RTCCTV-Live kuliah-Prerecording majlis-

Tuesday, August 26, 2008

Filsafat Hikmah (al-muta'aliyah)

Filsafat Hikmah dan Agama Masa Depan Cetak E-mail
Ditulis Oleh Musa Kazhim Habsyi
Jumaat, 09 Mei 2008


Sebelum berbicara tentang hikmah muta’aliyah (selanjutnya kita sebut sebagai filsafat hikmah), saya perlu mengemukakan sejumlah pendahuluan berikut. Pertama, manusia adalah makhluk yang secara intrinsik (fitriah) mencari kesempurnaan. Fitrah ini mendorong manusia untuk terus-menerus berevolusi dan menyempurna. Kedua, dalam mencari kesempurnaan ini manusia akan mengandalkan pelbagai daya yang telah dimilikinya. Ketiga, pengetahuan dalam pengertian luas adalah kriteria untuk mengukur tingkat evolusi dan kesempurnaan manusia. Keempat, setidaknya ada enam kategori pengetahuan manusia:

  1. Pengetahuan hudhuri/badihi (fitrah);
  2. Pengetahuan rasional (akal);
  3. Pengetahuan indrawi (panca indra);
  4. Pengetahuan mistis/emosional (hati);
  5. Pengetahuan imajiner (imajinasi);
  6. Pengetahuan keagamaan (wahyu/teks suci).

Kelima, pengetahuan hudhuri merupakan pijakan dasar bagi seluruh tindak pengetahuan manusia. Untuk jenis pengetahuan ini, manusia hanya perlu untuk menyadarinya secara langsung dan introspektif. Dalam pengetahuan ini tidak ada jarak antara subjek dan objek, ranah ontologis dan epistemologis melebur jadi satu.

Keenam, pengetahuan rasional berpusat pada akal, dengan sifat yang universal dan abstrak. Ketujuh, pengetahuan indrawi diperoleh lewat panca indra. Pengetahuan ini bersifat spasio-temporer, partikular dan berubah-ubah, sesuai dengan hukum-hukum yang mengatur alam fisik.

Kedelapan, pengetahuan mistis/hati (ma’rifah qalbiyah) adalah pengetahuan yang bersumber dari lintasan-lintasan hati. Pengetahuan ini memiliki sejumlah kendala yang berasal dari watak-watak yang merusak (al-malakat al-fasidah). Sifat pengetahuan ini adalah partikular abstrak.

Kesembilan, pengetahuan imajiner bersumber pada daya imajinasi dan angan-angan manusia. Imajinasi berperan menghidupkan dan mengembangkan kognisi manusia tentang objek-objek partikular. Kesepuluh, pengetahuan keagamaan bersumber pada teks-teks suci. Al-Quran dan hadis adalah dua sumber utama pengetahuan keagamaan dalam konteks Islam. Pemahaman atas al-Quran mestilah berangkat dari al-Quran itu sendiri atau dari hadis-hadis yang mendampinginya.

Filsafat Hikmah

Bertolak dari sepuluh pendahuluan di atas, kita bisa memahami proyek filsafat hikmah secara utuh dan ringkas. Untuk menjelaskan proyek filsafat hikmah, makalah ini akan berpijak pada rumusan-rumusan Mulla Shadra dan Allamah Thabathaba’i. Ada beberapa langkah menarik yang diambil oleh Mulla Shadra, untuk merumuskan kompleksitas proyek filsafat hikmah dengan segenap implikasinya.

Pertama, meletakkan sistem filsafat hikmah di atas sejumlah dasar pengetahuan hudhuri/badihi, sambil menegaskan bahwa semua dasar itu bersifat swabukti (self-evident). Dasar-dasar swabukti tidak memerlukan pembuktian (burhanah) atau pengukuhan (itsbat), melainkan hanya memerlukan pemaparan atau penjelasan.

Kedua, menurunkan sejumlah prinsip rasional-filosofis untuk mendukung bangunan filsafatnya dari prinsip-prinsip swabukti yang telah diketahui manusia secara hudhuri tersebut.

