RTCCTV-Live kuliah-Prerecording majlis-

Saturday, April 19, 2008

Sejarah buku tahrir wasilah Imam Khomeini q.s

Ditulis oleh Saleh Lapadi di/pada Maret 20, 2007

imam-khomeini.jpg

Mengenal Buku Tahrir Wasilah Imam Khomeini

Saleh Lapadi

Salah satu karya fikih yang ditinggalkan oleh Imam Khomeini adalah buku Tahrir Wasilah. Buku fikih yang memuat sekumpulan fatwa fikih paling lengkap Imam Khomeini. Kedalaman dan keluasan pembahasan buku ini, berikut kekokohan argumentasinya sekaligus menepis fatwa-fatwa ulama sebelumnya yang tidak memperbolehkan mengikuti fatwa seorang mujtahid yang telah meninggal dunia. Sebagian besar pendapat dan fatwa Imam Khomeini dalam buku Tahrir Wasilah sampai saat ini adalah pendapat puncak dan diakui oleh sebagian besar para mujtahid yang nota bene adalah murid-muridnya. Oleh karenanya, sebagian dari para mujtahid yang ada saat ini masih memperbolehkan para mukallidnya (mereka yang bertaklid), yang sebelumnya, bertaklid kepada Imam Khomeini untuk mengamalkan buku Tahrir Wasilah. Sementara untuk fatwa yang berbeda dan masalah baru yang tidak terdapat dalam buku Tahrir maka harus mengikuti pendapat mereka.[1]

Sebelum mengenal lebih jauh tentang buku Tahrir Wasilah karangan Imam Khomeini ada baiknya mengenal beberapa karya fikih beliau yang ditulis sebagai buku fatwa. Buku fikih fatwa paling awal yang ditulis oleh Imam Khomeini merupakan komentar beliau terhadap buku karangan Ayatullah al-Uzhma Sayyid Abu al-Hasan Isfahani (1284-1365 H-Q) yang berjudul Wasilah an-Najah (Pengantar Keselamatan). Buku ini beliau tulis beberapa tahun sebelum meninggalnya Ayatullah Burujerdi dan dicetak dengan judul “Wasilah an-Najah Ma’a Ta’aliq al-Imam al-Khomeini”, Ayatullah Burujerdi semasa hidupnya adalah mujtahid Syi’ah terbesar. Komentar-komentar beliau terhadap buku Wasilah an-Najah inilah yang nantinya menjadi cikal bakal terbentuknya buku Tahrir Wasilah. Disebutkan bahwa ada beberapa perbedaan fatwa beliau yang ditulis dalam komentarnya terhadap Wasilah an-Najah dan buku Tahrir Wasilah. Namun masalah ini tidak sulit karena penulisan buku komentar terhadap Wasilah an-Najah lebih dahulu maka tentunya yang dikedepankan adalah pendapat beliau dalam buku Tahrir Wasilah.

Selain mengomentari buku Wasilah an-Najah karya Sayyid Abu al-Hasan al-Isfahani, beliau juga mengomentari buku al-‘Urwah al-Wutsqa karangan Ayatullah Sayyid Muhammad Kazhim al-Yazdi (1247-1337 H-Q). Buku al-‘Urwah al-Wutsqa adalah buku argumentasi fikih Syi’ah yang ditulis dengan baik dan tercatat sebagai salah satu buku yang memuat cabang-cabang masalah fikih dengan komplit pada masanya. Sayyid Yazdi sendiri setelah menulis buku tersebut mengumumkan sayembara kepada murid-muridnya dan berjanji memberikan hadiah bila menemukan kekurangan dalam hal ini.

Sebagai sebuah perbandingan, sekalipun buku Tahrir Wasilah cukup komplit membahas masalah-masalah kontemporer dan perincian masalahnya lebih banyak, namun masih kalah kelengkapan penjelasan untuk seluruh cabang masalah fikih dibanding buku al-‘Urwah al-Wutsqa. Oleh karenanya, untuk melihat pikiran-pikiran Imam Khomeini secara utuh dalam masalah fikih hendaknya melakukan perujukan kepada buku ini. Komentar Imam Khomeini terhadap buku al-‘Urwah al-Wutsqa dicetak dengan judul “Al-‘Urwah al-Wutsqa Ma’a Ta’aliq al-Imam Khomeini”.

Buku-buku yang memuat fatwa-fatwa Imam Khomeini di atas ditulis dalam bahasa Arab sebagaimana buku Tahrir Wasilah. Imam Memiliki buku fatwa dalam bahasa Persi. Buku pertama beliau dalam bahasa Persi adalah “Resale-e Nejatul Ebad” (Risalah untuk keselamatan hamba). Buku ini dikumpulkan pada awal-awal beliau menjadi marja’ dan Ayatullah Burujerdi masih hidup. Buku ini sebagian besar adalah terjemahan Wasilah an-Najah dan pada bagian-bagian tertentu adalah terjemahan al-“Urwah al-Wutsqa yang beliau komentari. Namun tentu saja dalam penyusunan ini dituntun langsung oleh beliau secara lisan. Setelah meninggalnya Ayatullah Burujerdi dan kemudian dicetaknya Risalah Taudhih al-Masail kumpulan buku fatwa Imam, buku Resale-e Najatul Ebad kemudian menjadi terlupakan.

Buku fikih paling anyar dari Imam Khomeini adalah Risalah Taudhih al-Masail. Buku ini disusun dan kemudian diedit oleh mereka yang berada khusus menangani masalah fatwa Imam Khomeini. Setelah itu mereka mengirimkan surat kepada Imam Khomeini untuk mendapatkan persetujuan beliau bahwa apa yang tertulis dalam buku ini sesuai dengan fatwa beliau. Buku ini mendapat perhatian besar sehingga berkali-kali diterbitkan ulang, ditambah lagi dengan permasalahan-permasalahan baru yang ditanyakan kepada Imam Khomeini.

Proses penulisan buku Tahrir Wasilah

Buku Tahrir Wasilah pada hakikatnya hasil kerja tiga orang ulama besar Syi’ah. Mereka itu adalah Ayatullah Sayyid Muhammad Kazhim Yazdi, Ayatullah Sayyid Abu al-Hasan Isfahani dan Ayatullah Sayyid Ruhullah Khomeini. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, Imam Khomeini menuliskan komentar terhadap buku Wasilah an-Najah milik Sayyid Abu al-Hasan Isfahani dan dalam penulisan buku Tahrir Wasilah, komentar-komentar beliau itu dijadikan matan dan teks yang berdiri sendiri dari buku Wasilah an-Najah. Lalu kemudian beliau menambahkan masalah-masalah lain yang terinspirasi oleh buku al-‘Urwah al-Wutsqa milik Sayyid Kazhim Yazdi dan selain itu, beliau menambahkan masalah-masalah kontemporer.

Bahwa buku Tahrir Wasilah adalah hasil kerja keras tiga ulama besar di atas sangat beralasan sekali. Hal itu dikarenakan dalam penulisan buku Tahrir Wasilah sumber yang dijadikan rujukan Imam Khomeini hanya tiga buah buku; Wasilah an-Najah, al-‘Urwah al-Wutsqa dan Wasail Syi’ah. Dan buku Tahrir Wasilah ditulis dalam penjara di kota Bursa Turki dengan tidak diberi kesempatan untuk dapat mengakses keluar.

Untuk mengenal lebih dekat bagaimana proses penulisan tersebut ada baiknya bila kita membaca sendiri dari tulisan Imam Khomeini dalam pembukaan buku Tahrir Wasilah. Beliau menyebutkan:

“Sebelumnya aku telah memberikan komentar terhadap buku Wasilah an-Najah miliki Sayyid al-Hujjah Isfahani. Pada akhir bulan Jumadil Tsani tahun 1384 H-Q (bertepatan dengan tanggal 13 Aban 1343 H-S), saya diasingkan dari kota Qom ke kota pelabuhan Boursa di Turki karena peristiwa yang sangat berat dan memilukan yang menimpa Islam dan kaum muslimin, dan saya yakin bahwa sejarah pasti mencata hal itu. Di sana, saya diawasi dengan sangat ketat. Dan karena masih ada waktu lenggang saya kemudian memutuskan untuk menjadikan komentar-komentar saya terhadap buku Wasilah an-Najah sebagai teks dan buku sehingga lebih mudah dan lebih bermanfaat. Dan bila Allah memberikan taufik, akan saya tambahkan masalah-masalah yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari.”[2]

1. Buku Tahrir Wasilah oleh Imam Khomeini ditulis dalam dua jilid dengan perincian:

Jilid pertama dibagi dalam 7 kitab; ahkam taklid, taharah, salat, puasa, zakat, khumus, dan mukaddimah haji.

2. Jilid kedua dibagi dalam 26 kitab; ar-rahn, al-hajr, ad-dhaman, al-hiwalah wa al-kifalah, al-wikalah, al-iqrar, al-hibah, al-waqf wa akhawatuh, al-washiyah, al-iman wa an-nudzur, al-kaffarat, as-shaid wa az-dzibahah, al-ath’imah wa al-asyribah, al-ghashb, ihya al-mawat wa musytarakat, al-luqathah, an-nikah, at-thalaq, al-khulu’ wa al-mubarat, az-zhihar, al-ila’, al-li’an, al-mawarits, al-qadha, as-syahadat, al-hudud,

Terjemah Tahrir Wasilah

Mengingat buku Tahrir Wasilah oleh Imam Khomeini ditulis dalam bahasa Arab, maka tentu saja tidak dapat diakses dengan mudah oleh mereka yang tidak mengethaui bahasa Arab, sayangnya sampai saat ini belum ada terjemahan lengkap buku ini ke dalam bahasa Indonesia. Oleh karenanya, buku Tahrir Wasilah ini diterjemahkan dalam bahasa Persi. Di sini penulis hanya menyertakan dua terjemahan komplit dari Tahrir Wasilah ke dalam bahasa Persi disertai matan Tahrir Wasilah itu sendiri dan sebuah terjemahan bahasa Urdu.

1. Tahrir Wasilah terjemahan Sayyid Muhammad Baqir Musawi Hamadani dalam empat jilid. Terjemahan ini diterbitkan oleh penerbit Dar al-‘Ilm, Qom pada tahun 1375 H-S.

2. Tahrir Wasilah terjemahan Ali Islami dan Qadhi Zadeh dibawah pengawasan Muhammad Mukmin Qummi dan Sayyid Hasan Taheri Khurram Abadi dalam empat jilid. Terjemahan ini diterbitkan oleh Daftar penerbitan Islami Hauzah ilmiyah Qom.

3. Terjemahan Tahrir Wasilah ke bahasa Urdu dipimpin langsung oleh Deputi Urusan Internasional Yayasan Tanzhim dan Nasyr karya-karya Imam Khomeini. Terjemahan ini dalam empat jilid dan salah satu kelebihan terjemahan Urdu ini adalah dari setiap satu halaman terjemahan Urdu disertai dengan satu halaman matan asli.

Ringkasan Tahrir Wasilah

Dua jilid buku Tahrir Wasilah terasa terlalu memberatkan dan kemudian menjadi tidak praktis, apa lagi tidak semua pembahasan yang ada di dalamnya tidak terpakai. Terlebih lagi untuk memenuhi kebutuhan buku fikih bercorak fatwa pada tingkat permulaan. Untuk memenuhi kebutuhan ini dilakukan peringkasan terhadap buku Tahrir Wasilah ini. Untuk ringkasan Tahrir Wasilah ini juga ditulis dalam bahasa Arab. Ada dua buku sebagai ringkasan Tahrir Wasilah:

1. Zubdah al-Ahkam. Buku ini diterbitkan oleh Sazman Tabligate Eslami (semacam badan penerangan), di Tehran pada tahun 1404 H-Q dalam 273 halaman.

