RTCCTV-Live kuliah-Prerecording majlis-

Saturday, April 19, 2008

Kecemerlangan Ibnu Rusyd dalam filsafat Paripatetik

Ditulis oleh Saleh Lapadi di/pada Februari 13, 2007

Kecemerlangan Ibnu Rusyd dalam filsafat Paripatetik

Ghulam Hossein Ebrahimi Dinani

Buku pemenang pertama festival buku Iran tahun yang ke 24, tahun ini (1385), dalam kategori filsafat Islam.

Di dunia Islam, filsafat telah melalui berbagai macam periode. Perjalanan filsafat Islam dimulai secara resmi di abad ke dua dan tiga Hijriyah, berbarengan dengan penerjemahan karya-karya pemikir Yunani. Sebelumnya, sekalipun kajian teologi cukup digandrungi, namun filsafat tidak memiliki posisi tersendiri. Filosof muslim pertama adalah Abu Ishaq al-Kindi (185-260 H).

Abu Nasr al-Farabi adalah filosof pertama yang mengonsep filsafat Islam. Al-Farabi selama hidupnya berusaha untuk mengharmoniskan ide-ide Plato dan Aristoteles. Ia sebagaimana mayoritas pemikir muslim lainnya, salah menganggap buku Otologia tulisan Plotinus sebagai milik Aristoteles. Itulah mengapa tanpa disadarinya ia terpengaruh Neo Platonisme. Farabi termasuk penggagas filsafat Paripatetik yang pada akhirnya berhadap-hadapan dengan filsafat-irfani Syaikh Maqtul Suhrawardi. Abu Ali Sina adalah salah satu filosof lain yang digabungkan pada aliran filsafat Paripatetik. Dengan kejeniusannya, iamenuangkan ide-idenya kedalam tulisan-tulisan filsafatnya. Ia juga berhasil mendidik muridnya Bahmaniyar menjadi salah satu pemikir berbakat dalam filsafat Paripatetik.

Masa keemasan filsafat Paripatetik berada di tangan Ibnu Sina. Ini membuat filsafat menjadi faktor penentu budaya dan penentu ilmu-ilmu yang lain. Dengan Ibnu Sina, para teolog dan arif menjadi tertantang. Para arif, yang menganggap argumentasi falsafi bak tongkat kayu yang rapuh, mulai kasak-kusuk untuk menjauhkan filsafat dari kaum muslimin. Mereka mengatakan bahwa jalan terdekat dan satu-satunya cara untuk mengenal al-Haq adalah dengan membersihkan hati dan ibadah. Filsafat hanya akan membuat orang jauh dari jalan yang sebenarnya.

Di sisi lain, para teolog juga tidak dapat menerima filsafat. Mereka berpendapat bahwa apa yang diungkapkan oleh para filosof muslim bertentangan dengan al-Quran dan Hadis, bahkan Islam menolak filsafat. Salah satu ahli teolog besar yang menetang keras filsafat adalah Abu Hamid al-Ghazali. Ghazali yang dipengaruhi oleh pemikiran tasawwuf menyebutkan bahwa dalam 20 pendapat Ibnu Sina bertentangan dengan Islam dan dalam tiga pandangannya telah sampai pada batas kafir. Tiga pandangan Ibnu Sina yang dianggap kafir oleh Ghazali adalah:

1. Keyakinan akan qidamnya alam.

2. Pengingkaran akan ilmu Allah atas obyek-obyek parsial dan kasuistik.

3. Pengingkaran terhadap hari kebangkitan manusia dengan jasad.

Setelah Ghazali, pemikir yang paling menentang filsafat adalah Fakhruddin ar-Razi. Ia meyakini bahwa ide-ide filsafat Paripatetik dan semua terjemahan pemikiran Yunani membuat agama menjadi kering. Penentangan terhadap filsafat dan pembakaran buku-buku filsafat membuat filsafat Islam mengalami kemunduran.

Sejarawan Barat dan mereka yang memandang filsafat Islam dengan kaca mata Barat, menganggap bahwa kemunduran filsafat Islam di belahan timur dunia Islam menjadikan filsafat secara umum telah musnah di kawasan itu. Sekalipun anggapan ini tidak benar sepenuhnya, namun dapat menunjukkan semangat penentangan terhadap filsafat. Hebatnya penentangan yang dilakukan oleh para arif dan teolog membuat tidak ada lagi filosof yang muncul dari kawasan timur dunia Islam.

Ketika filsafat mengalami kemunduran di kawasan timur, muncul beberapa filosof di kawasan Barat. Mereka adalah Ibnu Bajah, Ibnu Thufail dan Ibnu Rusyd. Ibnu Bajah mengkonsentrasikan ide-idenya untuk melawan tasawwuf. Ia menganggap tasawwuf sendiri sebagai hijab dan penutup manusia dari kebenaran. Kebalikan dari cara pandang urafa, Ibnu Bajah menganggap satu-satunya jalan untuk mengenal adalah filsafat. Karena filsafat tidak dicampuri oleh segala macam kelezatan fisik. Ia menambahkan bahwa kemungkinan inilah yang membuat para filosof diasingkan oleh masyarakat yang bodoh.

Setelah Ibnu Bajah, muncul Ibnu Thufail dengan kisah monumentalnya Hayyu bin Yaqzhan. Kisah itu membuatnya terkenal. Dalam cerita falsafinya itu ia berusaha untuk membuktikan bahwa manusia dengan akalnya dapat mengenal Allah. Kemampuan itu dapat diraih sekalipun tanpa bantuan wahyu dan Nabi. Cerita ini sangat mendapat perhatian Barat, sehingga mereka menerjemahkannya dalam berbagai bahasa. Semua peneliti mengetahui bahwa Daniel Defoe yang menciptakan tokoh Robinson Crusoe benar-benar dipengaruhi oleh ide Ibnu Thufail.

