Hikmah Ilahi menuntut terutusnya nabi-nabi dari sisi Allah Swt untuk memberikan petunjuk kepada manusia dalam menempuh jalan menuju kesempurnaan dan kebahagiaan hakiki. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah secara fundamental terdapat sebuah jalan untuk mengenal nabi-nabi hakiki? Dan apabila terdapat jalan, bagaimana dan apakah jalan tersebut?

Dengan memperhatikan poin bahwa sepanjang perjalanan sejarah tidak sedikit jumlah para pengklaim nabi palsu dan sangat banyak sekali kesesatan di tengah-tengah manusia karena mengikuti para pengklaim tersebut; khususnya secara mendasar terdapat berbagai motif individual seperti mencari ketenaran dan kedudukan serta untuk memperoleh posisi semacam ini, maka signifikansi pertanyaan ini akan menjadi jelas.

Dalam menjawab bagian pertama dari pertanyaan di atas harus dikatakan bahwa: Hikmah Ilahi sebagaimana menuntut pengutusan para nabi, juga berkonsekuensi menciptakan sebuah metode atau metode-metode umum untuk mengenal mereka, karena jika tidak demikian, akan banyak kelompok manusia yang gagal dalam mengenal nabi-nabi hakiki dan terhalang dari petunjuk Ilahi yang pada akhirnya, kita akan berhadapan dengan argumen naqdh al-garadh (bertentangan dengan tujuan) pengutusan nabi-nabi.”

Oleh karena itu, agar tidak terjebak dengan kaidah “naqdh al-garadh” harus ada sebuah metode untuk mengenali nabi-nabi hakiki dan membedakan mereka dari para pengklaim kenabian palsu.

Teolog-teolog Islam menyebutkan secara umum tiga metode pokok untuk mengenal nabi-nabi Ilahi sebagai berikut:

  1. Mukjizat

  2. Kesaksian nabi lain (yang kenabiannya dapat diterima)

  3. Kesaksian final beberapa indikasi dan bukti.

Tentunya secara lahir ucapan sebagian teolog, hanya terdapat sebuah metode untuk mengenal para nabi dan hal itu adalah mukjizat.[1] Meskipun demikian, kemungkinan maksud mereka adalah mukjizat metode paling baik dan umum untuk membuktikan kebenaran klaim kenabian.

Sekarang tiba saatnya kita mengkaji masing-masing metode tersebut secara terpisah.

Metode Pertama: Mukjizat

Metode paling umum untuk mengenal nabi-nabi Ilahi adalah mukjizat. Mukjizat (dari kata i’jaaz) artinya “menjadikan tidak berdaya” atau “menampakkan ketidakberdayaan”. Oleh karena itu, mukjizat (yang merupakan ism fa’il [subyek] dari akar kata i’jaaz)[2] berarti sebuah hal yang menyebabkan ketidakberdayaan. Tampaknya penamaan mukjizat pada kata ini berdasarkan bahwa penampakan mukjizat-mukjizat disertai dengan ketidakberdayaan orang lain untuk mendatangkan hal seperti itu.

Definisi Mukjizat

Berkenaan dengan mukjizat, berbagai definisi telah dipaparkan yang terkadang terdapat sedikit perbedaan di dalamnya.[3] Untuk menunjukkan definisi yang relatif sempurna dari mukjizat harus dikatakan:

“Mukjizat adalah sebuah hal luar biasa yang terjadi dari sisi Allah swt melalui nabi disertai dengan klaim kenabian dan seruan tantangan, sesuai dengan klaim kenabian, tidak dapat diajarkan dan dipelajari, dan orang lain tidak memiliki daya untuk melakukannya.”

Definisi ini terformat dari beberapa unsur yang perlu kami jelaskan secara ringkas:

1- Luar biasa: Kata pertama dalam mukjizat adalah luar biasa, artinya proses kejadiannya tidak sesuai dengan sistem normal alam. Tentu saja poin berikut ini tidak dapat diabaikan bahwa antara “keluarbiasaan” dan “ketidakmungkinan rasional” (muhal aqli) terdapat perbedaan. Kita ketahui bahwa akal dengan merenungkan esensi sebagian hal, menghukumi ketidakmungkinannya dan menganggapnya mustahil terjadi; sebagai contoh “bertemunya dua hal kontradiksi” atau “terdahulunya keberadaan akibat dari keberadaan sebab” menurut akal dianggap sebagai hal mustahil dan sebagaimana yang telah kita katakan pada pembahasan qudrat Ilahi (kekuasaan Allah)[4] mayoritas filosof dan teolog meyakini bahwa kemustahilan-kemustahilan rasional berada di luar area kekuasaan Ilahi, artinya pada prinsipnya hal tersebut tidak memiliki potensi memperoleh keberadaan. Akan tetapi kejadian “luar biasa” adalah sebuah kejadian yang esensinya mungkin terjadi, namun tidak terjadi dari jalur sebab-sebab biasa.[5]

Sebagai contoh, akal tidak pernah menganggap satupun dari mukjizat-mukjizat seperti “terbelahnya lautan” atau “penyembuhan orang sakit” tanpa menggunakan obat atau pengobatan-pengobatan kedokteran khusus atau “terbelahnya bulan menjadi dua” sebagai hal yang tidak mungkin, akan tetapi hal-hal ini hanya tidak sejalan dengan proses biasa kejadian-kejadian alami dan dari sinilah, hal tersebut harus diakui sebagai hal yang luar biasa. Dalam kelanjutan pembahasan, kita akan menjelaskan lebih banyak lagi masalah ini.