2. Ma’rifah Abwab al-Fiqih. Buku ini diterbitkan oleh Markaze Jahani Ulume Islami untuk memenuhi kurikulum fikih praktis di tingkat permulaan. Buku ini diterbitkan pertama kali pada tahun 1377 H-S dalam 223 halaman. Komentar terhadap Tahrir Wasilah

Setelah Imam Khomeini menuliskan buku Tahrir Wasilahnya dan kemudian mendapat sambutan hangat dari ulama Syi’ah, sebagian ulama kemudian memutuskan untuk memberikan komentar terhadap buku ini. Ditambah lagi sebagian mujtahid mengambil langkah berani dengan menjadikannya sebagai nara sumber untuk kajian fikih tingkat akhir (bahts karij) mereka, setelah lama memakai buku Makasib milik Syaikh Anshari sebagai pedoman.

Di bawah ini beberapa komentar terhadap buku Tahrir Wasilah dari ulama kontemporer Syi’ah”

1. Komentar dari Ayatullah Fadhil Langkarani.

2. Komentar dari Ayatullah Makarim Syirazi.

3. Komentar dari Ayatullah Alawi Gurgani.

4. Komentar dari Ayatullah Yusuf Shane’i.

5. Komentar dari Ayatullah Abu Thalib Tajlil Tabrizi.

6. Komentar dari Ayatullah Misykini Ardebili.

Syarah terhadap Tahrir Wasilah

Imam Khomeini dalam Shahifah Nur menyebutkan:

“Ruang dan waktu adalah elemen penentu dalam berijtihad. Sebuah masalah pada masa lalu memiliki hukumnya tersendiri. Namun tampaknya, masalah yang sama, dengan kondisi berbeda yang menguasai sebuah sistem pemerintahan baik dari sisi politik, sosial, dan ekonomi memungkinkan munculnya sebuah hukum yang baru. Munculnya sebuah hukum yang baru tersebut dengan makna bahwa pengenalan yang lebih detil terhadap hubungan-hubungan ekonomi, sosial dan politik pada sebuah obyek yang pada mulanya tampak tidak berbeda dengan obyek sebelumnya, ternyata benar-benar melahirkan sebuah obyek hukum yang baru dan lain dengan sebelumnya yang pada gilirannya menuntut sebuah hukum yang baru.”[3]

Konsep ijtihad dalam ruang dan waktu ini sangat mempengaruhi hasil dari penyimpulan hukum seorang mujtahid. Hal inilah yang membuat fatwa-fatwa Imam Khomeini menjadi memiliki corak tersendiri dalam khazanah pemikiran ulama Syi’ah. Dan konsep ini kemudian mulai dikaji lebih dalam oleh ulama sepeninggalnya. Oleh karena itu, buku Tahrir Wasilah menjadi sangat penting bagi ulama saat ini. Untuk itu ditulis berjilid-jilid syarah terhadap buku Tahrir Wasilah ini. Bahkan, lebih dari itu, mereka yang mensyarahi buku Tahrir Wasilah kemudian melakukan penelitian lebih jauh dengan mencoba menyingkap argumentasi dan sumber-sumber yang dipakai oleh Imam Khomeini sehingga sampai pada kesimpulan yang tertulis dalam buku Tahrirnya.

Untuk itu penulis membawakan sejumlah syarah yang ditulis menjelaskan lebih jauh buku Tahrir Wasilah ini. Tentunya, mengkaji syarah-syarah yang ada akan lebih memperkaya cara pandang kita terhadap ide-ide dan corak pemikiran Imam Khomeini.

1. Tafshil as-Syari’ah. Judul lengkap buku ini adalah Tafshil as-Syari’ah Fi Syarhi Tahrir al-Wasilah. Ini adalah syarah paling terperinci dan paling lengkap tentang Tahrir Wasilah Imam Khomeini. Syarah ini ditulis oleh Ayatullah Fadhil Langkarani salah satu murid Imam Khomeini. Bahkan jilid-jilid pertama dari syarah ini ditulis sebelum revolusi Iran ketika Imam diasingkan setelah dari Turki. Sampai pada penulisan makalah ini, syarah yang ditulis oleh Ayatullah Fadhil Langkarani ini telah dicetak sebanyak 20 jilid. Dan penulisan syarah ini masih dilanjutkan.

2. Madarik Tahrir Wasilah. Syarah ini ditulis oleh Ayatullah Murtadha Bani Fadhl Tabrizi. Pada awalnya, syarah ini hasil kuliah-kuliah yang beliau sampaikan. Kelebihan syarah ini dibandingkan dengan yang lainnya pada penukilan ayat-ayat al-Quran, hadis-hadis dan ijma’ yang menjadi sandaran Imam Khomeini. Karena itulah syarah ini disebut Madarik Tahrir wasilah (sumber-sumber fatwa dalam Tahrir Wasilah). Sampai saat ini, sayarh ini hanya menjelaskan tiga kitab; puasa, salat (dalam tiga jilid) dan zakat dan khumus.

3. Mabani Tahrir Wasilah. Syarah ini ditulis oleh Ayatullah Muhamamd Mukmin Qummi. Syarah ini juga merupakan hasil dari kuliah-kuliah yang disampaikan oleh beliau dari Tahrir Wasilah dalam masalah; kitab al-qadha dan kitab as-syahadah dalam sebuah jilid dan jilid keduanya terkait dengan kitab al-hudud.

4. Mustanad Tahrir Wasilah. Syarah ini ditulis oleh anak Imam Khomeini yang bernama Mushthafa Khomeini dalam dua jilid. Dalam dua jilid ini beliau mensyarahi beberap bagian dari kajian Tahrir Wasilah seperti; taharah, salat, makasib wa matajir, puasa, bai’ (jual beli), khiyarat dan nikah. Kelebihan syarah ini dibandingkan dengan syarah-syarah yang lain selain penelitian yang dalam dan ketelitian yang lebih ada pada pengeditan dan penyempurnaan yang dilakukan oleh Imam sendiri. Dan itu ketika Sayyid Musthafa menanyakan sebagian masalah yang ada pada buku Tahrir Wasilah kepada Imam Khomeini sang ayah.

5. Mustanad Tahrir Wasilah. Syarah ini namanya mirip dengan syarah yang ditulis oleh Sayyid Musthafa Khomeini namun ini ditulis oleh Ayatullah Syaikh Ahmad Muthahhari Saveji dalam delapan jilid. Lebih dari dua puluh tahun beliau memberikan perhatian terhadap buku Tahrir Wasilah masa di mana pada masa itu masih langka ulama yang melakukan itu. Beliau mensyarahi beberapa bagian dari masalah dalam Tahrir Wasilah. Sayangnya, karena buku ini dicetak masa itu tidak memiliki indeks yang baik bahkan tanpa ada pengantar dari sang penulis. Sebagian dari buku ini ditulis sendiri oleh penulis dan sebagian lainnya diterjemahkan ke dalam bahasa Persi oleh orang lain.

1. Fiqh as-Tsaqalain. Syarah ini ditulis oleh Ayatullah Yusuf Shane’i dalam dua jilid. Sebagaimana syarah Tahrir Wasilah yang lain, buku ini adalah hasil kuliah fikih tingkat akhir (bahts kharij). Dua jilid dari syarah beliau ini menyangkut kitab thalaq dan kitab qishas. Buku ini ditulis oleh salah seorang mahasiswanya. Kelebihan syarah ini dibandingkan dengan lainnya adalah selain buku ini hasil kuliah yang dikaji bersama mahasiswanya, hasil tulisan dari salah seorang mahasiswanya kemudian diteliti lagi oleh beliau secara langsung sebelum naik cetak.

2. Anwar al-Faqahah. Syarah ini ditulis oleh Ayatullah Syaikh makarim Syirazi. Ayatullah Makarim dalam pengantarnya menyebutkan alasannya mengapa beliau memilih mensyarahi buku Tahrir Wasilah. Pertama, karena matan asli buku Tahrir adalah Wasilah an-Najah. Kedua, mencakup kajian-kajian yang ditulis oleh Sayyid Yazdi dalam bukunya al-‘Urwah al-Wutsqa. Dan ketiga, dikarenakan buku Tahrir Wasilah membahas banyak hal yang dibutuhkan untuk masa kini sementara ulama yang lain kurang memperhatikan hal tersebut.

3. Mu’tamid Tahrir Wasilah. Buku ini ditulis oleh Syaikh Abbas Zhahiri Isfahani dalam satu jilid. Buku ini hanya mengambil satu bab dalam buku Tahrir Wasilah mengenai masalah-masalah kontemporer. Menurut penulis dalam pengantarnya, baru kali ini Imam menulis buku fatwanya dan disertai dengan bab khusus tentang masalah-masalah kontemporer membuat saya tertarik untuk mensyarahinya.

4. Misbah Syari’ah. Syarah ini ditulis oleh Syaikh Abdunnabi Namazi Bushehri dalam empat jilid. Keempat jilid tersebut merupakan syarah beberapa bagian dari buku Tahrir Wasilah. Jilid pertama mensyarahi bagian ijtihad dan taklid, jilid kedua membicarakan salat musafir sementara ketiga dan keempat menjelaskan panjang lebar tentang masalah khumus dan puasa.

5. Dalil Tahrir Wasilah. Syarah ini ditulis oleh Syaikh Ali Akbar Saifi Mazandarani dalam enam jilid. Masing-masing membicarakan tema-tema penting dalam buku Tahrir Wasilah seperti; wilayatul faqih, khumus, ahkam as-satr wa an-nazhar, as-shaid wa az-dzibahah dan ahkam al-usrah.

6. Syarh Tahrir Wasilah. Ayatullah Syaikh Ahmad Sibth as-Syaikh (1349-1416 H-Q) dalam satu jilid berusaha mensyarahi masalah taklid dan taharah. Beliau tidak sempat melanjutkan syarahnya terhadap buku Tahrir Wasilah karena keburu dijemput ajal. Kekeurangan syarah ini, sebagaimana buku-buku yang dicetak dahulu, tidak memiliki catatan kaki dan sumber rujukan.

7. Nur ad-Din al-Munir.[4] Pengarang buku ini adalah Sayyid Nuruddin Shariat Nadari Jazairi. Poin penting dari syarah ini adalah usaha penulis untuk melakukan kajian perbandingan dua tokoh besar dari ulama Syi’ah yaitu; Imam Khomeini dan Sayyid Khu’i. Dan studi komparasi keduanya dalam masalah ijtihad dan taklid dan beberapa tema-tema penting lainnya. Tentu studi perbandingan yang dilakukan tidak keluar dari usahanya ingin menyusus ensiklopedia fikih dan usul fikih.

Masih ada beberapa syarah lain yang ditulis oleh ulama kontemporer Syi’ah terkait dengan buku Tahrir Wasilah yang tidak disebutkan di sini. Dan tentu saja usaha untuk menggali pemikiran-pemikiran Imam Khomeini tidak akan berhenti dengan menukil beberapa syarah dan komentar yang ditulis mengenai Tahrir Wasilah.

Sumber rujukan:

1. Nashiruddin Anshari Qummi, Ketab shenasi Tahrir Wasilah, Ayeneh-e Pazhoohesh (Jurnal tiga bulanan Mirror of Research), vol 91, 1384.

2. Hasan Pouya, Ketab Shenasi Tahrir Wasilah, Qom, Muasasaeh Tanzim Va Nashre Asare Emam Khomeini, 1383.


[1] . Menurut hemat penyusun, sebenarnya fenomena ini memiliki beberapa alasan. Pertama, dituntut oleh sikap moral murid terhadap guru yang ada pada hauzah ilmiah hingga sekarang. Dan kedua, lebih pada alasan teknis agar tidak terjadi pengulangan yang tidak perlu. Dengan demikian, fatwa yang disampaikan oleh ulama tentang masalah taklid kepada seorang mujtahid yang telah meninggal sebenarnya pada substansinya tidak berbeda. Karena ketika disebutkan masih diperbolehkan mengikuti pendapat Imam Khomeini sebenarnya hal itu menunjukkan kesamaan pendapat mujtahid yang hidup dengan pendapat Imam Khomeini.