Sebegitu terkenalnya kedua pemikir ini, masih di bawah bayang-bayang Abul Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Rusyd (520-595 H). Hal itu karena pengaruh Ibnu Rusyd lebih kuat dari keduanya. Ibnu rusyd seperti tokoh-tokoh filsafat Paripatetik lainnya, senantiasa berusaha untuk mengharmoniskan antara filsafat dan agama. Selain itu, ia juga menulis buku “Tahafut at-Tahafut” untuk menjawab tulisan Ghazali “Tahafut al-Falasifah”. Dalam membela pemikiran filsafat, ia sampai pada kesimpulan bahwa hanya filosof saja yang mengetahui rahasia-rahasia al-Quran dan yang berhak untuk mentakwilkannya. Ibnu Rusyd menganggap bahwa kritikan Ghazali terhadap filsafat muncul karena Ibnu Sina tidak mampu menjelaskan filsafat sebagaimana yang dijelaskannya. Dengan itu, sebenarnya, bukan saja Ibnu Rusyd melakukan menjawab kritikan Ghazali tapi sekaligus mengkritik ibnu Sina.

Perbedaan ibnu Rusyd dengan farabi dan Ibnu Sina pada pengaruh ide-ide Neo Platonisme. Ia lebih sedikit dipengaruhi oleh ide Neo Platonisme. Ia menolak ide penciptaan dari tiada dan menetapkan keabadian materi. Ia menulis syarah buku-buku Aristoteles yang sampai saat ini masih dikaji oleh pengamat pikiran-pikiran Aristoteles. Begitulah William David Rush peniliti pikiran-pikiran Aristotels dalam buku-bukunya masih mempergunakan penjelasan Ibnu Rusyd. Dengan syarah-syarahnya atas buku Aristoteles pemikirannya banyak di kaji di Barat. Ernest Renan menganggapnya orang yang bebas. Sebelum menetapkan sebuah istilah ia adalah seorang yang bebas dalam berpikir. Pengaruh Ibnu Rusyd di Barat dapat juga dilacak lewat tulisan-tulisan pemikir Barat pada abad pertengahan yang menimbulkan semakin luasnya ide Rasionalisme di Barat. Ironisnya, pengaruhnya di Barat tidak sepadan dengan respon kaum muslimin di kawasan timur dunia Islam. Pengaruh tasawwuf yang cukup kuat membuat pikiran-pikiran filsafat Ibnu Rusyd tidak dikenal orang di sana.

Denga penjelasan yang lebih detil, pada periode ini perjalanan filsafat Islami ada ketaktertautan yang menganga. Di satu sisi, Ibnu Rusyd tidak dikenal oleh kaum muslimin dan di sisi lain, dengan meninggalnya ibnu Rusyd Barat menganggap filsafat islam telah tutup mata dan musnah. Akhirnya, filosof seperti Suhrawardi, Khajah Nashiruddin at-Thusi, Mir Damad dan Mulla Shadra tidak dikenal.

Buku “Kecemerlangan Ibnu Rusyd dalam filsafat Paripatetik” (Derakhshesh-e Ibnu Rusyd Dar Falsafe-ye Massha), merupakan buku dalam bahasa Parsi yang secara terperinci membahas ide-ide filsafat Ibnu Rusyd. Profesor Ghulam Hossein Ebrahimi Dinani, dengan pengalaman bertahun-tahun mengajar dan menulis berusaha untuk memperkenalkan kecemerlangan pemikiran Ibnu Rusyd yang tidak terlalu dikenal di dunia Islam. Ia menyebutkan:

“Ibnu Rusyd begitu terkenal di pusat-pusat penelitian dunia. Di antara filosof Iran ia tidak begitu dikenal. Bukan omong kosong bila ada yang mengatakan bahwa selama delapan abad setelah meninggalnya ibnu Rusyd, belum ada buku berbahasa Parsi yang ditulis menjelaskan pemikirannya. Inilah yang mendorong penulis untuk menulis buku ini. Penulis berusaha untuk membahas dan menganalisa pikiran-pikiran Ibnu Ruysd. Sekaligus sebagai buku pertama bahasa Parsi yang ditulis dalam rangka mengkaji secara terperinci pemikiran Ibnu Rusyd.”

Kecemerlangan Ibnu Rusyd dalam filsafat Paripatetik dimulai dengan kata pengantar yang cukup panjang. Karena di sana, dibahas juga tentang hubungan antara filsafat Islam dengan filsafat Yunani. Di akhir kata pengantar ini, Ibnu Rusyd diperkenalkan sebagai filosof yang mengikuti ide-ide Aristoteles dan membela pemikiran Yunani.

Dinani menganggap bahwa Kebanyakan filosof muslim, terutama Farabi dan Ibnu Sina, dalam mengkaji ide-ide Aristoteles tidak mengambil sikap pasif, namun aktif melakukan kritik. Dengan alasan ini, kedua filosof ini tidak murni menganut pikiran Aristoteles. Pikiran filsafat mereka dipengaruhi Plato, Neo Platonisme dan pikiran mereka sendiri yang muncul ketika mereka melakukan kritik terhadap pikiran Aristoteles. Atas dasar inilah, Ibnu Rusyd menganggap ibnu Sina telah keluar dari bingkai pemikiran Aristoteles. Ebrahimi Dinani meyakini kebenaran tuduhan Ibnu Rusyd terhadap ibnu Sina. Namun, itu tidak berarti kekurangan ibnu Sina, melainkan untuk menunjukkan kebebasan berpikir dari Ibnu Sina. Dan di situlah kelebihan ibnu Sina. Dengan melihat penilaian Ibnu Rusyd atas Ibnu Sina dapat diketahui bahwa ia benar-benar sebagai perwakilan pemikiran Aristoteles.