2- Disertai dengan klaim kenabian: Keistimewaan kedua mukjizat adalah disertai dengan klaim kenabian dari orang yang melakukan hal tersebut. Dengan kriteria ini, karamah para wali keluar dari definisi mukjizat. Mengenai hal ini juga akan kita jelaskan lebih banyak dalam kelanjutan kajian.

3- Seruan tantangan: Syarat ketiga mukjizat adalah disertai dengan seruan tantangan. Maksud dari seruan tantangan adalah bahwa dengan mendatangkan mukjizat, orang yang mengklaim kenabian menyeru para penentangnya untuk menghadapi dan menandingi serta mendatangkan hal yang serupa dengan apa yang dilakukannya. Menurut keyakinan sebagian teolog, syarat ini mencakup dua hal:

a) Seruan kepada para penentang untuk berhadapan dan mendatangkan seperti apa yang dilakukannya sebagai mukjizat dan untuk membuktikan kebenaran klaim;

b) Menjadikan para penentang tidak mampu mendatangkan seperti apa yang didatangkan.[6] Dengan demikian, kriteria ketiga adalah sebuah hal yang menjelaskan latar belakang penamaan “mukjizat”.

Layak untuk disebutkan bahwa penegasan secara lisan dari pihak nabi dalam seruan tantangan bukan sebuah keharusan, akan tetapi cukup dengan indikasi bukti-bukti dan argumen-argumen.[7]

4- Sesuai dengan maksud dan klaim: Kriteria lain mukjizat adalah harus sesuai dengan maksud dan klaim orang yang mengklaim mendatangkan mukjizat. Sebagai contoh, kita anggap seorang yang mengklaim kenabian berkata bahwa ia akan menyembuhkan orang buta untuk membuktikan kebenaran klaimnya, akan tetapi setelah perkataan ini orang buta tersebut justru kehilangan pendengarannya! Dengan demikian, meskipun kejadian yang terjadi (tulinya orang buta tersebut) adalah sebuah hal luar biasa dan keluar dari sistem normal alam, namun karena bertentangan dengan maksud dan klaim pengaku kenabian, maka tidak dapat dianggap mukjizat.[8]

5- Tidak dapat dipelajari dan diajarkan: Mukjizat adalah sebuah amal yang tidak dapat diraih melalui jalur belajar-mengajar dan latihan, berbeda dengan hal-hal seperti sihir, sulap dan usaha-usaha para murtadl (orang-orang yang berlatih disiplin mental cara Hindu) yang dapat diraih melalui jalur ini.

6- Tidak dapat ditandingi oleh orang lain: Syarat ini menjelaskan perbedaan mukjizat dengan hal-hal seperti sihir, sulap dan hal-hal yang dilakukan oleh para murtadl, karena walaupun hal-hal ini bersifat luar biasa, akan tetapi dapat dilakukan oleh orang lain, sebab betapa banyak perbuatan seorang tukang sihir atau penyulap atau murtadl dapat ditandingi oleh salah seorang dari kelompok mereka sendiri. Sebagai contoh, seorang murtadl dengan pengaruh kekuatan luar biasanya dapat menghentikan kereta api yang sedang berjalan dengan sangat cepat, akan tetapi seorang pertapa (murtâdh) lain yang memiliki tingkatan latihan sama (atau lebih tinggi) menandingi perbuatannya dan mampu menjalankan kembali kereta api tersebut.[9]

Oleh karena itu, keistimewaan lain mukjizat adalah sebuah hal yang berada di atas kemampuan manusia dan orang lain tidak dapat menandingi pengaruh atau melakukan hal yang serupa dengannya.

Dengan demikian, definisi mukjizat di atas mengandung beberapa kriteria:

1) Keluarbiasaan; 2) Disertai dengan klaim kenabian; 3) Bersamaan dengan seruan tantangan; 4) Sesuai dengan maksud; 5) Tidak dapat dipelajari dan diajarkan dan 6) Tidak dapat ditandingi.