Ketiga, menyelaraskan prinsip-prinsip rasional-filosofis yang bersumber pada prinsip-prinsip swabukti dengan sejumlah mukasyafah (penyingkapan batin) para mistikus. Kategori pengetahuan ini juga sering disebut dengan ilmu gaib atau ilmu laduni.

Keempat, menyelaraskan prinsip-prinsip rasional-filosofis dan mukasyafah dengan teks-teks suci dalam rangka memperteguh dan memperluas bangunan filsafat hikmah.

Kelima, mengajukan metodologi sistematis untuk mencapai kebenaran utuh sebagaimana tersebut di atas secara teoritis dan praktis.

Dalam karya utamanya yang berjudul Hikmah Muta’aliyah fi al-Asfar al-Arba’ah (Hikmah yang Mengemuncak dalam Empat Perjalanan Manusia), Mulla Shadra secara panjang-lebar memaparkan lima langkah yang telah diambilnya untuk menemukan kebenaran tertinggi, kebenaran utuh, yang tidak sekedar bersifat rasional-filosofis, mistis-emosional, tekstual-keagamaan, tetapi juga kebenaran dalam pengertian realisasi langsung (tahaqquq).

Dalam pengantar al-Asfar, Mulla Shadra menyatakan:

“Teori-teori diskursif hanya akan mempermainkan para pemegangnya dengan keragu-raguan. Kelompok yang datang belakangan akan melaknat kelompok yang datang sebelumnya, sehingga ‘Setiap umat yang masuk (ke dalam neraka) akan melaknat umat sebelumnya (yang telah ikut menyesatkannya).’” (QS. al-A’raf [7]: 38)1

Persis dalam pengantar ini, dia mulai melancarkan pukulan bertubi-tubi pada kalangan Paripatetik yang bersikukuh memegang akal dan prinsip-prinsip rasional sebagai satu-satunya alat penyingkap kebenaran. Menurut Mulla Shadra, akal punya keterbatasan, sebagaimana alat-alat pengetahuan manusia lainnya. Karena itu, diperlukan suatu metodologi yang mensinergikan semua potensi yang ada, sehingga masing-masing potensi itu dapat mengambil perannya dalam mengantarkan manusia kepada kebenaran seutuhnya dan puncak kesempurnaannya.

Selanjutnya, dalam Mafatih al-Ghayb, Mulla Shadra menuturkan:

“Banyak orang yang bergelut dalam ilmu pengetahuan menyangkal (adanya) ilmu gaib laduni (langsung dari sisi Allah) yang dicapai oleh para ahli suluk dan ahli makrifat (yang lebih kuat dan lebih kukuh dibanding semua kategori ilmu lain) dengan mengatakan, ‘Apakah ada ilmu tanpa proses belajar, berpikir dan bernalar?’”2

Kemudian dia memaparkan bukti-bukti filosofis untuk menepis keragu-raguan semacam itu. Seperti biasa, dia membingkai bukti-bukti filosofisnya dengan dalil-dalil tekstual yang melimpah ruah.

Dalam sistem filsafat hikmah, metode rasional-filosofis tidak bisa berdiri secara terpisah dari metode penyucian hati dan begitu pula sebaliknya; keduanya saling membutuhkan, sedemikian sehingga bila yang satu berjalan tanpa yang lain maka kerancuan dan kesesatan akan terjadi.

Mulla Shadra menyatakan, “Kaum sufi biasanya mencukupkan diri pada rasa dan intuisi (wijdan) dalam mengambil kesimpulan, sedangkan kami tidak akan berpegang pada apa yang tidak berdasarkan pada bukti-bukti demonstratif (burhan).”3

Kemudian Mulla Shadra meneruskan, “Janganlah engkau peduli pada pelbagai kepura-puraan puak sufi, dan jangan pula engkau gandrung pada pelbagai celoteh para filosof gadungan. Hati-hatilah wahai sahabatku, atas kejahatan kedua puak ini. Semoga Allah tidak mempertemukan kita dan mereka walau hanya sekejap mata.”4