[2] . Imam Khomeini, Tahrir Wasilah, Najaf Asyraf, al-Adab, 1390 H-Q.

[3] . Khomeini,Sayyid Ruhullah Musawi, Shahifah Nur, Tehran, Soroush, 1369.

[4] . Dalam naskah yang lain judul buku ini adalah an-Nur al-Mubin Fi Syarh Tahrir al-Wasilah Wa Minhaj as-Shalihin. Lihat Hasan Pouya, Ketab Shenais Tahrir Wasilah, Qom.

Kecemerlangan Ibnu Rusyd dalam filsafat Paripatetik

Ditulis oleh Saleh Lapadi di/pada Februari 13, 2007

Kecemerlangan Ibnu Rusyd dalam filsafat Paripatetik

Ghulam Hossein Ebrahimi Dinani

Buku pemenang pertama festival buku Iran tahun yang ke 24, tahun ini (1385), dalam kategori filsafat Islam.

Di dunia Islam, filsafat telah melalui berbagai macam periode. Perjalanan filsafat Islam dimulai secara resmi di abad ke dua dan tiga Hijriyah, berbarengan dengan penerjemahan karya-karya pemikir Yunani. Sebelumnya, sekalipun kajian teologi cukup digandrungi, namun filsafat tidak memiliki posisi tersendiri. Filosof muslim pertama adalah Abu Ishaq al-Kindi (185-260 H).

Abu Nasr al-Farabi adalah filosof pertama yang mengonsep filsafat Islam. Al-Farabi selama hidupnya berusaha untuk mengharmoniskan ide-ide Plato dan Aristoteles. Ia sebagaimana mayoritas pemikir muslim lainnya, salah menganggap buku Otologia tulisan Plotinus sebagai milik Aristoteles. Itulah mengapa tanpa disadarinya ia terpengaruh Neo Platonisme. Farabi termasuk penggagas filsafat Paripatetik yang pada akhirnya berhadap-hadapan dengan filsafat-irfani Syaikh Maqtul Suhrawardi. Abu Ali Sina adalah salah satu filosof lain yang digabungkan pada aliran filsafat Paripatetik. Dengan kejeniusannya, iamenuangkan ide-idenya kedalam tulisan-tulisan filsafatnya. Ia juga berhasil mendidik muridnya Bahmaniyar menjadi salah satu pemikir berbakat dalam filsafat Paripatetik.

Masa keemasan filsafat Paripatetik berada di tangan Ibnu Sina. Ini membuat filsafat menjadi faktor penentu budaya dan penentu ilmu-ilmu yang lain. Dengan Ibnu Sina, para teolog dan arif menjadi tertantang. Para arif, yang menganggap argumentasi falsafi bak tongkat kayu yang rapuh, mulai kasak-kusuk untuk menjauhkan filsafat dari kaum muslimin. Mereka mengatakan bahwa jalan terdekat dan satu-satunya cara untuk mengenal al-Haq adalah dengan membersihkan hati dan ibadah. Filsafat hanya akan membuat orang jauh dari jalan yang sebenarnya.

Di sisi lain, para teolog juga tidak dapat menerima filsafat. Mereka berpendapat bahwa apa yang diungkapkan oleh para filosof muslim bertentangan dengan al-Quran dan Hadis, bahkan Islam menolak filsafat. Salah satu ahli teolog besar yang menetang keras filsafat adalah Abu Hamid al-Ghazali. Ghazali yang dipengaruhi oleh pemikiran tasawwuf menyebutkan bahwa dalam 20 pendapat Ibnu Sina bertentangan dengan Islam dan dalam tiga pandangannya telah sampai pada batas kafir. Tiga pandangan Ibnu Sina yang dianggap kafir oleh Ghazali adalah:

1. Keyakinan akan qidamnya alam.

2. Pengingkaran akan ilmu Allah atas obyek-obyek parsial dan kasuistik.

3. Pengingkaran terhadap hari kebangkitan manusia dengan jasad.

Setelah Ghazali, pemikir yang paling menentang filsafat adalah Fakhruddin ar-Razi. Ia meyakini bahwa ide-ide filsafat Paripatetik dan semua terjemahan pemikiran Yunani membuat agama menjadi kering. Penentangan terhadap filsafat dan pembakaran buku-buku filsafat membuat filsafat Islam mengalami kemunduran.

Sejarawan Barat dan mereka yang memandang filsafat Islam dengan kaca mata Barat, menganggap bahwa kemunduran filsafat Islam di belahan timur dunia Islam menjadikan filsafat secara umum telah musnah di kawasan itu. Sekalipun anggapan ini tidak benar sepenuhnya, namun dapat menunjukkan semangat penentangan terhadap filsafat. Hebatnya penentangan yang dilakukan oleh para arif dan teolog membuat tidak ada lagi filosof yang muncul dari kawasan timur dunia Islam.

Ketika filsafat mengalami kemunduran di kawasan timur, muncul beberapa filosof di kawasan Barat. Mereka adalah Ibnu Bajah, Ibnu Thufail dan Ibnu Rusyd. Ibnu Bajah mengkonsentrasikan ide-idenya untuk melawan tasawwuf. Ia menganggap tasawwuf sendiri sebagai hijab dan penutup manusia dari kebenaran. Kebalikan dari cara pandang urafa, Ibnu Bajah menganggap satu-satunya jalan untuk mengenal adalah filsafat. Karena filsafat tidak dicampuri oleh segala macam kelezatan fisik. Ia menambahkan bahwa kemungkinan inilah yang membuat para filosof diasingkan oleh masyarakat yang bodoh.

Setelah Ibnu Bajah, muncul Ibnu Thufail dengan kisah monumentalnya Hayyu bin Yaqzhan. Kisah itu membuatnya terkenal. Dalam cerita falsafinya itu ia berusaha untuk membuktikan bahwa manusia dengan akalnya dapat mengenal Allah. Kemampuan itu dapat diraih sekalipun tanpa bantuan wahyu dan Nabi. Cerita ini sangat mendapat perhatian Barat, sehingga mereka menerjemahkannya dalam berbagai bahasa. Semua peneliti mengetahui bahwa Daniel Defoe yang menciptakan tokoh Robinson Crusoe benar-benar dipengaruhi oleh ide Ibnu Thufail.

Sebegitu terkenalnya kedua pemikir ini, masih di bawah bayang-bayang Abul Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Rusyd (520-595 H). Hal itu karena pengaruh Ibnu Rusyd lebih kuat dari keduanya. Ibnu rusyd seperti tokoh-tokoh filsafat Paripatetik lainnya, senantiasa berusaha untuk mengharmoniskan antara filsafat dan agama. Selain itu, ia juga menulis buku “Tahafut at-Tahafut” untuk menjawab tulisan Ghazali “Tahafut al-Falasifah”. Dalam membela pemikiran filsafat, ia sampai pada kesimpulan bahwa hanya filosof saja yang mengetahui rahasia-rahasia al-Quran dan yang berhak untuk mentakwilkannya. Ibnu Rusyd menganggap bahwa kritikan Ghazali terhadap filsafat muncul karena Ibnu Sina tidak mampu menjelaskan filsafat sebagaimana yang dijelaskannya. Dengan itu, sebenarnya, bukan saja Ibnu Rusyd melakukan menjawab kritikan Ghazali tapi sekaligus mengkritik ibnu Sina.

Perbedaan ibnu Rusyd dengan farabi dan Ibnu Sina pada pengaruh ide-ide Neo Platonisme. Ia lebih sedikit dipengaruhi oleh ide Neo Platonisme. Ia menolak ide penciptaan dari tiada dan menetapkan keabadian materi. Ia menulis syarah buku-buku Aristoteles yang sampai saat ini masih dikaji oleh pengamat pikiran-pikiran Aristoteles. Begitulah William David Rush peniliti pikiran-pikiran Aristotels dalam buku-bukunya masih mempergunakan penjelasan Ibnu Rusyd. Dengan syarah-syarahnya atas buku Aristoteles pemikirannya banyak di kaji di Barat. Ernest Renan menganggapnya orang yang bebas. Sebelum menetapkan sebuah istilah ia adalah seorang yang bebas dalam berpikir. Pengaruh Ibnu Rusyd di Barat dapat juga dilacak lewat tulisan-tulisan pemikir Barat pada abad pertengahan yang menimbulkan semakin luasnya ide Rasionalisme di Barat. Ironisnya, pengaruhnya di Barat tidak sepadan dengan respon kaum muslimin di kawasan timur dunia Islam. Pengaruh tasawwuf yang cukup kuat membuat pikiran-pikiran filsafat Ibnu Rusyd tidak dikenal orang di sana.

Denga penjelasan yang lebih detil, pada periode ini perjalanan filsafat Islami ada ketaktertautan yang menganga. Di satu sisi, Ibnu Rusyd tidak dikenal oleh kaum muslimin dan di sisi lain, dengan meninggalnya ibnu Rusyd Barat menganggap filsafat islam telah tutup mata dan musnah. Akhirnya, filosof seperti Suhrawardi, Khajah Nashiruddin at-Thusi, Mir Damad dan Mulla Shadra tidak dikenal.

Buku “Kecemerlangan Ibnu Rusyd dalam filsafat Paripatetik” (Derakhshesh-e Ibnu Rusyd Dar Falsafe-ye Massha), merupakan buku dalam bahasa Parsi yang secara terperinci membahas ide-ide filsafat Ibnu Rusyd. Profesor Ghulam Hossein Ebrahimi Dinani, dengan pengalaman bertahun-tahun mengajar dan menulis berusaha untuk memperkenalkan kecemerlangan pemikiran Ibnu Rusyd yang tidak terlalu dikenal di dunia Islam. Ia menyebutkan:

“Ibnu Rusyd begitu terkenal di pusat-pusat penelitian dunia. Di antara filosof Iran ia tidak begitu dikenal. Bukan omong kosong bila ada yang mengatakan bahwa selama delapan abad setelah meninggalnya ibnu Rusyd, belum ada buku berbahasa Parsi yang ditulis menjelaskan pemikirannya. Inilah yang mendorong penulis untuk menulis buku ini. Penulis berusaha untuk membahas dan menganalisa pikiran-pikiran Ibnu Ruysd. Sekaligus sebagai buku pertama bahasa Parsi yang ditulis dalam rangka mengkaji secara terperinci pemikiran Ibnu Rusyd.”

Kecemerlangan Ibnu Rusyd dalam filsafat Paripatetik dimulai dengan kata pengantar yang cukup panjang. Karena di sana, dibahas juga tentang hubungan antara filsafat Islam dengan filsafat Yunani. Di akhir kata pengantar ini, Ibnu Rusyd diperkenalkan sebagai filosof yang mengikuti ide-ide Aristoteles dan membela pemikiran Yunani.

Dinani menganggap bahwa Kebanyakan filosof muslim, terutama Farabi dan Ibnu Sina, dalam mengkaji ide-ide Aristoteles tidak mengambil sikap pasif, namun aktif melakukan kritik. Dengan alasan ini, kedua filosof ini tidak murni menganut pikiran Aristoteles. Pikiran filsafat mereka dipengaruhi Plato, Neo Platonisme dan pikiran mereka sendiri yang muncul ketika mereka melakukan kritik terhadap pikiran Aristoteles. Atas dasar inilah, Ibnu Rusyd menganggap ibnu Sina telah keluar dari bingkai pemikiran Aristoteles. Ebrahimi Dinani meyakini kebenaran tuduhan Ibnu Rusyd terhadap ibnu Sina. Namun, itu tidak berarti kekurangan ibnu Sina, melainkan untuk menunjukkan kebebasan berpikir dari Ibnu Sina. Dan di situlah kelebihan ibnu Sina. Dengan melihat penilaian Ibnu Rusyd atas Ibnu Sina dapat diketahui bahwa ia benar-benar sebagai perwakilan pemikiran Aristoteles.