Beberapa poin

Pada akhir pembahasan mengenai arti terminologi mukjizat, terdapat beberapa poin urgen sebagai berikut:

1- Mukjizat tidak harus selalu dari kategori pengadaaan sebuah hal eksistensial, akan tetapi terkadang mungkin dengan cara melenyapkan sebuah hal eksisensial tersebut sesuai dengan kebiasaan. Merubah tongkat menjadi ular adalah dari jenis pertama dan api menjadi dingin atau menghilangkan panas api adalah dari jenis kedua.[10]

2- Sebagian teolog Islam menambahkan syarat-syarat lain untuk mukjizat yang tampaknya tidak terlalu urgen. Sebagai contoh dikatakan bahwa mukjizat harus terjadi secara langsung tanpa berselang (atau berselang tidak terlalu lama) setelah keputusan pengklaim untuk melakukannya.[11] Begitu juga dikatakan bahwa penampakan mukjizat harus pada masa taklif dan sebelum terjadinya tanda-tanda hari kebangkitan,[12] karena dengan terjadinya tanda-tanda hari kiamat sistem normal alam akan berantakan dan akan terjadi banyak hal luar biasa yang maksud dari terjadinya adalah bukan untuk membenarkan para nabi.

3- Menurut pandangan sebagian teolog, “tidak tertandinginya mukjizat” berkaitan khusus dengan umat seorang nabi yang diutus kepada mereka. Sebagian lain juga meyakini bahwa “tidak tertandinginya mukjizat” berkenaan khusus dengan masa seorang nabi. Berdasarkan dusut pandang ini, apabila seseorang dapat melakukan hal seperti mukjizat nabi tersebut sekian lama setelah masa kenabian, maka hal ini tidak akan bertentangan dengan mukjizat tersebut, karena perbuatan nabi terebut pada masanya luar biasa dan mukjizat.

Karamah dan Irhash

Untuk lebih jelasnya pengertian terminologi mukjizat, menurut para teolog, kita harus mengenal dua istilah “karamah” dan “irhash” dan mengetahui perbedaan keduanya dengan mukjizat.

Dalam terminologi para teolog, karamah adalah sebuah hal yang memiliki seluruh kriteria mukjizat, kecuali tidak disertai dengan klaim kenabian. Berdasarkan hal ini, hal-hal luar biasa yang terjadi dari pihak para washi nabi-nabi dan para waliyullah, sementara orang lain tidak mampu melakukannya termasuk dalam kategori karamah.[13] Sebagai contoh, tersedianya makanan samawi untuk Maryam As adalah semacam karamah.[14]

Maksud dari irhash juga adalah hal-hal luar biasa yang terjadi sebelum pengutusan sebagai nabi untuk mendukung kenabian seorang nabi.[15] Berdasarkan hal ini, kejadian-kejadian luar biasa yang terjadi pada masa kelahiran Nabi Muhammad Saw atau masa kanak-kanak beliau Saw adalah beberapa contoh dari irhash.

Mukjizat dan Hukum Kausalitas

Terkadang terlintas bahwa terjadinya mukjizat-mukjizat dan hal-hal luar biasa bertentangan dengan hukum kausalitas dan meyakini mukjizat tidak sesuai dengan generalitas hukum kausalitas. Pikiran ini menyebabkan sebagian orang mengingkari terjadinya mukjizat-mukjizat.

Dalam menjawab pertanyaan di atas secara global dapat kita katakan bahwa yang menjadi kesepakatan adalah mukjizat-mukjizat tidak terjadi melalui jalur sebab-sebab natural biasa yang ada di alam, karena apabila tidak demikian maka hal-hal tersebut tidak lagi menjadi hal-hal luar biasa. Akan tetapi hal ini tidak harus berarti bahwa mukjizat adalah sebuah fenomena tanpa kausa, karena mungkin saja mukjizat terjadi melalui sebab-sebab yang tidak kita ketahui dan tidak berada dalam area eksperimen dan jangkauan kita. Oleh karena itu, mungkin saja kesembuhan seorang pasien (yang menurut informasi-informasi kita yang terbatas tidak dapat diobati) atau terpancarnya air dari tengah-tengah bebatuan yang keras memiliki sebab-sebab tertentu yang tidak kita ketahui dan Allah Swt mengadakannya melalui sebab-sebab yang tidak diketahui untuk membuktikan kebenaran nabi-nabi-Nya dan menyempurnakan hujjah kepada manusia. Degan demikian, jelas bahwa terjadinya mukjizat tidak bertentangan dengan hukum kausalitas yang merupakan suatu kaidah rasional dan general tanpa pengecualian; akan tetapi hanya berlawanan dengan proses normal alam, sementara ia sendiri pada dasarnya berada dalam wilayah hukum kausalitas.[16]

Dari sini menjadi jelas bahwa terjadinya mukjizat tidak kontradiksi dengan hukum-hukum universal Ilahi (sunnatullah), bahkan hal tersebut adalah merupakan sunnah itu sendiri yang terjadi dalam proses khusus.

Siapakah Pelaku Mukjizat?

Hingga kini jelas bahwa mukjizat adalah sebuah hal luar biasa yang dibawa oleh nabi disertai dengan klaim kenabian dan seruan tantangan untuk menjadi bukti konkrit kebenaran klaimnya. Di sini mungkin terlintas pertanyaan di benak: Apakah Allah Swt yang mengadakan mukjizat atas permintaan dan doa nabi atau nabi sendiri yang langsung mengadakannya karena kedudukan spiritual beliau?