Di tempat lain, dia menyimpulkan, “Oleh sebab itu, yang paling tepat adalah kembali kepada metode kami dalam memperoleh makrifat dan pengetahuan dengan memadu-padankan metode para filosof yang bertuhan (muta’allih) dan para mistikus yang beragama Islam.”5

Upaya Mulla Shadra mendamaikan metode rasional-filosofis dan spiritual-mistis dengan ajaran-ajaran Islam sesungguhnya berangkat dari keyakinannya pada keunggulan Islam. Baginya, keunggulan Islam yang menggabungkan kekuatan rasional dengan kekayaan spiritual hanya bisa dipahami dan diapresiasi melalui kedua metode ini secara seimbang.

Dalam al-Mabda wa al-Ma’ad, Mulla Shadra secara singkat memaparkan keserasian bukti-bukti rasional dan ajaran-ajaran tradisional Islam. Pada karya utamanya, al-Asfar, secara ekstensif ia meneguhkan keserasian metode filosofis dan mistis dengan ajaran-ajaran Islam. Ia menandaskan, “Adalah mustahil hukum-hukum syariat yang hak, Ilahi dan putih-bersih berbenturan dengan pengetahuan yang swabukti; dan celakalah aliran filsafat yang prinsip-prinsipnya tidak selaras dengan al-Quran dan sunah.”6

Dasar-dasar

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, prinsip-prinsip utama filsafat hikmah semuanya bersifat hudhuri (swabukti atau self-evident), sehingga pengukuhan filsafat ini dapat dilakukan secara introspektif. Berikut adalah sebagian dari prinsip-prinsip utama filsafat hikmah:

Pertama, para pendukung filsafat ini menyatakan bahwa wujud atau ada merupakan konsep sederhana yang secara langsung bisa dimengerti tanpa perantara konsep lain (badihah mafhum al-wujud).7

Kedua, wujud merupakan konsep yang berlaku secara umum atas segala sesuatu dengan pengertian tunggal (mafhum al-wujud musytarakun ma’nawi).8

Ketiga, prinsip yang disebut dengan ashalah al-wujud yang berintikan bahwa wujud adalah ungkapan bagi realitas secara mutlak yang mau tak mau pasti kita akui keberadaannya.9 Di luar itu, yakni segenap ungkapan dan konsep lain yang terdapat dalam perbendaharaan bahasa manusia yang dalam istilah para filosof disebut dengan mahiyah adalah rekaan manusia (i’tibariyah). Semua konsep selain wujud hanyalah batasan konseptual atau ilustrasi dari wujud.10

Keempat, untuk menjelaskan keberagaman wujud yang kita saksikan secara langsung di alam raya ini, filsafat hikmah mengajukan prinsip yang disebut dengan tasykik al-wujud. Intinya, wujud yang mutlak itu merupakan kenyataan atau realitas yang bertingkat-tingkat.11 Contoh yang lazim digunakan untuk menggambarkan kebertingkatan itu adalah cahaya sebagai realitas yang bergradasi.

Kelima, setiap titik dalam wujud yang bertingkat-tingkat itu mengalami proses evolusi yang terus-menerus dalam suatu gerakan substansial. Perlu dicatat bahwa dalam wacana filsafat, gerak (harakah) diartikan sebagai proses aktualisasi potensi (khuruj al-quwwah ila al-fi’li). Inilah prinsip yang disebut dengan al-harakah al-jauhariyyah.

Keenam, gerakan substansial dalam konteks manusia terjadi melalui hubungan subjek dengan objek. Subjek di sini adalah ruh, jiwa atau akal, sementara objek adalah pengetahuan yang dicerapnya (ilm). Jadi, pertumbuhan ruh manusia ditentukan oleh objek-objek pengetahuan yang dicerapnya, persis sebagaimana pertumbuhan tubuh ditentukan oleh gizi yang dimakannya. Makin tinggi nilai objek-objek pengetahuannya, makin subur dan “sehat” ruh itu. Sebaliknya, makin rendah nilai objek-objek pengetahuannya, makin lemah, “sakit,” dan surut ruh itu. Inilah prinsip yang dalam filsafat hikmah disebut dengan ittihad al-aqil bi al-ma’qul.

