Masalah Agama (Bagian Pertama)
Artikel ini dikutip dari Buletin Dakwah Al-Qolam (Edisi 2/ Tahun 2007). Bagi ikhwan dan akhawat yang terafiliasi sebagai pengurus masjid, mushola, langgar, majlis taklim, kerohanian kampus dan lembaga syiar Islam lainnya dan ingin berlangganan Buletin Al-Qolam secara rutin, silahkan hubungi kantor sekretariat Pesanteren Taman Bacaan Al-Qur’an/Al-Hadits di nomor telepon 021 - 92794359 atau 021 - 99689310.
________________________________________________________
Pertanyaan:
Apabila agama Allah swt itu hanya satu, lalu mengapa agama manusia itu berbeda-beda?
Jawab:
Sejak Allah swt menciptakan manusia, maka agama itu sendiri sebenarnya hanya satu. Yaitu agama yang telah diajarkan oleh Allah swt secara langsung kepada moyang manusia yang pertama, yaitu Adam as dan Hawa as. Agama ini dijadikan oleh Allah swt sesuai dengan fitrah penciptaan manusia itu sendiri. Al-Qur’an mengatakan:
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar-Rum: 30)
Namun bila agama Allah itu memang ada, lantas apakah nama dari agama Allah itu? Dan apakah ada figur atau tokoh tertentu yang pernah menyampaikan agama Allah ini?
[1] Al-Qur’an menjawab bahwa nama agama Allah swt yang telah ia ajarkan sejak Adam as adalah Islam.
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali-‘Imran: 19)
[2] Sedangkan mengenai figur atau tokoh-tokoh tertentu yang pernah menyampaikan agama Allah swt ini, maka Al-Qur’an menjelaskan:
“Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).” (QS. Asy-Syuura: 13)
Melalui ayat ini, kita bisa saksikan juga bahwa proses transmisi agama Allah dari satu generasi manusia ke generasi berikutnya—sepanjang zaman—adalah melalui wasiat atau pewasiatan. Artinya, hal ini membuktikan bahwa agama Allah tidak boleh direka-reka oleh manusia, tetapi ia harus berasal dari pembawa agama Allah sebelumnya kepada tokoh lain sesudahnya dan demikian seterusnya. Al-Qur’an menegaskan:
“Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub. (Ibrahim berkata): ‘Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam.’” (QS. Al-Baqarah: 132)
Jika demikian faktanya, lalu mengapa kita masih menyaksikan agama yang berbeda-beda di dunia ini? Seperti ada Yahudi, Kristen, Budha, Hindu, Kon Fu Cu, Shinto dan lain sebagainya. Bahkan ada pula manusia yang mengatakan bahwa mereka bisa hidup tanpa harus mengikuti agama manapun. Kapankah perbedaan dan perpecahan agama Allah swt ini terjadi?
Dalam hal ini, Allah swt memberikan jawaban di dalam Al-Qur’an dengan menerangkan bahwa perpecahan agama Allah itu terjadi di tingkatan umat atau di level pengikutnya. Maksudnya, perpecahan itu tidak pernah terjadi di tingkatan para penyampai risalah-Nya.
“Manusia dahulunya hanyalah satu umat, kemudian mereka berselisih. Kalau tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dari Tuhanmu dahulu, pastilah telah diberi keputusan di antara mereka, tentang apa yang mereka perselisihkan itu.” (QS. Yunus: 19)
“Kemudian mereka (pengikut-pengikut rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi beberapa pecahan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing).” (QS. Al-Mukminun: 53)
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan], tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.” (QS. Al-An’am: 159)
Untuk itu, sejak Adam as, Allah swt tidak pernah menurunkan suatu agama lain—yakni selain Islam—untuk dianut manusia. Akan tetapi, agama di sisi Allah swt untuk manusia itu akan senantiasa Islam. Namun di kemudian hari, perpecahan terjadi di level umat atau pengikutnya. Dan dalam proses perpecahan ini, mereka membuat suatu “agama duplikat” baru yang dimirip-miripkan dengan agama Allah swt di satu sisi, dan selera mereka di sisi lain, sehingga agama Allah swt ini tidak lagi hanif (jernis atau lurus), tapi suatu kombinasi antara kehendak Ilahi (Khaliq) dan kehendak manusia (makhluk) alias syirk.