Dalam menjawab pertanyaan seperti ini harus dikatakan bahwa pribadi nabi dan kedudukan spiritual beliau memiliki peran di dalamnya, akan tetapi peran ini berada di dalam wilayah kehendak dan izin khusus Allah Swt. Dari sudut pandang ini, pengadaan mukjizat dari satu sisi dapat disandarkan kepada nabi dan dari sisi lain kepada Allah Swt. Yang mendukung hal ini adalah banyak ayat yang isinya menyandarkan pengadaan mukjizat kepada nabi-nabi dan pada saat yang sama permasalahan tersebut diarahkan kepada kehendak dan izin Allah Swt:

“Dan (ingatlah pula) di waktu kamu membentuk dari tanah (suatu bentuk) yang berupa burung dengan izin-Ku, kemudian kamu meniup kepadanya, lalu bentuk itu menjadi burung (yang sebenarnya) dengan seizin-Ku. dan (Ingatlah) di waktu kamu menyembuhkan orang yang buta sejak dalam kandungan ibu dan orang yang berpenyakit sopak dengan seizin-Ku, dan (Ingatlah) di waktu kamu mengeluarkan orang mati dari kubur (menjadi hidup) dengan seizin-Ku…”[17]

Di dalam ayat ini, mukjizat-mukjizat seperti meniupkan nafas kehidupan kepada burung-burung yang dibuat dari tanah, menyembuhkan orang-orang sakit dan menghidupkan orang-orang mati disandarkan kepada nabi Isa As, akan tetapi agar tidak terjadi persangkaan keindependenan beliau As dalam hal-hal tersebut, Allah Swt menegaskan di dalamnya campur tangan dan pengaruh izin khusus-Nya.[18]

Indikasi Mukjizat atas Kebenaran Klaim Kenabian

Setelah konsepsi mukjizat menjadi jelas, terlontar pertanyaan bagaimanakah mukjizat dapat membuktikan kebenaran seseorang yang mengklaim kenabian dari sisi Allah swt? Dengan kata lain, bagaimanakah mukjizat yang dibawa pengklaim kenabian dapat mengindikasikan bahwa dia memang benar-benar diutus dari sisi Allah Swt dan membawa misi Ilahi?

Untuk menjawab pertanyaan ini, mungkin saja sekilas terlintas, indikasi mukjizat tidak lebih dari penjelasan bahwa pembawanya memiliki relasi dengan alam supranatural, akan tetapi tidak berindikasi logis atas kenabiannya. Konklusinya harus dikatakan bahwa terjadinya mukjizat tidak dapat menjadi indikasi rasional dan logis atas kenabian pembawanya.

Yang benar adalah jawaban di atas merupakan sebuah kesimpulan dangkal dan tergesa-gesa, karena dengan menggabungkan beberapa premis dapat menjelaskan indikasi logis mukjizat atas kebenaran klaim kenabian pembawanya:

a) Allah Swt maha bijak, sementara tindakan yang tidak sesuai dengan tujuan adalah sebuah hal yang tidak mungkin dilakukan oleh zat yang maha bijak;

b) Tujuan Allah Swt menciptakan manusia adalah supaya mereka memperoleh petunjuk dan kebahagiaan;

c) Pengadaan mukjizat oleh seseorang menyebabkan banyak manusia mengikutinya. Oleh karena itu, apabila nabi palsu mampu mendatangkan mukjizat, maka banyak orang akan tersesat dari jalan lurus dan terhalang dari kebahagiaan hakiki;

d) Apabila Allah Swt menganugerahi kemampuan mendatangkan mukjizat kepada para pengklaim kenabian palsu, maka hal itu akan menyebabkan kesesatan dan kesengsaraan manusia, dan ini bertentangan dengan tujuan Allah Swt menciptakan mereka dan oleh karena Allah Swt maha bijak sementara hal yang bertentangan dengan tujuan tidak mungkin dilakukan, maka kemampuan seperti ini tidak mungkin diberikan kepada pengklaim kenabian palsu. Oleh karena itu, kebijakan Allah Swt berkonsekuensi mencegah penampakan mukjizat melalui tangan seorang yang mengklaim kenabian dengan bohong.

Dengan demikian, jelas bahwa terjadinya mukjizat berindikasi final dan logis atas kenabian pembawanya, karena apabila dia seorang nabi palsu, maka tidak mungkin mampu mendatangkan mukjizat. Dengan mengaplikasikan kaidah universal ini terhadap kasus-kasus tertentu, kenabian seseorang yang menyertakan klaimnya dengan mukjizat dapat dibuktikan dengan argumen final rasional.[19]

Sebagai contoh, kita anggap saja dalam istana seorang raja yang sangat bijak, seseorang berdiri di hadapan para hadirin dan mengklaim bahwa ia adalah wakil khusus raja untuk rakyat dan ketika hadirin meminta argumen dan bukti, ia mengatakan: Buktinya adalah bahwa sang raja sekarang berbeda dengan kebiasaan sebelumnya, berdiri tiga kali dari singgasananya dan duduk dua kali. Sang raja yang mendengar ucapan tersebut spontan melakukan hal itu. Sangat nyata bahwa perbuatan raja ini akan menjadi bukti konkrit atas kebenaran dan kesungguhan klaim orang tersebut.

