RTCCTV-Live kuliah-Prerecording majlis-

Tuesday, August 12, 2008

Antara Physical Effect Dan Metaphysical Phenomenon

Antara Physical Effect Dan Metaphysical Phenomenon

Tulisan ini sebenarnya merupakan salah satu riset yang sedang saya lakukan. Tujuan dari penyelidikan ini adalah untuk membedakan antara physical effect (efek lahiriah) dan metaphysical phenomenon (fenomena metafisika).

Dari sisi pengalaman manusia, makna dari kedua istilah ini sebenarnya sama. Tapi kondisi pada saat pengalaman ini terjadilah yang membedakan kedua istilah tersebut. Maksudnya begini, cubitlah diri anda saat membaca artikel ini, apakah terasa sakit? Jika iya..sekarang anda coba ingat-ingat kembali kepada suatu pengalaman rasa sakit yang sama, tapi dalam kondisi berbeda. Yaitu di saat anda sedang tidur dan bermimpi. Yang satu bisa merasakan sakit, dan yang lainnya pun demikian.

Padahal, yang pertama ada gerak lahiriahnya sehingga memunculkan efek lahiriah. Tapi yang kedua tak ada gerak lahiriah, namun ia pun telah memunculkan efek yang (hampir) sama. Penjelasan ini tentu akan meluas jika diteruskan, dan bisa merambat ke berbagai sisi kajian lainnya. Misalnya persoalan crossing atau melewati. Pertanyaannya begini, mungkinkah sebab fisikal memunculkan akibat/efek/fenomena yang bersifat metafisik? Dan mungkinkah sebab metafisik memunculkan akibat/efek yang bersifat fisik?

Hal ini masih menyimpan banyak ilmu dan rahasia yang perlu dikaji lebih jauh. Namun, dalam konteks ini, Al-Qur’an sendiri sebenarnya telah membicarakan tentang kedua efek yang sama, tapi tak serupa itu, seperti firman Allah swt yang mengatakan:

Hai manusia, Sesungguhnya Telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. 10:57)

“Di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia.” (QS. 16:69)

Katakanlah: “Al Quran itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang mukmin. dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang Al Quran itu suatu kegelapan bagi mereka. mereka itu adalah (seperti) yang dipanggil dari tempat yang jauh.” (QS. 41:44)

Dan dalam sebuah ayat yang cukup panjang, Allah swt berfirman:

“Maka Aku bersumpah dengan masa Turunnya bagian-bagian Al-Quran.

Sesungguhnya sumpah itu adalah sumpah yang besar kalau kamu Mengetahui.

Sesungguhnya Al-Quran Ini adalah bacaan yang sangat mulia,

Pada Kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh),

Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.

Diturunkan dari Rabbil ‘alamiin.

Maka apakah kamu menganggap remeh saja Al-Quran ini?

Kamu mengganti rezki (yang Allah berikan) dengan mendustakan Allah.

Maka Mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan, Padahal kamu ketika itu melihat,Dan kami lebih dekat kepadanya dari pada kamu. tetapi kamu tidak melihat, Maka Mengapa jika kamu tidak dikuasai (oleh Allah)? Kamu tidak mengembalikan nyawa itu (kepada tempatnya) jika kamu adalah orang-orang yang benar?

Adapun jika dia (orang yang mati) termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah), Maka dia memperoleh ketenteraman dan rezki serta jannah kenikmatan.

Dan adapun jika dia termasuk golongan kanan, Maka keselamatanlah bagimu Karena kamu dari golongan kanan.

Dan adapun jika dia termasuk golongan yang mendustakan lagi sesat, Maka dia mendapat hidangan air yang mendidih, Dan dibakar di dalam jahannam.

Sesungguhnya (yang disebutkan ini) adalah suatu keyakinan yang benar. Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Rabbmu yang Maha besar.” (QS. 56:75)

Efek Lahiriah dan Fenomena Metafisika Tentang Al-Qur’an Menurut Riwayat Hadis.

  1. “Sesungguhnya kalbu-kalbu ini akan berkarat sebagaimana besi dapat berkarat, dan kalbu-kalbu itu dapat berkeliau dengan membaca al-Quran”.
  2. Rasulullah saw bersabda, “Ibadah yang paling utama adalah membaca al-Quran”.
  3. Imam Ali as berkata, “Barangsiapa membaca al-Quran, seakan-akan kenabian telah dimasukkan ke dalam dadanya. Hanya saja, ia tidak mendapatkan wahyu”. (Majma’ al-Bayân, jilid 1, hal. 16)
  4. Rasulullah saw bersabda, “Sebaik-baik penyafaat pada hari Kiamat adalah al-Quran bagi orang selalu bersamanya”. (Nahj al-Fashâhah, Hadis ke-3134)
  5. Rasulullah saw berkata, “Hiasilah al-Quran itu dengan suara kalian. Setiap sesuatu memiliki hiasan, dan hiasan al-Quran adalah suara yang indah”. (Al-Kâfî, jilid 2, hal. 450)
  6. Imam Hasan bin Ali as berkata, “Sesungguhnya di dalam al-Quran ini tersimpan pelita-pelita cahaya dan obat bagi hati”. (Jâmi’ al-Akhâr wa al-Atsâr, jilid 1, hal. 164)
  7. Rasulullah saw berkata, “Jika seseorang telah mengkhatamkan al-Quran, enam puluh ribu malaikat akan bershalawat kepadanya”. (Jâmi’ al-Akhâr wa al-Atsâr, jilid 1, hal. 339)
  8. Rasulullah saw bersabda, “Jika seseorang membaca al-Quran, lalu salah membacanya atau ia bukan orang Arab, maka malaikat akan menulisnya sebagaimana ia diturunkan”.(Kanz al-‘Ummâl, jilid 1, hal. 513, Hadis ke-2284)
  9. Imam as-Sajjâd as berkata, “Seandainya seluruh penduduk yang berada di timur dan barat mati, niscaya aku tidak akan takut setelah al-Quran bersamaku”. (Mîzân al-Hikmah, jilid 8, hal. 67)
  10. Rasulullah saw bersabda, “Selayaknya kalian selalu bersama al-Quran dan menjadikannya sebagai imam dan pemimpin”.
  11. Rasulullah saw bersabda, “Terangilah rumah kalian dengan bacaan al-Quran”.
  12. Rasulullah saw bersabda, “Al-Quran adalah hidangan (pendidikan) Ilahi. Maka, belajarlah dari hidangan (pedidikan) tersebut semampu kalian”.
  13. Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya suara yang indah adalah hiasan al-Quran”.
  14. Imam al-Kâzhim as berkata, “Di dalam al-Quran terdapat obat untuk setiap penyakit”.
  15. Rasulullah saw bersabda, “Perindahlah al-Quran dengan suara kalian, karena suara yang indah akan menambah keindahan al-Quran”. (‘Uyûn al-Akhbâr, jilid 2, hal. 69)
  16. Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa membaca al-Quran dan tidak mengamalkannya, Allah akan membangkitkannya dalam keadaan buta pada hari Kiamat”.
  17. Abu Ja’far as berkata, “Segala sesuatu memiliki musim semi, dan musim al-Quran adalah bulan Ramadhan”.
  18. Imam Shâdiq as berkata, “Seseorang yang sedang membaca al-Quran memerlukan tiga hal: kalbu yang khusyu’, badan yang tenang, dan tempat yang sepi”.
  19. Imam Shâdiq as berkata, “Sesungguhnya orang yang berusaha memahami al-Quran dan menghafalkannya dengan susah-payah dan kekuatan hafalan yang minim, pahalanya adalah dua kali lipat”.
  20. Imam Ali as berkata, “Hak seorang anak atas orang tuanya adalah hendaklah ia memilih nama yang baik baginya, memperbaiki etikanya, dan mengajarkannya al-Quran”.
  21. Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa memuliakan al-Quran, sesungguhnya ia telah memuliakan Allah”.
  22. Rasulullah saw bersabda, “Allah memiliki hak wajib atas setiap Mukmin, baik lelaki maupun wanita, merdeka maupun budak untuk mempelajari al-Quran”.
  23. Imam Ali as berkata, “Pembuahan iman adalah dengan membaca al-Quran”. (Mîzân al-Hikmah, jilid 8, hal. 81)
  24. Rasulullah saw bersabda, “Amalan umatku yang termulia adalah membaca al-Quran”.
  25. Imam Shâdiq as berkata, “Bacalah al-Quran dan jadikanlah ia sebagai tenpat kalian bersandar, karena Allah tidak akan menyiksa hati yang menjaga al-Quran”. (Mustadrak al-Wasâ`il, jilid 1, hal. 290)
  26. Imam Shâdiq as berkata, “Orang yang menghafalkan al-Quran dan mengamalkannya, ia akan bersama para duta Ilahi yang mulia nan baik”. (Ushûl al-Kûfî, jilid 2, hal. 411)
  27. Imam Shâdiq as berkata, “Selayaknya bagi seorang Mukmin untuk tidak meninggal dunia kecuali setelah mempelejari al-Quran atau sedang mempelajarinya”. (Ushûl al-Kûfî, jilid 1, hal. 444)
  28. Imam Ridhâ as berkata, “Janganlah kalian melanggar Kalâm Allah dan janganlah mencari petunjuk di selainnya, karena kalian akan tersesat”. (‘Uyûn Akhbâr ar-Ridhâ, jilid 2, hal. 57)
  29. Rasulullah saw bersabda, “Tentukanlah dalam (program) rumah kalian bagian dari al-Quran”.
  30. Rasulullah saw bersabda, “Wahai Salman, bacalah al-Quran, karena membacanya dapat menjadi penebus dosa”. (Jâmi’ al-Akhbâr dan al-Mustadrak, jilid 1)
  31. Imam Shâdiq as berkata, “Membaca al-Quran melalui Mushhaf dapat meringankan siksa kedua orang tua meskipun mereka kafir”. (Al-Kâfî, jilid 2, hal. 440)
  32. Rasulullah saw bersabda, “Orang-orang yang terhormat dari umatku adalah para pemikul al-Quran dan orang-orang yang beribadah di malam hari”. (Sirr al-Bayân fî ‘Ilm al-Quran, hal. 136)
  33. Rasulullah saw bersabda, “Jika kalian menginginkan kehidupan orang-orang yang berbahagia, kematian para syahid, keselamatan pada hari penyesalan, naungan pada hari (Mahsyar) yang panas, dan petunjuk pada hari kesesatan, maka pelajarilah al-Quran. Karena ia adalah Kalâm Rahman, penjagaan dari setan, dan nilai lebih dalam timbangan”. (Al-Hayâh, jilid 2, hal. 155)

Merasakan Efek Lahiriah dan Fenomena Metafisika Melalui Al-Qur’an.

