RTCCTV-Live kuliah-Prerecording majlis-

Saturday, April 19, 2008

Sejarah buku tahrir wasilah Imam Khomeini q.s

Ditulis oleh Saleh Lapadi di/pada Maret 20, 2007

imam-khomeini.jpg

Mengenal Buku Tahrir Wasilah Imam Khomeini

Saleh Lapadi

Salah satu karya fikih yang ditinggalkan oleh Imam Khomeini adalah buku Tahrir Wasilah. Buku fikih yang memuat sekumpulan fatwa fikih paling lengkap Imam Khomeini. Kedalaman dan keluasan pembahasan buku ini, berikut kekokohan argumentasinya sekaligus menepis fatwa-fatwa ulama sebelumnya yang tidak memperbolehkan mengikuti fatwa seorang mujtahid yang telah meninggal dunia. Sebagian besar pendapat dan fatwa Imam Khomeini dalam buku Tahrir Wasilah sampai saat ini adalah pendapat puncak dan diakui oleh sebagian besar para mujtahid yang nota bene adalah murid-muridnya. Oleh karenanya, sebagian dari para mujtahid yang ada saat ini masih memperbolehkan para mukallidnya (mereka yang bertaklid), yang sebelumnya, bertaklid kepada Imam Khomeini untuk mengamalkan buku Tahrir Wasilah. Sementara untuk fatwa yang berbeda dan masalah baru yang tidak terdapat dalam buku Tahrir maka harus mengikuti pendapat mereka.[1]

Sebelum mengenal lebih jauh tentang buku Tahrir Wasilah karangan Imam Khomeini ada baiknya mengenal beberapa karya fikih beliau yang ditulis sebagai buku fatwa. Buku fikih fatwa paling awal yang ditulis oleh Imam Khomeini merupakan komentar beliau terhadap buku karangan Ayatullah al-Uzhma Sayyid Abu al-Hasan Isfahani (1284-1365 H-Q) yang berjudul Wasilah an-Najah (Pengantar Keselamatan). Buku ini beliau tulis beberapa tahun sebelum meninggalnya Ayatullah Burujerdi dan dicetak dengan judul “Wasilah an-Najah Ma’a Ta’aliq al-Imam al-Khomeini”, Ayatullah Burujerdi semasa hidupnya adalah mujtahid Syi’ah terbesar. Komentar-komentar beliau terhadap buku Wasilah an-Najah inilah yang nantinya menjadi cikal bakal terbentuknya buku Tahrir Wasilah. Disebutkan bahwa ada beberapa perbedaan fatwa beliau yang ditulis dalam komentarnya terhadap Wasilah an-Najah dan buku Tahrir Wasilah. Namun masalah ini tidak sulit karena penulisan buku komentar terhadap Wasilah an-Najah lebih dahulu maka tentunya yang dikedepankan adalah pendapat beliau dalam buku Tahrir Wasilah.

Selain mengomentari buku Wasilah an-Najah karya Sayyid Abu al-Hasan al-Isfahani, beliau juga mengomentari buku al-‘Urwah al-Wutsqa karangan Ayatullah Sayyid Muhammad Kazhim al-Yazdi (1247-1337 H-Q). Buku al-‘Urwah al-Wutsqa adalah buku argumentasi fikih Syi’ah yang ditulis dengan baik dan tercatat sebagai salah satu buku yang memuat cabang-cabang masalah fikih dengan komplit pada masanya. Sayyid Yazdi sendiri setelah menulis buku tersebut mengumumkan sayembara kepada murid-muridnya dan berjanji memberikan hadiah bila menemukan kekurangan dalam hal ini.

Sebagai sebuah perbandingan, sekalipun buku Tahrir Wasilah cukup komplit membahas masalah-masalah kontemporer dan perincian masalahnya lebih banyak, namun masih kalah kelengkapan penjelasan untuk seluruh cabang masalah fikih dibanding buku al-‘Urwah al-Wutsqa. Oleh karenanya, untuk melihat pikiran-pikiran Imam Khomeini secara utuh dalam masalah fikih hendaknya melakukan perujukan kepada buku ini. Komentar Imam Khomeini terhadap buku al-‘Urwah al-Wutsqa dicetak dengan judul “Al-‘Urwah al-Wutsqa Ma’a Ta’aliq al-Imam Khomeini”.

Buku-buku yang memuat fatwa-fatwa Imam Khomeini di atas ditulis dalam bahasa Arab sebagaimana buku Tahrir Wasilah. Imam Memiliki buku fatwa dalam bahasa Persi. Buku pertama beliau dalam bahasa Persi adalah “Resale-e Nejatul Ebad” (Risalah untuk keselamatan hamba). Buku ini dikumpulkan pada awal-awal beliau menjadi marja’ dan Ayatullah Burujerdi masih hidup. Buku ini sebagian besar adalah terjemahan Wasilah an-Najah dan pada bagian-bagian tertentu adalah terjemahan al-“Urwah al-Wutsqa yang beliau komentari. Namun tentu saja dalam penyusunan ini dituntun langsung oleh beliau secara lisan. Setelah meninggalnya Ayatullah Burujerdi dan kemudian dicetaknya Risalah Taudhih al-Masail kumpulan buku fatwa Imam, buku Resale-e Najatul Ebad kemudian menjadi terlupakan.

