RTCCTV-Live kuliah-Prerecording majlis-

Tuesday, August 12, 2008

Kepemimpinan Dalam Agama Ibrahimik: Imamah Menurut Alkitab

Kepemimpinan Dalam Agama Ibrahimik: Imamah Menurut Alkitab

Salam sejahtera kepada semua. Sehubungan adanya permintaan dari rekan-rekan untuk mengangkat kembali topik imamah dalam agama Ibrahimik, maka artikel “Imamah Menurut Alkitab” yang pernah saya postingkan sebelum ini saya kedepankan lagi. Sebagai tambahan, judul depannya saya tambahkan kalimat “Kepemimpinan Dalam Agama Ibrahimik”. Sekian dan terma kasih atas pastisipasi dan komentar-komentar antum sekalian. Adapun artikel-artikel kristologi lainnya yang terkait dengan pembahasan imamah adalah “Adakah Jabatan Imam Allah?. Jazakallah kheir.

_______________________________________
Terlepas dari perbedaan pemahaman imamah antara mazhab Syiah-Ahlusunah berkenaan kepemimpinan umat pasca wafat Nabi saw, Alkitab—Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru—sendiri sangat akrab dengan terminologi imamah. Mene­lusuri imamah dalam Alkitab berarti mempelajari sisi historis ajaran para nabi Tuhan yang telah ada sebelum Nabi Muhammad saw. Dalam Kitab Perjanjian Lama, istilah “imam” pertama kali muncul pada zaman Nabi Ibrahim as di Kitab Kejadian 14:18 yang menceritakan tentang seorang imam Tuhan yang bernama Malkisedek:

Melkisedek, Raja Salem, membawa roti dan anggur; ia se­orang imam Allah Yang Mahatinggi. Lalu ia memberkati Abram, katanya: “Diberkatilah kiranya Abram oleh Allah Yang Mahatinggi, Pencipta langit dan bumi. (Kejadian 14: 18-19)

Kata “imam” muncul lagi di zaman Yusuf as. Singkat cerita, ketika tuduhan pelecehan seksual dari seorang wanita yang berasal dari kalangan bangsawan Mesir terhadap Yusuf as tidak terbukti, ke­mudian Yusuf as menafsirkan mimpi raja me­ngenai periode paceklik pangan yang akan melanda wilayah itu, maka penguasa negeri sungai Nil, Fir‘aun, melantik Yusuf as dan memberinya kuasa untuk meng­antisipasi masa-masa sulit yang akan dilalui bangsa Mesir.

Fir’aun juga memberi sebuah gelar atau jabatan, yang dalam istilah bahasa Mesir Kuno (Qibty) disebut Zafnat-Paneah, yang artinya dalam bahasa Inggris treasury of the glorious rest. Yang mungkin menarik dari kisah Yusuf as dalam al-Kitab, diceritakan bahwa Yusuf as menikah dengan seorang putri seorang imam di On (yaitu wilayah da­taran rendah di bagian utara Mesir, Lower Egypt) yang bernama Asenath anak dari Imam Potipherah.

Selanjutnya Fir‘aun berkata kepada Yusuf: “Dengan ini aku me­lantik engkau menjadi kuasa atas seluruh tanah Mesir.” (Kejadian 41: 41)

Lalu Fir‘aun menamai Yusuf: Zafnat-Paneah, serta mem­be­rikan Asnat, anak Po­tifera, imam di On, kepadanya menjadi istrinya. Demikianlah Yusuf muncul se­bagai kuasa atas seluruh tanah Mesir. (Kejadian 41: 45)

Selanjutnya, Alkitab dalam Kitab Keluaran menceritakan lagi mengenai figur seorang imam di wilayah Midian (Madyan) pada zaman Musa as bernama Yitro (Nabi Syu‘aib as). Perkenalan Musa as dengan Yitro as terjadi setelah Musa as membantu putri-putrinya ketika mereka akan menimba air pada salah satu sumur di Midian. Setelah pertemuan itu, Yitro as juga memutuskan agar Nabi Musa as bersedia menikah dengan salah seorang putrinya, dan tinggal bersama mereka selama beberapa tahun di wilayah itu.

Adapun imam di Midian itu mempunyai tujuh anak perem­puan. Mereka datang menimba air dan mengisi palungan-palungan untuk memberi minum kambing domba ayahnya. Maka datanglah gembala-gembala yang mengusir mereka, lalu Musa bangkit menolong mereka dan memberi minum kambing domba mereka. (Keluaran 2: 16-17)

Musa bersedia tinggal di rumah itu, lalu diberikan Rehuellah Zipora, anaknya, kepada Musa. (Keluaran 2: 21)

Pada bagian-bagian lanjutan, Alkitab banyak sekali meng­gu­nakan istilah imam. Konteks religiusitas juga mulai sangat kental ikut mewarnai istilah “imam” untuk menunjukkan jabatan tertinggi bagi seseorang yang diberikan wewenang sebagai executor atau pelak­sana hukum-hukum Tuhan di wilayah Kanaan (Pa­lestina-Israel).