  1. Al-Anfal [8] dan At-Taubah [9] : Diriwayatkan dari Fudhail Al-Rassan, bahwa Imam Ja’far as berkata, “Barangsiapa membaca surah al-Anfal dan surah at-Taubah setiap bulan, niscaya kemunafikan tidak akan pernah masuk ke dalam hatinya dan dia akan termasuk ke dalam golongan pengikut Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib.”
  2. Al-Isra’ [17]: Orang yang membacanya tidak akan meninggal dunia sebelum bertemu dengan Imam Mahdi as dan dia akan menjadi sahabatnya.
  3. As-Sajdah [32]: Orang yang membacanya akan bersama Nabi Muhammad saw dan Ahlulbaytnya as.
  4. Al-Ahzab [33]: Pada Hari Kiamat orang yang membacanya akan bersama Rasul saw dan isteri-isterinya.
  5. Yaasin [36]: Fadhilahnya banyak sekali. Dan barangsiapa membaca ayat “wa khalaqna lahum min mitslihi ma yarkabun” [QS. 36:42] selama 3 hari sebanyak 30 kali sebelum tidur, maka dia akan bertemu dengan Rasul saw, insyaAllah.
  6. Al-Jatsiyah [45]: Orang yang membacanya tidak akan melihat api neraka dan tidak akan mendengar jeritan penghuni neraka dan dia akan dikumpulkan bersama Rasul saw.
  7. Muhammad [47]: A. Para malaikat akan menggiring jenazahnya sampai mereka meletakannya di tempat aman di sisi Allah swt sehingga dia berada di dalam benteng-Nya dan benteng Muhammad saw. B. Mengetahui kondisi Ahlulbayt as.
  8. Al-Fath [48]: Salah satu fadhilahnya adalah bahwa orang yang membacanya seperti membait Nabi saw.
  9. Al-Hujurat [49]: Orang yang membacanya bagaikan orang yang berziarah ke Rasulullah saw.
  10. Al-Hadid [57]: Orang yang membacanya akan bertemu Al-Qaim as sebelum wafatnya dan akan idup berdampingan dengan Rasul saw di akhirat.
  11. Al-Hasyr [59]: Orang yang membacanya akan bertemu Al-Qaim as sebelum wafatnya dan akan hidup berdampingan dengan Rasul saw di akhirat.
  12. As-Shaff [61]; Orang yang membacanya akan bertemu Al-Qaim as sebelum wafatnya dan akan hidup berdampingan dengan Rasul saw di akhirat.
  13. Jumu’ah [62]: Orang yang membacanya akan bertemu Al-Qaim as sebelum wafatnya dan akan hidup berdampingan dengan Rasul saw di akhirat.
  14. Taghabun [64]: Orang yang membacanya akan bertemu Al-Qaim as sebelum wafatnya dan akan hidup berdampingan dengan Rasul saw di akhirat.
  15. At-Talaq [65] dan At-Tahrim [66]: Orang yang membacanya wafat di atas Sunnah Rasul saw.
  16. Al-Haqqah [69]: Imam Muhammad al-Baqir as berkata: “Perbanyaklah membaca surah al-Haqqah, karena membacanya dalam shalat-shalat wajib dan shalat-shalat sunnah merupakan bagian dari iman kepada Allah dan Rasul-Nya. Surah tersebut diturunkan berkenaan Amirul Mukminin dan musuh beliau, Muawiyah. Allah tidah merampas agama orang yang membacanya hingga dia berjumpa dengan-Nya.
  17. Al-Ma’arij [70]: Orang yang membacanya akan memasuki surga bersama Nabi saw.
  18. Al-Jinn [72]: Imam Ja’far as berkata: “Barangsiapa memperbanyak membaca Qul Uhiya (surah al-Jinn), dia tidak diganggu kejahatan jin sepanjang hidupnya, (juga oleh) sihir mereka, dan tipu daya mereka, serta dia bersama Nabi Muhammad saw seraya mengatakan: “aku tidak ingin mengubah dari kedudukan ini dan berpindah darinya.”
  19. Al-Mudatsir [74]: Akan dikumpulkan bersama Nabi saw dan tidak akan ditimpa kesengsaraan selamanya.
  20. Al-Qiyamah [75]: Imam Muhammad al-Baqir as berkata: “Barangsiapa membiasakan diri membaca La uqsimu (surah al-Qiyamah) dan mengamalkannya, pada hari kiamat Allah membangkitkannya dari kuburnya bersama Rasulullah saw dalam sebaik-baik bentuk dan menyampaikan padanya berita gembira sampai dia melintasi al-shirat dan al-mizan.
  21. Al-Insan [76]: Kelak akan bersama Nabi saw.
  22. Al-Mursalat [77]: Allah swt akan mengenalkannya dengan Rasul saw.
  23. Al-Fajr [89]: Imam Ja’far as-Shadiq as berkata, “Bacalah surah al-Fajr dalam shalat wajib dan shalat sunnah kalian! Karena sesungguhnya surah al-Fajr adalah surah al-Husein bin Ali. Barangsiapa membacanya, dia akan bersama al-Husein pada Hari Kiamat kelak sederajat dengannya di surga. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijak.”
  24. Ad-Dhuha [93]: Mendapat syafa’at Nabi Muhammad saw.
  25. Al-Alaq [96]: Orang yang membacanya mendapat pahal berperang di jalan Allah swt bersama Rasulullah saw.
  26. Al-Bayyinah [98]: Orang yang membacanya terbebas dari syirik dan akan dimasukkan ke dalam agama Muhammad saw.
  27. Al-Adiyat [100]: Imam Ja’far as-Shadiq as berkata, “Barangsiapa membaca surah al-Adiyat serta berkesinambungan dalam membacanya, maka Allah akan membangkitkannya khusus pada hari kiamat bersama Amirul Mukminin (Imam Ali). Dan dia berada dalam ruangandengan para sahabat beliau.
  28. Al-Kautsar [108]: Imam Ja’far as-Shadiq as berkata, “Barangsiapa membaca inna a’thaina kal-kautsar (surah al-kautsar) dalam sholat-sholat wajib dan sunnahnya, Allah akan memberinya minum dari (telaga) Kaustar pada Hari Kiamat. Dan dia berbincang-bincang dengan Rasulullah saw dibawah pohon Thuba.”

Wallahu’alam.

Masalah Agama (Bagian kedua-Selesai)

Masalah Agama (Bagian kedua-Selesai)

Artikel ini dikutip dari Buletin Dakwah Al-Qolam (Edisi 2/ Tahun 2007). Bagi ikhwan dan akhawat yang terafiliasi sebagai pengurus masjid, mushola, langgar, majlis taklim, kerohanian kampus dan lembaga syiar Islam lainnya dan ingin berlangganan Buletin Al-Qolam secara rutin, silahkan hubungi kantor sekretariat Pesanteren Taman Bacaan Al-Qur’an/Al-Hadits di nomor telepon 021 - 92794359 atau 021 - 99689310.

____________________________________________________________

Pertanyaan:

Apabila agama Allah swt itu hanya satu, lalu mengapa agama manusia itu berbeda-beda?

Jawab:

Seperti telah dijelaskan pada buletin Al-Qolam sebelum ini bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan para pengikut, atau umat agama Allah itu berpecah-belah. Adapun beberapa faktor tersebut adalah sebagai berikut:

11. Faktor sengaja ingin mengaburkan persoalan agama.

“Dan demikianlah pemimpin-pemimpin mereka telah menjadikan kebanyakan dari orang-orang musyrik itu memandang baik membunuh anak-anak mereka untuk membinasakan mereka dan untuk mengaburkan bagi mereka agama-Nya. Dan kalau Allah menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggallah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.” (QS. Al-An’aam: 137)

Catatan: Sikap orang musyrik yang gemar untuk membunuh dan membinasakan anak-anak mereka pada ayat ini, maksudnya, bukan hanya secara lahiriah, karena hal ini memang sering kita ketahui melalui berita-berita secara umum, seperti membuang bayi dikantong plastik atau di selokan dan lain sebagainya. Akan tetapi, arti ayat ini bisa juga bermakna pembunuhan dan pembinasaan secara batin terhadap anak-anak mereka. Yakni dengan cara menjauhkan anak-anak itu dari pengetahuan agama, atau menjual anak-anak perempuan mereka demi uang, atau membiarkan anak-anak mereka bebas bergaul dan lain sebagainya. Alhasil, semuanya berujung kepada suatu upaya untuk menjauhkan jiwa anak-anak mereka dari kebenaran dan juga ilmu-ilmu Islam.

12. Faktor tidak mau istiqomah dalam beragama.

“dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.” (QS. Al-An’aam: 153)

13. Faktor menyembunyikan kebenaran risalah Nabi Muhammad saw seperti pada kasus pemimpin-pemimpin agama Yahudi dan Nasrani.

“ataukah kamu (hai orang-orang Yahudi dan Nasrani) mengatakan bahwa Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub dan anak cucunya, adalah penganut agama Yahudi atau Nasrani?’ Katakanlah: ‘Apakah kamu lebih mengetahui ataukah Allah, dan siapakah yang lebih zalim dari pada orang yang menyembunyikan syahadah dari Allah yang ada padanya?’ Dan Allah sekali-kali tiada lengah dari apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 140)

14. Faktor kesombongan.

“Pemuka-pemuka dan kaum Syu’aib yang menyombongkan dan berkata: ‘Sesungguhnya kami akan mengusir kamu hai Syu’aib dan orang-orang yang beriman bersamamu dari kota kami, atau kamu kembali kepada agama kami’.” (QS. Al-’Araaf: 8 8)

15. Faktor tidak mau berpegang kepada ‘tali’ Allah swt.

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (QS. Ali-’Imran: 103)

16. Faktor fanatisme kepada budaya dan tradisi.

“(agama kami) ini tidak lain hanyalah adat kebiasaan orang dahulu.” (QS. Asy-Syu’araa: 137)

17. Sikap konglomerat (hartawan) yang fanatik dan tidak mempedulikan kaum fukara.

“Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatanpun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: ‘Sesungguhnya kami mendapati bapak- bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka’.” (QS. Az-Zukhruf: 23)

18. Faktor di masyarakat yang mencintai isteri dan anak, tapi bukan karena Allah swt.

“Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. At-Thaghabun: 14)

Catatan: Seorang Mukmin sejati adalah orang yang mencintai keluarga, seperti isteri dan anak, yang hanya ditujukan untuk mendapatkan ridho Allah swt. Artinya, kecintaan itu bukan disebabkan untuk mempertahankan status, harga diri atau lainnya. Namun pada saat ini, banyak pemimpin keluarga (yakni: suami/isteri) yang merelakan terjadinya penyimpangan hukum agama di dalam keluarga mereka, hanya demi mempertahankan status, sehingga para pasangan itu merelakan terjadinya praktek perzinahan, asalkan masyarakat masih menganggap mereka berstatus suami-isteri. Meskipun ini adalah contoh penyimpangan agama dalam skala kecil, namun sikap seperti ini akan membuat mereka menjadi orang-orang yang meremehkan ajaran agama; baik terhadap diri mereka sendiri maupun keturunannya.

19. Faktor pemalsuan informasi agama untuk tujuan duniawi seperti yang terjadi dalam ajaran Yahudi dan Nasrani.

“Yaitu orang-orang Yahudi, mereka mengubah perkataan dari tempat-tempatnya. Mereka berkata: ‘Kami mendengar’, tetapi kami tidak mau menurutinya. Dan (mereka mengatakan pula): ‘Dengarlah’ sedang kamu sebenarnya tidak mendengar apa-apa. Dan (mereka mengatakan): ‘Raa’ina’, dengan memutar-mutar lidahnya dan mencela agama. Sekiranya mereka mengatakan: ‘Kami mendengar dan menurut, dan dengarlah, dan perhatikanlah kami’, tentulah itu lebih baik bagi mereka dan lebih tepat, akan tetapi Allah mengutuk mereka, karena kekafiran mereka. Mereka tidak beriman kecuali iman yang sangat tipis.” (QS. An-Nisa’: 46)

20. Faktor tidak mau menolong agama Allah swt.

“Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penolong (agama) Allah sebagaimana Isa ibnu Maryam telah berkata kepada pengikut-pengikutnya yang setia: ‘Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku (untuk menegakkan agama) Allah?’ Pengikut-pengikut yang setia itu berkata: ‘Kamilah penolong-penolong agama Allah’, lalu segolongan dari Bani Israil beriman dan segolongan lain kafir; maka Kami berikan kekuatan kepada orang-orang yang beriman terhadap musuh-musuh mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang menang.” (QS. Ash-Shaff: 14)

Catatan: Orang yang bermalas-malasan dalam menolong agama Allah, apalagi hingga tidak mau melakukannya, maka iman mereka sangat rentan dan akan cenderung kepada kekafiran. Budaya acuh atau cuek yang dipropagandakan oleh musuh-musuh Islam saat ini, jelas merupakan bukti nyata dari apa yang diisyaratkan oleh ayat Al-Qur’an ini. Padahal, Nabi saw mengatakan bahwa “Barangsiapa yang tidak peduli dengan urusan kaum Muslim, maka mereka bukan golongan kami.” (Hadits).

Sebenarnya masih ada beberapa faktor lain. Namun pada intinya bahwa perpecahan itu bisa terjadi disebabkan oleh perbuatan yang berasal dari umat agama Allah itu sendiri. Faktor utamanya adalah keengganan mereka untuk mengikuti agama Allah secara keseluruhan. Maksudnya, mereka suka menerima sebagian dari agama Allah itu, tapi merekayasa sendiri sebagian yang lain.

“Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab dan ingkar terhadap sebahagian yang lain?” (QS. Al-Baqarah: 85)

Dengan kata lain, mereka mengambil yang satu dan membuang yang lain, seperti yang diisyaratkan dalam Al-Qur’an.

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 20 8)

Akan tetapi, mengapa hal ini bisa terjadi? Mengapa sebagian orang mukmin terkadang tidak mau menerima seluruh perintah Allah dan Rasul-Nya, tapi hanya sebagiannya saja? Jawaban atas hal ini ada 2 faktor mendasar, yaitu:

Pertama, faktor intelektual, seperti kurang mengetahui, atau tidak adanya pemahaman tentang makrifat Allah, Rasul dan risalah-Nya secara benar. Banyak kaum Muslim yang tidak memahami tentang ushuluddin atau dasar-dasar agama Islam, seperti 5 pokok keimanan, yaitu: [1] ketuhanan, [2] keadilan, [3] kenabian, [4] kepemimpinan, dan [5] hari kiamat.