Beberapa Implikasi

Filsafat hikmah merupakan pengembangan atas pesan-pesan al-Quran dan sunah. Dalam banyak kesempatan, Mulla Shadra sang jurubicara ulung sangat berbangga karena dapat merumuskan sistem filosofis yang sepenuhnya berpijak di atas dasar teks-teks al-Quran dan sunah. Seperti telah kita kutip di atas, Mulla Shadra mengecam spekulasi filosofis liar yang tidak berpijak pada wahyu Ilahi. Baginya, semua spekulasi filosofis yang tidak bermuara pada teks-teks suci hanya akan berakhir dengan kesimpulan-kesimpulan yang membingungkan dan menyesatkan. Penegasan tersebut merupakan langkah besar dalam sejarah panjang filsafat Islam, mengingat hal itu berarti berita tentang lahirnya filsafat Islam yang sebenarnya.

Atas dasar itu, Mulla Shadra menyebut filsafatnya dengan al-hikmah atau al-hikmah al-Ilahiyyah. Hikmah merupakan istilah yang secara khas dipakai oleh al-Quran dan sunah dalam bermacam makna. Al-Quran menyebutkan tugas kenabian sebagai pengajaran al-Quran dan hikmah (QS. 2: 129, 3; 48, 3: 164, dan sebagainya). Lantas, Allah meminta Nabi Muhammad saw untuk menyeru ke jalan-Nya dengan al-hikmah (QS 16: 125). Dalam surah al-Baqarah ayat 269, al-Quran menyebut al-hikmah sebagai anugerah kebaikan yang besar.

Filsafat hikmah tidak mengajak orang untuk sekadar berwacana, tetapi bergerak secara konstan dalam kerangka ajaran-ajaran Islam yang bercirikan hikmah (kebijaksanaan, ketegasan, kepastian). Dalam wujud yang luas ini, filsafat hikmah menempatkan manusia sebagai entitas unik yang dapat berkembang sedemikian sehingga substansinya terus meninggi (atau menurun). Filsafat hikmah mengapresiasi proses evolusi manusia ini dengan mendayagunakan semua potensi yang telah dimilikinya.

Dalam pelbagai karya mereka, para pendukung filsafat hikmah selalu menggambarkan bahwa manusia adalah suatu kemenjadian yang secara konstan mengalir tanpa henti. Manusia bukan merupakan entitas yang mandeg, melainkan terus bergerak menaiki atau menuruni deretan tak-terbatas dari tingkatan-tingkatan wujud. Pernyataan seperti ini sebenarnya menjelaskan ajaran pokok semua agama mengenai manusia sebagai makhluk unik yang bergerak dalam suatu gerakan yang tak-terelakkan melewati “kematian” menuju “surga” ataupun “neraka.”

Berdasarkan prinsip-prinsip filsafat hikmah, kita dapat menghayati teks-teks suci, khususnya yang berbicara tentang hal-hal gaib, dalam bentuk yang lebih filosofis. Umpamanya, dalam banyak kesempatan, Mulla Shadra sering mengutip ayat-ayat dan hadis-hadis Nabi Muhammad saw atau pun para imam Syiah mengenai hubungan satu amalan kecil dengan pahala besar yang dihasilkannya. Hubungan-hubungan antara alam gaib dan alam fisik ini dijelaskan sebagai hubungan antara satu tingkat dengan tingkat lain dalam piramida wujud yang tunggal.

Filsafat hikmah menyadarkan kita bahwa semua kerja manusia punya nilainya yang tersendiri, betapa pun tidak berartinya nilai itu dalam perskeptif suatu tingkatan wujud tertentu. Di dalam wujud yang bergerak secara konstan ini, hal-hal kecil akan berpengaruh terhadap proses evolusi manusia selanjutnya. Manusia yang berpikir tentang batu pasti akan dipengerahui oleh citranya tentang batu, sampai akhirnya ia akan menyerap sifat-sifat batu itu secara total.