Bab pertama buku ini “Pengaruh pemikiran Ibnu Ruysd dan Ibnu Sina terhadap karya-karya filsafat Barat di abad pertengahan”. Dalam bab ini, Dinani membeberkan juga bagaimana Ibnu Ruysd dipengaruhi oleh ide-ide pemikir Islam sebelumnya. Selain itu, penulis juga menjelaskan pengaruh pemikiran Ibnu Rusyd selama empat abad dalam pemikiran Barat. Ia membawakan dialog antara pemikiran Ibnu Ruysd dengan para pendeta.

Karya ibnu Rusyd pertama kalinya diterjemahkan ke bahasa latin pada abad tiga belas. Bukunya diajarkan dan menjadi primadona di universitas-universitas Eropa. St. Aquinas pemikir paling terkenal di abad pertengahan yang dipengaruhi oleh ide-ide ibnu Rusyd. Di kalangan Yahudi yang terpengaruh pemikiran Ibnu Ruysd seperti; Musa bin Maimun, Yossef bin Yahuda dan pemikir-pemikir Yahudi Andalusia. Mereka menyebut Ibnu Rusyd sebagai semangat dan akal Aristoteles.

Bab kedua “Hakikat ganda atau dua hal yang dicerap dari hakikat yang satu”. Bab kedua ini membicarakan tentang substansi hakikat menurut pandangan Ibnu Rusyd. “Hakikat ganda” atau “hakikat muzdawij” merupakan pandangan khas milik Ibnu Rusyd. Pendapat ini sangat menarik perhatian pemikir-pemikir Barat. Yang dimaksud dengan ide hakikat ganda Ibnu Rusyd adalah “Memiliki arti bahwa Ibnu Rusyd ingin membedakan antara hakikat yang dibawa oleh agama dan hakikat yang dipahami oleh para filosof”. Setelah menukilkan dan menjelaskan teori hakikat ganda milik Rusyd, penulis kemudian melakukan analisa kritis terhadapnya. Yang paling menarik dalam bab ini adalah usaha penulis untuk menerapkan teori ini dalam berbagai disiplin ilmu; dimulai dari hubungan antara agama dan negara sampai masalah pluralisme agama. Pada akhir dari bab ini, Dinani menukil ibarat Ibnu Rusyd dan menganalisanya dan menyimpulkan bahwa sebenarnya ide Rusyd tidak bermakna ada dua hakikat tapi ada dua tingkatan hakikat; batin dan lahir. Mereka yang meyakini bahwa hakikat ada dua, dan bukan dua tingkatan, tidak tepat dalam memahami ibarat Ibnu Rusyd.

Bab ketiga “Musuh para teolog telah menggantikan mereka”. Pada bab ini, dapat ditemukan kajian Dinani tentang hubungan pemikiran keagamaan Ibnu Rusyd dan Ghazali. Di sini, penulis membawakan contoh-contoh pentakwilan dari Ibnu Rusyd. Setelah membawakan contoh-contoh itu, penulis kemudian melakukan analisa. Akhirnya, Dinani meyakini bahwa kritikan dan cibiran Ibnu Rusyd terhadap para teolog mencakup dirinya juga. Mengapa demikian? Dinani melihat bahwa Ibnu Rusyd dari sisi kefaqihan dan pemikirannya membuatnya lebih mirip ahli teolog.

Bab keempat membicarakan usaha Ibnu Rusyd untuk mengharmoniskan fiqih dan filsafat. Cara pandang ibnu Rusyd terhadap fiqih membawanya pada keyakinan akan terbukanya pintu ijtihad. Sayangnya, itu tidak diikuti dengan penjelasan yang lebih tentang substansi ijtihad dan bagaimana terbukanya pintu ijtihad itu.

Bab kelima “Tahafut at-Tahafut Ibnu Ruysd kritikan terhadap Ghazali ataukah kepada Ibnu Sina?”. Bab ini menganalisa dua buku masyhur Ghazali dan Ibnu Rusyd. Di sela-sela itu, penulis membawakan pemikiran Ibnu Sina. Bab ini sangat menarik, karena penulis secara terperinci dan luas mengkaji kehidupan dan aktivitas sosial Ibnu Rusyd dan Ibnu Sina. Informasi ini sangat menarik karena menyingkap banyak hubungan-hubungan yang selama ini tidak diperhatikan. Dan denganmembaca buku ini, semua itu dapat teraba dengan baik.

Bab keenam masih merupakan kelanjuta bahasan sebelumnya. Bab ini merupakan bagian paling sensasional. Karena membahas perbedaan antara Ibnu Rusyd dan Ibnu Sina. Perbedaan mendasar pada masalah paling prinsip “hubungan antara mahiyah dan wujud”. Penulis meyakini akan pentingnya masalah ini. Oleh karenanya, dengan sabar ia membahas masalah ini sejelas mungkin. Di akhir bab ini, penulis membawakan pandangan Ibnu Rusyd sambil juga membawakan pandangan pemikir-pemikir Islam dan kemudian menganalisanya.

Bab ketujuh “Ibnu Rusyd dan usaha menetapkan keberadaan Allah dengan dua dalil; Inayah dan Ikhtira’”. Cara menetapkan keberadaan Allah lewat argumentasi imkan dan wujub tidak diterima oleh Ibnu Rusyd. Untuk itu, ia menawarkan argumentasi lain. Pertama, argumentasi Inayah yang berlandaskan kesiapan dunia untuk manusia dan tersedianya segala sesuatu untuk mannusia di dunia. Kedua, argumentasi Ikhtira’, di mana manusia adalah mukhtara’ (yang dibuat/dicipatakan) perlu akan mukhtari’ (pencipta). Dalam bab ini, Dinani menganalisa pendapat ibnu Rusyd dengan membandingkannya dengan pendapat para filosof lainnya.

Bab kedelapan penulis membahas pengertian “Ghair Mutanahi bil Fi’l”. Apakah pengertian ini kontradiksi atau tidak, dikaji secara terperinci. Pengertian istilah ini merupakan kajian yang dibahas baik dalam filsafat Yunani dan Islam. Istilah ini sangat erat kaitannya dengan teori fisika dan meta fisika. Di sini, Dinani membahasnya dari sudut pandang Ibnu Rusyd dan pemikir lainnya.

Bab kesembilan membahas tentang “Kulli Tabi’i”. Pertanyaan penting dalam masalah ini adalah, “apakah kulli tabi’i ada secara faktual?” Masalah wujud kulli merupakan kajian paling penting dalam sejarah filsafat. Dinani, membawakan pandangan para filosof Paripatetik, khususnya Ibnu Rusyd, sekaligus bentuk penafsiran-penafsirannya atas masalah ini.

Bab kesepuluh “Ibnu Rusyd beribicara tentang Maqashid Syariah”. Filosof paling pertama yang berbicara tentang masalah ini adalah Ibnu Rusyd. Ia menolak cara pandang Mu’tazilah dan Asya’irah dan membawakan pandangannya dalam masalah ini. Menurutnya, mengetahui maqashid syariah sangat membantu seorang teolog dan faqih.

Bab sebelas “Tanpa akal fa’al tidak ada yang dapat berpikir”. Posisi Ibnu Rusyd dalam masalah akal dijelaskan panjang lebar. Dalam bab ini dijelaskan mengenai tahapan-tahapan pengetahuan mulai dari akal hayulani hingga akal fa’al. Dijelaskan juga mengenai kekhususan setiap tahapan dan bagaimana mendapatkan pengetahuan. Akal fa’al bagi para pensyarah Aristoteles merupakan bahasan yang penting, namun senantiasa buram dan ambigu. Itulah yang membuat Ibnu Rusyd membahas masalah ini juga. Di akhirnya dijelaskan pandangan Ibnu Rusyd tentang akal fa’al.

Bab kedua belas membahas kekhususan metode Ibnu Rusyd dalam tafsirannya terhadap filsafat Aristoteles. Bab ini masih merupakan kelanjutan kajian epistemologi filosof Andalusia ini dan hubungannya dengan disiplin lain seperti teologi.

Bab terakhir “Menurut Ibnu Rusyd, argumentasi rasional merupakan masalah batin”. Pertemuan Ibnu Rusyd dengan Ibnu Arabi dan apa saja yang terjadi dengan keduanya dijelaskan di sini. Dari sini, penulis menuliskan kesamaan dan perbedaan antara dua pemikir besar ini. Yang satunya adalah tokoh Paripatetik dan satunya lagi tokoh tasawwuf. Selain itu, penulis juga membahas pikiran-pikiran lain Ibnu Rusyd.

Pentingnya buku ini karena ditulis oleh filosof tentang seorang filosof yang tidak begitu dikenal. Padahal, Ibnu Rusyd merupakan filosof penting Islam. Buku ini tidak hanya sekedar sejarah. Namun, sebagaimana tulisan lain profesor Dinani “Ma Jara-ye Fekre Falsafi Dar Jahan-e Eslam”, buku ini dipenuhi dengan analisa mendalam dan menarik petualangan akal dalam pemikiran dan hati kaum muslimin. Mungkin itulah yang mendasari penulis untuk tidak memberikan sebuah tempat khusus untuk menuliskan sejarah hidup Ibnu Rusyd secara lengkap. Namun, di sela-sela pembahasannya setiap kali perlu menjelaskan kehidupan Ibnu Rusyd itu dilakukannya.

Penjelasan global seperti ini tidak dapat menjelaskan substansi buku ini. Sudah pasti bahwa tidak ada model pengetahuan apapun yang dapat menggantikan membaca. Bagi yang ingin membaca buku ini disyaratkan sedikit banyak telah mengetahui tentang filsafat Islam dan sejarahnya.

Buku ini dapat menjadi jembatan untuk lebih mengenal siapa Ibnu Rusyd, sekaligus menghidupkan kembali sisi-sisi yang selama ini tersembunyi dari filsafat dan budaya Islam. Kecemerlangan filsafat Islam membutuhkan karya-karya seperti ini.

Tentang profesor Ghulam Hossein Ebrahimi Dinani

Doktor Ghulam Hossein Ebrahim Dinani lahir pada tahun 1313 HS atau kira-kira 72 tahun lalu di desa Dinan bagian dari propinsi Isfahan. Di tempat kelahirannya ia menyelesaikan SD nya. Pada waktu itu, keinginannya keras sekali untuk belajar agama. Ini mengantarkannya belajar fiqih, usul fiqih, nahwu, saraf, dan ilmu-ilmu agama lainnya. Ia belajar pada Syaikh Muhammad Ali Habib Abadi dan Syaikh Abbas Ali Habib Abadi.

Beliau pada tahun pertama dari dekade 1330, 55 tahun lalu, pergi ke Qom. Di sana, secara serius ia melanjutkan pendidikannya. Di Qom, ia belajar Syarah Lum’ah, Rasail, Makasib. Begitu juga ia mengikuti bahts kharijnya di sana. Ia belajar pada Syaikh Abdul Javad Sedehi, Sulthani Thaba’taba’i, Mujahidi, Imam Khomeini, Sayyid Muhammad Damad, Ayatullah Boroujerdi dan lain-lain. Pada saat yang sama, ia juga belajar Asfar Mulla Shadra dan Syifa Ibnu Sina kepada Allamah Thaba’thaba’i. Daya tarik pelajaran Allamah membuat profesor Dinani mengikuti kelas khususnya. Dan dengan izin dari Allamah ia mengikutinya.