Bab pertama buku ini “Pengaruh pemikiran Ibnu Ruysd dan Ibnu Sina terhadap karya-karya filsafat Barat di abad pertengahan”. Dalam bab ini, Dinani membeberkan juga bagaimana Ibnu Ruysd dipengaruhi oleh ide-ide pemikir Islam sebelumnya. Selain itu, penulis juga menjelaskan pengaruh pemikiran Ibnu Rusyd selama empat abad dalam pemikiran Barat. Ia membawakan dialog antara pemikiran Ibnu Ruysd dengan para pendeta.

Karya ibnu Rusyd pertama kalinya diterjemahkan ke bahasa latin pada abad tiga belas. Bukunya diajarkan dan menjadi primadona di universitas-universitas Eropa. St. Aquinas pemikir paling terkenal di abad pertengahan yang dipengaruhi oleh ide-ide ibnu Rusyd. Di kalangan Yahudi yang terpengaruh pemikiran Ibnu Ruysd seperti; Musa bin Maimun, Yossef bin Yahuda dan pemikir-pemikir Yahudi Andalusia. Mereka menyebut Ibnu Rusyd sebagai semangat dan akal Aristoteles.

Bab kedua “Hakikat ganda atau dua hal yang dicerap dari hakikat yang satu”. Bab kedua ini membicarakan tentang substansi hakikat menurut pandangan Ibnu Rusyd. “Hakikat ganda” atau “hakikat muzdawij” merupakan pandangan khas milik Ibnu Rusyd. Pendapat ini sangat menarik perhatian pemikir-pemikir Barat. Yang dimaksud dengan ide hakikat ganda Ibnu Rusyd adalah “Memiliki arti bahwa Ibnu Rusyd ingin membedakan antara hakikat yang dibawa oleh agama dan hakikat yang dipahami oleh para filosof”. Setelah menukilkan dan menjelaskan teori hakikat ganda milik Rusyd, penulis kemudian melakukan analisa kritis terhadapnya. Yang paling menarik dalam bab ini adalah usaha penulis untuk menerapkan teori ini dalam berbagai disiplin ilmu; dimulai dari hubungan antara agama dan negara sampai masalah pluralisme agama. Pada akhir dari bab ini, Dinani menukil ibarat Ibnu Rusyd dan menganalisanya dan menyimpulkan bahwa sebenarnya ide Rusyd tidak bermakna ada dua hakikat tapi ada dua tingkatan hakikat; batin dan lahir. Mereka yang meyakini bahwa hakikat ada dua, dan bukan dua tingkatan, tidak tepat dalam memahami ibarat Ibnu Rusyd.

Bab ketiga “Musuh para teolog telah menggantikan mereka”. Pada bab ini, dapat ditemukan kajian Dinani tentang hubungan pemikiran keagamaan Ibnu Rusyd dan Ghazali. Di sini, penulis membawakan contoh-contoh pentakwilan dari Ibnu Rusyd. Setelah membawakan contoh-contoh itu, penulis kemudian melakukan analisa. Akhirnya, Dinani meyakini bahwa kritikan dan cibiran Ibnu Rusyd terhadap para teolog mencakup dirinya juga. Mengapa demikian? Dinani melihat bahwa Ibnu Rusyd dari sisi kefaqihan dan pemikirannya membuatnya lebih mirip ahli teolog.

Bab keempat membicarakan usaha Ibnu Rusyd untuk mengharmoniskan fiqih dan filsafat. Cara pandang ibnu Rusyd terhadap fiqih membawanya pada keyakinan akan terbukanya pintu ijtihad. Sayangnya, itu tidak diikuti dengan penjelasan yang lebih tentang substansi ijtihad dan bagaimana terbukanya pintu ijtihad itu.

Bab kelima “Tahafut at-Tahafut Ibnu Ruysd kritikan terhadap Ghazali ataukah kepada Ibnu Sina?”. Bab ini menganalisa dua buku masyhur Ghazali dan Ibnu Rusyd. Di sela-sela itu, penulis membawakan pemikiran Ibnu Sina. Bab ini sangat menarik, karena penulis secara terperinci dan luas mengkaji kehidupan dan aktivitas sosial Ibnu Rusyd dan Ibnu Sina. Informasi ini sangat menarik karena menyingkap banyak hubungan-hubungan yang selama ini tidak diperhatikan. Dan denganmembaca buku ini, semua itu dapat teraba dengan baik.

Bab keenam masih merupakan kelanjuta bahasan sebelumnya. Bab ini merupakan bagian paling sensasional. Karena membahas perbedaan antara Ibnu Rusyd dan Ibnu Sina. Perbedaan mendasar pada masalah paling prinsip “hubungan antara mahiyah dan wujud”. Penulis meyakini akan pentingnya masalah ini. Oleh karenanya, dengan sabar ia membahas masalah ini sejelas mungkin. Di akhir bab ini, penulis membawakan pandangan Ibnu Rusyd sambil juga membawakan pandangan pemikir-pemikir Islam dan kemudian menganalisanya.