Dengan demikian, jelas sekali bahwa meskipun terjadinya mukjizat itu sendiri sebagai sebuah kejadian eksternal dan nyata, tidak memiliki indikasi secara langsung atas kebenaran klaim nabi, akan tetapi dengan menggabungkan beberapa premis lain, akan membentuk bukti final atas hal tersebut.

Mukjizat dan Ke-mutawatir-an

Apabila seseorang menyaksikan mukjizat yang dibawa oleh seorang pengklaim kenabian, dengan terpenuhinya syarat-syarat di atas, maka ia akan meyakini dan membenarkan kebenarannya dan melalui cara ini, Allah Swt juga menyempurnakan hujjah-Nya. Adapun orang-orang yang tidak menyaksikan mukjizat secara langsung, bagaimana dapat memperoleh keyakinan akan kebenaran pembawanya?

Untuk menjawab pertanyaan ini dikatakan bahwa terjadinya mukjizat untuk orang-orang yang hadir di tempat dapat dibuktikan melalui kesaksian inderawi dan untuk orang-orang yang tidak berada di tempat dengan cara ke-mutawatir-an. Maksud dari ke-mutawatir-an adalah sekelompok orang menukilkan terjadinya mukjizat kepada orang lain dan persyaratan kuantitas (jumlah para penukil) dan kualitas (kejelian dan pengetahuan mereka) dalam nukilan ini mendorong orang untuk meyakini terjadinya mukjizat dan tidak ada keraguan sedikit pun mengenainya.[20]

Oleh karena itu, metode mengetahui mukjizat bagi orang-orang yang tidak menyaksikannya secara langsung tidak tertutup, akan tetapi keyakinan terhadap hal itu dapat diperoleh melalui penukilan mutawatir dari kejadian mukjizat.

Tentu saja mungkin sekelompok orang dari umat seorang nabi tidak dapat menyaksikan mukjizatnya baik secara langsung tanpa perantara atau melalui berita mutawatir (serta mereka tidak berhasil mengenal kebenaran nabi dari cara-cara lain). Jelas bahwa kelompok ini terhalang untuk menerima seruan nabi tersebut, karena hujjah Ilahi belum sempurna bagi mereka (alasan mereka seperti ini dapat ditolerir).

Mukjizat dalam Al-Qur’an

Kata “mukjizat” dengan artian istilahnya tidak digunakan di dalam al-Qur’an dan sebagai gantinya menggunakan kata “aayah”, “bayyinah” atau “aayah bayyinah” dan “burhan”. Yang menarik adalah kata-kata ini di dalam al-Qur’an juga digunakan untuk arti-arti lain, akan tetapi salah satu artinya adalah mukjizat. Dengan memperhatikan arti dan makna bahasa kata-kata “aayah” (tanda), “bayyinah” (jelas) dan “burhan” (dalil konkrit), jelas bahwa menurut al-Qur’an, mukjizat-mukjizat para nabi merupakan tanda khusus dan dalil konkrit kedelegasian Ilahi mereka, yang apabila dilihat dengan kaca mata jauh dari fanatik dan melalui pencarian hakikat maka tidak ada alasan lagi untuk meragukannya:

“Hai kaumku, inilah unta betina dari Allah, sebagai mukjizat (yang menunjukkan kebenaran) untukmu”.[21]

“Sesungguhnya telah datang bukti yang nyata kepadamu dari Tuhammu. Unta betina Allah Ini menjadi tanda bagimu”.[22]

“Dan sesungguhnya Kami telah memberikan kepada Musa sembilan buah mukjizat yang nyata”.[23] [24]

“Dan lemparkanlah tongkatmu… Masukkanlah tanganmu ke leher bajumu,[25] niscaya ia keluar putih tidak bercacat bukan karena penyakitMaka yang demikian itu adalah dua mukjizat dari Tuhanmu (yang akan kamu hadapkan kepada Fir’aun dan pembesar-pembesarnya)”.[26]

Tampaknya dengan memilih hal-hal seperti di atas, al-Qur’an Karim menegaskan kriteria mukjizat yang membuktikan kebenaran klaim nabi-nabi Ilahi dengan jelas dan kesupranaturalan serta relasi khusus mereka dengan Allah Swt dan juga menjelaskan keunggulan lain mukjizat-mukjizat tersebut yaitu ketidakmampuan orang lain untuk mendatangkan seperti itu dengan metode lain. Akan tetapi para teolog dengan menggunakan kata-kata “i’jaaz” dan “mukjizah” lebih menekankan keistimewaan kedua.