Sebelum kita masuk ke topik ini satu per satu, maka saya ingin memberikan sedikit contoh mengenai hal ini. Sebagian orang Muslim banyak yang melakukan sholat, tapi sayangnya! Mereka tidak tahu fungsi dan tatacara solat secara benar. Hal ini mirip seperti orang yang melakukan senam, tapi dia tidak tahu fungsi dan tatacara senam secara benar. Sehingga mereka melakukannya secara semrawut dan akhirnya, senam itu bukan membuat tubuhnya semakin sehat dan kuat, tapi malah membuat ia menjadi lemah dan sakit. Atau dalam kata lain, mereka tahu nama Allah swt, tapi belum mengenal-Nya. Hal ini mirip seperti ibu-ibu yang sering nonton sinetron dan acara gosip di televisi. Mereka tahu nama-nama artis tersebut, tapi secara individu, mereka sendiri tidak pernah mengenal artis-artis tersebut secara langsung. Intinya, mereka tahu Allah swt, tapi tidak mengenal atau tidak memahami ’siapakah’ Allah swt itu.

Demikian pula dengan persoalan keadilan, sehingga ada yang beranggapan bahwa sifat adil itu adalah membagikan sesuatu secara rata dan sama.

Pemahaman tentang kenabian dikalangan kaum Muslim jauh lebih parah, banyak generasi muda Islam, saat ini, yang hapal nama-nama selebritis, tapi tidak tahu siapakah nama orang tua dan kakek Nabi Muhammad saw? Mereka tidak tahu siapakah putri Nabi saw? siapakah menantunya? Dan siapakah anggota keluarganya? Padahal ini baru persoalan sejarahnya saja. Artinya, kondisi ketidaktahuan mereka itu belum ditambah lagi dengan persoalan tentang makna kenabian itu sendiri. Yakni, apakah kenabian itu?

Hal penting lainnya adalah mengenai kepemimpinan umat. Banyak dari kalangan Muslim yang berasumsi bahwa, apabila Islam mengajarkan kepemimpinan, maka Islam (pasti) harus punya negara. Artinya, tanpa adanya negara Islam, maka umat Islam tidak bisa punya pemimpin, sehingga pada akhirnya, keislaman kita pun seolah-olah belum/tidak sah. Perlu diketahui bahwa mengaitkan kepemimpinan Islam dengan keharusan bagi adanya suatu ‘negara Islam’, sebenarnya merupakan makar kaum Zionis-Yahudi untuk memecah belah persatuan umat Muslim. (Hal ini akan dipaparkan secara jelas pada buletin-buletin Al-Qolam selanjutnya, insyaAllah).

Persoalan pokok agama yang terakhir adalah keyakinan tentang hari kiamat. Dalam hal ini, banyak umat Muslim yang belum memahami tentang hakekat kiamat, sehingga makna kiamat sering direkayasa oleh kelompok tertentu untuk mencapai tujuan-tujuan duniawi mereka.

Kedua, faktor hati, jiwa atau qalbu yang masih akrab dengan penyakit cinta dunia.

Masalah Agama (Bagian Pertama)

Masalah Agama (Bagian Pertama)

Artikel ini dikutip dari Buletin Dakwah Al-Qolam (Edisi 2/ Tahun 2007). Bagi ikhwan dan akhawat yang terafiliasi sebagai pengurus masjid, mushola, langgar, majlis taklim, kerohanian kampus dan lembaga syiar Islam lainnya dan ingin berlangganan Buletin Al-Qolam secara rutin, silahkan hubungi kantor sekretariat Pesanteren Taman Bacaan Al-Qur’an/Al-Hadits di nomor telepon 021 - 92794359 atau 021 - 99689310.

________________________________________________________

Pertanyaan:

Apabila agama Allah swt itu hanya satu, lalu mengapa agama manusia itu berbeda-beda?

Jawab:

Sejak Allah swt menciptakan manusia, maka agama itu sendiri sebenarnya hanya satu. Yaitu agama yang telah diajarkan oleh Allah swt secara langsung kepada moyang manusia yang pertama, yaitu Adam as dan Hawa as. Agama ini dijadikan oleh Allah swt sesuai dengan fitrah penciptaan manusia itu sendiri. Al-Qur’an mengatakan:

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar-Rum: 30)

Namun bila agama Allah itu memang ada, lantas apakah nama dari agama Allah itu? Dan apakah ada figur atau tokoh tertentu yang pernah menyampaikan agama Allah ini?

[1] Al-Qur’an menjawab bahwa nama agama Allah swt yang telah ia ajarkan sejak Adam as adalah Islam.

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali-‘Imran: 19)

[2] Sedangkan mengenai figur atau tokoh-tokoh tertentu yang pernah menyampaikan agama Allah swt ini, maka Al-Qur’an menjelaskan:

“Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).” (QS. Asy-Syuura: 13)

Melalui ayat ini, kita bisa saksikan juga bahwa proses transmisi agama Allah dari satu generasi manusia ke generasi berikutnya—sepanjang zaman—adalah melalui wasiat atau pewasiatan. Artinya, hal ini membuktikan bahwa agama Allah tidak boleh direka-reka oleh manusia, tetapi ia harus berasal dari pembawa agama Allah sebelumnya kepada tokoh lain sesudahnya dan demikian seterusnya. Al-Qur’an menegaskan:

“Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub. (Ibrahim berkata): ‘Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam.’” (QS. Al-Baqarah: 132)

Jika demikian faktanya, lalu mengapa kita masih menyaksikan agama yang berbeda-beda di dunia ini? Seperti ada Yahudi, Kristen, Budha, Hindu, Kon Fu Cu, Shinto dan lain sebagainya. Bahkan ada pula manusia yang mengatakan bahwa mereka bisa hidup tanpa harus mengikuti agama manapun. Kapankah perbedaan dan perpecahan agama Allah swt ini terjadi?

Dalam hal ini, Allah swt memberikan jawaban di dalam Al-Qur’an dengan menerangkan bahwa perpecahan agama Allah itu terjadi di tingkatan umat atau di level pengikutnya. Maksudnya, perpecahan itu tidak pernah terjadi di tingkatan para penyampai risalah-Nya.

“Manusia dahulunya hanyalah satu umat, kemudian mereka berselisih. Kalau tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dari Tuhanmu dahulu, pastilah telah diberi keputusan di antara mereka, tentang apa yang mereka perselisihkan itu.” (QS. Yunus: 19)

“Kemudian mereka (pengikut-pengikut rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi beberapa pecahan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing).” (QS. Al-Mukminun: 53)

“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan], tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.” (QS. Al-An’am: 159)

Untuk itu, sejak Adam as, Allah swt tidak pernah menurunkan suatu agama lain—yakni selain Islam—untuk dianut manusia. Akan tetapi, agama di sisi Allah swt untuk manusia itu akan senantiasa Islam. Namun di kemudian hari, perpecahan terjadi di level umat atau pengikutnya. Dan dalam proses perpecahan ini, mereka membuat suatu “agama duplikat” baru yang dimirip-miripkan dengan agama Allah swt di satu sisi, dan selera mereka di sisi lain, sehingga agama Allah swt ini tidak lagi hanif (jernis atau lurus), tapi suatu kombinasi antara kehendak Ilahi (Khaliq) dan kehendak manusia (makhluk) alias syirk.

Pada tahap ini, agama Allah yang hanif itu pun, secara otomatis, akan menyimpang dari fungsi pertamanya yang suci. Artinya, Agama Ilahi yang awalnya berfungsi untuk membuat seorang manusia hanya mengabdi kepada Allah. Namun akhirnya, ia malah berubah dan mendua dalam fungsi, pelaksanaan dan bahkan tujuan akhir.

Di satu sisi, pengabdian kepada “agama duplikat” ini seolah-olah masih ditujukan hanya kepada Allah swt saja. Tapi di sisi yang lain, pengabdian itu sebenarnya sudah ditujukan untuk kelompok mereka masing-masing.

Sehubungan hal ini, Al-Qur’an menjelaskan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan para pengikut, atau umat agama Allah itu berpecah-belah. Adapun beberapa faktor tersebut tersebut adalah sebagai berikut:

1. Faktor Kedengkian.

“Dan Kami berikan kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata tentang urusan (agama); maka mereka tidak berselisih melainkan sesudah datang kepada mereka pengetahuan karena kedengkian yang ada di antara mereka. Sesungguhnya Tuhanmu akan memutuskan antara mereka pada hari kiamat terhadap apa yang mereka selalu berselisih padanya.” (QS. Al-Jaatsiyah: 17)

2. Faktor kebanggaan atau fanatisme.

“yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka. (QS. Ar-Ruum: 32)

3. Faktor kepentingan pribadi atau kelompok, sehingga mereka memotong-motong atau memililah-milah agama Allah berdasarkan selera mereka sendiri.

“Dan mereka telah memotong-motong urusan (agama) mereka di antara mereka. Kepada Kamilah masing-masing golongan itu akan kembali.” (QS. Al-Anbiyaa: 93)

4. Faktor ketidakseriusan akibat cinta kepada kehidupan dunia secara berlebihan.

“Dan tinggalkan lah orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda gurau, dan mereka telah ditipu oleh kehidupan dunia.” (QS. Al-An’aam: 70)

5. Faktor benci kepada kebenaran karena hal itu merugikan posisi atau kedudukan mereka di dunia.

“Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang musyrik membenci. (QS. Ash-Shaff: 9)

6. Faktor mengikuti hawa nafsu dan gemar bertengkar untuk tujuan masing-masing.

“Maka karena itu serulah (mereka kepada agama ini) dan tetaplah sebagai mana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka dan katakanlah: ‘Aku beriman kepada semua Kitab yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan supaya berlaku adil diantara kamu. Allah-lah Tuhan kami dan Tuhan kamu. Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu. Tidak ada pertengkaran antara kami dan kamu, Allah mengumpulkan antara kita dan kepada-Nyalah kembali (kita)’.” (QS. Asy-Syuura: 15)

7. Faktor gemar membantah karena seolah-olah ingin tampil beda.

“Dan orang-orang yang membantah (agama) Allah sesudah agama itu diterima maka bantahan mereka itu sia-sia saja, di sisi Tuhan mereka. Mereka mendapat kemurkaan (Allah) dan bagi mereka azab yang sangat keras.” (QS. Asy-Syuura: 16)

8. Faktor mengistimewakan leluhur sendiri atau fanatisme nenek moyang.

“Rasul itu) berkata: ‘Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kamu dapati bapak-bapakmu menganutnya?’ Mereka menjawab: ‘Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya.’” (QS. Az-Zukhruf: 24)

9. Faktor tidak mau terwujudnya Keadilan Ilahi di kehidupan dunia akibat serakah.

“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.” (QS. Al-Hadid: 25)

10. Faktor kebencian yang dilandasi kebodohan.

“Dan tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim, melainkan orang yang memperbodoh dirinya sendiri, dan sungguh Kami telah memilihnya di dunia dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang saleh.” (QS. Al-Baqarah: 130)

(BERSAMBUNG)

Bagaimana Seharusnya Beragama?

Bagaimana Seharusnya Beragama?

Pertanyaan di atas layak diketengahkan dalam rangka introspeksi diri atas keagamaan kita, sehingga kita benar-benar beragama sebagaimana mestinya. Karena betapa banyak orang beragama, namun keberagamaan mereka sekedar warisan dari orang tua atau lingkungan sekitar mereka. Bahkan ada sebagian orang beranggapan, bahwa agama hanya sebagai pelengkap kehidupan yang sifatnya eksidental.

Mereka tidak ambil peduli yang lazim terhadap agama. Karenanya mereka beragama asal-asalan, sekedar tidak dikatakan tidak beragama. Gejala perpindahan dari satu agama kepada agama yang lain bukanlah semata karena faktor ekonomi. Bahkan, anggapan bahwa semua agama itu sama merupakan akibat dari ketidak pedulian yang lazim terhadap agama. Gejala pluralisme semacam ini menjadi trend abad kedua puluh.Dalam persepsi mereka, membicarakan agama adalah suatu hal yang sangat sensitif dan akan merenggangkan hubungan antara manusia. Agama merupakan sesuatu yang sangat personal dan tidak perlu diungkap dalam forum-forum umum dan terbuka. Jika harus berbicara agama pun, maka ruang lingkupnya harus dibatasi pada sisi peribadatan saja.

Agama telah dirampingkan, sedemikian rupa sehingga, hanya mengurus masalah-masalah ritual belaka. Agama jangan dibawa-bawa ke dalam kancah politik, sosial dan ekonomi. Karena jika agama dibawa ke dalam arena politik dan sosial, maka akan terjadi perang antar agama dan penindasan atas agama tertentu oleh agama yang berkuasa. Demikian pula, jika agama diperan aktifkan dalam urusan ekonomi, maka akan membatasi kebebasan perilaku menimbun kekayaan, karena banyak lampu-lampu merah dan peringatan-peringatan yang sudah tentu akan menghambat kelancaran bisnis. Apakah benar demikian?