Setelah bangsa Israel di bawah pimpinan Nabi Musa as dan Harun as men­dapat perintah Tuhan untuk bermigrasi dari wilayah Mesir ke tanah Kanaan, Tuhan juga telah memantapkan suatu ren­cana melalui kedua Rasul-Nya agar bangsa Israel dalam kehidupan mereka dapat bernaung kepada sistem Peme­rintahan Tuhan yang bisa mewujudkan ajaran-ajaran-Nya.

Kamu akan menjadi bagi-Ku kerajaan imam dan bangsa yang kudus. Inilah se­muanya firman yang harus kau katakan ke­pada orang Israel. (Keluaran 19: 6)

Kata kerajaan imam menurut versi Ibraninya adalah “mam­lakah kohen”. Kata kohen berasal dari kahan, kata ini sama sekali tidak identik dengan pendeta, pastor dan paderi. Seperti pada kisah Abraham as dengan Malkisedek, Yusuf as dan juga Yitro as, Per­jan­jian Lama tetap konsisten menggunakan kata yang sama. Arti kohen juga berbeda dengan rabbi (apabila direlasikan kepada Islam, kata ini ditujukan hanya kepada seorang mujtahid atau faqih).

Pada masa Musa as dan Harun as, Tuhan membagi bangsa Israel menjadi 12 kelompok masyarakat berdasarkan keturunan mereka (suku). Pembagian itu me­ngikuti garis keturunan masing-masing yang berasal dari 12 orang putra Ya‘qub as (Israel). Tanpa harus memasuki secara lebih mendalam mengenai berbagai pe­nyim­pa­ngan terhadap ajaran Tuhan kepada bangsa Israel di kemu­dian hari (ter­masuk dalam hal imamah), yang perlu dipahami di sini bahwa: kenabian Israel paska Ya‘qub as pertama kali diperankan oleh Yusuf as. Mimpi Yusuf as yang diperlihatkan oleh Tuhan mengenai 11 kaukab (bintang) bersujud kepadanya menunjukkan orde imam bangsa Israel yang pertama.

Artinya; setelah Yusuf as wafat, peran imamah bangsa Israel dipegang oleh putra sulungnya yaitu Manasye dan diikuti oleh keturunan mereka. Setelah berla­lunya masa yang cukup lama dan bangsa Israel menetap di wilayah Mesir hingga periode perbudakan oleh Fir‘aun, bangsa Israel telah dikunjungi kembali oleh 2 orang nabi Tuhan yang sangat berperan dalam menetapkan aturan serta pengajaran-pengajaran Tuhan. Ke­dua Nabi itu adalah Musa as dan Harun as. Melalui Musa as, bangsa Israel telah diberikan sebuah Kitab Tuhan yang bernama Torah (Taurat) atau yang disebut Pentateukh (5 Kitab pertama dari Per­janjian Lama).

Musa as dan Harun as adalah Nabi yang berasal dari suku Lewi (salah seorang putra Ya‘qub as), ketika kedua nabi itu menyam­paikan pengajarannya kepada bangsa Israel, Tuhan memerintahkan Musa as agar mengangkat Harun as dan keturunannya untuk men­jadi imam (kohen) atas segenap bangsa Israel.

Engkau harus menyuruh abangmu Harun bersama-sama dengan anak-anaknya datang kepadamu, dari tengah-tengah orang Israel, untuk memegang jabatan imam bagi-Ku—Harun dan anak-anak Harun, yakni Nadab, Abihu, Eleazar dan Itamar. (Keluaran 28: 1)

Engkau harus juga mengurapi dan menguduskan Harun dan anak-anaknya supaya mereka memegang jabatan imam bagi-Ku. (Keluaran 30: 30)

Pengangkatan itu tidak sekadar seperti mengangkat seorang pe­mimpin dari suatu kelompok suku yang majemuk ataupun seperti seorang pemimpin untuk sebuah bangsa. Jabatan kohen kepada Harun as dan keturunannya adalah pilihan Tuhan dan bukan ini­siatif Musa as. Selain itu, periode ini juga menunjukkan transisi ke-kohen-an (imamah) dari keturunan Yusuf as kepada suku Lewi melalui Harun as dan keturunannya.

Pengangkatan mereka ditandai dengan pengurapan (pensucian, pengudusan atau pentahiran) secara langsung oleh Tuhan terhadap Harun as dan keturunan mereka. Pada saat itu, Tuhan meme­rin­tahkan Musa as untuk mengumpulkan Harun as dan anak-anaknya agar dikenakan pakaian yang kudus sebagai tanda pensucian atas diri-diri mereka dan pertanda bahwa imamah Tuhan atas Israel dideklarasikan.

Kau kenakanlah pakaian yang kudus kepada Harun, kau urapi dan kau kuduskanlah dia supaya ia memegang jabatan imam bagi-Ku.