Bab ketujuh “Ibnu Rusyd dan usaha menetapkan keberadaan Allah dengan dua dalil; Inayah dan Ikhtira’”. Cara menetapkan keberadaan Allah lewat argumentasi imkan dan wujub tidak diterima oleh Ibnu Rusyd. Untuk itu, ia menawarkan argumentasi lain. Pertama, argumentasi Inayah yang berlandaskan kesiapan dunia untuk manusia dan tersedianya segala sesuatu untuk mannusia di dunia. Kedua, argumentasi Ikhtira’, di mana manusia adalah mukhtara’ (yang dibuat/dicipatakan) perlu akan mukhtari’ (pencipta). Dalam bab ini, Dinani menganalisa pendapat ibnu Rusyd dengan membandingkannya dengan pendapat para filosof lainnya.

Bab kedelapan penulis membahas pengertian “Ghair Mutanahi bil Fi’l”. Apakah pengertian ini kontradiksi atau tidak, dikaji secara terperinci. Pengertian istilah ini merupakan kajian yang dibahas baik dalam filsafat Yunani dan Islam. Istilah ini sangat erat kaitannya dengan teori fisika dan meta fisika. Di sini, Dinani membahasnya dari sudut pandang Ibnu Rusyd dan pemikir lainnya.

Bab kesembilan membahas tentang “Kulli Tabi’i”. Pertanyaan penting dalam masalah ini adalah, “apakah kulli tabi’i ada secara faktual?” Masalah wujud kulli merupakan kajian paling penting dalam sejarah filsafat. Dinani, membawakan pandangan para filosof Paripatetik, khususnya Ibnu Rusyd, sekaligus bentuk penafsiran-penafsirannya atas masalah ini.

Bab kesepuluh “Ibnu Rusyd beribicara tentang Maqashid Syariah”. Filosof paling pertama yang berbicara tentang masalah ini adalah Ibnu Rusyd. Ia menolak cara pandang Mu’tazilah dan Asya’irah dan membawakan pandangannya dalam masalah ini. Menurutnya, mengetahui maqashid syariah sangat membantu seorang teolog dan faqih.

Bab sebelas “Tanpa akal fa’al tidak ada yang dapat berpikir”. Posisi Ibnu Rusyd dalam masalah akal dijelaskan panjang lebar. Dalam bab ini dijelaskan mengenai tahapan-tahapan pengetahuan mulai dari akal hayulani hingga akal fa’al. Dijelaskan juga mengenai kekhususan setiap tahapan dan bagaimana mendapatkan pengetahuan. Akal fa’al bagi para pensyarah Aristoteles merupakan bahasan yang penting, namun senantiasa buram dan ambigu. Itulah yang membuat Ibnu Rusyd membahas masalah ini juga. Di akhirnya dijelaskan pandangan Ibnu Rusyd tentang akal fa’al.

Bab kedua belas membahas kekhususan metode Ibnu Rusyd dalam tafsirannya terhadap filsafat Aristoteles. Bab ini masih merupakan kelanjutan kajian epistemologi filosof Andalusia ini dan hubungannya dengan disiplin lain seperti teologi.

Bab terakhir “Menurut Ibnu Rusyd, argumentasi rasional merupakan masalah batin”. Pertemuan Ibnu Rusyd dengan Ibnu Arabi dan apa saja yang terjadi dengan keduanya dijelaskan di sini. Dari sini, penulis menuliskan kesamaan dan perbedaan antara dua pemikir besar ini. Yang satunya adalah tokoh Paripatetik dan satunya lagi tokoh tasawwuf. Selain itu, penulis juga membahas pikiran-pikiran lain Ibnu Rusyd.

Pentingnya buku ini karena ditulis oleh filosof tentang seorang filosof yang tidak begitu dikenal. Padahal, Ibnu Rusyd merupakan filosof penting Islam. Buku ini tidak hanya sekedar sejarah. Namun, sebagaimana tulisan lain profesor Dinani “Ma Jara-ye Fekre Falsafi Dar Jahan-e Eslam”, buku ini dipenuhi dengan analisa mendalam dan menarik petualangan akal dalam pemikiran dan hati kaum muslimin. Mungkin itulah yang mendasari penulis untuk tidak memberikan sebuah tempat khusus untuk menuliskan sejarah hidup Ibnu Rusyd secara lengkap. Namun, di sela-sela pembahasannya setiap kali perlu menjelaskan kehidupan Ibnu Rusyd itu dilakukannya.

Penjelasan global seperti ini tidak dapat menjelaskan substansi buku ini. Sudah pasti bahwa tidak ada model pengetahuan apapun yang dapat menggantikan membaca. Bagi yang ingin membaca buku ini disyaratkan sedikit banyak telah mengetahui tentang filsafat Islam dan sejarahnya.

Buku ini dapat menjadi jembatan untuk lebih mengenal siapa Ibnu Rusyd, sekaligus menghidupkan kembali sisi-sisi yang selama ini tersembunyi dari filsafat dan budaya Islam. Kecemerlangan filsafat Islam membutuhkan karya-karya seperti ini.

Tentang profesor Ghulam Hossein Ebrahimi Dinani

Doktor Ghulam Hossein Ebrahim Dinani lahir pada tahun 1313 HS atau kira-kira 72 tahun lalu di desa Dinan bagian dari propinsi Isfahan. Di tempat kelahirannya ia menyelesaikan SD nya. Pada waktu itu, keinginannya keras sekali untuk belajar agama. Ini mengantarkannya belajar fiqih, usul fiqih, nahwu, saraf, dan ilmu-ilmu agama lainnya. Ia belajar pada Syaikh Muhammad Ali Habib Abadi dan Syaikh Abbas Ali Habib Abadi.