Oleh sebab itu, para pendukung filsafat hikmah sangat menekankan pentingnya kita untuk mengkaji teks-teks suci sebagai satu-satunya rujukan pasti mengenai hubungan-hubungan alam fisik dan alam gaib. Setiap tindakan fisik kita akan mempunyai dampak terhadap dimensi ruhani-gaib kita yang pada gilirannya akan kembali menghantui kita sehingga kita melakukan hal-hal lain yang akan berpengaruh terhadap dimensi ruhani-gaib kita dan begitulah seterusnya. Hubungan-hubungan yang saling berjalin-berkelindan ini dijelaskan dalam filsafat hikmah berdasarkan bukti-bukti filosofis yang diperkuat oleh teks-teks suci dan penyingkapan mistis.

Catatan Akhir

Kebangkitan atau renaisans Islam tidak boleh diukur dari kemajuan dalam bidang-bidang teknis-perindustrian, lantaran manusia menuju puncak kesempurnaannya justru melalui pembebasan dirinya dari kondisi-kondisi alam yang melingkupinya. Makin sempurna manusia, makin bebas ia dari hal-hal material dan makin bertumpu ia pada kekuatan kemanusiaannya.

Dengan kata lain, kesempurnaan manusia ditentukan oleh ciri khasnya sebagai manusia, yaitu kesempurnaan daya-daya intelektual dan spiritualnya. Oleh karena itu, langkah manusia menuju kesempurnaan berbanding lurus dengan langkah pembebasannya dari materi dan pendekatannya ke arah pengetahuan, keruhaniaan dan keimanan.

Maksud ungkapan ‘bebas dari materi’ bukanlah ‘hidup dalam kevakuman yang jauh dari alam materi,’ melainkan penguasaan dan pengendalian manusia atas kondisi-kondisi material dan bukan sebaliknya. Kalau di masa-masa lampau manusia sedemikian bergantung pada kondisi-kondisi material yang mengurungnya, maka di masa-masa mendatang ia pasti akan makin mandiri dari lingkungan materialnya. Manusia masa depan akan makin sanggup mengendalikan dan memanfaatkan semua potensi dan kapasitas material untuk pergerakan substansialnya mendaki puncak-puncak kesempurnaan manusiawinya yang hakiki.

Oleh sebab itu, agama masa depan mestilah merupakan pandangan dunia yang memiliki sendi logis-rasional yang utuh, sendi emosional-spiritual yang kaya, mengandung gagasan-gagasan yang mendalam dan menghunjam, tidak saling beradu dan berbenturan, serta mengandung cita-cita besar yang luhur dan suci.

Agama masa depan mesti mampu menjelaskan semua ajarannya dalam bentuk penuturan logis-filosofis yang lancar dan memuaskan, tidak dalam bentuk yang dipaksakan dan dibuat-buat. Agama yang demikian ini juga harus bisa menghadirkan harapan dan kegairahan spiritual bagi manusia, sedemikian sehingga manusia dapat merasakan adanya makna di balik perjalanan hidupnya yang serba-singkat dan sarat-penderitaan ini.

Salah satu implikasi terbesar dari kehadiran filsafat hikmah di tengah-tengah umat adalah munculnya kesadaran bahwa Islam memiliki semua syarat dan kelayakan untuk menjadi agama masa depan. Tidak berlebihan bila saya katakan bahwa filsafat hikmah yang sepenuhnya bersumber pada al-Quran dan sunah ini menggugah kita untuk kembali menghayati ajaran-ajaran Islam. Bagaimana tidak! Filsafat hikmah telah berhasil menampilkan Islam sebagai puncak dari ribuan tahun tradisi agama semitik, rasionalisme Yunani, dan mistisisme Timur yang telah banyak menyumbang perkembangan peradaban manusia di muka bumi.[]

Catatan Kaki:

