul duabelas orang imam “Tentang Ismael, Aku telah mendengarkan permintaanmu; ia akan Kuberkati, Kubuat beranak cucu dan sangat banyak; ia akan memperanakkan dua belas imam, [13] dan Aku akan membuatnya menjadi umat [14] yang besar (Kej 17:20). Kondisi serupa juga ditampakkan kepada bangsa Israel pada zaman Musa as yang mana dia telah diperintahkan oleh Allah untuk melantik duabelas orang imam yang dikepalai oleh Harun dan keturunannya (Bil 17:1-13). Pelantikan para imam Allah ini menandai kesempurnaan RisalahNya dan puncak dari kovenan antara Allah dan para nabi yang ditugaskan untuk menyampaikan AjaranNya kepada manusia. Bahkan fungsi utama dari pengutusan seorang nabi atau rasul itu adalah untuk menegakkan kerajaan imam dan umat yang kudus.Alkitab dan Al-Qur’an menyatakan:

“Jadi sekarang, jika kamu sungguh-sungguh mendengarkan firman-Ku dan berpegang pada perjanjian-Ku, maka kamu akan menjadi harta kesayangan-Ku sendiri dari antara segala bangsa, sebab Akulah yang empunya seluruh bumi. Kamu akan menjadi bagi-Ku kerajaan imam dan bangsa yang kudus. Inilah semuanya firman yang harus kaukatakan kepada orang Israel. (Keluaran 19:5-6)

“Dan ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu, dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putera Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh”. (QS. 33:7)

Sedangkan mengenai perjanjian [mitsaq] yang dimaksudkan itu, maka Al-Qur’an menjelaskan lagi, “Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian dari Bani Israil dan telah Kami angkat di antara mereka 12 orang pemimpin” (QS. 5:12).

Alhasil, substansi yang ingin ditegaskan dalam pengantar yang ringkas ini bahwa status seorang imam di dalam agama Ibrahimik—menurut tinjauan kristologi—itu memang ada dan dipilih secara mutlak oleh Allah sebagaimana halnya kenabian dan kerasulan. Artinya tidak melalui konsensus. Imam Allah adalah jabatan sorgawi yang kudus dan tidak terbentuk melalui mekanisme pemilihan umum ataupun cara-cara lain yang dilandasi oleh perspektif manusia. Sungguh tidak mengherankan bila Al-Qur’an sendiri pernah menegaskan bahwa keluarga Ibrahim as telah dianugerahi suatu kerajaan yang besar.

“Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya? Sesungguhnya Kami memberikan Kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar”. (QS. 4:54)

Secara historis, pena sejarah umat manusia belum pernah mencatat bahwa keluarga Ibrahim ada yang mendirikan monarki keluarga, misalnya seperti Ibrahimiyah, Ismailiyah, Ishakiyah, Yakubiyah, Yusufiyah, Musaiyah atau Haruniyah dan lain sebagainya. Hal itu disebabkan keluarga Ibrahim lebih dikenang sebagai mata airnya kenabian, kerasulan dan imamah. Jika demikian, maka kerajaan besar apakah yang dimaksudkan oleh al-Qur’an itu? Apabila hal ini tidak merujuk kepada mamlakah kohen atau kerajaan imam,[15] tentu akan sulit menemukan makna yang sebenarnya dari ayat tersebut. Lalu, apabila keluarga Ibrahim telah diwariskan kerajaan besar oleh Allah, maka bagaimanakah dengan nasib keluarga Muhammad saw sendiri? Artinya, apakah mungkin dari keturunan Muhammad saw ini akan ada yang menjadi imam-imam Allah seperi yang pernah terjadi di masa para nabi terdahulu yang berasal dari keluarga Ibrahim? Dan apabila jumlah para imam dari keluarga Ibrahim as ini selalu duabelas orang, maka mungkinkah jumlah para imam dari keluarga Muhammad pun juga demikian?