Beliau pada tahun pertama dari dekade 1330, 55 tahun lalu, pergi ke Qom. Di sana, secara serius ia melanjutkan pendidikannya. Di Qom, ia belajar Syarah Lum’ah, Rasail, Makasib. Begitu juga ia mengikuti bahts kharijnya di sana. Ia belajar pada Syaikh Abdul Javad Sedehi, Sulthani Thaba’taba’i, Mujahidi, Imam Khomeini, Sayyid Muhammad Damad, Ayatullah Boroujerdi dan lain-lain. Pada saat yang sama, ia juga belajar Asfar Mulla Shadra dan Syifa Ibnu Sina kepada Allamah Thaba’thaba’i. Daya tarik pelajaran Allamah membuat profesor Dinani mengikuti kelas khususnya. Dan dengan izin dari Allamah ia mengikutinya.

Pada tahun 1340, 40 tahun lalu, ia berhijrah menuju Teheran. Ia mengikuti ujian dan berhasil mengikuti kuliah di fakultas ushuluddin universitas Teheran. Di fakultas ini, ia bertemu dengan pemikir-pemikir seperti doktor Javad Muslih, Malekshahi dan Rashid memberikan mata kuliah. Pada masa-masa itu, ia diterima oleh kementrian pendidikan sebagai pegawai negeri.

Pada tahun 1350, berdasarkan usulan Syahid Murtadha Muthahhari ia mengikuti ujian untuk menjadi asisten dosen di universitas Ferdousi Mashad. Ia di dua bidang; sejarah agama dan filsafat meraih urutan pertama. Ia kemudian memilih untuk lebih banyak aktif di bagian filsafat. Pada saat yang sama ia menyelesaikan program doktornya di Teheran. Akhirnya beliau secara resmi di terima di bagian filsafat universitas Ferdousi Mashad.

Doktor Dinani pada tahun 1361 dipindahkan ke Teheran masih dalam kelompok yang sama, filsafat. Semenjak itu, ia menjadi anggota tim studi filsafat universitas Teheran. Selain di bidang filsafat punya pandangan-pandangan khusus, ia juga seorang pemikir dalam bidang irfan dan fiqih. Dan dalam dua bidang ini, ia mempunyai banyak tulisan.

Karya-karya doktor Dinani antara lain:

1. Qavaed Kulli Falsafi Dar Falsafeye Eslam (1357-1360)

2. Wujud-e Rabet va Mustaqel Dar Falsafeye Eslami (1362)

3. Shu’a-e Andishe va Shuhud dan Dar Falsafe-ye Suhrawardi (1364)

4. Manteq va Marefat Dar Nazar-e Ghazali (1370)

5. Ma’ad Az Didgah-e Hakim Mudarres Zanuzi (1375)

6. Asma va Sefat-e Haq Ta’ala (1375)

7. Niyayesh-e Filsuf (1377)

8. Ma Jara-ye Fekre Falsafi Dar Jahan-e Eslam (1376-1379)[Saleh L]

No comments:

...SOALAN CEPU ALIAS MENYENTAP BENAK....

Adakah Jabatan Imam Allah?

Masalah kepemimpinan merupakan salah satu persoalan yang sangat mendasar di dalam kehidupan manusia. Sejak kecil, setiap orang akan mengenal dan berinteraksi dengan persoalan ini. Kita mengenal istilah orang tua sebagai pemimpin di rumah, guru di sekolah, direktur di perusahaan, komandan di keperwiraan, kepala pemerintahan dan seterusnya. Intinya, persoalan kepemimpinan meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Ia menjadi pondasi dan tulang punggung keberlangsungan spesies manusia dimanapun dan kapanpun mereka berada. Tanpa adanya kepemimpinan, maka seluruh pilar dan sistem kehidupan manusia niscaya porak poranda atau khaos—lawan katanya adalah kosmos, yakni teratur. Hal ini sangat jelas sehingga tak perlu pembuktian lagi. Bahkan dalam skala komunitas yang paling sederhana sekalipun, kalimat “broken home” adalah istilah umum yang ditujukan bagi seorang anak yang tidak merasakan adanya figur pemimpin dirumahnya.

Pada dasarnya, makna pemimpin adalah pengatur, pembimbing, penuntun, pengawas, penegak aturan dan pemberi keputusan sehingga hubungan antara kepemimpinan dan keteraturan adalah perkara yang mustahil bisa dipisahkan. Secara esensial, penataan sekelompok masyarakat sangat bergantung pada dua kunci utama bagi terwujudnya suatu tatanan kehidupan yang harmonis, yakni adanya seperangkat aturan atau hukum dan figur pelaksananya atau penegak aturan tersebut yakni hakim. Untuk itu, munculnya kesadaran dan kebutuhan manusia bagi adanya seperangkat hukum dan keberadaan hakim adalah perkara rasional. Sedangkan penolakan atau penerimaan salah satu darinya saja adalah irasional.

Sehubungan dengan hal ini, secara garis besar agama bisa dimaknai sebagai seperangkat aturan yang diharapkan bisa menata hubungan dan perilaku manusia kepada Tuhan dan alam kehidupannya. Di setiap agama, wacana kepemimpinan adalah topik sentral yang tak bisa disepelekan terutama bagi keberlangsungan ajaran tersebut dan juga penganutnya. Saat ini, agama-agama di dunia umumnya dibagi menjadi dua kelompok. Pertama adalah agama-agama yang melandasi ajarannya berdasarkan wahyu atau “agama samawi”. Dan kedua adalah agama-agama yang melandasi ajarannya berdasarkan kebijakan dan tradisi.