Maka semuanya itu haruslah kau kenakan kepada abangmu Harun bersama-sama dengan anak-anaknya, kemudian engkau harus mengurapi, mentahbiskan dan menguduskan mereka, se­hingga mereka dapat memegang jabatan imam bagi-Ku. (Keluaran 28: 41)

Urapilah mereka, seperti engkau mengurapi ayah mereka, supaya mereka memegang jabatan imam bagi-Ku; dan ini terjadi, supaya berdasarkan pengurapan itu mereka meme­gang jabatan imam untuk selama-lamanya turun-temurun. (Keluaran 40: 15)

Setelah pengangkatan Harun as dan keturunannya sebagai imam bangsa Israel, suku Lewi juga diperintahkan oleh Tuhan untuk melayani Harun as dan keturunan mereka.

Suruhlah suku Lewi mendekat dan menghadap imam Harun, supaya mereka melayani dia. (Bilangan 3: 6)

Banyak keutamaan yang telah dikaruniakan Tuhan kepada suku Lewi, khususnya kepada Harun as beserta keturunannya. Di sini, kita tidak akan menguraikannya secara lengkap, tapi terhadap mereka, Tuhan telah memerintahkan agar para imam dan suku Lewi mem­peroleh persembahan persepuluhan (10%) dari harta atau pusaka yang dimiliki bangsa Israel.

Mengenai bani Lewi, sesungguhnya Aku berikan kepada mereka segala persembahan persepuluhan di antara orang Israel sebagai milik pusakanya, untuk membalas pekerjaan yang dilakukan mereka, pekerjaan pada Kemah Pertemuan. (Bilangan 18: 21)

Selain keutamaan dalam hal pendapatan, wilayah mereka juga tidak ditentukan pada satu daerah tertentu. Setelah wilayah Kanaan dikuasai oleh Yoshua, wilayah itu dibagi berdasarkan masing-masing suku yang berjumlah 12, tapi terhadap suku Lewi, Tuhan tidak memberikan satu daerah khusus sebagai konsesi mereka se­perti yang diberikan kepada suku-suku lainnya. Wilayah suku Lewi justru tersebar di daerah masing-masing suku yang diatur ber­dasar­kan kotanya masing-masing.

Selain menetapkan Harun as dan keturunannya, Tuhan juga mengangkat imam untuk masing-masing suku Israel lainnya de­ngan Harun as dan keturunannya berperan sebagai imam tertinggi bangsa Israel.

Katakanlah kepada orang Israel dan suruhlah mereka mem­be­rikan kepadamu satu tongkat untuk setiap suku. Semua pemimpin mereka harus memberikannya, suku demi suku, seluruhnya dua belas tongkat. Lalu tuliskanlah nama setiap pemimpin pada tongkatnya. (Bilangan 17: 2)

Setelah Musa berbicara kepada orang Israel, maka semua pe­mimpin mereka memberikan kepadanya satu tongkat dari setiap pemimpin, menurut suku-suku mereka, dua belas tongkat, dan tongkat Harun ada di antara tongkat-tongkat itu. (Bilangan 17: 6)

Pada materi pengantar kali ini, tentu tidak bisa dijelaskan secara komprehensif mengenai makna imamah menurut al-Kitab dan hu­bungan-hubungannya, tapi perlu dipahami bahwa kata kohen juga identik dengan nasiy. Pada ayat Bilangan 17: 2 dan 6 di atas, kata pemimpin tidak disebut kohen, tapi nasiy. Kata nasiy berasal dari nasa’, artinya dalam bahasa Inggris: to lift up, to be lifted up, to exalt, to lift oneself up. Seluruh makna-makna itu menunjukkan kepada meninggikan derajat, penyanjungan dan terangkat. Kata nasiy juga berarti captain yang secara luar biasa berkorespondensi secara tepat dengan ayat Al-Qur’an yang menyebutkan bahwa Tuhan telah mengangkat 12 orang Naqib dari bangsa Israel!

Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian (dari) Bani Israel dan telah Kami angkat di antara mereka 12 orang pe­mimpin dan Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku beserta kamu, sesung­guhnya jika kamu mendirikan salat dan me­nunaikan zakat serta beriman kepada rasul-rasul-Ku dan kamu bantu mereka dan kamu pinjamkan kepada Allah pin­jaman yang baik se­sung­guhnya Aku akan menghapus dosa-dosamu. Dan sesungguhnya kamu akan Ku masukkan ke dalam surga yang mengalir di da­lamnya sungai-sungai. Maka barangsiapa yang kafir di antaramu se­sudah itu, sesung­guhnya ia telah tersesat dari jalan yang lurus.” (QS. al-Maidah: 12)

Kesimpulan mengenai hubungan 2 kata itu bahwa walaupun para penerjemah Alkitab (khususnya di Indonesia) menggunakan kata imam untuk kohen dan nasiy untuk pemimpin, secara umum tidak salah, tapi sebenarnya kurang tepat. Kohen terkait dengan tugas untuk menjadi penerus para nabi. Seorang pengganti (kha­lifah) atau penerus dari seorang nabi selayaknya memiliki kuali­fikasi dan we­we­nang yang sama dengan yang diberikan kuasa akan hal itu. Dalam hal ini, kata kohen sebenarnya lebih tepat disebut dengan wali. Karena, wali untuk suatu umat dari seorang nabi, memang semes­tinya memiliki kualifikasi dan kekuasaan yang sama dengan sang nabi. Sedangkan kata nasiy adalah sebutan untuk ja­batan yang di­pegang oleh sang wali tersebut, yaitu: imam.