Sebagai penutup, barangkali hadis Nabi saw yang pernah diriwayatkan dalam Sahih Bukhari[16] ini bisa membawa kita kepada kontemplasi mendalam yang selaras dengan pendewasaan beragama. “Jabir ibn Samurah mengatakan, ‘Saya mendengar Nabi berkata: “Akan ada duabelas pemimpin setelah saya.” Kemudian mengatakan, “Saya mendengar ayah saya mengatakan ia mendengar Nabi berkata, “Mereka berasal dari suku Qurays”’”. Wallahu’alam.

Catatan Kaki:

[1]“Jadi sekarang, kembalikanlah isteri orang itu, sebab dia seorang nabi;”.

[2]“Aku akan memberkatinya, dan dari padanya juga Aku akan memberikan kepadamu seorang anak laki-laki, bahkan Aku akan memberkatinya, sehingga ia menjadi ibu bangsa-bangsa; raja-raja bangsa-bangsa akan lahir dari padanya”.

[3] “Bukankah Engkau Allah kami yang menghalau penduduk tanah ini dari depan umat-Mu Israel, dan memberikannya kepada keturunan Abraham, sahabat-Mu itu, untuk selama-lamanya?”; Dan juga “Tetapi engkau, hai Israel, hamba-Ku, hai Yakub, yang telah Kupilih, keturunan Abraham, yang Kukasihi;”.

[4] ”Ketika itu TUHAN menampakkan diri kepada Abram dan berfirman: ‘Aku akan memberikan negeri ini kepada keturunanmu.’ Maka didirikannya di situ mezbah bagi TUHAN yang telah menampakkan diri kepadanya”; Dan juga “ke tempat mezbah yang dibuatnya dahulu di sana; di situlah Abram memanggil nama TUHAN”.

[5] Lembaga Biblika Indonesia, Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, disunting oleh Dianne Bergant, CSA dan Robert J. Karris, OFM (Jakarta: Penerbit Kanisius, 2002) hal. 52.

[6] “Kepadamu dan kepada keturunanmu akan Kuberikan negeri ini yang kaudiami sebagai orang asing, yakni seluruh tanah Kanaan akan Kuberikan menjadi milikmu untuk selama-lamanya; dan Aku akan menjadi Allah mereka.’ Lagi firman Allah kepada Abraham: ‘Dari pihakmu, engkau harus memegang perjanjian-Ku, engkau dan keturunanmu turun-temurun”.

[7] Kata kohen artinya imam atau pendeta (priest), orang yang memiliki (own), penguasa tertinggi (chief ruler), pejabat (officer), pangeran atau putra mahkota (princes).

[8] Kata nasiy’ atau nasi’ artinya pangeran atau putra mahkota (prince), kapten (captain), ketua (chief), penguasa (ruler), beruap atau menguap (vapours), gubernur pemerintahan (governor), awan (clouds), bagian (part). Secara definisi adalah orang yang ditinggikan (one lifted up) atau imam (leader) dan uap yang terangkat, yakni selalu meninggi dari lainnya (raising mist).

[9] “Oleh keturunanmulah semua bangsa di bumi akan mendapat berkat, karena engkau mendengarkan firman-Ku”.

[10] “Sebab Aku telah memilih dia, supaya diperintahkannya kepada anak-anaknya dan kepada keturunannya supaya tetap hidup menurut jalan yang ditunjukkan TUHAN, dengan melakukan kebenaran dan keadilan, dan supaya TUHAN memenuhi kepada Abraham apa yang dijanjikan-Nya kepadanya.” (Kej 18:19).