Tentu, bagi mereka yang masih memiliki keterikatan dengan agama akan mengatakan, bahwa pernyataan di atas relatif kebenarannya. Sebab, boleh jadi pernyataan di atas adalah suatu kesimpulan dari beberapa kasus sejarah yang parsial dan situasional, bahkan tidak bisa digeneralisasikan.

Namun bagi kaum muslimin, pernyataan di atas sama sekali tidak benar, karena secara teoritis agama Islam adalah pegangan hidup (way of life) yang lengkap dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, baik secara individu maupun kemasyarakatan. Islam agama yang sangat luas dan fleksibel. Secara praktek hal ini telah dibuktikan, bahwa dalam sebuah pemerintahan yang menjalankan syariat Islam dengan baik, kehidupan masyarakatnya baik muslim atau non muslim aman, damai dan sejahtera, bahkan perkembangan ilmu pengetahuan di dalamnya maju pesat.

Yang menjadi acuan kita, adalah bagaimana seharusnya kita beragama, agar ajarannya benar-benar terasa dan mewarnai seluruh aspek kehidupan kita.

Sebagaimana telah kita bahas pada edisi sebelumnya, bahwa ajaran-ajaran Din terdiri atas tiga macam, yaitu aqidah (keyakinan), syariah (hukum atau fiqih) dan akhlaq. Semuanya harus kita perhatikan secara proporsional. Di sini kami akan menjelaskan, walaupun ringkas, ketiga jenis ajaran tersebut.

1. Aqidah

Aqidah adalah perkara-perkara yang mengikat akal, pikiran dan jiwa seseorang. Misalnya, ketika seseorang meyakini adanya satu Dzat yang senantiasa mengawasi gerak-gerik kita, maka keyakinan tersebut mengikat kita sehingga kita tidak leluasa berbuat sesuatu yang akan menyebabkan-Nya murka.

Pada dasarnya, inti dari aqidah semua agama, adalah keyakinan akan eksistensi Dzat Pencipta alam raya ini dan ini merupakan fitrah manusia. Dengan demikian, dari sisi ini semua agama sama, khususnya agama samawi. Allah Ta’ala berfirman, “Katakanlah wahai ahli kitab, marilah kita menuju (membicarakan) kalimat (keyakinan) yang sama antara kami dan kalian.” (QS. Ali Imran : 64).

Namun perbedaan muncul ketika berbicara tentang siapa pencipta alam raya ini, bagaimana wujud-Nya, apakah tunggal atau berbilang, atau pertanyaan-pertanyaan lain yang berkaitan dengan ketuhanan.

Tentu, tidak mungkin semua agama itu benar dalam memahami Dzat Pencipta. Oleh karenanya, hanya ada satu agama yang benar dalam memahami siapa dan bagaimana Dzat Pencipta itu. Lalu bagaimana cara menentukan mana agama yang benar?

Dalam hal ini, masing-masing agama tidak bisa membicarakan hal itu menurut kaca matanya sendiri, baik melalui kitab sucinya atau pendapat para pakarnya. Umat Islam tidak bisa membuktikan bahwa Tuhan itu adalah Allah dengan menggunakan Al-Qur’an maupun Hadis, atau umat Kristiani dengan kitab Injilnya. Demikian pula dengan umat lainnya.

Berbicara tentang siapa dan bagaimana Tuhan Pencipta, harus dengan sesuatu yang disepakati dan dimiliki oleh setiap agama, yaitu akal. Keunggulan dan keberhasilan suatu agama atau aliran, tergantung sejauh mana dapat dipertahankan kebenarannya oleh akal. Maka di sinilah perlunya kita mempelajari aqidah melalui pendekatan akal, atau yang sering disebut dengan ushuluddin, ilmu tauhid dan ilmu kalam (teologi). Bagaimana kita beraqidah atau bagaimana cara kita mempelajari aqidah ?

Ayatullah Muhammad Ray Syahri dalam kitab Mabani-e Syenakht membagi manusia yang beraqidah kepada dua kelompok, yaitu sebagian orang beraqidah atas dasar taqlid dan lainnya beraqidah atas dasar tahqiq. Taqlid ialah menerima pendapat orang tanpa dalil dan argumentasi (burhan) aqli, sebaliknya tahqiq adalah menerima pendapat berdasarkan dalil dan argumentasi (burhan) aqli.

Beraqidah atas dasar taqlid, menurut akal tidak dapat dibenarkan. Karena masalah aqidah adalah masalah keyakinan dan kemantapan, sementara taqlid tidak memberikan keyakinan dan kemantapan. Oleh karenanya, alangkah banyak kalangan awam, dalam masalah keagamaan, karena satu dan lain hal, pindah agama atau keluar dari agamanya. Al-Qur’an sendiri, dalam beberapa ayatnya, mengkritik cara berpikir seperti ini, yang merupakan cara berpikir yang biasa dijadikan alasan oleh orang-orang musyrik untuk tidak mengikuti ajakan para Nabi. Misalnya, Al-Qur’an mengatakan, “Jika dikatakan kepada mereka, Ikutilah apa yang Allah turunkan. Mereka menjawab, Tidak. Akan tetapi kami mengikuti (melakukan) apa yang kami dapati dari pendahulu kami.” (QS. Luqman : 21).

Selain itu, Al-Qur’an juga melarang mengikuti sesuatu tanpa pengetahuan, “Dan janganlah kalian mengikuti apa yang tidak kalian ketahui.” (QS. Al-Isra : 36). Bahkan Al-Qur’an menyebut orang yang tidak menggunakan akalnya sebagai binatang yang paling buruk, “Sesungguhnya binatang yang paling buruk di sisi Allah adalah orang yang bisu dan tuli, yaitu orang-orang yang tidak berpikir.” (QS. Al-Anfal : 22) dan ayat-ayat lainnya.

Disamping itu, terdapat sejumlah Hadis Rasulullah saaw yang menganjurkan umatnya agar beragama atas dasar pengetahuan. Antara lain Hadis yang berbunyi, “Jadilah kalian orang yang berilmu atau yang sedang menuntut ilmu, dan jangan menjadi orang yang ikut-ikutan.” (Kitab an-Nihayah Ibnu Atsir, jilid I hal. 67)

Alhasil, akal diciptakan sebagai sumber kekuatan manusia untuk mengetahui kebenaran dan kesalahan. Salah seorang Maksumin berkata, “Allah mempunyai dua hujjah (bukti kebenaran), hujjah lahiriah dan hujah batiniah. Hujah lahiriah adalah para Rasul dan hujjah batiniah adalah akal.” Sementara itu, para Mutakalimin dan filosof muslim telah bersusah payah membangun argumentasi-argumentasi rasional yang kuat dan kokoh tentang pembuktian keberadaan Allah Ta’ala.

Dengan demikian, kesimpulan yang dapat kita tarik dari keterangan di atas, adalah bahwa dalam masalah aqidah seseorang mesti bertahqiq dengan dalil-dalil akal, dan tidak boleh ber-taqlid.

2. Syariat

Syariat menurut arti bahasa adalah tempat mengalirnya air. Lalu syariat diartikan lebih luas, yaitu untuk segala jalan yang mengantarkan manusia kepada maksudnya (lihat Tafsir Namuneh dan Tafsir Mizan dalam menafsirkan surat Al-Jatsiyah ayat 18).

Dengan demikian, Syariat Islamiyah berarti jalan yang mengantarkan umat manusia kepada tujuan Islami.

Setelah seseorang meyakini keberadaan Allah sebagai Pencipta dan Pemberi kehidupan sesuai dengan dalil-dalil akal, maka konsekuensi logisnya (bil mulazamah aqliyyah) dia akan merasa berkewajiban untuk menaati dan menyembah-Nya. Namun sebelumnya, tentu dia harus mengetahui cara bertaat dan menyembah kepada-Nya, agar tidak seperti orang-orang Arab Jahiliyah yang menyembah Allah, namun melalui patung-patung (QS. Az-Zumar : 3).

Mereka, sesuai dengan fitrah illahiah, meyakini keberadaan Tuhan Sang Pencipta alam raya. Berkenaan dengan itu, Allah Ta’ala berfirman, “Jika kamu bertanya kepada mereka, Siapakah yang menciptakan bumi dan langit ? Niscaya mereka menjawab, Allah.” (QS. Lukman : 25). Kemudian, mereka ingin mengadakan hubungan dan berkomunikasi dengan-Nya (menyembah-Nya), sebagaimana Allah lukiskan dalam firman-Nya, “Sebenarnya kami menyembah patung-patung sebagai upaya mendekatkan diri kami kepada Allah semata.” (QS. Az-Zumar : 3). Meskipun mereka meyakini keberadaan Allah Ta’ala, namun mereka salah dalam cara mengadakan hubungan dan berkomunikasi dengan-Nya.

Nah, agar tidak terjadi kesalahan dalam kontak dan komunikasi dengan Allah, maka kita mesti melakukannya menurut cara yang dihendaki-Nya dan tidak mengikuti cara yang kita inginkan. Allah dengan luthf-Nya (upaya mendekatkan hamba pada ketaatan dan menjauhkannya dari kemaksiatan) mengutus para Nabi dan menurunkan kitab untuk mengajarkan tata cara menyembah (beribadah). Oleh karena itu, kita mesti mengikuti bagaimana Rasulullah saaw beribadah, ‘’Shalatlah kalian, sebagaimana kalian melihat aku shalat.’’

Kaum muslimin yang menyaksikan Rasulullah beribadah secara langsung, tidak mengalami kesulitan untuk mengikuti beliau. Namun, bagi kita yang telah dipisahkan dari beliau dengan rentang waktu yang cukup panjang (lima belas abad), untuk mengetahui cara beliau beribadah hanyalah dapat dilakukan melalui perantaraan Al-Qur’an dan Hadis. Dan untuk memahami maksud Al-Qur’an dan Hadis tidaklah mudah.

Menyangkut Al-Qur’an, Imam Ali bin Abi Thalib as. berkata, “Kitab Tuhan kalian (berada) di tengah-tengah kalian. Ia menjelaskan tentang halal dan haram, kewajiban dan keutamaan, nasikh (ayat yang menghapus) dan mansukh (ayat yang dihapus), rukhshah dan azimah, khusus dan umum, ibrah dan perumpamaan, mursal (mutlaq) dan mahdud (muqayyad), muhkam (ayat yang jelas maksudnya)…” (Tashnif Nahjul Balaghah : 207). Sedangkan mengenai Hadis yang sampai kepada kita, ribuan jumlahnya dari berbagai kitab Hadis dan tidak sedikit darinya terdapat pertentangan satu dengan lainnya.

Dengan demikian, untuk dapat memahami maksud Al-Qur’an dan Hadis, harus terlebih dahulu menguasai sejumlah disiplin ilmu dengan baik, antara lain:

  • Bahasa dan Sastra Arab.
  • Tafsir.
  • Ulumul Qur’an.
  • Ushul Fiqih.
  • Mantiq.
  • Ilmu Rijal
  • Ulumul Hadis
  • Tarikh.
  • Fiqh.

Orang yang telah menguasai semua disiplin ilmu tersebut dengan baik, dia dapat beristinbath (menginterpretasikan hukum) secara langsung dari Al-Qur’an dan Hadis (pelakunya disebut mujtahid). Tetapi orang yang tidak menguasai semua ilmu di atas dengan baik, maka cukup baginya mengikuti (bertaqlid) kepada hasil istinbath seorang mujtahid. Dalam masalah aqidah taqlid tidak diperkenankan, sementara dalam masalah syariat taqlid diperbolehkan.

3. Akhlak

Para ulama dalam mengartikan akhlak umumnya mengatakan, “Akhlak adalah ilmu yang menjelaskan tentang mana yang baik dan yang buruk, serta apa yang harus diamalkan.” Mereka membagi ilmu akhlak kepada dua bagian, yaitu akhlak teoritis dan akhlak praktis. Mempelajari dan mengamalkan akhlak sangat diperlukan, sebagai proses mencapai tujuan hidup, yaitu kesempurnaan.

Kalimat penutup, sebagai jawaban atas pertanyaan bagaimana seharusnya kita beragama, adalah beraqidah atas dasar tahqiq dan menjalankan syariat dengan baik atas dasar ijtihad atau taqlid dan berakhlak.

Tragedi Karbala Dan Imam Husein as Di Dalam Nubuat Alkitab

Tragedi Karbala Dan Imam Husein as Di Dalam Nubuat Alkitab


Berikut ini hanyalah salah satu dari beberapa nubuat pengorbanan yang telah diriwayatkan di dalam Alkitab dan yang disembunyikan oleh Ahlulkitab dari pengamatan. Allah Swt berfirman di dalam Al-Qur’an:

“Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al Kitab yang kamu sembunyikan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan Kitab yang menerangkan.” (QS. Al-Maidah: 15)

Ayat-ayat Alkitab berikut ini adalah narasi tragedi berdarah yang akan dialami oleh Sang Mesiah dan Keluarganya di dalam Alkitab.