Pada tahap ini, agama Allah yang hanif itu pun, secara otomatis, akan menyimpang dari fungsi pertamanya yang suci. Artinya, Agama Ilahi yang awalnya berfungsi untuk membuat seorang manusia hanya mengabdi kepada Allah. Namun akhirnya, ia malah berubah dan mendua dalam fungsi, pelaksanaan dan bahkan tujuan akhir.
Di satu sisi, pengabdian kepada “agama duplikat” ini seolah-olah masih ditujukan hanya kepada Allah swt saja. Tapi di sisi yang lain, pengabdian itu sebenarnya sudah ditujukan untuk kelompok mereka masing-masing.
Sehubungan hal ini, Al-Qur’an menjelaskan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan para pengikut, atau umat agama Allah itu berpecah-belah. Adapun beberapa faktor tersebut tersebut adalah sebagai berikut:
1. Faktor Kedengkian.
“Dan Kami berikan kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata tentang urusan (agama); maka mereka tidak berselisih melainkan sesudah datang kepada mereka pengetahuan karena kedengkian yang ada di antara mereka. Sesungguhnya Tuhanmu akan memutuskan antara mereka pada hari kiamat terhadap apa yang mereka selalu berselisih padanya.” (QS. Al-Jaatsiyah: 17)
2. Faktor kebanggaan atau fanatisme.
“yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (QS. Ar-Ruum: 32)
3. Faktor kepentingan pribadi atau kelompok, sehingga mereka memotong-motong atau memililah-milah agama Allah berdasarkan selera mereka sendiri.
“Dan mereka telah memotong-motong urusan (agama) mereka di antara mereka. Kepada Kamilah masing-masing golongan itu akan kembali.” (QS. Al-Anbiyaa: 93)
4. Faktor ketidakseriusan akibat cinta kepada kehidupan dunia secara berlebihan.
“Dan tinggalkan lah orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda gurau, dan mereka telah ditipu oleh kehidupan dunia.” (QS. Al-An’aam: 70)
5. Faktor benci kepada kebenaran karena hal itu merugikan posisi atau kedudukan mereka di dunia.
“Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang musyrik membenci.” (QS. Ash-Shaff: 9)
6. Faktor mengikuti hawa nafsu dan gemar bertengkar untuk tujuan masing-masing.
“Maka karena itu serulah (mereka kepada agama ini) dan tetaplah sebagai mana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka dan katakanlah: ‘Aku beriman kepada semua Kitab yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan supaya berlaku adil diantara kamu. Allah-lah Tuhan kami dan Tuhan kamu. Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu. Tidak ada pertengkaran antara kami dan kamu, Allah mengumpulkan antara kita dan kepada-Nyalah kembali (kita)’.” (QS. Asy-Syuura: 15)
7. Faktor gemar membantah karena seolah-olah ingin tampil beda.
“Dan orang-orang yang membantah (agama) Allah sesudah agama itu diterima maka bantahan mereka itu sia-sia saja, di sisi Tuhan mereka. Mereka mendapat kemurkaan (Allah) dan bagi mereka azab yang sangat keras.” (QS. Asy-Syuura: 16)
8. Faktor mengistimewakan leluhur sendiri atau fanatisme nenek moyang.
“Rasul itu) berkata: ‘Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kamu dapati bapak-bapakmu menganutnya?’ Mereka menjawab: ‘Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya.’” (QS. Az-Zukhruf: 24)
9. Faktor tidak mau terwujudnya Keadilan Ilahi di kehidupan dunia akibat serakah.
“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.” (QS. Al-Hadid: 25)
10. Faktor kebencian yang dilandasi kebodohan.
“Dan tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim, melainkan orang yang memperbodoh dirinya sendiri, dan sungguh Kami telah memilihnya di dunia dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang saleh.” (QS. Al-Baqarah: 130)
(BERSAMBUNG)
No comments:
Post a Comment