[11] Bandingkan juga beberapa kedudukan Nabi Ibrahim as yang disampaikan dalam Al-Qur’an, yaitu: Pertama, sebagai nabi “Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat benar dan seorang Nabi”. (QS. 19:41). Kedua, ayat al-Qur’an ini memaparkan dua sisi, yaitu kedudukan Ibrahim as sebagai rasul dan juga moyang bagi sejumlah besar bangsa yang mana keturunannya itu akan mewarisi jabatan kenabian dan kerasulan “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh dan Ibrahim dan Kami jadikan kepada keturunan keduanya kenabian dan Al Kitab, maka di antara mereka ada yang menerima petunjuk dan banyak di antara mereka yang fasik”. (QS. 57:26). Ketiga, sebagai khalil atau sahabat Allah “Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya”. (QS. 4:125). Keempat, sebagai imam “Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhanya dengan beberapa kalimat, lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: ‘Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu sebagai imam bagi seluruh manusia.’ Ibrahim berkata: ‘dan dari keturunanku.’ Allah berfirman: ‘JanjiKu tidak mengenai orang-orang yang zalim’”. (QS. 2:124).

[12] “Manusia adalah puncak dari seluruh penciptaan. Kelebihan ciptaan ini digarisbawahi oleh kenyataan bahwa hanya manusialah yang diciptakan menurut “gambar” atau “rupa Allah”. [Dikutip dari Lembaga Biblika Indonesia, Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, disunting oleh Dianne Bergant, CSA dan Robert J. Karris, OFM (Jakarta: Penerbit Kanisius, 2002) hal. 35]. Bandingkan dengan ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang kedudukan manusia sebagai khalifah Allah dimuka (QS. 2:30) dan hadis Nabi saw yang mengatakan bahwa Adam diciptakan dari citranya.

[13] Saya sengaja mengganti kata “raja”—seperti yang ada diterjemahan Alkitab LAI—dengan kata “imam”, karena kata “raja” adalah terjemahan yang tidak tepat. Dalam bahasa Ibrani kata “raja” adalah melek, sedangkan Authorized Version (AV) tidak menyebut kata tersebut di ayat ini melek (raja) tapi nasiy’ (imam). Yakni suatu posisi atau jabatan langit tertinggi yang berasal dari Allah saja. Kedudukan ini juga diikrarkan kembali pada zaman Musa, sewaktu Allah memerintahkannya untuk mengangkat duabelas orang pemimpin atau imam dari kalangan bangsa Israel (Bdk. Bil 17:1-6). Seluruh kata yang diterjemahkan “pemimpin” di ayat tersebut di dalam AV adalah nasiy’, persis seperti kedudukan yang diberikan kepada keturunan Ismail di Kej 17:20.

[14] Saya sengaja mengganti kata “bangsa”—seperti yang diterjemahkan dalam Alkitab bahasa Indonesia—dengan kata “umat”, karena kata asli di teks Ibraninya adalah goy yang dalam bahasa Inggris bisa diterjemahkan nation dan people. Walaupun demikian, pengunaan kata “bangsa” bukan berarti keliru, hanya saja dalam kajian mesianisme Yahudi, mereka sering mengaitkan hal ini dalam konteks kebangsaan atau keturunan biologis mereka saja (nationality) yakni partikular. Sedangkan dalam mesianisme Kristen, para penafsirnya telah melepas arti “keturunan biologis” Ibrahim ini sepenuhnya dan menguniversalkan maknanya (people). (lih. Ro 4:16; Ga 3:29). Padahal, janji Allah ini memang terkait dengan kedua sisi tersebut yakni kebangsaan dan juga manusia secara umum.

[15] “Dan Kami jadikan di antara mereka itu imam-imam yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami”. (QS. 32:24; 21:73; 28:5).

[16] Sahih Bukhari, bagian 9, “Kitab al-Maqadam”, hal. 1000. Sementara dalam Musnad Ahmad diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud bahwa ia bertanya kepada Nabi tentang para khalifahnya. Beliau berkata, “Mereka duabelas orang seperti suku bani Isra’il yang dua belas.” (Musnad Ahmad, Jilid 1, hal. 398).