Pengangkatan para imam juga dilakukan pada periode-periode lanjutan dari para nabi (rasul) dan imam bangsa Israel setelah Musa as hingga periode Isa as. Dalam pemahaman yang lebih luas, kata “pemimpin” juga sering direfleksikan secara simbolis sebagai batu dalam arti “gembala”.

Maka sekarang, pilihlah dua belas orang dari suku-suku Israel, seorang dari tiap-tiap suku. (Yosua 3: 12)

Pilihlah dari bangsa itu dua belas orang, seorang dari tiap-tiap suku, dan perintahkanlah kepada mereka, demikian: Angkatlah dua belas batu dari sini, dari tengah-tengah sungai Yordan ini, dari tempat berjejak kaki para imam itu, bawalah semuanya itu ke seberang dan letakkanlah di tempat kamu akan bermalam nanti malam. (Yosua 4: 2-3)

Maka orang Israel itu melakukan seperti yang diperintahkan Yosua. Mereka mengangkat dua belas batu dari tengah-tengah sungai Yordan, seperti yang difirmankan Tuhan kepada Yosua, menurut jumlah suku Israel. Semuanya itu dibawa merekalah ke seberang, ke tempat bermalam, dan diletakkan di situ. (Yosua 4: 8)

Kemudian Elia mengambil dua belas batu, menurut jumlah suku keturunan Yakub—Kepada Yakub ini telah datang firman Tuhan: “Engkau akan bernama Israel.” (1 Raja-raja 18: 31)

Lalu aku memilih dua belas orang pemuka imam. (Ezra 8: 24)

Murid-murid Isa as atau Hawariyyun juga berjumlah 12 orang.

Kata Yesus kepada mereka: “Aku berkata kepadamu, se­sung­guhnya pada waktu penciptaan kembali, apabila Anak Manusia bersemayam di tahta kemuliaan-Nya, kamu, yang telah meng­ikut Aku, akan duduk juga di atas dua belas takhta untuk meng­hakimi kedua belas suku Israel. (Matius 19: 2 8)

Ia menetapkan dua belas orang untuk menyertai Dia dan untuk diutus-Nya memberitakan Injil. (Markus 3: 14)

Ketika hari siang, Ia memanggil murid-murid-Nya kepada-Nya, lalu memilih dari antara mereka dua belas orang, yang disebut-Nya rasul. (Lukas 6: 13)

Nabi terakhir untuk umat manusia, Muhammad saw juga me­nya­takan bahwa akan ada 12 orang khalifah setelah dirinya, seba­gaimana disebutkan di dalam Shahih Bukhari dan Muslim. Bukhari di dalam Shahih-nya, pada awal kitab al-Ahkam, bab al-Umara min Quraisy (Para Pemimpin dari Quraisy), juz IV, ha­laman 144; dan di akhir kitab al-Ahkam, halaman 153, sedangkan dalan Shahih Muslim di­sebutkan di awal kitab al-Imarah, juz II, halaman 79. Hal itu juga disepakati oleh Ashhab ash-Shihhah dan Ashhab as-Sunan, bahwa­sanya diriwayatkan dari Rasulullah saw: “Agama masih tetap akan tegak sampai datangnya Hari Kiamat dan mereka dipimpin oleh 12 khalifah, semuanya dari Quraisy.” Juga diriwayatkan dari Jabir bin Samrah, dia berkata: “Aku bersama ayah­ku datang menjumpai Rasulullah saw. Lalu aku mendengar beliau bersabda, ‘Urusan ini tidak akan tuntas sehingga datang kepada mereka 12 orang khalifah.’ Kemudian dengan suara pelan beliau mengatakan sesuatu kepada ayahku. Aku pun bertanya kepada ayahku, ‘Apa yang telah beliau katakan wahai ayah?’ Ayahku men­jawab, ‘Bahwa mereka semua dari kalangan Quraisy.’”

Pengantar singkat ini tentu tidak bisa memberikan kita ruang untuk membahas secara mendalam mengenai sistem kepemimpinan para nabi dan rasul Tuhan melalui perspektif Alkitab dengan pan­duan cahaya Al-Qur’an. Akan tetapi, diharapkan dapat menggugah kesadaran dan intelektualisme terhadap wawasan ilmiah dan pe­ngetahuan “keislaman” yang ternyata masih banyak yang mesti ditelusuri lagi secara lebih seksama. Wallahu‘alam. Wa Sallallahu ‘ala Sayyidina Muhammadin wa ‘Ala Alihi ath-Thayyibin ath-Thahirin.