Pada tahun 1340, 40 tahun lalu, ia berhijrah menuju Teheran. Ia mengikuti ujian dan berhasil mengikuti kuliah di fakultas ushuluddin universitas Teheran. Di fakultas ini, ia bertemu dengan pemikir-pemikir seperti doktor Javad Muslih, Malekshahi dan Rashid memberikan mata kuliah. Pada masa-masa itu, ia diterima oleh kementrian pendidikan sebagai pegawai negeri.

Pada tahun 1350, berdasarkan usulan Syahid Murtadha Muthahhari ia mengikuti ujian untuk menjadi asisten dosen di universitas Ferdousi Mashad. Ia di dua bidang; sejarah agama dan filsafat meraih urutan pertama. Ia kemudian memilih untuk lebih banyak aktif di bagian filsafat. Pada saat yang sama ia menyelesaikan program doktornya di Teheran. Akhirnya beliau secara resmi di terima di bagian filsafat universitas Ferdousi Mashad.

Doktor Dinani pada tahun 1361 dipindahkan ke Teheran masih dalam kelompok yang sama, filsafat. Semenjak itu, ia menjadi anggota tim studi filsafat universitas Teheran. Selain di bidang filsafat punya pandangan-pandangan khusus, ia juga seorang pemikir dalam bidang irfan dan fiqih. Dan dalam dua bidang ini, ia mempunyai banyak tulisan.

Karya-karya doktor Dinani antara lain:

1. Qavaed Kulli Falsafi Dar Falsafeye Eslam (1357-1360)

2. Wujud-e Rabet va Mustaqel Dar Falsafeye Eslami (1362)

3. Shu’a-e Andishe va Shuhud dan Dar Falsafe-ye Suhrawardi (1364)

4. Manteq va Marefat Dar Nazar-e Ghazali (1370)

5. Ma’ad Az Didgah-e Hakim Mudarres Zanuzi (1375)

6. Asma va Sefat-e Haq Ta’ala (1375)

7. Niyayesh-e Filsuf (1377)

8. Ma Jara-ye Fekre Falsafi Dar Jahan-e Eslam (1376-1379)[Saleh L]

Dialog Sayyidah Fatimah a.s dan Abu Bakar-tinjauan kebohongan sebuah hadis poitik

DIALOG FATHIMAH AS DAN ABU BAKAR; Mengungkap kebohongan sebuah hadis politik

Ditulis oleh Saleh Lapadi di/pada Juni 24, 2007

DIALOG FATHIMAH AS DAN ABU BAKAR; Mengungkap kebohongan sebuah hadis politik

Saleh Lapadi

Peristiwa Fadak banyak dianalisa oleh ahli sejarah. Beragam buku ditulis untuk menetapkan bahwa tanah Fadak milik Rasulullah saw dan telah diwariskan kepada anaknya Fathimah al-Zahra as. Dimulai dari analisa teks, sejarah, sosial, ekonomi sampai politik dapat ditemukan dalam buku-buku itu. Ini menunjukkan betapa pentingnya masalah Fadak bagi Syiah.

Namun, apakah sesungguhnya demikian?

Menilik khotbah Sayyidah Fathimah al-Zahra as, ternyata dari keseluruhan khotbahnya tidak banyak menyinggung masalah Fadak. Terutama bila Abu Bakar, khalifah waktu itu, tidak menyela khotbah Sayyidah Fathimah as dan membawakan argumentasi mengapa ia mengambil Fadak dari tangan Sayyidah Fathimah as, maka khotbah tentang tanah FAdak semakin sedikit. Di samping itu, masalah Fadak dibawakan oleh Sayyidah Zahra pada bagian-bagian akhir dari khotbahnya.

Untuk lebih jelasnya apa sebenarnya yang terjadi dalam dialog keduanya, perlu untuk mengkaji kembali khotbah Sayyidah Fathimah al-Zahra as. Hal ini akan memperjelas apa sebenarnya yang terjadi antara keduanya.

Sanad khotbah

Khotbah Sayyidah Fathimah as merupakan salah satu khotbah yang dikenal oleh ulama Syiah dan Ahli Sunah. Mereka meriwayatkan khotbah Sayyidah Zahra as ini dengan sanad yang dapat dipercaya. Bagi Syiah, khotbah ini diriwayatkan dari berbagai sanad yang sampai kepada para Imam as atau dari Sayyidah Zainab as anak Imam Ali bin AbiThalib as. Sekalipun ini adalah khotbah, namun bagi Syiah menjadi sandaran dan dalil.

Ahmad bin Abdul Aziz al-Jauhari dalam bukunya “Saqifah dan Fadak” menukil sanad-sanad khotbah Sayyidah Fathiman as. Ibnu Abi al-Hadid dalam Syarah Nahjul Balaghahnya menyebutkan empat jalur sanad yang diriwayatkan oleh al-Jauhari:

1. Al-Jauhari dari Muhammad bin Zakaria dari Ja’far bin Muhammad bin Imarah dari ayahnya dari HAsan bin Saleh bin Hayy dari dua orang Ahlul Bait Bani Hasyim dari Zainab binti ali bin Abi Thalib as dari ibunya Sayyidah Fathimah as.

2. Al-Jauhari dari Ja’far bin Muhammad bin Imarah dari ayahnya dari Ja’far bin Muhammad bin Ali bin al-Husein as.

3. Al-Jauhari dari Utsman bin Imran al-Faji’i dari Nail bin Najih dari Umar bin Syimr dari Kabir Ja’fi dari Abu Ja;far Muhammad bin Ali (Imam Baqir as).

4. Al-Jauhari dari Ahmad bin Muhammad bin Yazid dari Abdullah bin Hasan yang dikenal dengan sebutan Abdullah al-Mahdh bin Fathimah binti al-Husein dan ibnu al-Hasan al-Mutsanna.

Ali bin Isa al-Irbil salah seorang ulama Syiah menukil khotbah ini dari buku “Saqifah dan Fadak” milik Ahmad bin Abdul Aziz al-Jauhari. Ia menyebutkan, “Saya menukil khotbah ini dari buku Saqifah dan Fadak karangan Ahmad bin Abdul Aziz al-Jauhari. Sebuah buku dari naskah kuno yang telah dibaca dan di tashih oleh penulis pada tahun 322 hijriah dengan sanad yang berbeda-beda”.[1]

Mas’udi dalam bukunya Muruj al-Dzahab[2] mengisyaratkan mengenai khotbah ini.

Abu al-Fadhl Ahmad bin Abi Thahir (lahir 204 H) ulama yang hidup pada zaman Ma’mun khalifah Bani Abbas dalam bukunya Balaghat al-Nisa’ meriwayatkan khotbah ini dari beberapa jalur:

1. Perawi mengatakan, “Aku berada di sisi Abu al-Hasan Zaid bin Ali bin al-Husein as. Pada waktu itu aku sedang berdialog dengan Abu Bakar Mauqi’i tentang masalah Sayyidah Fathimah as dan bagaimana Fadak diambil darinya. Aku berkata, “Kebanyakan masyarakat punya pendapat tentang khotbah ini. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa khotbah ini milik Abu al-‘Anina dan bukan milik Sayyidah Fathimah as. Zaid menjawab, “Saya sendiri melihat tokoh-tokoh dari keluarga Abu Thalib yang menukil khotbah ini dari ayah-ayah mereka. Khotbah ini juga saya dapatkan dari ayah saya Ali bin al-Husein as. Lebih dari itu, tokoh-tokoh Syiah meriwayatkan khotbahini dan mengejarkannya sebelum kakek Abu al-‘Aina lahir ke dunia.

2. Khotbah ini dinukil oleh Hasan bin Alawan dari Athiyah al-Aufi dari Abdullah bin al-Hasan dari ayahnya.

3. Ja’far bin Muhammad berada di Mesir. Suatu hari aku melihatnya di Rafiqah dan berkata, “Ayah saya meriwayatkan hadis kepada saya dan berkata, “Musa bin Isa mengabarkan kepada kami dari Ubaidillah bin Yunus dari Ja’far al-Ahmar dari Zaid bin Ali bin al-Husein as dari bibinya Sayyidah Zainab binti Ali bin Abi Thalib as meriwayatkan khotbah ini.

Abu al-Fadhl Ahmad bin Abi Thahir berkata, “Semua hadis ini saya lihat berada pada Abu Haffan.[3]

Tuntutan dan argumentasi Sayyidah Fathimah as

Untuk mengetahui secara detil apa sebenarnya yang terjadi dalam khotbah dan dialog antara Sayyidah Fathimah as dengan Abu Bakar sangat perlu untuk melihat langsung teks khotbah itu.[4]

Pada salah satu bagian dari khotbahnya Sayyidah Fathimah as menuntut haknya atas tanah Fadak:

Saat ini kalian menganggap bahwa kami tidak punya warisan!?

Apakah mereka menginginkan hukum jahiliah, padahal hukum mana yang lebih dari hukum Allah bagi mereka yang beriman.

Apakah mereka tidak tahu!?

Ya, kalian mengetahui bahwa aku adalah putri Nabi. Pengetahuan kalian bak sinar mentari, jelas.

Wahai kaum muslimin! Apakah pantas aku menjadi pecundang atas warisan ayahku!?

Wahai anak Abu Quhafah! Apakah ada dalam al-Quran ayat yang menyebutkan bahwa engkau mewarisi harta ayahmu, sementara aku tidak mewarisi harta ayahku!? Engkau telah membawa tuduhan yang aneh!

Apakah kalian secara sengaja meninggalkan al-Quran dan meletakkannya di punggung kalian ketika al-Quran mengatakan: “Dan Sulaiman telah mewarisi Daud”[5].

Al-Quran menukil cerita Yahya bin Zakaria ketika berkata: “Maka anugerahilah Aku dari sisi Engkau seorang putera yang akan mewarisi Aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya’qub”.[6]

Dan Allah berfirman: “orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat)di dalam Kitab Allah”.[7]

Dan allah berfirman: “Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan”.[8]

Dan Allah berfirman: “berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”.[9]

Dan kalian menganggap aku tidak mewarisi sesuatu dari harta ayahku?

Apakah ada ayat yang turun kepada kalian yang mengecualikan ayahku?

Ataukah kalian akan mengatakan bahwa keduanya (aku dan ayahku) menganut agama yang berbeda sehingga tidak mewarisi?

Bukankah aku dan ayahku berasal dari agama yang satu?

Ataukah kalian merasa lebih tahu tentang al-Quran dari ayahku dan anak pamanku (Imam Ali bin Abi Thalib)?

Bila memang kalian mengklaim demikian, maka ambil dan rampaslah warisanku yang terlihat bak kendaraan yang telah siap sedia!? Tapi, ketahuilah! Ia akan menghadapimu di hari kiamat.

Sesunguhnya, sebaik-baik hukum adalah hukum Allah, sebaik-baik pemimpin adalah Muhammad dan sebaik-baik pengingat adalah hari kiamat.

Ketika hari kiamat tiba, orang-orang yang batil akan mengalami kerugian. Pada waktu itu penyesalan tidak lagi bermanfaat.

Setiap berita ada tempatnya dan kalian akan tahu siapa yang diazab sehingga hina dan senantiasa ia mendapat siksaan yang pedih!

Jawaban Abu Bakar

Setelah Sayyidah Fathimah as mengajukan tuntutan dan mengargumentasikan haknya, beliau kemudian menatap orang-orang Anshar dan mengingatkan siapa mereka dan betapa pentingnya peran mereka dalam menjaga Islam. Namun, nilai dan kesempurnaan sesuatu akan dinilai pada akhirnya. Cinta terhadap kedudukan membuat mereka lupa menolong dan membantu putri Rasulullah saw. Dalam khotbahnya, Sayyidah Fathimah as menyebutkan bahwa kalian punya potensi untuk menghadapi penguasa yang tidak sah dan zalim. Namun, ketika mereka tidak bangkit Sayyidah Zahra as tidak menerima alasan mereka. Upaya Sayyidah Zahra as untuk membangkitkan semangat kaum Anshar membela kebenaran kemudian diputus oleh Abu Bakar yang menjabat sebagai khalifah waktu itu dengan jawabannya.