Buku fikih paling anyar dari Imam Khomeini adalah Risalah Taudhih al-Masail. Buku ini disusun dan kemudian diedit oleh mereka yang berada khusus menangani masalah fatwa Imam Khomeini. Setelah itu mereka mengirimkan surat kepada Imam Khomeini untuk mendapatkan persetujuan beliau bahwa apa yang tertulis dalam buku ini sesuai dengan fatwa beliau. Buku ini mendapat perhatian besar sehingga berkali-kali diterbitkan ulang, ditambah lagi dengan permasalahan-permasalahan baru yang ditanyakan kepada Imam Khomeini.

Proses penulisan buku Tahrir Wasilah

Buku Tahrir Wasilah pada hakikatnya hasil kerja tiga orang ulama besar Syi’ah. Mereka itu adalah Ayatullah Sayyid Muhammad Kazhim Yazdi, Ayatullah Sayyid Abu al-Hasan Isfahani dan Ayatullah Sayyid Ruhullah Khomeini. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, Imam Khomeini menuliskan komentar terhadap buku Wasilah an-Najah milik Sayyid Abu al-Hasan Isfahani dan dalam penulisan buku Tahrir Wasilah, komentar-komentar beliau itu dijadikan matan dan teks yang berdiri sendiri dari buku Wasilah an-Najah. Lalu kemudian beliau menambahkan masalah-masalah lain yang terinspirasi oleh buku al-‘Urwah al-Wutsqa milik Sayyid Kazhim Yazdi dan selain itu, beliau menambahkan masalah-masalah kontemporer.

Bahwa buku Tahrir Wasilah adalah hasil kerja keras tiga ulama besar di atas sangat beralasan sekali. Hal itu dikarenakan dalam penulisan buku Tahrir Wasilah sumber yang dijadikan rujukan Imam Khomeini hanya tiga buah buku; Wasilah an-Najah, al-‘Urwah al-Wutsqa dan Wasail Syi’ah. Dan buku Tahrir Wasilah ditulis dalam penjara di kota Bursa Turki dengan tidak diberi kesempatan untuk dapat mengakses keluar.

Untuk mengenal lebih dekat bagaimana proses penulisan tersebut ada baiknya bila kita membaca sendiri dari tulisan Imam Khomeini dalam pembukaan buku Tahrir Wasilah. Beliau menyebutkan:

“Sebelumnya aku telah memberikan komentar terhadap buku Wasilah an-Najah miliki Sayyid al-Hujjah Isfahani. Pada akhir bulan Jumadil Tsani tahun 1384 H-Q (bertepatan dengan tanggal 13 Aban 1343 H-S), saya diasingkan dari kota Qom ke kota pelabuhan Boursa di Turki karena peristiwa yang sangat berat dan memilukan yang menimpa Islam dan kaum muslimin, dan saya yakin bahwa sejarah pasti mencata hal itu. Di sana, saya diawasi dengan sangat ketat. Dan karena masih ada waktu lenggang saya kemudian memutuskan untuk menjadikan komentar-komentar saya terhadap buku Wasilah an-Najah sebagai teks dan buku sehingga lebih mudah dan lebih bermanfaat. Dan bila Allah memberikan taufik, akan saya tambahkan masalah-masalah yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari.”[2]

1. Buku Tahrir Wasilah oleh Imam Khomeini ditulis dalam dua jilid dengan perincian:

Jilid pertama dibagi dalam 7 kitab; ahkam taklid, taharah, salat, puasa, zakat, khumus, dan mukaddimah haji.

2. Jilid kedua dibagi dalam 26 kitab; ar-rahn, al-hajr, ad-dhaman, al-hiwalah wa al-kifalah, al-wikalah, al-iqrar, al-hibah, al-waqf wa akhawatuh, al-washiyah, al-iman wa an-nudzur, al-kaffarat, as-shaid wa az-dzibahah, al-ath’imah wa al-asyribah, al-ghashb, ihya al-mawat wa musytarakat, al-luqathah, an-nikah, at-thalaq, al-khulu’ wa al-mubarat, az-zhihar, al-ila’, al-li’an, al-mawarits, al-qadha, as-syahadat, al-hudud,

Terjemah Tahrir Wasilah

Mengingat buku Tahrir Wasilah oleh Imam Khomeini ditulis dalam bahasa Arab, maka tentu saja tidak dapat diakses dengan mudah oleh mereka yang tidak mengethaui bahasa Arab, sayangnya sampai saat ini belum ada terjemahan lengkap buku ini ke dalam bahasa Indonesia. Oleh karenanya, buku Tahrir Wasilah ini diterjemahkan dalam bahasa Persi. Di sini penulis hanya menyertakan dua terjemahan komplit dari Tahrir Wasilah ke dalam bahasa Persi disertai matan Tahrir Wasilah itu sendiri dan sebuah terjemahan bahasa Urdu.

1. Tahrir Wasilah terjemahan Sayyid Muhammad Baqir Musawi Hamadani dalam empat jilid. Terjemahan ini diterbitkan oleh penerbit Dar al-‘Ilm, Qom pada tahun 1375 H-S.

2. Tahrir Wasilah terjemahan Ali Islami dan Qadhi Zadeh dibawah pengawasan Muhammad Mukmin Qummi dan Sayyid Hasan Taheri Khurram Abadi dalam empat jilid. Terjemahan ini diterbitkan oleh Daftar penerbitan Islami Hauzah ilmiyah Qom.

3. Terjemahan Tahrir Wasilah ke bahasa Urdu dipimpin langsung oleh Deputi Urusan Internasional Yayasan Tanzhim dan Nasyr karya-karya Imam Khomeini. Terjemahan ini dalam empat jilid dan salah satu kelebihan terjemahan Urdu ini adalah dari setiap satu halaman terjemahan Urdu disertai dengan satu halaman matan asli.