1. Mulla Shadra, al-Asfar, Maktabah al-Mushthafawi, 1378 H, Qum, Bagian Pengantar.

2. Mulla Shadra, Mafatihul Ghayb, Muassasah Muthala’at va Tahqiqat Farhanggi, Tehran, tanpa tahun, hal.48.

3. Ibid, hal.55.
4. Ibid, hal.56.
5. Ibid, hal.56.
6. Op.Cit, hal.23.

7. Thabathaba’i, Bidayatul Hikmah, Muassasah an-Nasyr al-Islami, 1422 H., Qum, hal.11.

8. Ibid, hal.12.
9. Ibid, hal.14.
10. Ibid, hal.20.
11. Ibid, hal.24.

Kedudukan Irfan dalam hirarki keilmuan Islam

Posisi Mistisisme (Irfan) dalam Hirarki Ilmu-ilmu Islam Cetak E-mail
Ditulis Oleh Muhsin Araki
Jumaat, 09 Mei 2008

Untuk menegaskan dan mendefinisikan lokasi yang tepat bagi penelitian mistisisme, kami perlu menjelaskan tiga isu kontekstual. Pertama, apa yang dimaksud dengan istilah “ilmu-ilmu Islam?” Kedua, apa karakteristik yang sama dan apa yang membedakan mistisisme dari jenis sains dan disiplin ilmu Islam yang lain? Ketiga, bagaimana mistisisme berkembang dalam kaitannya dengan ilmu-ilmu yang lain, dan bagaimana mereka ini saling mempengaruhi?

Suatu Definisi Umum tentang Ilmu-ilmu Islam

Ilmu-ilmu Islam (ulum islamiyyah) merupakan konsep yang digunakan dalam dua makna.1 Makna yang pertama dipahami secara luas. Ilmu-ilmu Islam, dalam maknanya yang luas, meliputi suatu konstelasi berbagai disiplin ilmu, yang telah terlibat dalam konteks peradaban Islam, baik yang berkembang dari sumber-sumber dan prinsip-prinsip Islam maupun yang telah ada dalam komunitas dan peradaban lain (ulum al-awa’il), tetapi terintegrasi dan berkembang di dalam peradaban Islam. Ilmu-ilmu Islam dalam makna luas ini merangkul berbagai disiplin ilmu yang lazim diyakini oleh para ilmuwan Islam di berbagai institusi ilmiah dan akademis di dunia Islam di sepanjang sejarah Islam. Konsekuensinya, baik ilmu-ilmu Islam seperti fikih, teologi, ushul fikih, tafsir al-Quran, dan sejarah hidup (sirah) Nabi saw dan para imam maksum as, dan ilmu-ilmu yang lain yang berasal dari peradaban lain seperti astronomi, obat-obatan, dan matematika, semuanya sesuai dengan kategori yang luas ini.

Makna yang kedua lebih sempit. Definisi sempit ini meliputi disiplin-disiplin ilmu yang langsung berasal dari prinsip-prinsip dan sumber-sumber Islam, yaitu al-Quran, hadis (sunah) Nabi saw dan para imam as, dan keketapan-ketetapan yang berasal dari al-Quran. Kategori ilmu-ilmu ini merupakan inovasi umat Islam, dan sebenarnya, merupakan sebuah ilustrasi dan interpretasi dari hadis Nabi saw. Kategori yang sempit dari ilmu-ilmu Islam itu sendiri dibagi menjadi dua kelompok. Yang pertama meliputi ilmu-ilmu yang dikembangkan semata-mata untuk tujuan penafsiran dan penjabaran makna dan tujuan al-Quran dan hadis Nabi saw. Yang kedua meliputi ilmu-ilmu yang dianggap sebagai suatu pengantar pada kelompok yang pertama, misalnya logika, literatur dan tata bahasa Arab, sejarah Islam, rujukan-rujukan yang berkaitan dengan pemahaman al-Quran, dan ilmu pembacaan al-Quran, dan ilmu untuk melakukan verifikasi periwayat hadis Nabi saw dan para imam as (ilm ar-rijal).