[Catatan: Untuk meninjau sumber rujukan yang saya gunakan dalam kajian ini, silahkan anda merujuk kepada pengantar saya selengkapnya di buku “Imam Penerus Nabi saw” karya Sayyid Mujtaba Musawi Lari, Penerbit Lentera, 2004]

No comments:

...SOALAN CEPU ALIAS MENYENTAP BENAK....

Adakah Jabatan Imam Allah?

Masalah kepemimpinan merupakan salah satu persoalan yang sangat mendasar di dalam kehidupan manusia. Sejak kecil, setiap orang akan mengenal dan berinteraksi dengan persoalan ini. Kita mengenal istilah orang tua sebagai pemimpin di rumah, guru di sekolah, direktur di perusahaan, komandan di keperwiraan, kepala pemerintahan dan seterusnya. Intinya, persoalan kepemimpinan meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Ia menjadi pondasi dan tulang punggung keberlangsungan spesies manusia dimanapun dan kapanpun mereka berada. Tanpa adanya kepemimpinan, maka seluruh pilar dan sistem kehidupan manusia niscaya porak poranda atau khaos—lawan katanya adalah kosmos, yakni teratur. Hal ini sangat jelas sehingga tak perlu pembuktian lagi. Bahkan dalam skala komunitas yang paling sederhana sekalipun, kalimat “broken home” adalah istilah umum yang ditujukan bagi seorang anak yang tidak merasakan adanya figur pemimpin dirumahnya.

Pada dasarnya, makna pemimpin adalah pengatur, pembimbing, penuntun, pengawas, penegak aturan dan pemberi keputusan sehingga hubungan antara kepemimpinan dan keteraturan adalah perkara yang mustahil bisa dipisahkan. Secara esensial, penataan sekelompok masyarakat sangat bergantung pada dua kunci utama bagi terwujudnya suatu tatanan kehidupan yang harmonis, yakni adanya seperangkat aturan atau hukum dan figur pelaksananya atau penegak aturan tersebut yakni hakim. Untuk itu, munculnya kesadaran dan kebutuhan manusia bagi adanya seperangkat hukum dan keberadaan hakim adalah perkara rasional. Sedangkan penolakan atau penerimaan salah satu darinya saja adalah irasional.

Sehubungan dengan hal ini, secara garis besar agama bisa dimaknai sebagai seperangkat aturan yang diharapkan bisa menata hubungan dan perilaku manusia kepada Tuhan dan alam kehidupannya. Di setiap agama, wacana kepemimpinan adalah topik sentral yang tak bisa disepelekan terutama bagi keberlangsungan ajaran tersebut dan juga penganutnya. Saat ini, agama-agama di dunia umumnya dibagi menjadi dua kelompok. Pertama adalah agama-agama yang melandasi ajarannya berdasarkan wahyu atau “agama samawi”. Dan kedua adalah agama-agama yang melandasi ajarannya berdasarkan kebijakan dan tradisi.

Dalam kaitannya dengan studi kristologi, pembahasan komprehensif ditujukan kepada agama-agama yang mendasari ajarannya melalui wahyu Tuhan atau profetisme, yakni kenabian. Dan pada saat ini, agama-agama seperti Islam, Yahudi dan Kristen adalah ajaran-ajaran yang meyakini tentang keberadaan para nabi Tuhan. Secara substansial, kendati masing-masing agama itu punya banyak perbedaan, tapi secara umum, seluruh agama wahyu ini punya satu simpul yang sama, yaitu adanya pengakuan dari masing-masing agama tersebut bahwa Abraham [Islam: Ibrahim] adalah seorang nabi Tuhan.

Di dalam Alkitab Perjanjian Lama (Yudaisme: Tanakh), Abraham memiliki beberapa gelar yang masing-masing mencerminkan jabatan langit yang diembannya. Hal ini memposisikan Abraham sebagai orang pilihan yang mulia disisi Allah dan juga dihadapan keturunan dan para pengikutnya. Dia disebut sebagai nabi (Kej 20:7) [1], bapa sejumlah besar bangsa (Kej 17:15-16) [2], sahabat Allah (2Taw 20:7; Yes 41: 8) [3], dan yang terpenting dari semua adalah raja-imam (Kej: 12:7; 13:4) [4]. Jabatan Abraham sebagai imam Allah ini memang sangat unik dan berbeda dari kedudukan-kedudukan dia sebelumnya sehingga ada pendapat umum bahwa Kejadian 14 merupakan salah satu bab yang paling sukar dalam Kitab Kejadian.[5] Istilah “raja” dan “imam” yang selanjutnya dipadukan menjadi raja-imam mengindikasikan kepada otoritas penuh yang dijabat oleh Abraham dan keturunannya. Yakni sebagai penguasa dan pemimpin sekaligus. Hal ini otomastis berimplikasi bagi adanya suatu wilayah kekuasaan dan kepemimpinan (Kej 17:8-9) [6]. Adapun peristiwa pemberkatan Abraham sebagai Imam Alah bisa ditemukan dalam Kitab Kejadian di pasal 14:1-24. Peran Abraham sebagai pemimpin atau imam yang dipilih dan dinobatkan secara langsung oleh Allah ini—melalui perantaraan Melkisedek—adalah peristiwa yang tak dinafikan kebenarannya, baik oleh Yahudi maupun Kristen.