Ringkasan Tahrir Wasilah

Dua jilid buku Tahrir Wasilah terasa terlalu memberatkan dan kemudian menjadi tidak praktis, apa lagi tidak semua pembahasan yang ada di dalamnya tidak terpakai. Terlebih lagi untuk memenuhi kebutuhan buku fikih bercorak fatwa pada tingkat permulaan. Untuk memenuhi kebutuhan ini dilakukan peringkasan terhadap buku Tahrir Wasilah ini. Untuk ringkasan Tahrir Wasilah ini juga ditulis dalam bahasa Arab. Ada dua buku sebagai ringkasan Tahrir Wasilah:

1. Zubdah al-Ahkam. Buku ini diterbitkan oleh Sazman Tabligate Eslami (semacam badan penerangan), di Tehran pada tahun 1404 H-Q dalam 273 halaman.

2. Ma’rifah Abwab al-Fiqih. Buku ini diterbitkan oleh Markaze Jahani Ulume Islami untuk memenuhi kurikulum fikih praktis di tingkat permulaan. Buku ini diterbitkan pertama kali pada tahun 1377 H-S dalam 223 halaman. Komentar terhadap Tahrir Wasilah

Setelah Imam Khomeini menuliskan buku Tahrir Wasilahnya dan kemudian mendapat sambutan hangat dari ulama Syi’ah, sebagian ulama kemudian memutuskan untuk memberikan komentar terhadap buku ini. Ditambah lagi sebagian mujtahid mengambil langkah berani dengan menjadikannya sebagai nara sumber untuk kajian fikih tingkat akhir (bahts karij) mereka, setelah lama memakai buku Makasib milik Syaikh Anshari sebagai pedoman.

Di bawah ini beberapa komentar terhadap buku Tahrir Wasilah dari ulama kontemporer Syi’ah”

1. Komentar dari Ayatullah Fadhil Langkarani.

2. Komentar dari Ayatullah Makarim Syirazi.

3. Komentar dari Ayatullah Alawi Gurgani.

4. Komentar dari Ayatullah Yusuf Shane’i.

5. Komentar dari Ayatullah Abu Thalib Tajlil Tabrizi.

6. Komentar dari Ayatullah Misykini Ardebili.

Syarah terhadap Tahrir Wasilah

Imam Khomeini dalam Shahifah Nur menyebutkan:

“Ruang dan waktu adalah elemen penentu dalam berijtihad. Sebuah masalah pada masa lalu memiliki hukumnya tersendiri. Namun tampaknya, masalah yang sama, dengan kondisi berbeda yang menguasai sebuah sistem pemerintahan baik dari sisi politik, sosial, dan ekonomi memungkinkan munculnya sebuah hukum yang baru. Munculnya sebuah hukum yang baru tersebut dengan makna bahwa pengenalan yang lebih detil terhadap hubungan-hubungan ekonomi, sosial dan politik pada sebuah obyek yang pada mulanya tampak tidak berbeda dengan obyek sebelumnya, ternyata benar-benar melahirkan sebuah obyek hukum yang baru dan lain dengan sebelumnya yang pada gilirannya menuntut sebuah hukum yang baru.”[3]

Konsep ijtihad dalam ruang dan waktu ini sangat mempengaruhi hasil dari penyimpulan hukum seorang mujtahid. Hal inilah yang membuat fatwa-fatwa Imam Khomeini menjadi memiliki corak tersendiri dalam khazanah pemikiran ulama Syi’ah. Dan konsep ini kemudian mulai dikaji lebih dalam oleh ulama sepeninggalnya. Oleh karena itu, buku Tahrir Wasilah menjadi sangat penting bagi ulama saat ini. Untuk itu ditulis berjilid-jilid syarah terhadap buku Tahrir Wasilah ini. Bahkan, lebih dari itu, mereka yang mensyarahi buku Tahrir Wasilah kemudian melakukan penelitian lebih jauh dengan mencoba menyingkap argumentasi dan sumber-sumber yang dipakai oleh Imam Khomeini sehingga sampai pada kesimpulan yang tertulis dalam buku Tahrirnya.

Untuk itu penulis membawakan sejumlah syarah yang ditulis menjelaskan lebih jauh buku Tahrir Wasilah ini. Tentunya, mengkaji syarah-syarah yang ada akan lebih memperkaya cara pandang kita terhadap ide-ide dan corak pemikiran Imam Khomeini.

1. Tafshil as-Syari’ah. Judul lengkap buku ini adalah Tafshil as-Syari’ah Fi Syarhi Tahrir al-Wasilah. Ini adalah syarah paling terperinci dan paling lengkap tentang Tahrir Wasilah Imam Khomeini. Syarah ini ditulis oleh Ayatullah Fadhil Langkarani salah satu murid Imam Khomeini. Bahkan jilid-jilid pertama dari syarah ini ditulis sebelum revolusi Iran ketika Imam diasingkan setelah dari Turki. Sampai pada penulisan makalah ini, syarah yang ditulis oleh Ayatullah Fadhil Langkarani ini telah dicetak sebanyak 20 jilid. Dan penulisan syarah ini masih dilanjutkan.