Dalam kaitannya dengan studi kristologi, pembahasan komprehensif ditujukan kepada agama-agama yang mendasari ajarannya melalui wahyu Tuhan atau profetisme, yakni kenabian. Dan pada saat ini, agama-agama seperti Islam, Yahudi dan Kristen adalah ajaran-ajaran yang meyakini tentang keberadaan para nabi Tuhan. Secara substansial, kendati masing-masing agama itu punya banyak perbedaan, tapi secara umum, seluruh agama wahyu ini punya satu simpul yang sama, yaitu adanya pengakuan dari masing-masing agama tersebut bahwa Abraham [Islam: Ibrahim] adalah seorang nabi Tuhan.

Di dalam Alkitab Perjanjian Lama (Yudaisme: Tanakh), Abraham memiliki beberapa gelar yang masing-masing mencerminkan jabatan langit yang diembannya. Hal ini memposisikan Abraham sebagai orang pilihan yang mulia disisi Allah dan juga dihadapan keturunan dan para pengikutnya. Dia disebut sebagai nabi (Kej 20:7) [1], bapa sejumlah besar bangsa (Kej 17:15-16) [2], sahabat Allah (2Taw 20:7; Yes 41: 8) [3], dan yang terpenting dari semua adalah raja-imam (Kej: 12:7; 13:4) [4]. Jabatan Abraham sebagai imam Allah ini memang sangat unik dan berbeda dari kedudukan-kedudukan dia sebelumnya sehingga ada pendapat umum bahwa Kejadian 14 merupakan salah satu bab yang paling sukar dalam Kitab Kejadian.[5] Istilah “raja” dan “imam” yang selanjutnya dipadukan menjadi raja-imam mengindikasikan kepada otoritas penuh yang dijabat oleh Abraham dan keturunannya. Yakni sebagai penguasa dan pemimpin sekaligus. Hal ini otomastis berimplikasi bagi adanya suatu wilayah kekuasaan dan kepemimpinan (Kej 17:8-9) [6]. Adapun peristiwa pemberkatan Abraham sebagai Imam Alah bisa ditemukan dalam Kitab Kejadian di pasal 14:1-24. Peran Abraham sebagai pemimpin atau imam yang dipilih dan dinobatkan secara langsung oleh Allah ini—melalui perantaraan Melkisedek—adalah peristiwa yang tak dinafikan kebenarannya, baik oleh Yahudi maupun Kristen.

Secara etimologi, kata “imam” dalam bahasa Ibraninya di Authorized Version (AV) adalah kohen [7] dan nasiy [8]. Masing-masing dari kata ini di ulang sebanyak 750 kali dan 132 kali. Kedudukan ini juga menandai perjanjian atau covenant antara Abraham dan Allah yang mana melalui keturunannya itu Dia akan mengutus seorang yang diurapiNya atau Mesiah, dan akan menjadi berkat bagi seluruh bangsa di bumi (Kej 18:18).[9] Pengesahan kovenan ini ditandai dengan kewajiban penuh bagi Abraham dan keturunannya untuk mentaati hukum-hukum Ilahi berdasarkan prinsip kebenaran dan keadilan.[10]

Untuk itu, kendati sudah ada tiga jabatan langit yang diberikan kepada Abraham, yakni sebagai nabi atau rasul dan kedudukan khususnya sebagai sahabat Allah. Namun masih ada satu jabatan langit terakhir yang tertinggi, yakni sebagai imam Allah. Kedudukan ini juga dianugerahkan kepada Abraham dan keturunan biologisnya. [11] Adapun dari segi pelaksanaan bahwa meskipun jabatan imam Allah ini munculnya belakangan, namun inti dari ajaran Allah kepada manusia itu sendiri sebenarnya baru bisa direalisasikan, apabila hukum-hukum tersebut telah selesai disyariatkan oleh para nabi. Dan setelah itu, syariat ini akan ditegakkan oleh imam-imam Allah yang berasal dari keturunan biologis Abraham. Fakta ini jelas sangat rasional karena tak ada hakim kecuali setelah adanya hukum. Dan hukum pun mustahil bisa ditegakkan kecuali setelah adanya para hakim.

Pada dasarnya, jabatan imam Allah merupakan satu-satunya jabatan tertinggi dan tunas dari “Pohon Kejadian” yang menjadi tujuan atas penciptaan manusia di bumi. [12] Sedangkan kenabian atau kerasulan adalah cabang dari “Pohon Kejadian” tersebut. Artiya, institusi ilahiah ini secara gradual diawali oleh keimaman—yang menduduki puncak dari hierarki rububiyah itu, kemudian disusul dengan kerasulan atau kenabian. Sedangkan penampakan atas jabatan imam Allah di alam dunia (syahadah) secara hierarki adalah kebalikan dari hakekatnya di alam sorgawi (ghayb). Di alam dunia, kemunculan jabatan-jabatan langit ini diawali lebih dahulu dengan kenabian, kerasulan dan imamah.