Secara etimologi, kata “imam” dalam bahasa Ibraninya di Authorized Version (AV) adalah kohen [7] dan nasiy [8]. Masing-masing dari kata ini di ulang sebanyak 750 kali dan 132 kali. Kedudukan ini juga menandai perjanjian atau covenant antara Abraham dan Allah yang mana melalui keturunannya itu Dia akan mengutus seorang yang diurapiNya atau Mesiah, dan akan menjadi berkat bagi seluruh bangsa di bumi (Kej 18:18).[9] Pengesahan kovenan ini ditandai dengan kewajiban penuh bagi Abraham dan keturunannya untuk mentaati hukum-hukum Ilahi berdasarkan prinsip kebenaran dan keadilan.[10]

Untuk itu, kendati sudah ada tiga jabatan langit yang diberikan kepada Abraham, yakni sebagai nabi atau rasul dan kedudukan khususnya sebagai sahabat Allah. Namun masih ada satu jabatan langit terakhir yang tertinggi, yakni sebagai imam Allah. Kedudukan ini juga dianugerahkan kepada Abraham dan keturunan biologisnya. [11] Adapun dari segi pelaksanaan bahwa meskipun jabatan imam Allah ini munculnya belakangan, namun inti dari ajaran Allah kepada manusia itu sendiri sebenarnya baru bisa direalisasikan, apabila hukum-hukum tersebut telah selesai disyariatkan oleh para nabi. Dan setelah itu, syariat ini akan ditegakkan oleh imam-imam Allah yang berasal dari keturunan biologis Abraham. Fakta ini jelas sangat rasional karena tak ada hakim kecuali setelah adanya hukum. Dan hukum pun mustahil bisa ditegakkan kecuali setelah adanya para hakim.

Pada dasarnya, jabatan imam Allah merupakan satu-satunya jabatan tertinggi dan tunas dari “Pohon Kejadian” yang menjadi tujuan atas penciptaan manusia di bumi. [12] Sedangkan kenabian atau kerasulan adalah cabang dari “Pohon Kejadian” tersebut. Artiya, institusi ilahiah ini secara gradual diawali oleh keimaman—yang menduduki puncak dari hierarki rububiyah itu, kemudian disusul dengan kerasulan atau kenabian. Sedangkan penampakan atas jabatan imam Allah di alam dunia (syahadah) secara hierarki adalah kebalikan dari hakekatnya di alam sorgawi (ghayb). Di alam dunia, kemunculan jabatan-jabatan langit ini diawali lebih dahulu dengan kenabian, kerasulan dan imamah.

Setelah Ibraham wafat, jabatan-jabatan ini terus diwariskan melalui keturunan biologis Ismail dan Ishak yang mana keduanya adalah nabi. Dalam Alkitab dinubuatkan bahwa dari Ismail dan keturunannya akan muncul duabelas orang imam “Tentang Ismael, Aku telah mendengarkan permintaanmu; ia akan Kuberkati, Kubuat beranak cucu dan sangat banyak; ia akan memperanakkan dua belas imam, [13] dan Aku akan membuatnya menjadi umat [14] yang besar (Kej 17:20). Kondisi serupa juga ditampakkan kepada bangsa Israel pada zaman Musa as yang mana dia telah diperintahkan oleh Allah untuk melantik duabelas orang imam yang dikepalai oleh Harun dan keturunannya (Bil 17:1-13). Pelantikan para imam Allah ini menandai kesempurnaan RisalahNya dan puncak dari kovenan antara Allah dan para nabi yang ditugaskan untuk menyampaikan AjaranNya kepada manusia. Bahkan fungsi utama dari pengutusan seorang nabi atau rasul itu adalah untuk menegakkan kerajaan imam dan umat yang kudus.Alkitab dan Al-Qur’an menyatakan:

“Jadi sekarang, jika kamu sungguh-sungguh mendengarkan firman-Ku dan berpegang pada perjanjian-Ku, maka kamu akan menjadi harta kesayangan-Ku sendiri dari antara segala bangsa, sebab Akulah yang empunya seluruh bumi. Kamu akan menjadi bagi-Ku kerajaan imam dan bangsa yang kudus. Inilah semuanya firman yang harus kaukatakan kepada orang Israel. (Keluaran 19:5-6)

“Dan ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu, dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putera Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh”. (QS. 33:7)

Sedangkan mengenai perjanjian [mitsaq] yang dimaksudkan itu, maka Al-Qur’an menjelaskan lagi, “Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian dari Bani Israil dan telah Kami angkat di antara mereka 12 orang pemimpin” (QS. 5:12).