Abu Bakar menjawab tuntutan dan argumentasi yang disampaikan oleh Sayyidah Fathimah as dengan ucapannya:

Wahai putri Rasulullah saw! Ayahmu seorang yang lembut, pengasih dan dermawan atas orang-orang mukmin, sementara itu bila menghadapi orang-orang kafir ia sangat keras.

Bila dilihat dari sisi hubungan kekeluargaan, ia adalah ayahmu dan saudara ayahmu. Sementara tidak ada orang lain yang sepertimu.

Kami melihat bagaimana Nabi begitu memperhatikan suamimu lebih dari yang lain. Dalam setiap pekerjaan besar, suamimu pasti menjadi penolong Nabi. Hanya orang yang selamat saja yang mencintai kalian dan hanya orang celaka saja yang membenci kalian. Kalian adalah Itrah Rasulullah yang baik.

Kalian adalah penunjuk dan penuntun ke arah kebaikan dan surga.

Dan engkau adalah wanita terbaik dan putri terbaik dari para Nabi.

Engkau benar dalam ucapanmu dan akal dan pemahamanmu lebih cerdas dari yang lain.

Tidak ada yang dapat menghalangi hak Anda dan kebenaranmu tidak bisa ditutup-tutupi.

Demi allah! Aku tidak melanggar pendapat Rasulullah saw dan aku tidak berbuat kecuali dengan seizinnya. Seorang pemimpin tidak akan membohongi rakyatnya.

Dalam masalah ini aku menjadikan Allah sebagai saksi dan cukuplah Allah sebagai saksi.

Aku mendengar sendiri dari Rasulullah saw bersabda: “Kami para Nabi tidak mewariskan emas dan perak tidak juga rumah dan tanah untuk bercocok tanam. Kami hanya mewariskan al-Quran, al-Hikmah, al-Ilmu dan al-Nubuwah. Apa saja yang tertinggal dari kami, maka itu menjadi hak milik pemimpin setelah kami. Dan apa yang menjadi maslahat itu yang bakal diputuskan olehnya.

Apa yang engkau tuntut dari tanah Fadak, itu akan kami pakai untuk menyiapkan kuda dan senjata bagi para pejuang Islam untuk menghadapi orang-orang kafir dan orang-orang jahat.

Masalah ini tidak aku putuskan sendiri, tetapi lewat kesepakatan seluruh kaum muslimin aku melakukan itu.

Ini kondisi dan apa yang saya miliki menjadi milik engkau.

Apa yang bisa saya lakukan akan saya lakukan dan saya tidak menyimpan apapun di hadapan engkau.

Engkau adalah panutan umat ayahmu dan pohon yang memiliki akar yang baik bagi keturunanmu.

Keutamaan yang engkau miliki tidak dapat dipungkiri oleh seorang pun.

Hak-hak engkau tidak akan dicampakkan begitu saja; baik masalah penting atau tidak.

Apa yang engkau perintahkan terkait dengan diri saya akan saya lakukan.

Apakah engkau merasa layak bahwa dalam masalah ini saya menentang aturan ayahmu?

Jawaban balik Sayyidah Fathimah as

Setelah mendengar jawaban dari Abu Bakar mengenai tuntutannya atas tanah Fadak, Sayyidah Fathimah as menjawab:

Subhanallah! Rasulullah saw tidak pernah memalingkan wajahnya dari al-Quran dan tidak pernah menentang hukum-hukum yang ada di dalamnya.

Nabi senantiasa mengikuti al-Quran dan surat-suratnya.

Apakah engkau mulai mengeluarkan tipu dayamu dengan berbohong atas namanya mencoba mencari alasan atas perbuatanmu?

Tipu daya ini sama persis seperti yang dilakukan terhadapnya ketika Nabi masih hidup.

Ini adalah al-Quran, Kitab Allah yang menjadi juru adil, pemutus perkara dan berbicara atas nama kebenaran. Al-Quran mengatakan: “seorang putra yang akan mewarisi Aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya’qub” dan “Dan Sulaiman telah mewarisi Daud.

Allah telah membagi bagian para ahli waris sesuai dengan bagiannya secara gamblang sehingga tidak ada orang mencari-cari alasan di kemudian hari. Semestinya engkau mengamalkan yang seperti ini.

Namun engkau melakukan sesuatu yang lain karena hawa nafsu dan bisikan setan.

Dalam kondisi yang demikian, pilihan terbaik adalah bersabar karena kesabaran itu indah dan Allah adalah penolong dari apa yang kalian gambarkan.

Penjelasan terakhir Abu Bakar

Sanggahan terakhir Sayyidah Fathimah as membuat Abu Bakar tidak lagi menyangkal perbuatannya dengan hadis yang dipakai sebelumnya setelah dengan cerdik Sayyidah Fathimah as menjelaskan premis mayor bahwa Nabi Muhammad saw tidak pernah menentang hukum-hukum yang ada dalam al-Quran. Setelah dihadapkan dengan ayat-ayat yang disebut itu, Abu Bakar menjawab:

Maha benar Allah, benar apa yang disabdakan Rasulullah dan benar juga apa yang diucapkan oleh putri Rasulullah saw.

Engkau adalah tambang kebijakan, pusat hidayah dan rahmat, tiang agama dan sumber kebenaran.

Aku tidak mengatakan apa yang engkau katakan adalah salah dan tidak mengingkari khotbahmu, namun mereka kaum muslimin sebagai juri yang menilai antara saya dengan engkau. Mereka memilih saya sebagai khalifah dan apa yang saya raih ini berkat kesepakatan mereka tanpa ada paksaan dan kesombongan dari diriku. Dalam hal ini mereka semua menjadi saksi.

Analisa argumentasi Abu Bakar

Bila dilihat secara teliti, sebenarnya Abu Bakar telah mengetahui bahwa bagaimana sebelumnya Sayyidah Fathimah as telah membawakan ayat-ayat yang menunjukkan bagaimana para Nabi mewariskan hartanya kepada anaknya. Jadi, hal ini sudah dipahami secara baik oleh Abu Bakar. Namun, untuk menjustifikasi perbuatannya ia perlu sebuah landasan berpijak yang kokoh. Tidak cukup hanya dengan alasan sebagai penguasa waktu itu, sebagai khalifah pengganti Rasulullah saw, ia akan memanfaatkan tanah milik Rasulullah saw yang diwariskan kepada anaknya untuk mendanai angkatan perang. Artinya, menyita tanah Fadak milik putri Rasulullah saw tidak cukup dengan menyampaikan alasan kebijakan politik, tapi harus dengan bersandar pada ayat al-Quran atau sabda Nabi.

Sebagaimana telah disebutkan dalam khotbahnya, Sayyidah Fathimah as menyebutkan bahwa yang paling mengetahui al-Quran adalah Nabi Muhammad saw dan Imam Ali bin Abi Thalib as. Selain itu, Sayyidah Fatahimah as membacakan beberapa ayat al-Quran untuk memenangkan tuntutannya. Di sini Abu Bakar terpaksa memakai hadis yang disebutnya berasal dari Rasulullah saw. Hadis ini dipakainya untuk mematahkan klaim Sayyidah Fathimah as dan setelah itu baru ia menyebutkan alasan sebenarnya mengapa ia menyita tanah itu. Abu Bakar melihat bahwa tanah sebesar itu dapat mendanai angkatan perang untuk menghadapi musuh-musuh Islam.

Sebenarnya, alasan itu juga yang dipakai untuk menyita paksa tanah Fadak dari tangan Sayyidah Fathimah as. Bila tanah itu tidak disita, maka kemungkinan besar pengikut Imam Ali bin Abi Thalib as dapat melakukan perlawanan fisik bahkan bersenjata melawannya. Bila tanah itu dapat dipakai untuk mendanai angkatan bersenjatanya, maka hal yang sama dapat dipergunakan oleh Imam Ali bin Abi Thalib as. Itulah mengapa ketika Sayyidah Zahra as tengah berbicara mengenai masalah Fadak, Abu Bakar tidak melakukan protes dengan menjawab argumentasi yang disampaikan oleh Sayyidah Fathimah as. Tapi, ketika pembicaraan telah berpindah mengenai kaum Anshar, di mana Sayyidah Zahra as menjelaskan dengan terperinci posisi dan peran mereka dalam Islam dan setelah itu mengingatkan mereka dengan pesan-pesan Rasulullah saw mengenai Ahlul Baitnya serta apa akibatnya orang yang tahu kebenaran tapi tidak membela kebenaran, Abu Bakar lantas menjawab mengenai masalah Fadak yang telah disebutkan sebelumnya. Jelas, bila hal ini dibiarkan berlangsung, maka kemungkinan besar kaum Anshar akan terpengaruh dengan ucapan anak semata wayang Rasulullah saw ini.

Dari sini jelas, jawaban Abu Bakar menjadi terlihat terburu-buru. Karena yang harus dilakukannya adalah membawa argumentasi yang lebih kuat lagi setelah mendengar Sayyidah Zahra as menyebutkan bagaimana para Nabi saling mewarisi. Ketika mendapat jawaban dari Sayyidah Zahra as yang terlebih dahulu menyebutkan bagaimana Rasulullah saw tidak pernah menentang hukum-hukum al-Quran, beliau kemudian mengulangi lagi dua ayat yang telah disebutkan sebelumnya. Sayyidah Fathimah as tidak saja mengulangi ayat-ayat tersebut, tapi juga menjelaskan bagaimana caranya menggabungkan ayat-ayat tersebut dengan ayat-ayat yang menjelaskan bagian-bagian yang didapatkan oleh ahli waris. Pada akhirnya, Sayyidah Fathimah as menjelaskan filsafat hukumnya mengapa bagian-bagian ahli waris disebutkan secara terperinci, karena dikemudikan hari tidak ada lagi kerancuan dan kebingungan dalam masalah ini.

Pesan dialog

Melihat porsi pembahasan tanah Fadak dalam khotbah Sayyidah Fathimah as bila dibandingkan dengan keseluruhan khotbah yang cukup panjang itu, dapat diamati bahwa tujuan Sayyidah Fathimah as lebih mulia dari sekedar yang dibayangkan oleh sebagian orang. Mereka menganggap Sayyidah Fathimah as menuntut tanah Fadak karena tidak beliau berbeda dengan orang lain yang juga begitu menitikberatkan masalah materi. Bila tujuan Sayyidah Zahra as adalah sekadar memenuhi kebutuhan materi sekalipun dari jalan halal karena itu adalah miliknya, maka masalah Fadak akan menyita sebagian besar dari khotbah itu.

Bila dalam peristiwa Saqifah, Sayyidah Fathimah as datang ke sana dan menegaskan kepada mereka bahwa Rasulullah saw telah menetapkan Ali bin Abi Thalib as sebagai khalifah sepeninggalnya. Mereka akan menjawab bahwa ini hanya masalah keluarga. Ia menginginkan agar suaminya menjadi pemimpin dan yang berkuasa.

Bila sejak awal, Sayyidah Zahra as menekankan masalah Fadak dan itu adalah miliknya, ia akan dituduh sebagai mata duitan dan kekuasaan. Karena ia ingin segalanya berada di tangannya dan tangan keluarga Nabi as. Pada akhirnya, mereka akan dituduh sebagai rasialis, karena tidak senang melihat pos-pos yang basah menjadi milik orang lain.