Secara ringkas, sebenarnya masih ada beberapa nubuat lain di dalam Alkitab mengenai Imam Husein as. Tapi untuk sementara ini, saya belum mengungkapkannya karena beberapa alasan tertentu. Namun insyaAllah, dalam waktu dekat segalanya pun akan terungkap dengan sendirinya.

Untuk itu, tanpa ingin berpanjang lebar dengan memberikan penjelasan seputar penafsiran ayat ini, maka untuk sementara, saya hanya akan membandingkan narasi nubuat Alkitab (di sisi kiri) ini dengan sebuah nasyid Karbala yang sangat terkenal dan amat menyayat hati (di sisi kanan). Berhubung menampilkan tabel dua sisi agak sulit melalui bloger wordpress, maka saya mengemasnya sebagai attachment saja di bawah ini.

Bagi anda yang ingin mendengarkan nasyid ini dalam bahasa Indonesia, silahkan kunjungi situs http://www.12-imam.com/nasyid.htm dan men-download-nya dari sana. (file bisa didengar dalam bentuk Real Player). Sedangkan bila ada kesulitan untuk mendownload nasyid ini dari sumber di atas, maka anda bisa ke halaman muka blog ini dan mendownload-nya dari My Share Box saya yang berwarna oranye di sisi kanan.

Silahkan Download Nubuat Alkitab (file Doc 38.5 KB)

Nubuat Imam Husein Bin Ali as

Di dalam Alkitab

Nasyid Yaa Syahid Yaa Husayn

Tentang Lokasi Karbala:

Yeremia 46:10

“Hari itu ialah hari Tuhan ALLAH semesta alam, hari pembalasan untuk melakukan pembalasan kepada para lawan-Nya. Pedang akan makan sampai kenyang, dan akan puas minum darah mereka. Sebab Tuhan ALLAH semesta alam mengadakan korban penyembelihan di tanah utara, dekat sungai Efrat.”

Tentang Tragedi Karbala:

Yesaya 53: 1-12

“Siapakah yang percaya kepada berita yang kami dengar, dan kepada siapakah tangan kekuasaan TUHAN dinyatakan?

Sebagai taruk ia tumbuh di hadapannya dan sebagai tunas dari tanah kering. Ia tidak tampan dan semaraknyapun tidak ada sehingga kita memandang dia, dan rupapun tidak, sehingga kita menginginkannya.

Ia dihina dan dihindari orang, seorang yang penuh kesengsaraan dan yang biasa menderita kesakitan; ia sangat dihina, sehingga orang menutup mukanya terhadap dia dan bagi kitapun dia tidak masuk hitungan.

Tetapi sesungguhnya, penyakit kitalah yang ditanggungnya, dan kesengsaraan kita yang dipikulnya, padahal kita mengira dia kena tulah, dipukul dan ditindas Allah.

Tetapi dia tertikam oleh karena pemberontakan kita, dia diremukkan oleh karena kejahatan kita; ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya, dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh.

Kita sekalian sesat seperti domba, masing-masing kita mengambil jalannya sendiri, tetapi TUHAN telah menimpakan kepadanya kejahatan kita sekalian.

Dia dianiaya, tetapi dia membiarkan diri ditindas dan tidak membuka mulutnya seperti anak domba yang dibawa ke pembantaian; seperti induk domba yang kelu di depan orang-orang yang menggunting bulunya, ia tidak membuka mulutnya.

Sesudah penahanan dan penghukuman ia terambil, dan tentang nasibnya siapakah yang memikirkannya? Sungguh, ia terputus dari negeri orang-orang hidup, dan karena pemberontakan umat-Ku ia kena tulah.

Orang menempatkan kuburnya di antara orang-orang fasik, dan dalam matinya ia ada di antara penjahat-penjahat, sekalipun ia tidak berbuat kekerasan dan tipu tidak ada dalam mulutnya.

Tetapi TUHAN berkehendak meremukkan dia dengan kesakitan. Apabila ia menyerahkan dirinya sebagai korban penebus salah, ia akan melihat keturunannya, umurnya akan lanjut, dan kehendak TUHAN akan terlaksana olehnya.

Sesudah kesusahan jiwanya ia akan melihat terang dan menjadi puas; dan hamba-Ku itu, sebagai orang yang benar, akan membenarkan banyak orang oleh hikmatnya, dan kejahatan mereka dia pikul.

Sebab itu Aku akan membagikan kepadanya orang-orang besar sebagai rampasan, dan ia akan memperoleh orang-orang kuat sebagai jarahan, yaitu sebagai ganti karena ia telah menyerahkan nyawanya ke dalam maut dan karena ia terhitung di antara pemberontak-pemberontak, sekalipun ia menanggung dosa banyak orang dan berdoa untuk pemberontak-pemberontak.”

Yaa Syahid Yaa Mazhlum

Yaa Imam Yaa Husayn


Yaa Syahid Yaa Mazhlum

Yaa Imam Yaa Husayn


Yaa Syahid Yaa Mazhlum

Yaa Imam Yaa Husayn


Yaa Syahid Yaa Mazhlum

Yaa Imam Yaa Husayn

Inilah Husayn Cucunda Nabi,


Selain Husayn tiada lagi


Ibunya Syahidah dengan luka hati


Abahnya Syahid ditikam Belati


Abangnya syahid diracuni


Kinilah Husayn seorang diri

Yaa Syahid Yaa Mazhlum

Yaa Imam Yaa Husayn


Yaa Syahid Yaa Mazhlum

Yaa Imam Yaa Husayn

Inilah raga mirip Rasulullah


Pemuda surga kekasih Allah


Putra termulia Ali Asadullah


Adik tercinta Hasan Hujatullah

Tubuhnya dipasak puluhan tombak


Dicincang-cincang ratusan pedang

Yaa Syahid Yaa Mazhlum

Yaa Imam Yaa Husayn


Yaa Syahid Yaa Mazhlum

Yaa Imam Yaa Husayn

Tubuh yang sering dipeluk Rasul


Putra kesayangan Muhammad


Belahan jiwa kini tergeletak


Tanpa kepala tubuh terserak


Tak dikafani tak disholati


Tak dimandikan tak dikuburkan

Yaa Syahid Yaa Mazhlum

Yaa Imam Yaa Husayn


Yaa Syahid Yaa Mazhlum

Yaa Imam Yaa Husayn

Biar kan diri kami menebus darahmu


Biarkan jiwa kami menebus jiwamu


Semoga hidup kami bagai hidupmu


Semoga mati kami bagai janjimu


Semoga bangkit kami bagai bangkitmu


Kumpulkanlah kami bersamamu

Yaa Syahid Yaa Mazhlum

Yaa Imam Yaa Husayn


Yaa Syahid Yaa Mazhlum

Yaa Imam Yaa Husayn


Yaa Syahid Yaa Mazhlum

Yaa Imam Yaa Husayn


Yaa Syahid Yaa Mazhlum

Yaa Imam Yaa Husayn

Semoga dalam diri kita masih ada secuil cinta di lubuk sanubari yang gelap gulita ini kepada cucunda Nabi saw yang mulia dan agung ini…

Kepemimpinan Dalam Agama Ibrahimik: Imamah Menurut Alkitab

Kepemimpinan Dalam Agama Ibrahimik: Imamah Menurut Alkitab

Salam sejahtera kepada semua. Sehubungan adanya permintaan dari rekan-rekan untuk mengangkat kembali topik imamah dalam agama Ibrahimik, maka artikel “Imamah Menurut Alkitab” yang pernah saya postingkan sebelum ini saya kedepankan lagi. Sebagai tambahan, judul depannya saya tambahkan kalimat “Kepemimpinan Dalam Agama Ibrahimik”. Sekian dan terma kasih atas pastisipasi dan komentar-komentar antum sekalian. Adapun artikel-artikel kristologi lainnya yang terkait dengan pembahasan imamah adalah “Adakah Jabatan Imam Allah?. Jazakallah kheir.

_______________________________________
Terlepas dari perbedaan pemahaman imamah antara mazhab Syiah-Ahlusunah berkenaan kepemimpinan umat pasca wafat Nabi saw, Alkitab—Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru—sendiri sangat akrab dengan terminologi imamah. Mene­lusuri imamah dalam Alkitab berarti mempelajari sisi historis ajaran para nabi Tuhan yang telah ada sebelum Nabi Muhammad saw. Dalam Kitab Perjanjian Lama, istilah “imam” pertama kali muncul pada zaman Nabi Ibrahim as di Kitab Kejadian 14:18 yang menceritakan tentang seorang imam Tuhan yang bernama Malkisedek:

Melkisedek, Raja Salem, membawa roti dan anggur; ia se­orang imam Allah Yang Mahatinggi. Lalu ia memberkati Abram, katanya: “Diberkatilah kiranya Abram oleh Allah Yang Mahatinggi, Pencipta langit dan bumi. (Kejadian 14: 18-19)

Kata “imam” muncul lagi di zaman Yusuf as. Singkat cerita, ketika tuduhan pelecehan seksual dari seorang wanita yang berasal dari kalangan bangsawan Mesir terhadap Yusuf as tidak terbukti, ke­mudian Yusuf as menafsirkan mimpi raja me­ngenai periode paceklik pangan yang akan melanda wilayah itu, maka penguasa negeri sungai Nil, Fir‘aun, melantik Yusuf as dan memberinya kuasa untuk meng­antisipasi masa-masa sulit yang akan dilalui bangsa Mesir.

Fir’aun juga memberi sebuah gelar atau jabatan, yang dalam istilah bahasa Mesir Kuno (Qibty) disebut Zafnat-Paneah, yang artinya dalam bahasa Inggris treasury of the glorious rest. Yang mungkin menarik dari kisah Yusuf as dalam al-Kitab, diceritakan bahwa Yusuf as menikah dengan seorang putri seorang imam di On (yaitu wilayah da­taran rendah di bagian utara Mesir, Lower Egypt) yang bernama Asenath anak dari Imam Potipherah.

Selanjutnya Fir‘aun berkata kepada Yusuf: “Dengan ini aku me­lantik engkau menjadi kuasa atas seluruh tanah Mesir.” (Kejadian 41: 41)

Lalu Fir‘aun menamai Yusuf: Zafnat-Paneah, serta mem­be­rikan Asnat, anak Po­tifera, imam di On, kepadanya menjadi istrinya. Demikianlah Yusuf muncul se­bagai kuasa atas seluruh tanah Mesir. (Kejadian 41: 45)

Selanjutnya, Alkitab dalam Kitab Keluaran menceritakan lagi mengenai figur seorang imam di wilayah Midian (Madyan) pada zaman Musa as bernama Yitro (Nabi Syu‘aib as). Perkenalan Musa as dengan Yitro as terjadi setelah Musa as membantu putri-putrinya ketika mereka akan menimba air pada salah satu sumur di Midian. Setelah pertemuan itu, Yitro as juga memutuskan agar Nabi Musa as bersedia menikah dengan salah seorang putrinya, dan tinggal bersama mereka selama beberapa tahun di wilayah itu.

Adapun imam di Midian itu mempunyai tujuh anak perem­puan. Mereka datang menimba air dan mengisi palungan-palungan untuk memberi minum kambing domba ayahnya. Maka datanglah gembala-gembala yang mengusir mereka, lalu Musa bangkit menolong mereka dan memberi minum kambing domba mereka. (Keluaran 2: 16-17)

Musa bersedia tinggal di rumah itu, lalu diberikan Rehuellah Zipora, anaknya, kepada Musa. (Keluaran 2: 21)

Pada bagian-bagian lanjutan, Alkitab banyak sekali meng­gu­nakan istilah imam. Konteks religiusitas juga mulai sangat kental ikut mewarnai istilah “imam” untuk menunjukkan jabatan tertinggi bagi seseorang yang diberikan wewenang sebagai executor atau pelak­sana hukum-hukum Tuhan di wilayah Kanaan (Pa­lestina-Israel).

Setelah bangsa Israel di bawah pimpinan Nabi Musa as dan Harun as men­dapat perintah Tuhan untuk bermigrasi dari wilayah Mesir ke tanah Kanaan, Tuhan juga telah memantapkan suatu ren­cana melalui kedua Rasul-Nya agar bangsa Israel dalam kehidupan mereka dapat bernaung kepada sistem Peme­rintahan Tuhan yang bisa mewujudkan ajaran-ajaran-Nya.