Alhasil, substansi yang ingin ditegaskan dalam pengantar yang ringkas ini bahwa status seorang imam di dalam agama Ibrahimik—menurut tinjauan kristologi—itu memang ada dan dipilih secara mutlak oleh Allah sebagaimana halnya kenabian dan kerasulan. Artinya tidak melalui konsensus. Imam Allah adalah jabatan sorgawi yang kudus dan tidak terbentuk melalui mekanisme pemilihan umum ataupun cara-cara lain yang dilandasi oleh perspektif manusia. Sungguh tidak mengherankan bila Al-Qur’an sendiri pernah menegaskan bahwa keluarga Ibrahim as telah dianugerahi suatu kerajaan yang besar.

“Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya? Sesungguhnya Kami memberikan Kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar”. (QS. 4:54)

Secara historis, pena sejarah umat manusia belum pernah mencatat bahwa keluarga Ibrahim ada yang mendirikan monarki keluarga, misalnya seperti Ibrahimiyah, Ismailiyah, Ishakiyah, Yakubiyah, Yusufiyah, Musaiyah atau Haruniyah dan lain sebagainya. Hal itu disebabkan keluarga Ibrahim lebih dikenang sebagai mata airnya kenabian, kerasulan dan imamah. Jika demikian, maka kerajaan besar apakah yang dimaksudkan oleh al-Qur’an itu? Apabila hal ini tidak merujuk kepada mamlakah kohen atau kerajaan imam,[15] tentu akan sulit menemukan makna yang sebenarnya dari ayat tersebut. Lalu, apabila keluarga Ibrahim telah diwariskan kerajaan besar oleh Allah, maka bagaimanakah dengan nasib keluarga Muhammad saw sendiri? Artinya, apakah mungkin dari keturunan Muhammad saw ini akan ada yang menjadi imam-imam Allah seperi yang pernah terjadi di masa para nabi terdahulu yang berasal dari keluarga Ibrahim? Dan apabila jumlah para imam dari keluarga Ibrahim as ini selalu duabelas orang, maka mungkinkah jumlah para imam dari keluarga Muhammad pun juga demikian?

Sebagai penutup, barangkali hadis Nabi saw yang pernah diriwayatkan dalam Sahih Bukhari[16] ini bisa membawa kita kepada kontemplasi mendalam yang selaras dengan pendewasaan beragama. “Jabir ibn Samurah mengatakan, ‘Saya mendengar Nabi berkata: “Akan ada duabelas pemimpin setelah saya.” Kemudian mengatakan, “Saya mendengar ayah saya mengatakan ia mendengar Nabi berkata, “Mereka berasal dari suku Qurays”’”. Wallahu’alam.

Catatan Kaki:

[1]“Jadi sekarang, kembalikanlah isteri orang itu, sebab dia seorang nabi;”.

[2]“Aku akan memberkatinya, dan dari padanya juga Aku akan memberikan kepadamu seorang anak laki-laki, bahkan Aku akan memberkatinya, sehingga ia menjadi ibu bangsa-bangsa; raja-raja bangsa-bangsa akan lahir dari padanya”.

[3] “Bukankah Engkau Allah kami yang menghalau penduduk tanah ini dari depan umat-Mu Israel, dan memberikannya kepada keturunan Abraham, sahabat-Mu itu, untuk selama-lamanya?”; Dan juga “Tetapi engkau, hai Israel, hamba-Ku, hai Yakub, yang telah Kupilih, keturunan Abraham, yang Kukasihi;”.

[4] ”Ketika itu TUHAN menampakkan diri kepada Abram dan berfirman: ‘Aku akan memberikan negeri ini kepada keturunanmu.’ Maka didirikannya di situ mezbah bagi TUHAN yang telah menampakkan diri kepadanya”; Dan juga “ke tempat mezbah yang dibuatnya dahulu di sana; di situlah Abram memanggil nama TUHAN”.

[5] Lembaga Biblika Indonesia, Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, disunting oleh Dianne Bergant, CSA dan Robert J. Karris, OFM (Jakarta: Penerbit Kanisius, 2002) hal. 52.

[6] “Kepadamu dan kepada keturunanmu akan Kuberikan negeri ini yang kaudiami sebagai orang asing, yakni seluruh tanah Kanaan akan Kuberikan menjadi milikmu untuk selama-lamanya; dan Aku akan menjadi Allah mereka.’ Lagi firman Allah kepada Abraham: ‘Dari pihakmu, engkau harus memegang perjanjian-Ku, engkau dan keturunanmu turun-temurun”.

[7] Kata kohen artinya imam atau pendeta (priest), orang yang memiliki (own), penguasa tertinggi (chief ruler), pejabat (officer), pangeran atau putra mahkota (princes).