Sikap Umat terhadap Mukjizat

Al-Qur’an menjelaskan bahwa setelah permulaan dakwah para nabi, umat meminta hujjah dan bukti atas kebenaran klaim mereka:

“Kamu tidak lain melainkan seorang manusia seperti kami; maka datangkanlah sesuatu mukjizat, jika kamu memang termasuk orang-orang yang benar”.[27]

Dan terkadang juga nabi-nabi sendiri lebih dahulu menyodorkan mujizat-mukjizat:

“Dan (sebagai) Rasul kepada Bani Israil (yang berkata kepada mereka): “Sesungguhnya aku telah datang kepadamu dengan membawa sesuatu tanda (mukjizat) dari Tuhanmu, yaitu aku membuat untuk kamu dari tanah berbentuk burung; kemudian aku meniupnya”.[28]

Adapun umat dalam menyikapi mukjizat nabi-nabi menunjukkan dua reaksi berbeda: Sekelompok orang yang mencari kebenaran, spontan beriman kepada nabi-nabi Ilahi dan berserah diri kepada risalah mereka. Kita dapat temukan contoh jelas perolehan hidayah kebenaran ini dalam kisah para tukang sihir yang melangkah dengan perintah Fir’aun untuk menjawab seruan tantangan nabi Musa As dan melawan mukjizatnya:

“Dan lemparkanlah apa yang ada ditangan kananmu, niscaya ia akan menelan apa yang mereka perbuat… Lalu tukang-tukang sihir itu tersungkur dengan bersujud, seraya berkata: “Kami telah percaya kepada Tuhan Harun dan Musa”.[29]

Akan tetapi orang-orang yang inad, congkak, dan lari dari kebenaran berusaha untuk tidak mengakui kebenaran para nabi. Al-Qur’an dengan tegas menjelaskan bahwa sebagian mereka tidak menyerah di hadapan ayat dan mukjizat apapun:

“Dan jikapun mereka melihat segala tanda (kebenaran), mereka tetap tidak mau beriman kepadanya”.[30]

Para penentang nabi-nabi Ilahi yang melihat diri mereka sendiri tidak mampu menghadapi mukjizat-mukjizat, melakukan tipu muslihat dan memperkenalkan mukjizat-mukjizat sebagai sejenis sihir:

“Mereka berkata: “Bagaimanapun kamu mendatangkan keterangan kepada kami untuk menyihir kami dengan keterangan itu, maka kami sekali-kali tidak akan beriman kepadamu”.[31]

Di dalam banyak ayat, al-Qur’an Karim menyinggung mukjizat-mukjizat para nabi: Perubahan api panas menjadi dingin untuk Nabi Ibrahim As,[32] sembilan mukjizat Nabi Musa As[33] di antaranya, tangan putih, perubahan tongkat kayu menjadi ular dan terbelahnya lautan,[34] menghidupkan orang-orang mati dan menyembuhkan para penderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan melalui tangan Nabi Isa As[35] serta pemaparan al-Qur’an oleh Nabi Muhammad Saw adalah contoh-contoh dari mukjizat-mukjizat luar biasa yang diberitakan oleh al-Qur’an Karim. Indikasi ayat-ayat ini atas terjadinya mukjizat-mukjizat sebagai kejadian-kejadian luar biasa dan tanda-tanda kebenaran para nabi sedemikian jelas sehingga tidak tersisa lagi tempat untuk meragukan atau menakwilnya.

Berbagai macam Mukjizat

Poin lain yang dapat disimpulkan dari ayat-ayat al-Qur’an adalah mukjizat-mukjizat seluruh nabi bukan berasal dari satu kategori, akan tetapi sebagian nabi memiliki mukjizat-mukjizat tertentu. Berdasarkan sebuah pendapat masyhur, sebab utama keberagaman dan perbedaan ini adalah menjaga kriteria-kriteria kultural dan sosial sebuah umat yang nabi di utus kepada mereka. Dari sini, kita dapat saksikan bahwa dengan tersebarnya ilmu sihir pada masa Nabi Musa As, mukjizat-mukjizat beliau sepintas lalu menyerupai sihir para penyihir, dengan maksud: pertama, menarik atensi umat dengan mudah ke arahnya dan kedua, dengan mengalahkan ilmu sihir para tukang sihir, kebenarannya akan tampak lebih jelas. Kaidah ini juga berlaku bagi kesesuaian mukjizat-mukjizat Nabi Isa As dengan perkembangan ilmu kedokteran pada masa itu dan kesesuaian mukjizat bahasa dan sastra al-Qur’an dengan kemajuan sastra-sastra, syair dan penyair pada masa Nabi Muhammad Saw.