Ilmu-ilmu Islam juga dibagi menjadi dua kategori berdasarkan metodologinya. Mereka bisa didasarkan pada penalaran murni, bisa pula memperoleh otoritasnya dari sumber-sumber agama. Kategori yang pertama, yang didasarkan pada investigasi intelektual, meliputi ilmu-ilmu intelektual (ulum al-aqliyyah). Yang kedua meliputi ilmu-ilmu yang didasarkan pada otoritas dan penafsiran terhadap kitab suci (ulum an-naqliyyah). Dalam ilmu-ilmu yang berasal dari kitab suci —skriptural, otoritas sumber-sumber yang suci ini merupakan landasan utama argumentasi-argumentasinya. Namun demikian, derajat penalaran rasional dalam ilmu-ilmu ini bervariasi. Disiplin-disiplin ilmu seperti filsafat (falsafah al-Ilahiyyah), mistisisme teoritis, logika, dan teologi rasional (kalam al-aqli) hanya menggunakan premis-premis rasional dalam argumentasi mereka. Jelas, bahwa mereka masuk ke dalam kategori yang pertama; sedangkan mistisisme praktis teologi skriptural, ushul fikih dan penafsiran al-Quran, dianggap sebagai ilmu-ilmu skriptural.

Kesamaan dan Perbedaan antara Mistisisme dan Cabang-cabang Lain Ilmu-ilmu Islam

Ilmu-ilmu Islam berbeda dalam bahasannya, tujuan atau metodologinya, atau salah satu atau dua dari faktor-faktor ini. Misalnya, teologi berbeda dari fikih dari sisi bahasan dan tujuannya. Bahasan teologi adalah sikap religius seseorang terhadap umat manusia dan dunia, sedangkan bahasan fikih adalah aktivitas manusia dalam hubungannya dengan Tuhan, manusia lain, dan dunia. Tujuan teologi adalah mencapai kedamaian pikiran dan kepastian dalam sebuah dunia yang tidak pasti, sedangkan fikih berurusan dengan kesesuaian tindakan-tindakan kita dengan perintah-perintah Tuhan. Di sisi lain, tidak seperti fikih, teologi rasional mengikuti suatu metodologi rasional dan kebanyakan hanya mengandalkan “nalar—akal” (aql), sedangkan teologi skriptural memiliki metodologi yang sama dengan fikih, dengan mengombinasikan metodologi argumentasi skriptural dan akal murni.

Filsafat Islam (metafisika) dan teologi juga berbeda dalam hal bahasan dan tujuannya. Bahasan metafisika adalah eksistensi murni (al-wujud bima huwa wujud), sedangkan bahasan teologi adalah eksistensi Tuhan (kesadaran atas eksistensi-Nya adalah wajib). Namun demikian, kedua disiplin ilmu ini menggunakan metodologi yang sama dalam mencapai tujuan mereka, yakni akal murni. Maksud kami di sini adalah memperlihatkan kesamaan dan perbedaan antara mistisisme dan disiplin-disiplin lain dalam ilmu Islam.

Kategorisasi ilmu-ilmu Islam ke dalam ilmu pengantar dan ilmu inti menempatkan mistisisme ke dalam kategori inti dan fundamental. Ia juga masuk ke dalam kategori ilmu rasional, walaupun mistisisme praktis masuk ke dalam kategori ilmu-ilmu skriptural. Masuknya mistisisme teoritis ke dalam ilmu-ilmu intelektual menunjukkan bahwa mistisisme tipe ini mendorong penemuan intuisi melalui penalaran rasional, walaupun sumber utama intuisi dan pengetahuan diperoleh melalui penyucian hati. Hasil-hasil perjalanan spiritual seperti itu seringkali ditegaskan oleh penalaran induktif. Sebagai hasil dari sebuah metodologi yang diperluas seperti itu, kita bisa mengklasifikasikan tipe pengetahuan ini sebagai bagian dari ilmu-ilmu rasional.