2. Madarik Tahrir Wasilah. Syarah ini ditulis oleh Ayatullah Murtadha Bani Fadhl Tabrizi. Pada awalnya, syarah ini hasil kuliah-kuliah yang beliau sampaikan. Kelebihan syarah ini dibandingkan dengan yang lainnya pada penukilan ayat-ayat al-Quran, hadis-hadis dan ijma’ yang menjadi sandaran Imam Khomeini. Karena itulah syarah ini disebut Madarik Tahrir wasilah (sumber-sumber fatwa dalam Tahrir Wasilah). Sampai saat ini, sayarh ini hanya menjelaskan tiga kitab; puasa, salat (dalam tiga jilid) dan zakat dan khumus.

3. Mabani Tahrir Wasilah. Syarah ini ditulis oleh Ayatullah Muhamamd Mukmin Qummi. Syarah ini juga merupakan hasil dari kuliah-kuliah yang disampaikan oleh beliau dari Tahrir Wasilah dalam masalah; kitab al-qadha dan kitab as-syahadah dalam sebuah jilid dan jilid keduanya terkait dengan kitab al-hudud.

4. Mustanad Tahrir Wasilah. Syarah ini ditulis oleh anak Imam Khomeini yang bernama Mushthafa Khomeini dalam dua jilid. Dalam dua jilid ini beliau mensyarahi beberap bagian dari kajian Tahrir Wasilah seperti; taharah, salat, makasib wa matajir, puasa, bai’ (jual beli), khiyarat dan nikah. Kelebihan syarah ini dibandingkan dengan syarah-syarah yang lain selain penelitian yang dalam dan ketelitian yang lebih ada pada pengeditan dan penyempurnaan yang dilakukan oleh Imam sendiri. Dan itu ketika Sayyid Musthafa menanyakan sebagian masalah yang ada pada buku Tahrir Wasilah kepada Imam Khomeini sang ayah.

5. Mustanad Tahrir Wasilah. Syarah ini namanya mirip dengan syarah yang ditulis oleh Sayyid Musthafa Khomeini namun ini ditulis oleh Ayatullah Syaikh Ahmad Muthahhari Saveji dalam delapan jilid. Lebih dari dua puluh tahun beliau memberikan perhatian terhadap buku Tahrir Wasilah masa di mana pada masa itu masih langka ulama yang melakukan itu. Beliau mensyarahi beberapa bagian dari masalah dalam Tahrir Wasilah. Sayangnya, karena buku ini dicetak masa itu tidak memiliki indeks yang baik bahkan tanpa ada pengantar dari sang penulis. Sebagian dari buku ini ditulis sendiri oleh penulis dan sebagian lainnya diterjemahkan ke dalam bahasa Persi oleh orang lain.

1. Fiqh as-Tsaqalain. Syarah ini ditulis oleh Ayatullah Yusuf Shane’i dalam dua jilid. Sebagaimana syarah Tahrir Wasilah yang lain, buku ini adalah hasil kuliah fikih tingkat akhir (bahts kharij). Dua jilid dari syarah beliau ini menyangkut kitab thalaq dan kitab qishas. Buku ini ditulis oleh salah seorang mahasiswanya. Kelebihan syarah ini dibandingkan dengan lainnya adalah selain buku ini hasil kuliah yang dikaji bersama mahasiswanya, hasil tulisan dari salah seorang mahasiswanya kemudian diteliti lagi oleh beliau secara langsung sebelum naik cetak.

2. Anwar al-Faqahah. Syarah ini ditulis oleh Ayatullah Syaikh makarim Syirazi. Ayatullah Makarim dalam pengantarnya menyebutkan alasannya mengapa beliau memilih mensyarahi buku Tahrir Wasilah. Pertama, karena matan asli buku Tahrir adalah Wasilah an-Najah. Kedua, mencakup kajian-kajian yang ditulis oleh Sayyid Yazdi dalam bukunya al-‘Urwah al-Wutsqa. Dan ketiga, dikarenakan buku Tahrir Wasilah membahas banyak hal yang dibutuhkan untuk masa kini sementara ulama yang lain kurang memperhatikan hal tersebut.

3. Mu’tamid Tahrir Wasilah. Buku ini ditulis oleh Syaikh Abbas Zhahiri Isfahani dalam satu jilid. Buku ini hanya mengambil satu bab dalam buku Tahrir Wasilah mengenai masalah-masalah kontemporer. Menurut penulis dalam pengantarnya, baru kali ini Imam menulis buku fatwanya dan disertai dengan bab khusus tentang masalah-masalah kontemporer membuat saya tertarik untuk mensyarahinya.

4. Misbah Syari’ah. Syarah ini ditulis oleh Syaikh Abdunnabi Namazi Bushehri dalam empat jilid. Keempat jilid tersebut merupakan syarah beberapa bagian dari buku Tahrir Wasilah. Jilid pertama mensyarahi bagian ijtihad dan taklid, jilid kedua membicarakan salat musafir sementara ketiga dan keempat menjelaskan panjang lebar tentang masalah khumus dan puasa.

5. Dalil Tahrir Wasilah. Syarah ini ditulis oleh Syaikh Ali Akbar Saifi Mazandarani dalam enam jilid. Masing-masing membicarakan tema-tema penting dalam buku Tahrir Wasilah seperti; wilayatul faqih, khumus, ahkam as-satr wa an-nazhar, as-shaid wa az-dzibahah dan ahkam al-usrah.

6. Syarh Tahrir Wasilah. Ayatullah Syaikh Ahmad Sibth as-Syaikh (1349-1416 H-Q) dalam satu jilid berusaha mensyarahi masalah taklid dan taharah. Beliau tidak sempat melanjutkan syarahnya terhadap buku Tahrir Wasilah karena keburu dijemput ajal. Kekeurangan syarah ini, sebagaimana buku-buku yang dicetak dahulu, tidak memiliki catatan kaki dan sumber rujukan.