Kamu akan menjadi bagi-Ku kerajaan imam dan bangsa yang kudus. Inilah se­muanya firman yang harus kau katakan ke­pada orang Israel. (Keluaran 19: 6)

Kata kerajaan imam menurut versi Ibraninya adalah “mam­lakah kohen”. Kata kohen berasal dari kahan, kata ini sama sekali tidak identik dengan pendeta, pastor dan paderi. Seperti pada kisah Abraham as dengan Malkisedek, Yusuf as dan juga Yitro as, Per­jan­jian Lama tetap konsisten menggunakan kata yang sama. Arti kohen juga berbeda dengan rabbi (apabila direlasikan kepada Islam, kata ini ditujukan hanya kepada seorang mujtahid atau faqih).

Pada masa Musa as dan Harun as, Tuhan membagi bangsa Israel menjadi 12 kelompok masyarakat berdasarkan keturunan mereka (suku). Pembagian itu me­ngikuti garis keturunan masing-masing yang berasal dari 12 orang putra Ya‘qub as (Israel). Tanpa harus memasuki secara lebih mendalam mengenai berbagai pe­nyim­pa­ngan terhadap ajaran Tuhan kepada bangsa Israel di kemu­dian hari (ter­masuk dalam hal imamah), yang perlu dipahami di sini bahwa: kenabian Israel paska Ya‘qub as pertama kali diperankan oleh Yusuf as. Mimpi Yusuf as yang diperlihatkan oleh Tuhan mengenai 11 kaukab (bintang) bersujud kepadanya menunjukkan orde imam bangsa Israel yang pertama.

Artinya; setelah Yusuf as wafat, peran imamah bangsa Israel dipegang oleh putra sulungnya yaitu Manasye dan diikuti oleh keturunan mereka. Setelah berla­lunya masa yang cukup lama dan bangsa Israel menetap di wilayah Mesir hingga periode perbudakan oleh Fir‘aun, bangsa Israel telah dikunjungi kembali oleh 2 orang nabi Tuhan yang sangat berperan dalam menetapkan aturan serta pengajaran-pengajaran Tuhan. Ke­dua Nabi itu adalah Musa as dan Harun as. Melalui Musa as, bangsa Israel telah diberikan sebuah Kitab Tuhan yang bernama Torah (Taurat) atau yang disebut Pentateukh (5 Kitab pertama dari Per­janjian Lama).

Musa as dan Harun as adalah Nabi yang berasal dari suku Lewi (salah seorang putra Ya‘qub as), ketika kedua nabi itu menyam­paikan pengajarannya kepada bangsa Israel, Tuhan memerintahkan Musa as agar mengangkat Harun as dan keturunannya untuk men­jadi imam (kohen) atas segenap bangsa Israel.

Engkau harus menyuruh abangmu Harun bersama-sama dengan anak-anaknya datang kepadamu, dari tengah-tengah orang Israel, untuk memegang jabatan imam bagi-Ku—Harun dan anak-anak Harun, yakni Nadab, Abihu, Eleazar dan Itamar. (Keluaran 28: 1)

Engkau harus juga mengurapi dan menguduskan Harun dan anak-anaknya supaya mereka memegang jabatan imam bagi-Ku. (Keluaran 30: 30)

Pengangkatan itu tidak sekadar seperti mengangkat seorang pe­mimpin dari suatu kelompok suku yang majemuk ataupun seperti seorang pemimpin untuk sebuah bangsa. Jabatan kohen kepada Harun as dan keturunannya adalah pilihan Tuhan dan bukan ini­siatif Musa as. Selain itu, periode ini juga menunjukkan transisi ke-kohen-an (imamah) dari keturunan Yusuf as kepada suku Lewi melalui Harun as dan keturunannya.

Pengangkatan mereka ditandai dengan pengurapan (pensucian, pengudusan atau pentahiran) secara langsung oleh Tuhan terhadap Harun as dan keturunan mereka. Pada saat itu, Tuhan meme­rin­tahkan Musa as untuk mengumpulkan Harun as dan anak-anaknya agar dikenakan pakaian yang kudus sebagai tanda pensucian atas diri-diri mereka dan pertanda bahwa imamah Tuhan atas Israel dideklarasikan.

Kau kenakanlah pakaian yang kudus kepada Harun, kau urapi dan kau kuduskanlah dia supaya ia memegang jabatan imam bagi-Ku.

Maka semuanya itu haruslah kau kenakan kepada abangmu Harun bersama-sama dengan anak-anaknya, kemudian engkau harus mengurapi, mentahbiskan dan menguduskan mereka, se­hingga mereka dapat memegang jabatan imam bagi-Ku. (Keluaran 28: 41)

Urapilah mereka, seperti engkau mengurapi ayah mereka, supaya mereka memegang jabatan imam bagi-Ku; dan ini terjadi, supaya berdasarkan pengurapan itu mereka meme­gang jabatan imam untuk selama-lamanya turun-temurun. (Keluaran 40: 15)

Setelah pengangkatan Harun as dan keturunannya sebagai imam bangsa Israel, suku Lewi juga diperintahkan oleh Tuhan untuk melayani Harun as dan keturunan mereka.

Suruhlah suku Lewi mendekat dan menghadap imam Harun, supaya mereka melayani dia. (Bilangan 3: 6)

Banyak keutamaan yang telah dikaruniakan Tuhan kepada suku Lewi, khususnya kepada Harun as beserta keturunannya. Di sini, kita tidak akan menguraikannya secara lengkap, tapi terhadap mereka, Tuhan telah memerintahkan agar para imam dan suku Lewi mem­peroleh persembahan persepuluhan (10%) dari harta atau pusaka yang dimiliki bangsa Israel.

Mengenai bani Lewi, sesungguhnya Aku berikan kepada mereka segala persembahan persepuluhan di antara orang Israel sebagai milik pusakanya, untuk membalas pekerjaan yang dilakukan mereka, pekerjaan pada Kemah Pertemuan. (Bilangan 18: 21)

Selain keutamaan dalam hal pendapatan, wilayah mereka juga tidak ditentukan pada satu daerah tertentu. Setelah wilayah Kanaan dikuasai oleh Yoshua, wilayah itu dibagi berdasarkan masing-masing suku yang berjumlah 12, tapi terhadap suku Lewi, Tuhan tidak memberikan satu daerah khusus sebagai konsesi mereka se­perti yang diberikan kepada suku-suku lainnya. Wilayah suku Lewi justru tersebar di daerah masing-masing suku yang diatur ber­dasar­kan kotanya masing-masing.

Selain menetapkan Harun as dan keturunannya, Tuhan juga mengangkat imam untuk masing-masing suku Israel lainnya de­ngan Harun as dan keturunannya berperan sebagai imam tertinggi bangsa Israel.

Katakanlah kepada orang Israel dan suruhlah mereka mem­be­rikan kepadamu satu tongkat untuk setiap suku. Semua pemimpin mereka harus memberikannya, suku demi suku, seluruhnya dua belas tongkat. Lalu tuliskanlah nama setiap pemimpin pada tongkatnya. (Bilangan 17: 2)

Setelah Musa berbicara kepada orang Israel, maka semua pe­mimpin mereka memberikan kepadanya satu tongkat dari setiap pemimpin, menurut suku-suku mereka, dua belas tongkat, dan tongkat Harun ada di antara tongkat-tongkat itu. (Bilangan 17: 6)

Pada materi pengantar kali ini, tentu tidak bisa dijelaskan secara komprehensif mengenai makna imamah menurut al-Kitab dan hu­bungan-hubungannya, tapi perlu dipahami bahwa kata kohen juga identik dengan nasiy. Pada ayat Bilangan 17: 2 dan 6 di atas, kata pemimpin tidak disebut kohen, tapi nasiy. Kata nasiy berasal dari nasa’, artinya dalam bahasa Inggris: to lift up, to be lifted up, to exalt, to lift oneself up. Seluruh makna-makna itu menunjukkan kepada meninggikan derajat, penyanjungan dan terangkat. Kata nasiy juga berarti captain yang secara luar biasa berkorespondensi secara tepat dengan ayat Al-Qur’an yang menyebutkan bahwa Tuhan telah mengangkat 12 orang Naqib dari bangsa Israel!

Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian (dari) Bani Israel dan telah Kami angkat di antara mereka 12 orang pe­mimpin dan Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku beserta kamu, sesung­guhnya jika kamu mendirikan salat dan me­nunaikan zakat serta beriman kepada rasul-rasul-Ku dan kamu bantu mereka dan kamu pinjamkan kepada Allah pin­jaman yang baik se­sung­guhnya Aku akan menghapus dosa-dosamu. Dan sesungguhnya kamu akan Ku masukkan ke dalam surga yang mengalir di da­lamnya sungai-sungai. Maka barangsiapa yang kafir di antaramu se­sudah itu, sesung­guhnya ia telah tersesat dari jalan yang lurus.” (QS. al-Maidah: 12)

Kesimpulan mengenai hubungan 2 kata itu bahwa walaupun para penerjemah Alkitab (khususnya di Indonesia) menggunakan kata imam untuk kohen dan nasiy untuk pemimpin, secara umum tidak salah, tapi sebenarnya kurang tepat. Kohen terkait dengan tugas untuk menjadi penerus para nabi. Seorang pengganti (kha­lifah) atau penerus dari seorang nabi selayaknya memiliki kuali­fikasi dan we­we­nang yang sama dengan yang diberikan kuasa akan hal itu. Dalam hal ini, kata kohen sebenarnya lebih tepat disebut dengan wali. Karena, wali untuk suatu umat dari seorang nabi, memang semes­tinya memiliki kualifikasi dan kekuasaan yang sama dengan sang nabi. Sedangkan kata nasiy adalah sebutan untuk ja­batan yang di­pegang oleh sang wali tersebut, yaitu: imam.

Pengangkatan para imam juga dilakukan pada periode-periode lanjutan dari para nabi (rasul) dan imam bangsa Israel setelah Musa as hingga periode Isa as. Dalam pemahaman yang lebih luas, kata “pemimpin” juga sering direfleksikan secara simbolis sebagai batu dalam arti “gembala”.

Maka sekarang, pilihlah dua belas orang dari suku-suku Israel, seorang dari tiap-tiap suku. (Yosua 3: 12)

Pilihlah dari bangsa itu dua belas orang, seorang dari tiap-tiap suku, dan perintahkanlah kepada mereka, demikian: Angkatlah dua belas batu dari sini, dari tengah-tengah sungai Yordan ini, dari tempat berjejak kaki para imam itu, bawalah semuanya itu ke seberang dan letakkanlah di tempat kamu akan bermalam nanti malam. (Yosua 4: 2-3)

Maka orang Israel itu melakukan seperti yang diperintahkan Yosua. Mereka mengangkat dua belas batu dari tengah-tengah sungai Yordan, seperti yang difirmankan Tuhan kepada Yosua, menurut jumlah suku Israel. Semuanya itu dibawa merekalah ke seberang, ke tempat bermalam, dan diletakkan di situ. (Yosua 4: 8)

Kemudian Elia mengambil dua belas batu, menurut jumlah suku keturunan Yakub—Kepada Yakub ini telah datang firman Tuhan: “Engkau akan bernama Israel.” (1 Raja-raja 18: 31)

Lalu aku memilih dua belas orang pemuka imam. (Ezra 8: 24)

Murid-murid Isa as atau Hawariyyun juga berjumlah 12 orang.

Kata Yesus kepada mereka: “Aku berkata kepadamu, se­sung­guhnya pada waktu penciptaan kembali, apabila Anak Manusia bersemayam di tahta kemuliaan-Nya, kamu, yang telah meng­ikut Aku, akan duduk juga di atas dua belas takhta untuk meng­hakimi kedua belas suku Israel. (Matius 19: 2 8)

Ia menetapkan dua belas orang untuk menyertai Dia dan untuk diutus-Nya memberitakan Injil. (Markus 3: 14)

Ketika hari siang, Ia memanggil murid-murid-Nya kepada-Nya, lalu memilih dari antara mereka dua belas orang, yang disebut-Nya rasul. (Lukas 6: 13)

Nabi terakhir untuk umat manusia, Muhammad saw juga me­nya­takan bahwa akan ada 12 orang khalifah setelah dirinya, seba­gaimana disebutkan di dalam Shahih Bukhari dan Muslim. Bukhari di dalam Shahih-nya, pada awal kitab al-Ahkam, bab al-Umara min Quraisy (Para Pemimpin dari Quraisy), juz IV, ha­laman 144; dan di akhir kitab al-Ahkam, halaman 153, sedangkan dalan Shahih Muslim di­sebutkan di awal kitab al-Imarah, juz II, halaman 79. Hal itu juga disepakati oleh Ashhab ash-Shihhah dan Ashhab as-Sunan, bahwa­sanya diriwayatkan dari Rasulullah saw: “Agama masih tetap akan tegak sampai datangnya Hari Kiamat dan mereka dipimpin oleh 12 khalifah, semuanya dari Quraisy.” Juga diriwayatkan dari Jabir bin Samrah, dia berkata: “Aku bersama ayah­ku datang menjumpai Rasulullah saw. Lalu aku mendengar beliau bersabda, ‘Urusan ini tidak akan tuntas sehingga datang kepada mereka 12 orang khalifah.’ Kemudian dengan suara pelan beliau mengatakan sesuatu kepada ayahku. Aku pun bertanya kepada ayahku, ‘Apa yang telah beliau katakan wahai ayah?’ Ayahku men­jawab, ‘Bahwa mereka semua dari kalangan Quraisy.’”