Setelah Ibraham wafat, jabatan-jabatan ini terus diwariskan melalui keturunan biologis Ismail dan Ishak yang mana keduanya adalah nabi. Dalam Alkitab dinubuatkan bahwa dari Ismail dan keturunannya akan muncul duabelas orang imam “Tentang Ismael, Aku telah mendengarkan permintaanmu; ia akan Kuberkati, Kubuat beranak cucu dan sangat banyak; ia akan memperanakkan dua belas imam, [13] dan Aku akan membuatnya menjadi umat [14] yang besar (Kej 17:20). Kondisi serupa juga ditampakkan kepada bangsa Israel pada zaman Musa as yang mana dia telah diperintahkan oleh Allah untuk melantik duabelas orang imam yang dikepalai oleh Harun dan keturunannya (Bil 17:1-13). Pelantikan para imam Allah ini menandai kesempurnaan RisalahNya dan puncak dari kovenan antara Allah dan para nabi yang ditugaskan untuk menyampaikan AjaranNya kepada manusia. Bahkan fungsi utama dari pengutusan seorang nabi atau rasul itu adalah untuk menegakkan kerajaan imam dan umat yang kudus.Alkitab dan Al-Qur’an menyatakan:

“Jadi sekarang, jika kamu sungguh-sungguh mendengarkan firman-Ku dan berpegang pada perjanjian-Ku, maka kamu akan menjadi harta kesayangan-Ku sendiri dari antara segala bangsa, sebab Akulah yang empunya seluruh bumi. Kamu akan menjadi bagi-Ku kerajaan imam dan bangsa yang kudus. Inilah semuanya firman yang harus kaukatakan kepada orang Israel. (Keluaran 19:5-6)

“Dan ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu, dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putera Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh”. (QS. 33:7)

Sedangkan mengenai perjanjian [mitsaq] yang dimaksudkan itu, maka Al-Qur’an menjelaskan lagi, “Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian dari Bani Israil dan telah Kami angkat di antara mereka 12 orang pemimpin” (QS. 5:12).

Alhasil, substansi yang ingin ditegaskan dalam pengantar yang ringkas ini bahwa status seorang imam di dalam agama Ibrahimik—menurut tinjauan kristologi—itu memang ada dan dipilih secara mutlak oleh Allah sebagaimana halnya kenabian dan kerasulan. Artinya tidak melalui konsensus. Imam Allah adalah jabatan sorgawi yang kudus dan tidak terbentuk melalui mekanisme pemilihan umum ataupun cara-cara lain yang dilandasi oleh perspektif manusia. Sungguh tidak mengherankan bila Al-Qur’an sendiri pernah menegaskan bahwa keluarga Ibrahim as telah dianugerahi suatu kerajaan yang besar.

“Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya? Sesungguhnya Kami memberikan Kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar”. (QS. 4:54)

Secara historis, pena sejarah umat manusia belum pernah mencatat bahwa keluarga Ibrahim ada yang mendirikan monarki keluarga, misalnya seperti Ibrahimiyah, Ismailiyah, Ishakiyah, Yakubiyah, Yusufiyah, Musaiyah atau Haruniyah dan lain sebagainya. Hal itu disebabkan keluarga Ibrahim lebih dikenang sebagai mata airnya kenabian, kerasulan dan imamah. Jika demikian, maka kerajaan besar apakah yang dimaksudkan oleh al-Qur’an itu? Apabila hal ini tidak merujuk kepada mamlakah kohen atau kerajaan imam,[15] tentu akan sulit menemukan makna yang sebenarnya dari ayat tersebut. Lalu, apabila keluarga Ibrahim telah diwariskan kerajaan besar oleh Allah, maka bagaimanakah dengan nasib keluarga Muhammad saw sendiri? Artinya, apakah mungkin dari keturunan Muhammad saw ini akan ada yang menjadi imam-imam Allah seperi yang pernah terjadi di masa para nabi terdahulu yang berasal dari keluarga Ibrahim? Dan apabila jumlah para imam dari keluarga Ibrahim as ini selalu duabelas orang, maka mungkinkah jumlah para imam dari keluarga Muhammad pun juga demikian?

Sebagai penutup, barangkali hadis Nabi saw yang pernah diriwayatkan dalam Sahih Bukhari[16] ini bisa membawa kita kepada kontemplasi mendalam yang selaras dengan pendewasaan beragama. “Jabir ibn Samurah mengatakan, ‘Saya mendengar Nabi berkata: “Akan ada duabelas pemimpin setelah saya.” Kemudian mengatakan, “Saya mendengar ayah saya mengatakan ia mendengar Nabi berkata, “Mereka berasal dari suku Qurays”’”. Wallahu’alam.

Catatan Kaki:

[1]“Jadi sekarang, kembalikanlah isteri orang itu, sebab dia seorang nabi;”.

[2]“Aku akan memberkatinya, dan dari padanya juga Aku akan memberikan kepadamu seorang anak laki-laki, bahkan Aku akan memberkatinya, sehingga ia menjadi ibu bangsa-bangsa; raja-raja bangsa-bangsa akan lahir dari padanya”.

[3] “Bukankah Engkau Allah kami yang menghalau penduduk tanah ini dari depan umat-Mu Israel, dan memberikannya kepada keturunan Abraham, sahabat-Mu itu, untuk selama-lamanya?”; Dan juga “Tetapi engkau, hai Israel, hamba-Ku, hai Yakub, yang telah Kupilih, keturunan Abraham, yang Kukasihi;”.

[4] ”Ketika itu TUHAN menampakkan diri kepada Abram dan berfirman: ‘Aku akan memberikan negeri ini kepada keturunanmu.’ Maka didirikannya di situ mezbah bagi TUHAN yang telah menampakkan diri kepadanya”; Dan juga “ke tempat mezbah yang dibuatnya dahulu di sana; di situlah Abram memanggil nama TUHAN”.

[5] Lembaga Biblika Indonesia, Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, disunting oleh Dianne Bergant, CSA dan Robert J. Karris, OFM (Jakarta: Penerbit Kanisius, 2002) hal. 52.