7. Nur ad-Din al-Munir.[4] Pengarang buku ini adalah Sayyid Nuruddin Shariat Nadari Jazairi. Poin penting dari syarah ini adalah usaha penulis untuk melakukan kajian perbandingan dua tokoh besar dari ulama Syi’ah yaitu; Imam Khomeini dan Sayyid Khu’i. Dan studi komparasi keduanya dalam masalah ijtihad dan taklid dan beberapa tema-tema penting lainnya. Tentu studi perbandingan yang dilakukan tidak keluar dari usahanya ingin menyusus ensiklopedia fikih dan usul fikih.

Masih ada beberapa syarah lain yang ditulis oleh ulama kontemporer Syi’ah terkait dengan buku Tahrir Wasilah yang tidak disebutkan di sini. Dan tentu saja usaha untuk menggali pemikiran-pemikiran Imam Khomeini tidak akan berhenti dengan menukil beberapa syarah dan komentar yang ditulis mengenai Tahrir Wasilah.

Sumber rujukan:

1. Nashiruddin Anshari Qummi, Ketab shenasi Tahrir Wasilah, Ayeneh-e Pazhoohesh (Jurnal tiga bulanan Mirror of Research), vol 91, 1384.

2. Hasan Pouya, Ketab Shenasi Tahrir Wasilah, Qom, Muasasaeh Tanzim Va Nashre Asare Emam Khomeini, 1383.


[1] . Menurut hemat penyusun, sebenarnya fenomena ini memiliki beberapa alasan. Pertama, dituntut oleh sikap moral murid terhadap guru yang ada pada hauzah ilmiah hingga sekarang. Dan kedua, lebih pada alasan teknis agar tidak terjadi pengulangan yang tidak perlu. Dengan demikian, fatwa yang disampaikan oleh ulama tentang masalah taklid kepada seorang mujtahid yang telah meninggal sebenarnya pada substansinya tidak berbeda. Karena ketika disebutkan masih diperbolehkan mengikuti pendapat Imam Khomeini sebenarnya hal itu menunjukkan kesamaan pendapat mujtahid yang hidup dengan pendapat Imam Khomeini.

[2] . Imam Khomeini, Tahrir Wasilah, Najaf Asyraf, al-Adab, 1390 H-Q.

[3] . Khomeini,Sayyid Ruhullah Musawi, Shahifah Nur, Tehran, Soroush, 1369.

[4] . Dalam naskah yang lain judul buku ini adalah an-Nur al-Mubin Fi Syarh Tahrir al-Wasilah Wa Minhaj as-Shalihin. Lihat Hasan Pouya, Ketab Shenais Tahrir Wasilah, Qom.

No comments:

...SOALAN CEPU ALIAS MENYENTAP BENAK....

Adakah Jabatan Imam Allah?

Masalah kepemimpinan merupakan salah satu persoalan yang sangat mendasar di dalam kehidupan manusia. Sejak kecil, setiap orang akan mengenal dan berinteraksi dengan persoalan ini. Kita mengenal istilah orang tua sebagai pemimpin di rumah, guru di sekolah, direktur di perusahaan, komandan di keperwiraan, kepala pemerintahan dan seterusnya. Intinya, persoalan kepemimpinan meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Ia menjadi pondasi dan tulang punggung keberlangsungan spesies manusia dimanapun dan kapanpun mereka berada. Tanpa adanya kepemimpinan, maka seluruh pilar dan sistem kehidupan manusia niscaya porak poranda atau khaos—lawan katanya adalah kosmos, yakni teratur. Hal ini sangat jelas sehingga tak perlu pembuktian lagi. Bahkan dalam skala komunitas yang paling sederhana sekalipun, kalimat “broken home” adalah istilah umum yang ditujukan bagi seorang anak yang tidak merasakan adanya figur pemimpin dirumahnya.

Pada dasarnya, makna pemimpin adalah pengatur, pembimbing, penuntun, pengawas, penegak aturan dan pemberi keputusan sehingga hubungan antara kepemimpinan dan keteraturan adalah perkara yang mustahil bisa dipisahkan. Secara esensial, penataan sekelompok masyarakat sangat bergantung pada dua kunci utama bagi terwujudnya suatu tatanan kehidupan yang harmonis, yakni adanya seperangkat aturan atau hukum dan figur pelaksananya atau penegak aturan tersebut yakni hakim. Untuk itu, munculnya kesadaran dan kebutuhan manusia bagi adanya seperangkat hukum dan keberadaan hakim adalah perkara rasional. Sedangkan penolakan atau penerimaan salah satu darinya saja adalah irasional.

Sehubungan dengan hal ini, secara garis besar agama bisa dimaknai sebagai seperangkat aturan yang diharapkan bisa menata hubungan dan perilaku manusia kepada Tuhan dan alam kehidupannya. Di setiap agama, wacana kepemimpinan adalah topik sentral yang tak bisa disepelekan terutama bagi keberlangsungan ajaran tersebut dan juga penganutnya. Saat ini, agama-agama di dunia umumnya dibagi menjadi dua kelompok. Pertama adalah agama-agama yang melandasi ajarannya berdasarkan wahyu atau “agama samawi”. Dan kedua adalah agama-agama yang melandasi ajarannya berdasarkan kebijakan dan tradisi.