Masalah warisan dalam krisis tanah Fadak waktu itu dipergunakan dengan baik oleh Sayyidah Zahra as untuk menunjukkan bahwa mereka yang memerintah tidak memiliki kelayakan. Contoh yang akan ditampilkan adalah masalah tanah Fadak. Isu tanah Fadak dijadikan sarana oleh Sayyidah Fathimah as. Beliau ingin menunjukkan kepada khalayak ramai bahwa pengganti Rasulullah saw yang disebut sebagai khalifah Rasulullah saw tidak mengerti masalah peradilan. Khalifah yang tidak mengetahui bagaimana cara mengadili orang lain berdasarkan ajaran Islam tidak layak menjadi khalifah.

Sayyidah Zahra as ingin mengatakan bahwa khalifah yang dipilih ini tidak punya kelayakan karena dalam masalah warisan yang mudah saja ia tidak mampu menyelesaikannya. Permasalahan sebenarnya bisa terhenti di sini, tapi karena Abu Bakar bangkit dan menjawab khotbah Sayyidah Zahra as, masalah menjadi lebih menguntungkan Sayyidah Zahra as dan merugikan Abu Bakar. Ketika Abu Bakar menjawab tuntutan Sayyidah Zahra as dengan hadis yang berbunyi: “Kami para Nabi tidak mewariskan emas dan perak tidak juga rumah dan tanah untuk bercocok tanam”, Sayyidah Zahra as kemudian mengadu hadis itu dengan al-Quran. Namun, sebelum itu beliau memberikan tolok ukur bahwa ucapan dan perbuatan Nabi Muhammad saw tidak pernah bertentangan dengan hukum-hukum al-Quran.

Pada kondisi yang seperti ini, Abu Bakar tidak dapat berbuat apa-apa, karena hadis yang dibawakannya bertentangan dengan ayat-ayat al-Quran. Semua tentu masih ingat bagaimana Rasulullah saw bersabda bahwa setiap hadis yang bertentangan dengan al-Quran harus dilemparkan ke tembok. Artinya, tidak dipakai. Hadis itu bukan hadis Nabi. Lebih berat lagi, hadis itu adalah hadis palsu. Di sini, kasus tanah Fadak bukan saja menyingkap masalah ketidaklayakan seorang khalifah menyelesaikan sebuah masalah ringan tentang warisan, tapi telah dihadapkan pada penggunaan hadis palsu; sengaja atau tidak. Untuk menjatuhkan argumentasi Sayyidah Zahra as, Abu Bakar terpaksa mempergunakan hadis palsu. Namun, dengan membawakan dua ayat terbongkar juga masalah ini.

Tidak ada jalan lain, Abu Bakar terpaksa mengakui kelihaian Sayyidah Zahra as dan keluasan pengetahuannya. Abu Bakar akhirnya hanya dapat berargumentasi bahwa ia dipilih secara aklamasi oleh seluruh para sahabat tanpa paksaan dan kebijakan yang diambilnya adalah demikian. Lagi-lagi Abu Bakar terjerumus dengan menjadikan orang-orang sebagai tolok ukur dan bukan al-Quran.

Penutup

Khotbah Sayyidah Fathimah as merupakan salah satu khotbah yang masyhur. Khotbah yang menunjukkan kefasihan, keberanian dan keluasan pengetahuan putri Rasulullah saw. Salah satu data sejarah paling autentik mengenai kondisi umat Islam generasi awal. Selain kajian sosial, hukum dan politik tidak lupa juga membahas masalah isu-isu keislaman seperti tauhid, keadilan ilahi, kenabian, imamah, hari akhir, filsafat hukum dan lain-lain.

Salah satu kajian yang menarik dari khotbah Sayyidah Zahra as adalah dialognya dengan Abu Bakar yang menjadi khalifah setelah terpilih di Saqifah. Dialog-dialog ini dapat memberikan nuansa baru untuk memahami polemik yang terjadi antara keduanya dalam masalah tanah Fadak.

Qom, 18 Juni 2007




[1] . Kasyf al-Ghummah, jilid 2, hal 304. Menukil dari buku Syarhe Khutbeye Hazrate Zahra as, Ayatullah Sayyid Izzuddin Huseini Zanjani, Qom, 1375, cet 5, hal 17.

[2] . Cetakan Najaf, hal 12. Ibid.

[3] . Dinukil dari Syrahe Khutbeye Hazrate Zahra as, ibid.

[4] . Lihat http://islamalternatif.net/iph/index.php?option=com_content&task=view&id=87&Itemid=1

[5] . Al-Naml: 16.

[6] . Maryam: 5-6.

[7] . Al-Anfal:75.

[8] . Al-Nisa’: 11.

[9] . Al-Baqarah: 180

...SOALAN CEPU ALIAS MENYENTAP BENAK....

Adakah Jabatan Imam Allah?

Masalah kepemimpinan merupakan salah satu persoalan yang sangat mendasar di dalam kehidupan manusia. Sejak kecil, setiap orang akan mengenal dan berinteraksi dengan persoalan ini. Kita mengenal istilah orang tua sebagai pemimpin di rumah, guru di sekolah, direktur di perusahaan, komandan di keperwiraan, kepala pemerintahan dan seterusnya. Intinya, persoalan kepemimpinan meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Ia menjadi pondasi dan tulang punggung keberlangsungan spesies manusia dimanapun dan kapanpun mereka berada. Tanpa adanya kepemimpinan, maka seluruh pilar dan sistem kehidupan manusia niscaya porak poranda atau khaos—lawan katanya adalah kosmos, yakni teratur. Hal ini sangat jelas sehingga tak perlu pembuktian lagi. Bahkan dalam skala komunitas yang paling sederhana sekalipun, kalimat “broken home” adalah istilah umum yang ditujukan bagi seorang anak yang tidak merasakan adanya figur pemimpin dirumahnya.

Pada dasarnya, makna pemimpin adalah pengatur, pembimbing, penuntun, pengawas, penegak aturan dan pemberi keputusan sehingga hubungan antara kepemimpinan dan keteraturan adalah perkara yang mustahil bisa dipisahkan. Secara esensial, penataan sekelompok masyarakat sangat bergantung pada dua kunci utama bagi terwujudnya suatu tatanan kehidupan yang harmonis, yakni adanya seperangkat aturan atau hukum dan figur pelaksananya atau penegak aturan tersebut yakni hakim. Untuk itu, munculnya kesadaran dan kebutuhan manusia bagi adanya seperangkat hukum dan keberadaan hakim adalah perkara rasional. Sedangkan penolakan atau penerimaan salah satu darinya saja adalah irasional.

Sehubungan dengan hal ini, secara garis besar agama bisa dimaknai sebagai seperangkat aturan yang diharapkan bisa menata hubungan dan perilaku manusia kepada Tuhan dan alam kehidupannya. Di setiap agama, wacana kepemimpinan adalah topik sentral yang tak bisa disepelekan terutama bagi keberlangsungan ajaran tersebut dan juga penganutnya. Saat ini, agama-agama di dunia umumnya dibagi menjadi dua kelompok. Pertama adalah agama-agama yang melandasi ajarannya berdasarkan wahyu atau “agama samawi”. Dan kedua adalah agama-agama yang melandasi ajarannya berdasarkan kebijakan dan tradisi.

Dalam kaitannya dengan studi kristologi, pembahasan komprehensif ditujukan kepada agama-agama yang mendasari ajarannya melalui wahyu Tuhan atau profetisme, yakni kenabian. Dan pada saat ini, agama-agama seperti Islam, Yahudi dan Kristen adalah ajaran-ajaran yang meyakini tentang keberadaan para nabi Tuhan. Secara substansial, kendati masing-masing agama itu punya banyak perbedaan, tapi secara umum, seluruh agama wahyu ini punya satu simpul yang sama, yaitu adanya pengakuan dari masing-masing agama tersebut bahwa Abraham [Islam: Ibrahim] adalah seorang nabi Tuhan.

Di dalam Alkitab Perjanjian Lama (Yudaisme: Tanakh), Abraham memiliki beberapa gelar yang masing-masing mencerminkan jabatan langit yang diembannya. Hal ini memposisikan Abraham sebagai orang pilihan yang mulia disisi Allah dan juga dihadapan keturunan dan para pengikutnya. Dia disebut sebagai nabi (Kej 20:7) [1], bapa sejumlah besar bangsa (Kej 17:15-16) [2], sahabat Allah (2Taw 20:7; Yes 41: 8) [3], dan yang terpenting dari semua adalah raja-imam (Kej: 12:7; 13:4) [4]. Jabatan Abraham sebagai imam Allah ini memang sangat unik dan berbeda dari kedudukan-kedudukan dia sebelumnya sehingga ada pendapat umum bahwa Kejadian 14 merupakan salah satu bab yang paling sukar dalam Kitab Kejadian.[5] Istilah “raja” dan “imam” yang selanjutnya dipadukan menjadi raja-imam mengindikasikan kepada otoritas penuh yang dijabat oleh Abraham dan keturunannya. Yakni sebagai penguasa dan pemimpin sekaligus. Hal ini otomastis berimplikasi bagi adanya suatu wilayah kekuasaan dan kepemimpinan (Kej 17:8-9) [6]. Adapun peristiwa pemberkatan Abraham sebagai Imam Alah bisa ditemukan dalam Kitab Kejadian di pasal 14:1-24. Peran Abraham sebagai pemimpin atau imam yang dipilih dan dinobatkan secara langsung oleh Allah ini—melalui perantaraan Melkisedek—adalah peristiwa yang tak dinafikan kebenarannya, baik oleh Yahudi maupun Kristen.

Secara etimologi, kata “imam” dalam bahasa Ibraninya di Authorized Version (AV) adalah kohen [7] dan nasiy [8]. Masing-masing dari kata ini di ulang sebanyak 750 kali dan 132 kali. Kedudukan ini juga menandai perjanjian atau covenant antara Abraham dan Allah yang mana melalui keturunannya itu Dia akan mengutus seorang yang diurapiNya atau Mesiah, dan akan menjadi berkat bagi seluruh bangsa di bumi (Kej 18:18).[9] Pengesahan kovenan ini ditandai dengan kewajiban penuh bagi Abraham dan keturunannya untuk mentaati hukum-hukum Ilahi berdasarkan prinsip kebenaran dan keadilan.[10]

Untuk itu, kendati sudah ada tiga jabatan langit yang diberikan kepada Abraham, yakni sebagai nabi atau rasul dan kedudukan khususnya sebagai sahabat Allah. Namun masih ada satu jabatan langit terakhir yang tertinggi, yakni sebagai imam Allah. Kedudukan ini juga dianugerahkan kepada Abraham dan keturunan biologisnya. [11] Adapun dari segi pelaksanaan bahwa meskipun jabatan imam Allah ini munculnya belakangan, namun inti dari ajaran Allah kepada manusia itu sendiri sebenarnya baru bisa direalisasikan, apabila hukum-hukum tersebut telah selesai disyariatkan oleh para nabi. Dan setelah itu, syariat ini akan ditegakkan oleh imam-imam Allah yang berasal dari keturunan biologis Abraham. Fakta ini jelas sangat rasional karena tak ada hakim kecuali setelah adanya hukum. Dan hukum pun mustahil bisa ditegakkan kecuali setelah adanya para hakim.

Pada dasarnya, jabatan imam Allah merupakan satu-satunya jabatan tertinggi dan tunas dari “Pohon Kejadian” yang menjadi tujuan atas penciptaan manusia di bumi. [12] Sedangkan kenabian atau kerasulan adalah cabang dari “Pohon Kejadian” tersebut. Artiya, institusi ilahiah ini secara gradual diawali oleh keimaman—yang menduduki puncak dari hierarki rububiyah itu, kemudian disusul dengan kerasulan atau kenabian. Sedangkan penampakan atas jabatan imam Allah di alam dunia (syahadah) secara hierarki adalah kebalikan dari hakekatnya di alam sorgawi (ghayb). Di alam dunia, kemunculan jabatan-jabatan langit ini diawali lebih dahulu dengan kenabian, kerasulan dan imamah.