Pengantar singkat ini tentu tidak bisa memberikan kita ruang untuk membahas secara mendalam mengenai sistem kepemimpinan para nabi dan rasul Tuhan melalui perspektif Alkitab dengan pan­duan cahaya Al-Qur’an. Akan tetapi, diharapkan dapat menggugah kesadaran dan intelektualisme terhadap wawasan ilmiah dan pe­ngetahuan “keislaman” yang ternyata masih banyak yang mesti ditelusuri lagi secara lebih seksama. Wallahu‘alam. Wa Sallallahu ‘ala Sayyidina Muhammadin wa ‘Ala Alihi ath-Thayyibin ath-Thahirin.

[Catatan: Untuk meninjau sumber rujukan yang saya gunakan dalam kajian ini, silahkan anda merujuk kepada pengantar saya selengkapnya di buku “Imam Penerus Nabi saw” karya Sayyid Mujtaba Musawi Lari, Penerbit Lentera, 2004]

Tuhan Itu Tidak Ada!!??!?!!?

Tuhan Itu Tidak Ada!

Pikiranku: “Tuhan itu ada …”
Pikiranku: “Tuhan itu tidak ada …”

exp1i.gif
Aku: Apaaaa?? Tuhan itu TIDAK ADA …!”

Inilah kondisi yang sering membuat manusia pusing tujuh keliling :roll:

Seorang pelanggan tiba di barber shop untuk memotong rambut dan merapikan brewoknya. Tak lama kemudian, si tukang cukur pun mulai memotong rambut pelanggannya. Tanpa maksud apapun, mulailah keduanya terlibat dalam suatu topik pembicaraan yang menghangatkan … !

Mereka membicarakan banyak hal yang gak karuan … entah kenapa … tiba-tiba topik pembicaraan itu beralih membicarakan tentang eksistensi Tuhan.

Tukang cukur berkata: “Saya tidak percaya kalau Tuhan itu ada.”

Pelanggan: “Kenapa kamu berkata begitu?!”, timpal si pelanggan yang kaget!

Tukang Cukur: “Begini … coba Anda perhatikan di depan sana, dijalanan … “, tukang cukur itu tiba-tiba terdiam. Seolah-olah dia sedang berpikir untuk menjelaskan dari mana dia harus memulai pembicaraannya sehingga bisa membuktikan bahwa Tuhan itu tidak ada.

Pelanggan: “Coba yakinkanlah diriku kalau Tuhan itu memang tidak ada.” Katanya.

Tukang Cukur: “jika Tuhan itu ada, adakah orang yang sakit? Akan adakah anak-anak yang terlantar? Jika Tuhan ada, maka otomatis tidak akan ada orang sakit ataupun kesusahan. Sungguh … saya tak bisa membayangkan bagaimana Tuhan Yang Maha Penyayang itu akan membiarkan semua hal ini terjadi.” Demikianlah argumen-argumen pedas yang dilontarkan tukang cukur kepada si pelanggan.

Pelanggan itupun diam sejenak dan kata-kata itu benar-benar memiliki makna yang dalam baginya, apalagi tukang cukur itu sedang memegang pisau cukur yang tajam dan bersiap-siap untuk mencukur brewok yang tumbuh lebat di sekitar lehernya. Demi menjaga konsentrasi tukang cukur, akhirnya pelanggan itu memutuskan untuk diam dan tidak meresponnya. Lagipula, tak ada pelanggan waras yang ingin membuat seorang tukang cukur skeptis marah dalam posisi seperti itu kan … ? :mrgreen:

Walhasil pelanggan itu memutuskan untuk tidak berdebat dengannya.

Sejurus kemudian, tukang cukur itu akhirnya menyelesaikan pekerjaannya dengan senyuman dan pelanggan itupun pergi meninggalkan barber shop tersebut.

Akan tetapi, tak seberapa jauh setelah dia meninggalkan tempat itu … tiba-tiba pelanggan tadi melihat seseorang di jalanan dengan rambut yang panjang, berombak kasar, dekil dan brewok yang tidak dicukur. Orang itu benar-benar terlihat kotor dan tidak terawat. Setelah menyaksikan orang tersebut, si pelanggan segera memutuskan untuk kembali ke barber shop tempat dia menyukur rambutnya.

Setibanya di sana, dia langsung berkata kepada si tukang cukur, “Kamu tahu gak? Sebenarnya TUKANG CUKUR itu tidak ada!” katanya.

Tukang cukur itu sangat kaget dan merasa terhina. Tukang cukur itu tidak terima ucapan si pelanggan, sementara dia sedang mencukur rambut pelanggan lain. Sembari sewaot, tukang cukur itu berkata, “Apa kamu bilang? Kamu pikir saya tidak tahu cara mencukur yaa?! Kenapa kamu bisa bilang begitu? Ini barber shop saya, dan saya selalu ada di sini, dan saya adalah seorang tukang cukur. Bahkan bukankah saya baru mencukur rambutmu?!” Demikian kata si tukang cukur yang kesal dengan perkataan pelanggan tadi.

Pelanggan: “Tidak! Tukang cukur itu tidak ada. Sebab jika tukang cukur itu ada, maka tidak akan ada orang yang rambutnya panjang, dekil dan brewok yang tak terurus seperti orang yang saya lihat di luar sana …”

Tukang cukur: “Ah tidak! Itu jelas bukan alasan! Karena faktanya, tukang cukur itu tetap ada!” Sanggahnya. Lalu tukang cukur itu menambahkan lagi, “Apa yang kamu lihat itu adalah disebabkan kesalahan mereka sendiri … Kenapa mereka tidak datang saja ke saya” Jawab tukang cukur itu seraya membela diri.

Pelanggan: “Cocok!” kata si pelanggan menyetujui perkataan si tukang cukur. Lalu pelanggan tadi menambahkan: “Itulah poin utamanya! Sama saja kasusnya dengan Tuhan, TUHAN ITU JUGA ADA! Tapi apa yang terjadi …? Manusia-lah yang tidak mau datang kepadaNya, dan tidak mau mencariNya. Oleh karena itu banyak manusia yang sakit dan tertimpa berbagai kesusahan di dunia ini.”

Tukang cukur tadi terbengong !!! :roll:

Semoga bermanfaat … :mrgreen:

...SOALAN CEPU ALIAS MENYENTAP BENAK....

Adakah Jabatan Imam Allah?

Masalah kepemimpinan merupakan salah satu persoalan yang sangat mendasar di dalam kehidupan manusia. Sejak kecil, setiap orang akan mengenal dan berinteraksi dengan persoalan ini. Kita mengenal istilah orang tua sebagai pemimpin di rumah, guru di sekolah, direktur di perusahaan, komandan di keperwiraan, kepala pemerintahan dan seterusnya. Intinya, persoalan kepemimpinan meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Ia menjadi pondasi dan tulang punggung keberlangsungan spesies manusia dimanapun dan kapanpun mereka berada. Tanpa adanya kepemimpinan, maka seluruh pilar dan sistem kehidupan manusia niscaya porak poranda atau khaos—lawan katanya adalah kosmos, yakni teratur. Hal ini sangat jelas sehingga tak perlu pembuktian lagi. Bahkan dalam skala komunitas yang paling sederhana sekalipun, kalimat “broken home” adalah istilah umum yang ditujukan bagi seorang anak yang tidak merasakan adanya figur pemimpin dirumahnya.

Pada dasarnya, makna pemimpin adalah pengatur, pembimbing, penuntun, pengawas, penegak aturan dan pemberi keputusan sehingga hubungan antara kepemimpinan dan keteraturan adalah perkara yang mustahil bisa dipisahkan. Secara esensial, penataan sekelompok masyarakat sangat bergantung pada dua kunci utama bagi terwujudnya suatu tatanan kehidupan yang harmonis, yakni adanya seperangkat aturan atau hukum dan figur pelaksananya atau penegak aturan tersebut yakni hakim. Untuk itu, munculnya kesadaran dan kebutuhan manusia bagi adanya seperangkat hukum dan keberadaan hakim adalah perkara rasional. Sedangkan penolakan atau penerimaan salah satu darinya saja adalah irasional.

Sehubungan dengan hal ini, secara garis besar agama bisa dimaknai sebagai seperangkat aturan yang diharapkan bisa menata hubungan dan perilaku manusia kepada Tuhan dan alam kehidupannya. Di setiap agama, wacana kepemimpinan adalah topik sentral yang tak bisa disepelekan terutama bagi keberlangsungan ajaran tersebut dan juga penganutnya. Saat ini, agama-agama di dunia umumnya dibagi menjadi dua kelompok. Pertama adalah agama-agama yang melandasi ajarannya berdasarkan wahyu atau “agama samawi”. Dan kedua adalah agama-agama yang melandasi ajarannya berdasarkan kebijakan dan tradisi.

Dalam kaitannya dengan studi kristologi, pembahasan komprehensif ditujukan kepada agama-agama yang mendasari ajarannya melalui wahyu Tuhan atau profetisme, yakni kenabian. Dan pada saat ini, agama-agama seperti Islam, Yahudi dan Kristen adalah ajaran-ajaran yang meyakini tentang keberadaan para nabi Tuhan. Secara substansial, kendati masing-masing agama itu punya banyak perbedaan, tapi secara umum, seluruh agama wahyu ini punya satu simpul yang sama, yaitu adanya pengakuan dari masing-masing agama tersebut bahwa Abraham [Islam: Ibrahim] adalah seorang nabi Tuhan.

Di dalam Alkitab Perjanjian Lama (Yudaisme: Tanakh), Abraham memiliki beberapa gelar yang masing-masing mencerminkan jabatan langit yang diembannya. Hal ini memposisikan Abraham sebagai orang pilihan yang mulia disisi Allah dan juga dihadapan keturunan dan para pengikutnya. Dia disebut sebagai nabi (Kej 20:7) [1], bapa sejumlah besar bangsa (Kej 17:15-16) [2], sahabat Allah (2Taw 20:7; Yes 41: 8) [3], dan yang terpenting dari semua adalah raja-imam (Kej: 12:7; 13:4) [4]. Jabatan Abraham sebagai imam Allah ini memang sangat unik dan berbeda dari kedudukan-kedudukan dia sebelumnya sehingga ada pendapat umum bahwa Kejadian 14 merupakan salah satu bab yang paling sukar dalam Kitab Kejadian.[5] Istilah “raja” dan “imam” yang selanjutnya dipadukan menjadi raja-imam mengindikasikan kepada otoritas penuh yang dijabat oleh Abraham dan keturunannya. Yakni sebagai penguasa dan pemimpin sekaligus. Hal ini otomastis berimplikasi bagi adanya suatu wilayah kekuasaan dan kepemimpinan (Kej 17:8-9) [6]. Adapun peristiwa pemberkatan Abraham sebagai Imam Alah bisa ditemukan dalam Kitab Kejadian di pasal 14:1-24. Peran Abraham sebagai pemimpin atau imam yang dipilih dan dinobatkan secara langsung oleh Allah ini—melalui perantaraan Melkisedek—adalah peristiwa yang tak dinafikan kebenarannya, baik oleh Yahudi maupun Kristen.

Secara etimologi, kata “imam” dalam bahasa Ibraninya di Authorized Version (AV) adalah kohen [7] dan nasiy [8]. Masing-masing dari kata ini di ulang sebanyak 750 kali dan 132 kali. Kedudukan ini juga menandai perjanjian atau covenant antara Abraham dan Allah yang mana melalui keturunannya itu Dia akan mengutus seorang yang diurapiNya atau Mesiah, dan akan menjadi berkat bagi seluruh bangsa di bumi (Kej 18:18).[9] Pengesahan kovenan ini ditandai dengan kewajiban penuh bagi Abraham dan keturunannya untuk mentaati hukum-hukum Ilahi berdasarkan prinsip kebenaran dan keadilan.[10]

Untuk itu, kendati sudah ada tiga jabatan langit yang diberikan kepada Abraham, yakni sebagai nabi atau rasul dan kedudukan khususnya sebagai sahabat Allah. Namun masih ada satu jabatan langit terakhir yang tertinggi, yakni sebagai imam Allah. Kedudukan ini juga dianugerahkan kepada Abraham dan keturunan biologisnya. [11] Adapun dari segi pelaksanaan bahwa meskipun jabatan imam Allah ini munculnya belakangan, namun inti dari ajaran Allah kepada manusia itu sendiri sebenarnya baru bisa direalisasikan, apabila hukum-hukum tersebut telah selesai disyariatkan oleh para nabi. Dan setelah itu, syariat ini akan ditegakkan oleh imam-imam Allah yang berasal dari keturunan biologis Abraham. Fakta ini jelas sangat rasional karena tak ada hakim kecuali setelah adanya hukum. Dan hukum pun mustahil bisa ditegakkan kecuali setelah adanya para hakim.