Dalam kaitannya dengan studi kristologi, pembahasan komprehensif ditujukan kepada agama-agama yang mendasari ajarannya melalui wahyu Tuhan atau profetisme, yakni kenabian. Dan pada saat ini, agama-agama seperti Islam, Yahudi dan Kristen adalah ajaran-ajaran yang meyakini tentang keberadaan para nabi Tuhan. Secara substansial, kendati masing-masing agama itu punya banyak perbedaan, tapi secara umum, seluruh agama wahyu ini punya satu simpul yang sama, yaitu adanya pengakuan dari masing-masing agama tersebut bahwa Abraham [Islam: Ibrahim] adalah seorang nabi Tuhan.

Di dalam Alkitab Perjanjian Lama (Yudaisme: Tanakh), Abraham memiliki beberapa gelar yang masing-masing mencerminkan jabatan langit yang diembannya. Hal ini memposisikan Abraham sebagai orang pilihan yang mulia disisi Allah dan juga dihadapan keturunan dan para pengikutnya. Dia disebut sebagai nabi (Kej 20:7) [1], bapa sejumlah besar bangsa (Kej 17:15-16) [2], sahabat Allah (2Taw 20:7; Yes 41: 8) [3], dan yang terpenting dari semua adalah raja-imam (Kej: 12:7; 13:4) [4]. Jabatan Abraham sebagai imam Allah ini memang sangat unik dan berbeda dari kedudukan-kedudukan dia sebelumnya sehingga ada pendapat umum bahwa Kejadian 14 merupakan salah satu bab yang paling sukar dalam Kitab Kejadian.[5] Istilah “raja” dan “imam” yang selanjutnya dipadukan menjadi raja-imam mengindikasikan kepada otoritas penuh yang dijabat oleh Abraham dan keturunannya. Yakni sebagai penguasa dan pemimpin sekaligus. Hal ini otomastis berimplikasi bagi adanya suatu wilayah kekuasaan dan kepemimpinan (Kej 17:8-9) [6]. Adapun peristiwa pemberkatan Abraham sebagai Imam Alah bisa ditemukan dalam Kitab Kejadian di pasal 14:1-24. Peran Abraham sebagai pemimpin atau imam yang dipilih dan dinobatkan secara langsung oleh Allah ini—melalui perantaraan Melkisedek—adalah peristiwa yang tak dinafikan kebenarannya, baik oleh Yahudi maupun Kristen.

Secara etimologi, kata “imam” dalam bahasa Ibraninya di Authorized Version (AV) adalah kohen [7] dan nasiy [8]. Masing-masing dari kata ini di ulang sebanyak 750 kali dan 132 kali. Kedudukan ini juga menandai perjanjian atau covenant antara Abraham dan Allah yang mana melalui keturunannya itu Dia akan mengutus seorang yang diurapiNya atau Mesiah, dan akan menjadi berkat bagi seluruh bangsa di bumi (Kej 18:18).[9] Pengesahan kovenan ini ditandai dengan kewajiban penuh bagi Abraham dan keturunannya untuk mentaati hukum-hukum Ilahi berdasarkan prinsip kebenaran dan keadilan.[10]

Untuk itu, kendati sudah ada tiga jabatan langit yang diberikan kepada Abraham, yakni sebagai nabi atau rasul dan kedudukan khususnya sebagai sahabat Allah. Namun masih ada satu jabatan langit terakhir yang tertinggi, yakni sebagai imam Allah. Kedudukan ini juga dianugerahkan kepada Abraham dan keturunan biologisnya. [11] Adapun dari segi pelaksanaan bahwa meskipun jabatan imam Allah ini munculnya belakangan, namun inti dari ajaran Allah kepada manusia itu sendiri sebenarnya baru bisa direalisasikan, apabila hukum-hukum tersebut telah selesai disyariatkan oleh para nabi. Dan setelah itu, syariat ini akan ditegakkan oleh imam-imam Allah yang berasal dari keturunan biologis Abraham. Fakta ini jelas sangat rasional karena tak ada hakim kecuali setelah adanya hukum. Dan hukum pun mustahil bisa ditegakkan kecuali setelah adanya para hakim.

Pada dasarnya, jabatan imam Allah merupakan satu-satunya jabatan tertinggi dan tunas dari “Pohon Kejadian” yang menjadi tujuan atas penciptaan manusia di bumi. [12] Sedangkan kenabian atau kerasulan adalah cabang dari “Pohon Kejadian” tersebut. Artiya, institusi ilahiah ini secara gradual diawali oleh keimaman—yang menduduki puncak dari hierarki rububiyah itu, kemudian disusul dengan kerasulan atau kenabian. Sedangkan penampakan atas jabatan imam Allah di alam dunia (syahadah) secara hierarki adalah kebalikan dari hakekatnya di alam sorgawi (ghayb). Di alam dunia, kemunculan jabatan-jabatan langit ini diawali lebih dahulu dengan kenabian, kerasulan dan imamah.