[8] Kata nasiy’ atau nasi’ artinya pangeran atau putra mahkota (prince), kapten (captain), ketua (chief), penguasa (ruler), beruap atau menguap (vapours), gubernur pemerintahan (governor), awan (clouds), bagian (part). Secara definisi adalah orang yang ditinggikan (one lifted up) atau imam (leader) dan uap yang terangkat, yakni selalu meninggi dari lainnya (raising mist).

[9] “Oleh keturunanmulah semua bangsa di bumi akan mendapat berkat, karena engkau mendengarkan firman-Ku”.

[10] “Sebab Aku telah memilih dia, supaya diperintahkannya kepada anak-anaknya dan kepada keturunannya supaya tetap hidup menurut jalan yang ditunjukkan TUHAN, dengan melakukan kebenaran dan keadilan, dan supaya TUHAN memenuhi kepada Abraham apa yang dijanjikan-Nya kepadanya.” (Kej 18:19).

[11] Bandingkan juga beberapa kedudukan Nabi Ibrahim as yang disampaikan dalam Al-Qur’an, yaitu: Pertama, sebagai nabi “Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat benar dan seorang Nabi”. (QS. 19:41). Kedua, ayat al-Qur’an ini memaparkan dua sisi, yaitu kedudukan Ibrahim as sebagai rasul dan juga moyang bagi sejumlah besar bangsa yang mana keturunannya itu akan mewarisi jabatan kenabian dan kerasulan “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh dan Ibrahim dan Kami jadikan kepada keturunan keduanya kenabian dan Al Kitab, maka di antara mereka ada yang menerima petunjuk dan banyak di antara mereka yang fasik”. (QS. 57:26). Ketiga, sebagai khalil atau sahabat Allah “Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya”. (QS. 4:125). Keempat, sebagai imam “Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhanya dengan beberapa kalimat, lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: ‘Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu sebagai imam bagi seluruh manusia.’ Ibrahim berkata: ‘dan dari keturunanku.’ Allah berfirman: ‘JanjiKu tidak mengenai orang-orang yang zalim’”. (QS. 2:124).

[12] “Manusia adalah puncak dari seluruh penciptaan. Kelebihan ciptaan ini digarisbawahi oleh kenyataan bahwa hanya manusialah yang diciptakan menurut “gambar” atau “rupa Allah”. [Dikutip dari Lembaga Biblika Indonesia, Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, disunting oleh Dianne Bergant, CSA dan Robert J. Karris, OFM (Jakarta: Penerbit Kanisius, 2002) hal. 35]. Bandingkan dengan ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang kedudukan manusia sebagai khalifah Allah dimuka (QS. 2:30) dan hadis Nabi saw yang mengatakan bahwa Adam diciptakan dari citranya.

[13] Saya sengaja mengganti kata “raja”—seperti yang ada diterjemahan Alkitab LAI—dengan kata “imam”, karena kata “raja” adalah terjemahan yang tidak tepat. Dalam bahasa Ibrani kata “raja” adalah melek, sedangkan Authorized Version (AV) tidak menyebut kata tersebut di ayat ini melek (raja) tapi nasiy’ (imam). Yakni suatu posisi atau jabatan langit tertinggi yang berasal dari Allah saja. Kedudukan ini juga diikrarkan kembali pada zaman Musa, sewaktu Allah memerintahkannya untuk mengangkat duabelas orang pemimpin atau imam dari kalangan bangsa Israel (Bdk. Bil 17:1-6). Seluruh kata yang diterjemahkan “pemimpin” di ayat tersebut di dalam AV adalah nasiy’, persis seperti kedudukan yang diberikan kepada keturunan Ismail di Kej 17:20.

[14] Saya sengaja mengganti kata “bangsa”—seperti yang diterjemahkan dalam Alkitab bahasa Indonesia—dengan kata “umat”, karena kata asli di teks Ibraninya adalah goy yang dalam bahasa Inggris bisa diterjemahkan nation dan people. Walaupun demikian, pengunaan kata “bangsa” bukan berarti keliru, hanya saja dalam kajian mesianisme Yahudi, mereka sering mengaitkan hal ini dalam konteks kebangsaan atau keturunan biologis mereka saja (nationality) yakni partikular. Sedangkan dalam mesianisme Kristen, para penafsirnya telah melepas arti “keturunan biologis” Ibrahim ini sepenuhnya dan menguniversalkan maknanya (people). (lih. Ro 4:16; Ga 3:29). Padahal, janji Allah ini memang terkait dengan kedua sisi tersebut yakni kebangsaan dan juga manusia secara umum.

[15] “Dan Kami jadikan di antara mereka itu imam-imam yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami”. (QS. 32:24; 21:73; 28:5).

[16] Sahih Bukhari, bagian 9, “Kitab al-Maqadam”, hal. 1000. Sementara dalam Musnad Ahmad diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud bahwa ia bertanya kepada Nabi tentang para khalifahnya. Beliau berkata, “Mereka duabelas orang seperti suku bani Isra’il yang dua belas.” (Musnad Ahmad, Jilid 1, hal. 398).