[6] “Kepadamu dan kepada keturunanmu akan Kuberikan negeri ini yang kaudiami sebagai orang asing, yakni seluruh tanah Kanaan akan Kuberikan menjadi milikmu untuk selama-lamanya; dan Aku akan menjadi Allah mereka.’ Lagi firman Allah kepada Abraham: ‘Dari pihakmu, engkau harus memegang perjanjian-Ku, engkau dan keturunanmu turun-temurun”.

[7] Kata kohen artinya imam atau pendeta (priest), orang yang memiliki (own), penguasa tertinggi (chief ruler), pejabat (officer), pangeran atau putra mahkota (princes).

[8] Kata nasiy’ atau nasi’ artinya pangeran atau putra mahkota (prince), kapten (captain), ketua (chief), penguasa (ruler), beruap atau menguap (vapours), gubernur pemerintahan (governor), awan (clouds), bagian (part). Secara definisi adalah orang yang ditinggikan (one lifted up) atau imam (leader) dan uap yang terangkat, yakni selalu meninggi dari lainnya (raising mist).

[9] “Oleh keturunanmulah semua bangsa di bumi akan mendapat berkat, karena engkau mendengarkan firman-Ku”.

[10] “Sebab Aku telah memilih dia, supaya diperintahkannya kepada anak-anaknya dan kepada keturunannya supaya tetap hidup menurut jalan yang ditunjukkan TUHAN, dengan melakukan kebenaran dan keadilan, dan supaya TUHAN memenuhi kepada Abraham apa yang dijanjikan-Nya kepadanya.” (Kej 18:19).

[11] Bandingkan juga beberapa kedudukan Nabi Ibrahim as yang disampaikan dalam Al-Qur’an, yaitu: Pertama, sebagai nabi “Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat benar dan seorang Nabi”. (QS. 19:41). Kedua, ayat al-Qur’an ini memaparkan dua sisi, yaitu kedudukan Ibrahim as sebagai rasul dan juga moyang bagi sejumlah besar bangsa yang mana keturunannya itu akan mewarisi jabatan kenabian dan kerasulan “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh dan Ibrahim dan Kami jadikan kepada keturunan keduanya kenabian dan Al Kitab, maka di antara mereka ada yang menerima petunjuk dan banyak di antara mereka yang fasik”. (QS. 57:26). Ketiga, sebagai khalil atau sahabat Allah “Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya”. (QS. 4:125). Keempat, sebagai imam “Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhanya dengan beberapa kalimat, lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: ‘Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu sebagai imam bagi seluruh manusia.’ Ibrahim berkata: ‘dan dari keturunanku.’ Allah berfirman: ‘JanjiKu tidak mengenai orang-orang yang zalim’”. (QS. 2:124).

[12] “Manusia adalah puncak dari seluruh penciptaan. Kelebihan ciptaan ini digarisbawahi oleh kenyataan bahwa hanya manusialah yang diciptakan menurut “gambar” atau “rupa Allah”. [Dikutip dari Lembaga Biblika Indonesia, Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, disunting oleh Dianne Bergant, CSA dan Robert J. Karris, OFM (Jakarta: Penerbit Kanisius, 2002) hal. 35]. Bandingkan dengan ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang kedudukan manusia sebagai khalifah Allah dimuka (QS. 2:30) dan hadis Nabi saw yang mengatakan bahwa Adam diciptakan dari citranya.

[13] Saya sengaja mengganti kata “raja”—seperti yang ada diterjemahan Alkitab LAI—dengan kata “imam”, karena kata “raja” adalah terjemahan yang tidak tepat. Dalam bahasa Ibrani kata “raja” adalah melek, sedangkan Authorized Version (AV) tidak menyebut kata tersebut di ayat ini melek (raja) tapi nasiy’ (imam). Yakni suatu posisi atau jabatan langit tertinggi yang berasal dari Allah saja. Kedudukan ini juga diikrarkan kembali pada zaman Musa, sewaktu Allah memerintahkannya untuk mengangkat duabelas orang pemimpin atau imam dari kalangan bangsa Israel (Bdk. Bil 17:1-6). Seluruh kata yang diterjemahkan “pemimpin” di ayat tersebut di dalam AV adalah nasiy’, persis seperti kedudukan yang diberikan kepada keturunan Ismail di Kej 17:20.

[14] Saya sengaja mengganti kata “bangsa”—seperti yang diterjemahkan dalam Alkitab bahasa Indonesia—dengan kata “umat”, karena kata asli di teks Ibraninya adalah goy yang dalam bahasa Inggris bisa diterjemahkan nation dan people. Walaupun demikian, pengunaan kata “bangsa” bukan berarti keliru, hanya saja dalam kajian mesianisme Yahudi, mereka sering mengaitkan hal ini dalam konteks kebangsaan atau keturunan biologis mereka saja (nationality) yakni partikular. Sedangkan dalam mesianisme Kristen, para penafsirnya telah melepas arti “keturunan biologis” Ibrahim ini sepenuhnya dan menguniversalkan maknanya (people). (lih. Ro 4:16; Ga 3:29). Padahal, janji Allah ini memang terkait dengan kedua sisi tersebut yakni kebangsaan dan juga manusia secara umum.

[15] “Dan Kami jadikan di antara mereka itu imam-imam yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami”. (QS. 32:24; 21:73; 28:5).

[16] Sahih Bukhari, bagian 9, “Kitab al-Maqadam”, hal. 1000. Sementara dalam Musnad Ahmad diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud bahwa ia bertanya kepada Nabi tentang para khalifahnya. Beliau berkata, “Mereka duabelas orang seperti suku bani Isra’il yang dua belas.” (Musnad Ahmad, Jilid 1, hal. 398).