Setelah Ibraham wafat, jabatan-jabatan ini terus diwariskan melalui keturunan biologis Ismail dan Ishak yang mana keduanya adalah nabi. Dalam Alkitab dinubuatkan bahwa dari Ismail dan keturunannya akan muncul duabelas orang imam “Tentang Ismael, Aku telah mendengarkan permintaanmu; ia akan Kuberkati, Kubuat beranak cucu dan sangat banyak; ia akan memperanakkan dua belas imam, [13] dan Aku akan membuatnya menjadi umat [14] yang besar (Kej 17:20). Kondisi serupa juga ditampakkan kepada bangsa Israel pada zaman Musa as yang mana dia telah diperintahkan oleh Allah untuk melantik duabelas orang imam yang dikepalai oleh Harun dan keturunannya (Bil 17:1-13). Pelantikan para imam Allah ini menandai kesempurnaan RisalahNya dan puncak dari kovenan antara Allah dan para nabi yang ditugaskan untuk menyampaikan AjaranNya kepada manusia. Bahkan fungsi utama dari pengutusan seorang nabi atau rasul itu adalah untuk menegakkan kerajaan imam dan umat yang kudus.Alkitab dan Al-Qur’an menyatakan:

“Jadi sekarang, jika kamu sungguh-sungguh mendengarkan firman-Ku dan berpegang pada perjanjian-Ku, maka kamu akan menjadi harta kesayangan-Ku sendiri dari antara segala bangsa, sebab Akulah yang empunya seluruh bumi. Kamu akan menjadi bagi-Ku kerajaan imam dan bangsa yang kudus. Inilah semuanya firman yang harus kaukatakan kepada orang Israel. (Keluaran 19:5-6)

“Dan ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu, dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putera Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh”. (QS. 33:7)

Sedangkan mengenai perjanjian [mitsaq] yang dimaksudkan itu, maka Al-Qur’an menjelaskan lagi, “Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian dari Bani Israil dan telah Kami angkat di antara mereka 12 orang pemimpin” (QS. 5:12).

Alhasil, substansi yang ingin ditegaskan dalam pengantar yang ringkas ini bahwa status seorang imam di dalam agama Ibrahimik—menurut tinjauan kristologi—itu memang ada dan dipilih secara mutlak oleh Allah sebagaimana halnya kenabian dan kerasulan. Artinya tidak melalui konsensus. Imam Allah adalah jabatan sorgawi yang kudus dan tidak terbentuk melalui mekanisme pemilihan umum ataupun cara-cara lain yang dilandasi oleh perspektif manusia. Sungguh tidak mengherankan bila Al-Qur’an sendiri pernah menegaskan bahwa keluarga Ibrahim as telah dianugerahi suatu kerajaan yang besar.

“Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya? Sesungguhnya Kami memberikan Kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar”. (QS. 4:54)

Secara historis, pena sejarah umat manusia belum pernah mencatat bahwa keluarga Ibrahim ada yang mendirikan monarki keluarga, misalnya seperti Ibrahimiyah, Ismailiyah, Ishakiyah, Yakubiyah, Yusufiyah, Musaiyah atau Haruniyah dan lain sebagainya. Hal itu disebabkan keluarga Ibrahim lebih dikenang sebagai mata airnya kenabian, kerasulan dan imamah. Jika demikian, maka kerajaan besar apakah yang dimaksudkan oleh al-Qur’an itu? Apabila hal ini tidak merujuk kepada mamlakah kohen atau kerajaan imam,[15] tentu akan sulit menemukan makna yang sebenarnya dari ayat tersebut. Lalu, apabila keluarga Ibrahim telah diwariskan kerajaan besar oleh Allah, maka bagaimanakah dengan nasib keluarga Muhammad saw sendiri? Artinya, apakah mungkin dari keturunan Muhammad saw ini akan ada yang menjadi imam-imam Allah seperi yang pernah terjadi di masa para nabi terdahulu yang berasal dari keluarga Ibrahim? Dan apabila jumlah para imam dari keluarga Ibrahim as ini selalu duabelas orang, maka mungkinkah jumlah para imam dari keluarga Muhammad pun juga demikian?

Sebagai penutup, barangkali hadis Nabi saw yang pernah diriwayatkan dalam Sahih Bukhari[16] ini bisa membawa kita kepada kontemplasi mendalam yang selaras dengan pendewasaan beragama. “Jabir ibn Samurah mengatakan, ‘Saya mendengar Nabi berkata: “Akan ada duabelas pemimpin setelah saya.” Kemudian mengatakan, “Saya mendengar ayah saya mengatakan ia mendengar Nabi berkata, “Mereka berasal dari suku Qurays”’”. Wallahu’alam.

Catatan Kaki:

[1]“Jadi sekarang, kembalikanlah isteri orang itu, sebab dia seorang nabi;”.

[2]“Aku akan memberkatinya, dan dari padanya juga Aku akan memberikan kepadamu seorang anak laki-laki, bahkan Aku akan memberkatinya, sehingga ia menjadi ibu bangsa-bangsa; raja-raja bangsa-bangsa akan lahir dari padanya”.

[3] “Bukankah Engkau Allah kami yang menghalau penduduk tanah ini dari depan umat-Mu Israel, dan memberikannya kepada keturunan Abraham, sahabat-Mu itu, untuk selama-lamanya?”; Dan juga “Tetapi engkau, hai Israel, hamba-Ku, hai Yakub, yang telah Kupilih, keturunan Abraham, yang Kukasihi;”.

[4] ”Ketika itu TUHAN menampakkan diri kepada Abram dan berfirman: ‘Aku akan memberikan negeri ini kepada keturunanmu.’ Maka didirikannya di situ mezbah bagi TUHAN yang telah menampakkan diri kepadanya”; Dan juga “ke tempat mezbah yang dibuatnya dahulu di sana; di situlah Abram memanggil nama TUHAN”.

[5] Lembaga Biblika Indonesia, Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, disunting oleh Dianne Bergant, CSA dan Robert J. Karris, OFM (Jakarta: Penerbit Kanisius, 2002) hal. 52.