Mukjizat dalam Riwayat-riwayat Islam

Berbeda dengan al-Qur’an, kata-kata mukjizat banyak disebut dalam sebagian riwayat. Sebagai contoh, seseorang bertanya kepada Imam Shadiq As: “Kenapa Allah Swt memberikan mukjizat kepada para nabi, rasul-Nya dan kepada kalian?” Imam Shadiq As menjawab: “Supaya menjadi bukti atas kebenaran pembawanya dan mukjizat adalah sebuah tanda bagi Allah Swt yang tidak diberikan kecuali kepada para nabi, rasul dan hujjah (washi atau penerus nabi-Nya) agar kebenaran (klaim) orang yang benar dan kebohongan (klaim) orang yang bohong dapat diketahui.[36]

Dari zahir pertanyaan penanya dan jawaban Imam Shadiq As jelas bahwa mukjizat dapat digunakan dalam artian lebih umum sehingga dalam artian ini, di samping mukjizat-mukjizat para nabi, juga mencakup karamah-karamah para washi nabi-nabi dan para imam maksum As, yang disertai dengan seruan tantangan dan klaim kewashian dan keimamahan. [www.wisdoms4all.com/ind ]


[1] Sebagai contoh, Muhakkik Lahiji berkata: “Ketahuilah bahwa metode mengenal kebenaran klaim kenabian adalah terbatas dalam pemaparan mukjizat.” (Muhakkik Lahiji, Sarmaye-ye Iman, hal 93) selanjutnya beliau menyodorkan argumentasi keterbatasan pembuktian klaim kenabian pada mukjizat (Ibid, hal 96). Demikian juga secara lahir ungkapan-ungkapan para teolog yang hanya cukup menyebutkan mukjizat dalam pembahasan ini dan tidak menyinggung metode lain, adalah meyakini metode mengenal para nabi terbatas pada mukjizat.

[2], ة dalam kata معجزة berfungsi untuk perpindahan dari makna sifat kepada makna kata benda seperti ة dalam “حقیقة” atau untuk mubalaghah (melebih-lebihkan dan membesar-besarkan sesuatu) seperti “علامة”: Taftazani, Syarh Al-Maqashid, jilid 5, hal 11.

[3], “Mukjizat adalah sebuah hal luar biasa disertai seruan tantangan dan tidak ada yang dapat menandinginya” (Allamah Hilli, Manahij Al-Yaqin Fi Ushul Ad-Din, hal 263). “Mukjizat adalah mendatangkan sebuah hal luar biasa sesuai dengan klaim disertai seruan tantangan yang mana makhluk lain tidak dapat melakukan seperti hal tersebut dalam jenis atau sifatnya” (As-Suyuri, Irsyad Ath-Thalibin, hal 306. “Mukjizat adalah sebuah hal yang dimaksudkan untuk menampakkan kebenaran orang yang mengklaim bahwa dia utusan Allah” (Jurjani, Syarh Al-Mawaqif, jilid 8, hal 223).

[5]. Oleh karena itulah terkadang mukjizat disebut “mustahil menurut kebiasaan”

[6]. Taftazani, Syarh Al-Maqashid, jilid 5, hal 12.

[7]. Jurjani, Syarh Al-Mawaqif, jilid 8, hal 224.

[8]. Di dalam sejarah disebutkan bahwa Musailamah Kadzab telah mengklaim diri sebagai nabi dan mengaku mukjizatnya adalah setelah meludah ke dalam sumur yang berisi air sedikit, maka air sumur tersebut akan bertambah banyak, akan tetapi setelah meludah ke dalamnya, sumur tersebut justru kering! Tentu saja sebagian teolog membahas seputar kemungkinan terjadinya kejadian seperti ini yang akan kita singgung di dalam kajian ini.

[9]. Jelas bahwa apabila syarat “seruan tantangan” kita anggap mencakup “orang lain tidak mampu menandinginya”, maka kita tidak lagi butuh menyebutkan syarat terakhir ini lagi.

[10]. Muhakkik Thusi dengan melihat kepada generalisasi ini, dalam devinisi mukjizat berkata: “Mukjizat adalah penetapan sebuah hal yang tidak biasa atau penafian hal yang biasa (Allamah Hilli, Kasyful Murad, hal 377).

[11]. Tambahan syarat dalam devinisi mukjizat ini membawa sebuah pertanyaan tentang mukjizat melalui khabar gaib, karena dalam hal-hal seperti ini terkadang mungkin apa yang diberitakan nabi tentang terjadinya sesuatu, akan terjadi beberapa lama setelah pemberitahuannya (misalnya nabi mengatakan bahwa 100 tahun lagi akan terjadi sebuah kejadian tertentu). Untuk menjawab pertanyaan seperti ini dikatakan bahwa dalam hal-hal seperti ini yang menjadi mukjizat adalah pemberitahuan nabi bukan terjadinya hal yang berkenaan dengannya dan apa yang akan terjadi pada masa datang adalah ilmu terhadap mukjizat bukan mukjizat itu sendiri: Jurjani, Syarh Al-Mawaqif, hal 227.

[12]. Yang akan kita jelaskan dalam pembahasan hari kebangkitan.