Setelah Ibraham wafat, jabatan-jabatan ini terus diwariskan melalui keturunan biologis Ismail dan Ishak yang mana keduanya adalah nabi. Dalam Alkitab dinubuatkan bahwa dari Ismail dan keturunannya akan muncul duabelas orang imam “Tentang Ismael, Aku telah mendengarkan permintaanmu; ia akan Kuberkati, Kubuat beranak cucu dan sangat banyak; ia akan memperanakkan dua belas imam, [13] dan Aku akan membuatnya menjadi umat [14] yang besar (Kej 17:20). Kondisi serupa juga ditampakkan kepada bangsa Israel pada zaman Musa as yang mana dia telah diperintahkan oleh Allah untuk melantik duabelas orang imam yang dikepalai oleh Harun dan keturunannya (Bil 17:1-13). Pelantikan para imam Allah ini menandai kesempurnaan RisalahNya dan puncak dari kovenan antara Allah dan para nabi yang ditugaskan untuk menyampaikan AjaranNya kepada manusia. Bahkan fungsi utama dari pengutusan seorang nabi atau rasul itu adalah untuk menegakkan kerajaan imam dan umat yang kudus.Alkitab dan Al-Qur’an menyatakan:

“Jadi sekarang, jika kamu sungguh-sungguh mendengarkan firman-Ku dan berpegang pada perjanjian-Ku, maka kamu akan menjadi harta kesayangan-Ku sendiri dari antara segala bangsa, sebab Akulah yang empunya seluruh bumi. Kamu akan menjadi bagi-Ku kerajaan imam dan bangsa yang kudus. Inilah semuanya firman yang harus kaukatakan kepada orang Israel. (Keluaran 19:5-6)

“Dan ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu, dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putera Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh”. (QS. 33:7)

Sedangkan mengenai perjanjian [mitsaq] yang dimaksudkan itu, maka Al-Qur’an menjelaskan lagi, “Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian dari Bani Israil dan telah Kami angkat di antara mereka 12 orang pemimpin” (QS. 5:12).

Alhasil, substansi yang ingin ditegaskan dalam pengantar yang ringkas ini bahwa status seorang imam di dalam agama Ibrahimik—menurut tinjauan kristologi—itu memang ada dan dipilih secara mutlak oleh Allah sebagaimana halnya kenabian dan kerasulan. Artinya tidak melalui konsensus. Imam Allah adalah jabatan sorgawi yang kudus dan tidak terbentuk melalui mekanisme pemilihan umum ataupun cara-cara lain yang dilandasi oleh perspektif manusia. Sungguh tidak mengherankan bila Al-Qur’an sendiri pernah menegaskan bahwa keluarga Ibrahim as telah dianugerahi suatu kerajaan yang besar.

“Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya? Sesungguhnya Kami memberikan Kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar”. (QS. 4:54)

Secara historis, pena sejarah umat manusia belum pernah mencatat bahwa keluarga Ibrahim ada yang mendirikan monarki keluarga, misalnya seperti Ibrahimiyah, Ismailiyah, Ishakiyah, Yakubiyah, Yusufiyah, Musaiyah atau Haruniyah dan lain sebagainya. Hal itu disebabkan keluarga Ibrahim lebih dikenang sebagai mata airnya kenabian, kerasulan dan imamah. Jika demikian, maka kerajaan besar apakah yang dimaksudkan oleh al-Qur’an itu? Apabila hal ini tidak merujuk kepada mamlakah kohen atau kerajaan imam,[15] tentu akan sulit menemukan makna yang sebenarnya dari ayat tersebut. Lalu, apabila keluarga Ibrahim telah diwariskan kerajaan besar oleh Allah, maka bagaimanakah dengan nasib keluarga Muhammad saw sendiri? Artinya, apakah mungkin dari keturunan Muhammad saw ini akan ada yang menjadi imam-imam Allah seperi yang pernah terjadi di masa para nabi terdahulu yang berasal dari keluarga Ibrahim? Dan apabila jumlah para imam dari keluarga Ibrahim as ini selalu duabelas orang, maka mungkinkah jumlah para imam dari keluarga Muhammad pun juga demikian?

Sebagai penutup, barangkali hadis Nabi saw yang pernah diriwayatkan dalam Sahih Bukhari[16] ini bisa membawa kita kepada kontemplasi mendalam yang selaras dengan pendewasaan beragama. “Jabir ibn Samurah mengatakan, ‘Saya mendengar Nabi berkata: “Akan ada duabelas pemimpin setelah saya.” Kemudian mengatakan, “Saya mendengar ayah saya mengatakan ia mendengar Nabi berkata, “Mereka berasal dari suku Qurays”’”. Wallahu’alam.

Catatan Kaki:

[1]“Jadi sekarang, kembalikanlah isteri orang itu, sebab dia seorang nabi;”.

[2]“Aku akan memberkatinya, dan dari padanya juga Aku akan memberikan kepadamu seorang anak laki-laki, bahkan Aku akan memberkatinya, sehingga ia menjadi ibu bangsa-bangsa; raja-raja bangsa-bangsa akan lahir dari padanya”.

[3] “Bukankah Engkau Allah kami yang menghalau penduduk tanah ini dari depan umat-Mu Israel, dan memberikannya kepada keturunan Abraham, sahabat-Mu itu, untuk selama-lamanya?”; Dan juga “Tetapi engkau, hai Israel, hamba-Ku, hai Yakub, yang telah Kupilih, keturunan Abraham, yang Kukasihi;”.

[4] ”Ketika itu TUHAN menampakkan diri kepada Abram dan berfirman: ‘Aku akan memberikan negeri ini kepada keturunanmu.’ Maka didirikannya di situ mezbah bagi TUHAN yang telah menampakkan diri kepadanya”; Dan juga “ke tempat mezbah yang dibuatnya dahulu di sana; di situlah Abram memanggil nama TUHAN”.

[5] Lembaga Biblika Indonesia, Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, disunting oleh Dianne Bergant, CSA dan Robert J. Karris, OFM (Jakarta: Penerbit Kanisius, 2002) hal. 52.

[6] “Kepadamu dan kepada keturunanmu akan Kuberikan negeri ini yang kaudiami sebagai orang asing, yakni seluruh tanah Kanaan akan Kuberikan menjadi milikmu untuk selama-lamanya; dan Aku akan menjadi Allah mereka.’ Lagi firman Allah kepada Abraham: ‘Dari pihakmu, engkau harus memegang perjanjian-Ku, engkau dan keturunanmu turun-temurun”.

[7] Kata kohen artinya imam atau pendeta (priest), orang yang memiliki (own), penguasa tertinggi (chief ruler), pejabat (officer), pangeran atau putra mahkota (princes).

[8] Kata nasiy’ atau nasi’ artinya pangeran atau putra mahkota (prince), kapten (captain), ketua (chief), penguasa (ruler), beruap atau menguap (vapours), gubernur pemerintahan (governor), awan (clouds), bagian (part). Secara definisi adalah orang yang ditinggikan (one lifted up) atau imam (leader) dan uap yang terangkat, yakni selalu meninggi dari lainnya (raising mist).

[9] “Oleh keturunanmulah semua bangsa di bumi akan mendapat berkat, karena engkau mendengarkan firman-Ku”.

[10] “Sebab Aku telah memilih dia, supaya diperintahkannya kepada anak-anaknya dan kepada keturunannya supaya tetap hidup menurut jalan yang ditunjukkan TUHAN, dengan melakukan kebenaran dan keadilan, dan supaya TUHAN memenuhi kepada Abraham apa yang dijanjikan-Nya kepadanya.” (Kej 18:19).

[11] Bandingkan juga beberapa kedudukan Nabi Ibrahim as yang disampaikan dalam Al-Qur’an, yaitu: Pertama, sebagai nabi “Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat benar dan seorang Nabi”. (QS. 19:41). Kedua, ayat al-Qur’an ini memaparkan dua sisi, yaitu kedudukan Ibrahim as sebagai rasul dan juga moyang bagi sejumlah besar bangsa yang mana keturunannya itu akan mewarisi jabatan kenabian dan kerasulan “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh dan Ibrahim dan Kami jadikan kepada keturunan keduanya kenabian dan Al Kitab, maka di antara mereka ada yang menerima petunjuk dan banyak di antara mereka yang fasik”. (QS. 57:26). Ketiga, sebagai khalil atau sahabat Allah “Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya”. (QS. 4:125). Keempat, sebagai imam “Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhanya dengan beberapa kalimat, lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: ‘Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu sebagai imam bagi seluruh manusia.’ Ibrahim berkata: ‘dan dari keturunanku.’ Allah berfirman: ‘JanjiKu tidak mengenai orang-orang yang zalim’”. (QS. 2:124).

[12] “Manusia adalah puncak dari seluruh penciptaan. Kelebihan ciptaan ini digarisbawahi oleh kenyataan bahwa hanya manusialah yang diciptakan menurut “gambar” atau “rupa Allah”. [Dikutip dari Lembaga Biblika Indonesia, Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, disunting oleh Dianne Bergant, CSA dan Robert J. Karris, OFM (Jakarta: Penerbit Kanisius, 2002) hal. 35]. Bandingkan dengan ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang kedudukan manusia sebagai khalifah Allah dimuka (QS. 2:30) dan hadis Nabi saw yang mengatakan bahwa Adam diciptakan dari citranya.

[13] Saya sengaja mengganti kata “raja”—seperti yang ada diterjemahan Alkitab LAI—dengan kata “imam”, karena kata “raja” adalah terjemahan yang tidak tepat. Dalam bahasa Ibrani kata “raja” adalah melek, sedangkan Authorized Version (AV) tidak menyebut kata tersebut di ayat ini melek (raja) tapi nasiy’ (imam). Yakni suatu posisi atau jabatan langit tertinggi yang berasal dari Allah saja. Kedudukan ini juga diikrarkan kembali pada zaman Musa, sewaktu Allah memerintahkannya untuk mengangkat duabelas orang pemimpin atau imam dari kalangan bangsa Israel (Bdk. Bil 17:1-6). Seluruh kata yang diterjemahkan “pemimpin” di ayat tersebut di dalam AV adalah nasiy’, persis seperti kedudukan yang diberikan kepada keturunan Ismail di Kej 17:20.

[14] Saya sengaja mengganti kata “bangsa”—seperti yang diterjemahkan dalam Alkitab bahasa Indonesia—dengan kata “umat”, karena kata asli di teks Ibraninya adalah goy yang dalam bahasa Inggris bisa diterjemahkan nation dan people. Walaupun demikian, pengunaan kata “bangsa” bukan berarti keliru, hanya saja dalam kajian mesianisme Yahudi, mereka sering mengaitkan hal ini dalam konteks kebangsaan atau keturunan biologis mereka saja (nationality) yakni partikular. Sedangkan dalam mesianisme Kristen, para penafsirnya telah melepas arti “keturunan biologis” Ibrahim ini sepenuhnya dan menguniversalkan maknanya (people). (lih. Ro 4:16; Ga 3:29). Padahal, janji Allah ini memang terkait dengan kedua sisi tersebut yakni kebangsaan dan juga manusia secara umum.

[15] “Dan Kami jadikan di antara mereka itu imam-imam yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami”. (QS. 32:24; 21:73; 28:5).

[16] Sahih Bukhari, bagian 9, “Kitab al-Maqadam”, hal. 1000. Sementara dalam Musnad Ahmad diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud bahwa ia bertanya kepada Nabi tentang para khalifahnya. Beliau berkata, “Mereka duabelas orang seperti suku bani Isra’il yang dua belas.” (Musnad Ahmad, Jilid 1, hal. 398).