[6] “Kepadamu dan kepada keturunanmu akan Kuberikan negeri ini yang kaudiami sebagai orang asing, yakni seluruh tanah Kanaan akan Kuberikan menjadi milikmu untuk selama-lamanya; dan Aku akan menjadi Allah mereka.’ Lagi firman Allah kepada Abraham: ‘Dari pihakmu, engkau harus memegang perjanjian-Ku, engkau dan keturunanmu turun-temurun”.

[7] Kata kohen artinya imam atau pendeta (priest), orang yang memiliki (own), penguasa tertinggi (chief ruler), pejabat (officer), pangeran atau putra mahkota (princes).

[8] Kata nasiy’ atau nasi’ artinya pangeran atau putra mahkota (prince), kapten (captain), ketua (chief), penguasa (ruler), beruap atau menguap (vapours), gubernur pemerintahan (governor), awan (clouds), bagian (part). Secara definisi adalah orang yang ditinggikan (one lifted up) atau imam (leader) dan uap yang terangkat, yakni selalu meninggi dari lainnya (raising mist).

[9] “Oleh keturunanmulah semua bangsa di bumi akan mendapat berkat, karena engkau mendengarkan firman-Ku”.

[10] “Sebab Aku telah memilih dia, supaya diperintahkannya kepada anak-anaknya dan kepada keturunannya supaya tetap hidup menurut jalan yang ditunjukkan TUHAN, dengan melakukan kebenaran dan keadilan, dan supaya TUHAN memenuhi kepada Abraham apa yang dijanjikan-Nya kepadanya.” (Kej 18:19).

[11] Bandingkan juga beberapa kedudukan Nabi Ibrahim as yang disampaikan dalam Al-Qur’an, yaitu: Pertama, sebagai nabi “Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat benar dan seorang Nabi”. (QS. 19:41). Kedua, ayat al-Qur’an ini memaparkan dua sisi, yaitu kedudukan Ibrahim as sebagai rasul dan juga moyang bagi sejumlah besar bangsa yang mana keturunannya itu akan mewarisi jabatan kenabian dan kerasulan “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh dan Ibrahim dan Kami jadikan kepada keturunan keduanya kenabian dan Al Kitab, maka di antara mereka ada yang menerima petunjuk dan banyak di antara mereka yang fasik”. (QS. 57:26). Ketiga, sebagai khalil atau sahabat Allah “Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya”. (QS. 4:125). Keempat, sebagai imam “Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhanya dengan beberapa kalimat, lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: ‘Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu sebagai imam bagi seluruh manusia.’ Ibrahim berkata: ‘dan dari keturunanku.’ Allah berfirman: ‘JanjiKu tidak mengenai orang-orang yang zalim’”. (QS. 2:124).

[12] “Manusia adalah puncak dari seluruh penciptaan. Kelebihan ciptaan ini digarisbawahi oleh kenyataan bahwa hanya manusialah yang diciptakan menurut “gambar” atau “rupa Allah”. [Dikutip dari Lembaga Biblika Indonesia, Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, disunting oleh Dianne Bergant, CSA dan Robert J. Karris, OFM (Jakarta: Penerbit Kanisius, 2002) hal. 35]. Bandingkan dengan ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang kedudukan manusia sebagai khalifah Allah dimuka (QS. 2:30) dan hadis Nabi saw yang mengatakan bahwa Adam diciptakan dari citranya.

[13] Saya sengaja mengganti kata “raja”—seperti yang ada diterjemahan Alkitab LAI—dengan kata “imam”, karena kata “raja” adalah terjemahan yang tidak tepat. Dalam bahasa Ibrani kata “raja” adalah melek, sedangkan Authorized Version (AV) tidak menyebut kata tersebut di ayat ini melek (raja) tapi nasiy’ (imam). Yakni suatu posisi atau jabatan langit tertinggi yang berasal dari Allah saja. Kedudukan ini juga diikrarkan kembali pada zaman Musa, sewaktu Allah memerintahkannya untuk mengangkat duabelas orang pemimpin atau imam dari kalangan bangsa Israel (Bdk. Bil 17:1-6). Seluruh kata yang diterjemahkan “pemimpin” di ayat tersebut di dalam AV adalah nasiy’, persis seperti kedudukan yang diberikan kepada keturunan Ismail di Kej 17:20.

[14] Saya sengaja mengganti kata “bangsa”—seperti yang diterjemahkan dalam Alkitab bahasa Indonesia—dengan kata “umat”, karena kata asli di teks Ibraninya adalah goy yang dalam bahasa Inggris bisa diterjemahkan nation dan people. Walaupun demikian, pengunaan kata “bangsa” bukan berarti keliru, hanya saja dalam kajian mesianisme Yahudi, mereka sering mengaitkan hal ini dalam konteks kebangsaan atau keturunan biologis mereka saja (nationality) yakni partikular. Sedangkan dalam mesianisme Kristen, para penafsirnya telah melepas arti “keturunan biologis” Ibrahim ini sepenuhnya dan menguniversalkan maknanya (people). (lih. Ro 4:16; Ga 3:29). Padahal, janji Allah ini memang terkait dengan kedua sisi tersebut yakni kebangsaan dan juga manusia secara umum.

[15] “Dan Kami jadikan di antara mereka itu imam-imam yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami”. (QS. 32:24; 21:73; 28:5).

[16] Sahih Bukhari, bagian 9, “Kitab al-Maqadam”, hal. 1000. Sementara dalam Musnad Ahmad diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud bahwa ia bertanya kepada Nabi tentang para khalifahnya. Beliau berkata, “Mereka duabelas orang seperti suku bani Isra’il yang dua belas.” (Musnad Ahmad, Jilid 1, hal. 398).