[13]. Sekelompok dari aliran Mu’tazilah memaparkan beberapa argumentasi ketidakmungkinan terjadinya karamah oleh para waliyullah. Untuk menelaah argumentasi-argumentasi mereka dan kritikannya silahkan lihat: Allamah Hilli, Kasyful Murad, hal 378 dan 379.

[14] QS. Ali ‘Imran (3): 37.

[15] Kata irhash berarti ta’sis (pengokohan pondasi) dan sebab penamaan hal-hal tersebut dengan irhash adalah karena hal-hal tersebut mendukung dalam pengokohan pondasi-pondasi kenabian seorang nabi. Sebagian teolog meyakini irhash sebagai semacam karamah; karena para nabi Ilahi sebelum bi’tsah (pengangkatan sebagai nabi) adalah termasuk wali-wali Allah. Untuk penjelasan lebihnya berkenaan dengan karamah dan irhash silahkan lihat: Taftazani, Syarh Al-Maqashid, hal 13.

[16]. Berdasarkan pandangan-pandangan filsafat Islam yang dalam tentang hukum kausalitas, sebab-sebab material dan alami bukanlah “sebab sempurna”; akan tetapi sebagai “sebab-sebab pembantu” yang tidak ada argumen untuk membatasinya; artinya sebuah fenomena mungkin memiliki sebab-sebab pembantu pengganti yang saling menggantikan kedudukan masing-masing. Untuk menelaah lebih banyak tentang penjelasan filosofis kesesuaian terjadinya mukjizat-mukjizat dengan hukum kausalitas, silahkan lihat: Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Rahnema Syenasi, hal 217-225.

[17]. QS. Al-Ma’idah (5): 110.

[18]. Untuk menelaah penjelasan terperinci pembahasan ini silahkan lihat: Ja’far Subhani, Al-Ilahiyyat ‘Ala Huda Al-Kitab Wa As-Sunnah Wa Al-‘Aql, jilid 3, hal 75-81. Layak untuk diingat bahwa dalam sebagian mukjizat seperti turunnya Al-Qur’an, Nabi Saw tidak memiliki peran subyektif sama sekali dan beliau Saw hanya menerima mukjizat saja.

[19]. Aplikasi ini dapat diformat dalam formasi sebuah deduksi logis berikut ini:

- Orang ini membawa mukjizat (premis pertama)

- Setiap orang yang membawa mukjizat adalah benar dalam klaim kenabiannya (premis kedua)

Dengan demikian, orang ini adalah benar dalam klaim kenabian (konklusi).

[20]. Banyak sekali pengetahuan-pengetahuan pasti dan yakin kita bersumber dari jalan kemutawatiran ini. Contoh terkenal dari pengetahuan seperti ini adalah pengetahuan kita terhadap keberadaan kota-kota dan negara-negara yang belum pernah kita lihat dan kunjungi, akan tetapi berdasarkan kesaksian banyak orang yang memberitakan keberadaan tempat-tempat tersebut secara mutawatir, maka kita memastikan dan meyakini keberadaannya. Dalam pembahasan-pembahasan ilmu ushul dikatakan bahwa “berita mutawatir” membawa keyakinan dan tidak ada seorang pun yang meragukan hujjiahnya (bukti kebenaran).

[21]. Q.S. Huud (11): 64.

[22]. Q.S. al-A’raaf (7): 73.

[23]. Q.s. al-Israa’ (17): 101.

[24]. Mukjizat yang sembilan itu ialah: tongkat, tangan, belalang, kutu, katak, darah, topan, laut, dan bukit Thur.

[25]. Maksudnya: meletakkan tangan ke dada leher baju.

[26]. Q.S. al-Qashash (28): 31 dan 32.

[27]. Q.S. asy-Syu’araa’ (26): 154.

[28]. Q.S. Ali ‘Imran (3): 49.

[29]. Q.S. Thâhâ (20): 69 dan 70.

[30]. Q.S. al-An’am (6): 25.

[31]. Q.S. al-A’raaf (7): 132.

[32]. “Kami berfirman: “Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim”. Q.S. al-Anbiyaa’ (21): 69.

[33]. “Dan sesungguhnya kami telah memberikan kepada Musa sembilan buah mukjizat yang nyata” Q.S. al-Israa’ (17): 101, “Maka kami kirimkan kepada mereka taufan, belalang, kutu, katak dan darah sebagai bukti yang jelas”. Q.S. al-A’raaf (7): 133.

[34]. “Lalu kami wahyukan kepada Musa: “Pukullah lautan itu dengan tongkatmu”. Maka terbelahlah lautan itu”. Q.S. asy-Syu’araa’ (26): 63.

[35]. “Dan aku menyembuhkan orang yang buta sejak dari lahirnya dan orang yang berpenyakit sopak; dan aku menghidupkan orang mati dengan seizin Allah”. Q.S. Ali ‘Imran (3): 49.

[36]. Majlisi, Biharul Anwar, jilid 11, hal 71, hadis 2.