Pada dasarnya, jabatan imam Allah merupakan satu-satunya jabatan tertinggi dan tunas dari “Pohon Kejadian” yang menjadi tujuan atas penciptaan manusia di bumi. [12] Sedangkan kenabian atau kerasulan adalah cabang dari “Pohon Kejadian” tersebut. Artiya, institusi ilahiah ini secara gradual diawali oleh keimaman—yang menduduki puncak dari hierarki rububiyah itu, kemudian disusul dengan kerasulan atau kenabian. Sedangkan penampakan atas jabatan imam Allah di alam dunia (syahadah) secara hierarki adalah kebalikan dari hakekatnya di alam sorgawi (ghayb). Di alam dunia, kemunculan jabatan-jabatan langit ini diawali lebih dahulu dengan kenabian, kerasulan dan imamah.

Setelah Ibraham wafat, jabatan-jabatan ini terus diwariskan melalui keturunan biologis Ismail dan Ishak yang mana keduanya adalah nabi. Dalam Alkitab dinubuatkan bahwa dari Ismail dan keturunannya akan muncul duabelas orang imam “Tentang Ismael, Aku telah mendengarkan permintaanmu; ia akan Kuberkati, Kubuat beranak cucu dan sangat banyak; ia akan memperanakkan dua belas imam, [13] dan Aku akan membuatnya menjadi umat [14] yang besar (Kej 17:20). Kondisi serupa juga ditampakkan kepada bangsa Israel pada zaman Musa as yang mana dia telah diperintahkan oleh Allah untuk melantik duabelas orang imam yang dikepalai oleh Harun dan keturunannya (Bil 17:1-13). Pelantikan para imam Allah ini menandai kesempurnaan RisalahNya dan puncak dari kovenan antara Allah dan para nabi yang ditugaskan untuk menyampaikan AjaranNya kepada manusia. Bahkan fungsi utama dari pengutusan seorang nabi atau rasul itu adalah untuk menegakkan kerajaan imam dan umat yang kudus.Alkitab dan Al-Qur’an menyatakan:

“Jadi sekarang, jika kamu sungguh-sungguh mendengarkan firman-Ku dan berpegang pada perjanjian-Ku, maka kamu akan menjadi harta kesayangan-Ku sendiri dari antara segala bangsa, sebab Akulah yang empunya seluruh bumi. Kamu akan menjadi bagi-Ku kerajaan imam dan bangsa yang kudus. Inilah semuanya firman yang harus kaukatakan kepada orang Israel. (Keluaran 19:5-6)

“Dan ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu, dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putera Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh”. (QS. 33:7)

Sedangkan mengenai perjanjian [mitsaq] yang dimaksudkan itu, maka Al-Qur’an menjelaskan lagi, “Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian dari Bani Israil dan telah Kami angkat di antara mereka 12 orang pemimpin” (QS. 5:12).

Alhasil, substansi yang ingin ditegaskan dalam pengantar yang ringkas ini bahwa status seorang imam di dalam agama Ibrahimik—menurut tinjauan kristologi—itu memang ada dan dipilih secara mutlak oleh Allah sebagaimana halnya kenabian dan kerasulan. Artinya tidak melalui konsensus. Imam Allah adalah jabatan sorgawi yang kudus dan tidak terbentuk melalui mekanisme pemilihan umum ataupun cara-cara lain yang dilandasi oleh perspektif manusia. Sungguh tidak mengherankan bila Al-Qur’an sendiri pernah menegaskan bahwa keluarga Ibrahim as telah dianugerahi suatu kerajaan yang besar.

“Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya? Sesungguhnya Kami memberikan Kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar”. (QS. 4:54)

Secara historis, pena sejarah umat manusia belum pernah mencatat bahwa keluarga Ibrahim ada yang mendirikan monarki keluarga, misalnya seperti Ibrahimiyah, Ismailiyah, Ishakiyah, Yakubiyah, Yusufiyah, Musaiyah atau Haruniyah dan lain sebagainya. Hal itu disebabkan keluarga Ibrahim lebih dikenang sebagai mata airnya kenabian, kerasulan dan imamah. Jika demikian, maka kerajaan besar apakah yang dimaksudkan oleh al-Qur’an itu? Apabila hal ini tidak merujuk kepada mamlakah kohen atau kerajaan imam,[15] tentu akan sulit menemukan makna yang sebenarnya dari ayat tersebut. Lalu, apabila keluarga Ibrahim telah diwariskan kerajaan besar oleh Allah, maka bagaimanakah dengan nasib keluarga Muhammad saw sendiri? Artinya, apakah mungkin dari keturunan Muhammad saw ini akan ada yang menjadi imam-imam Allah seperi yang pernah terjadi di masa para nabi terdahulu yang berasal dari keluarga Ibrahim? Dan apabila jumlah para imam dari keluarga Ibrahim as ini selalu duabelas orang, maka mungkinkah jumlah para imam dari keluarga Muhammad pun juga demikian?

Sebagai penutup, barangkali hadis Nabi saw yang pernah diriwayatkan dalam Sahih Bukhari[16] ini bisa membawa kita kepada kontemplasi mendalam yang selaras dengan pendewasaan beragama. “Jabir ibn Samurah mengatakan, ‘Saya mendengar Nabi berkata: “Akan ada duabelas pemimpin setelah saya.” Kemudian mengatakan, “Saya mendengar ayah saya mengatakan ia mendengar Nabi berkata, “Mereka berasal dari suku Qurays”’”. Wallahu’alam.

Catatan Kaki:

[1]“Jadi sekarang, kembalikanlah isteri orang itu, sebab dia seorang nabi;”.

[2]“Aku akan memberkatinya, dan dari padanya juga Aku akan memberikan kepadamu seorang anak laki-laki, bahkan Aku akan memberkatinya, sehingga ia menjadi ibu bangsa-bangsa; raja-raja bangsa-bangsa akan lahir dari padanya”.

[3] “Bukankah Engkau Allah kami yang menghalau penduduk tanah ini dari depan umat-Mu Israel, dan memberikannya kepada keturunan Abraham, sahabat-Mu itu, untuk selama-lamanya?”; Dan juga “Tetapi engkau, hai Israel, hamba-Ku, hai Yakub, yang telah Kupilih, keturunan Abraham, yang Kukasihi;”.

[4] ”Ketika itu TUHAN menampakkan diri kepada Abram dan berfirman: ‘Aku akan memberikan negeri ini kepada keturunanmu.’ Maka didirikannya di situ mezbah bagi TUHAN yang telah menampakkan diri kepadanya”; Dan juga “ke tempat mezbah yang dibuatnya dahulu di sana; di situlah Abram memanggil nama TUHAN”.

[5] Lembaga Biblika Indonesia, Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, disunting oleh Dianne Bergant, CSA dan Robert J. Karris, OFM (Jakarta: Penerbit Kanisius, 2002) hal. 52.

[6] “Kepadamu dan kepada keturunanmu akan Kuberikan negeri ini yang kaudiami sebagai orang asing, yakni seluruh tanah Kanaan akan Kuberikan menjadi milikmu untuk selama-lamanya; dan Aku akan menjadi Allah mereka.’ Lagi firman Allah kepada Abraham: ‘Dari pihakmu, engkau harus memegang perjanjian-Ku, engkau dan keturunanmu turun-temurun”.

[7] Kata kohen artinya imam atau pendeta (priest), orang yang memiliki (own), penguasa tertinggi (chief ruler), pejabat (officer), pangeran atau putra mahkota (princes).

[8] Kata nasiy’ atau nasi’ artinya pangeran atau putra mahkota (prince), kapten (captain), ketua (chief), penguasa (ruler), beruap atau menguap (vapours), gubernur pemerintahan (governor), awan (clouds), bagian (part). Secara definisi adalah orang yang ditinggikan (one lifted up) atau imam (leader) dan uap yang terangkat, yakni selalu meninggi dari lainnya (raising mist).

[9] “Oleh keturunanmulah semua bangsa di bumi akan mendapat berkat, karena engkau mendengarkan firman-Ku”.

[10] “Sebab Aku telah memilih dia, supaya diperintahkannya kepada anak-anaknya dan kepada keturunannya supaya tetap hidup menurut jalan yang ditunjukkan TUHAN, dengan melakukan kebenaran dan keadilan, dan supaya TUHAN memenuhi kepada Abraham apa yang dijanjikan-Nya kepadanya.” (Kej 18:19).

[11] Bandingkan juga beberapa kedudukan Nabi Ibrahim as yang disampaikan dalam Al-Qur’an, yaitu: Pertama, sebagai nabi “Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat benar dan seorang Nabi”. (QS. 19:41). Kedua, ayat al-Qur’an ini memaparkan dua sisi, yaitu kedudukan Ibrahim as sebagai rasul dan juga moyang bagi sejumlah besar bangsa yang mana keturunannya itu akan mewarisi jabatan kenabian dan kerasulan “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh dan Ibrahim dan Kami jadikan kepada keturunan keduanya kenabian dan Al Kitab, maka di antara mereka ada yang menerima petunjuk dan banyak di antara mereka yang fasik”. (QS. 57:26). Ketiga, sebagai khalil atau sahabat Allah “Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya”. (QS. 4:125). Keempat, sebagai imam “Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhanya dengan beberapa kalimat, lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: ‘Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu sebagai imam bagi seluruh manusia.’ Ibrahim berkata: ‘dan dari keturunanku.’ Allah berfirman: ‘JanjiKu tidak mengenai orang-orang yang zalim’”. (QS. 2:124).

[12] “Manusia adalah puncak dari seluruh penciptaan. Kelebihan ciptaan ini digarisbawahi oleh kenyataan bahwa hanya manusialah yang diciptakan menurut “gambar” atau “rupa Allah”. [Dikutip dari Lembaga Biblika Indonesia, Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, disunting oleh Dianne Bergant, CSA dan Robert J. Karris, OFM (Jakarta: Penerbit Kanisius, 2002) hal. 35]. Bandingkan dengan ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang kedudukan manusia sebagai khalifah Allah dimuka (QS. 2:30) dan hadis Nabi saw yang mengatakan bahwa Adam diciptakan dari citranya.

[13] Saya sengaja mengganti kata “raja”—seperti yang ada diterjemahan Alkitab LAI—dengan kata “imam”, karena kata “raja” adalah terjemahan yang tidak tepat. Dalam bahasa Ibrani kata “raja” adalah melek, sedangkan Authorized Version (AV) tidak menyebut kata tersebut di ayat ini melek (raja) tapi nasiy’ (imam). Yakni suatu posisi atau jabatan langit tertinggi yang berasal dari Allah saja. Kedudukan ini juga diikrarkan kembali pada zaman Musa, sewaktu Allah memerintahkannya untuk mengangkat duabelas orang pemimpin atau imam dari kalangan bangsa Israel (Bdk. Bil 17:1-6). Seluruh kata yang diterjemahkan “pemimpin” di ayat tersebut di dalam AV adalah nasiy’, persis seperti kedudukan yang diberikan kepada keturunan Ismail di Kej 17:20.

[14] Saya sengaja mengganti kata “bangsa”—seperti yang diterjemahkan dalam Alkitab bahasa Indonesia—dengan kata “umat”, karena kata asli di teks Ibraninya adalah goy yang dalam bahasa Inggris bisa diterjemahkan nation dan people. Walaupun demikian, pengunaan kata “bangsa” bukan berarti keliru, hanya saja dalam kajian mesianisme Yahudi, mereka sering mengaitkan hal ini dalam konteks kebangsaan atau keturunan biologis mereka saja (nationality) yakni partikular. Sedangkan dalam mesianisme Kristen, para penafsirnya telah melepas arti “keturunan biologis” Ibrahim ini sepenuhnya dan menguniversalkan maknanya (people). (lih. Ro 4:16; Ga 3:29). Padahal, janji Allah ini memang terkait dengan kedua sisi tersebut yakni kebangsaan dan juga manusia secara umum.

[15] “Dan Kami jadikan di antara mereka itu imam-imam yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami”. (QS. 32:24; 21:73; 28:5).

[16] Sahih Bukhari, bagian 9, “Kitab al-Maqadam”, hal. 1000. Sementara dalam Musnad Ahmad diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud bahwa ia bertanya kepada Nabi tentang para khalifahnya. Beliau berkata, “Mereka duabelas orang seperti suku bani Isra’il yang dua belas.” (Musnad Ahmad, Jilid 1, hal. 398).