Salah satu prinsip utama dari disiplin ilmu ini, yang disepakati oleh semua ulama irfan, adalah bahwa orang harus mengikuti seorang pembimbing dalam semua tahap perjalanan spiritual. Pemimpin yang jujur dan berpengalaman, yang dipilih sebagai pembimbing dalam perjalanan ini harus juga seorang kekasih Tuhan (wali Allah).2 Guru dan pembimbing yang terbesar dalam perjalanan spiritual kepada Tuhan adalah Nabi Islam, Muhammad saw. Beliau dan keturunannya adalah para guru dan pembimbing terbesar yang harus diikuti oleh manusia dalam pencarian spiritualnya atas kebenaran dan makna kehidupan. Mereka adalah orang-orang terdepan dalam pengetahuan dan para guru cinta, dan tanpa mereka manusia bisa tersesat, karena upaya yang dilakukannya itu bisa berubah menjadi perjalanan yang sangat beresiko tanpa bimbingan para wali Tuhan ini.

Interpretasi ini berdasarkan pemikiran Syiah yang menempatkan akal sebagai bagian utama. Rujukan kepada suatu otoritas, dalam pemikiran Syiah dianggap tidak meyakinkan. Pada analisis akhirnya, otoritas terletak pada akal. Di sisi lain, beberapa mahzab pemikiran, terutama dari kalangan mahzab Islam Suni, menisbatkan otoritas absolut kepada Nabi saw dan menolak peran akal.

Perlunya memiliki seorang tutor dalam jalan spiritual telah dikatakan berulang kali oleh para guru besar di bidang ini. Jalaluddin Rumi (w. 1274), guru besar sufi dan pendiri Ordo Maulawi yang beranggotakan para darwis, dalam risalahnya yang sangat menarik, Mathnavi-ye Ma‘navi, mengingatkan kita tentang pentingnya hal tersebut, ketika ia berkata:

Ikutilah sang guru (pir) karena tanpanya,

perjalanan ini sangat penuh bahaya

Karena itu, di jalan yang belum kau lihat sebelumnya

Hendaknya kau tak pergi sendiri, jangan membantah sang pembimbing3

Hafizh(w. 1389), ahli lain dalam bidang ini menyatakan hal yang sama ketika ia berkata:

Janganlah berjalan ke wilayah cinta tanpa alasan yang kuat,

Aku telah melakukan ratusan upaya namun sia-sia

Waspadalah dengan jalan yang penuh bahaya ini tanpa bimbingan Khidir,

ia adalah kegelapan, dan bahaya tersesat pun hadir.

Menurut prinsip irfan yang penting ini, adalah wajib untuk mengikuti seorang kekasih atau wakil Tuhan. Mengikuti Nabi Suci saw dan orang-orang yang paling dekat dengannya sebagai kekasih Tuhan adalah hal yang paling penting. Kedua, mereka yang paling akrab dengan praktik dan ajaran Nabi saw dan para imam as juga ditunjuk untuk membimbing manusia.

Perbedaan antara Problem Filsafat dengan Problem Irfan

Ketentuan untuk mengikuti Nabi saw dan para wali yang lain mengisyaratkan bahwa irfan praktis adalah suatu ilmu yang didasarkan pada otoritas skriptural. Manusia hanya boleh mengikuti mereka melalui suatu pemahaman terhadap tindakan mereka dan terhadap al-Quran. Namun demikian, mistisisme, filsafat, dan teologi teoritis memiliki karakteristik lazim yang sama seperti inkuiri intelektual pada sifat eksistensi. Di sisi lain, irfan praktis ini serupa dengan etika dan fikih, karena ketiganya berurusan dengan masyarakat manusia. Ilmu-ilmu Islam yang lain tidak memiliki landasan yang sama dengan irfan, sehingga tidak dimasukkan dalam penelitian ini.

Karakteristik-karakteristik disiplin ilmu mana pun terdiri dari dari empat elemen. Pertama, metodologi menetapkan model-model inkuiri dan metoda verifikasi; kedua, pokok bahasan (mawdhu)mendefinisikan ilmu, karena suatu “ilmu meneliti kelengkapan esensial dari pokok bahasannya”;4 ketiga, apriori dan topik(masa’il, qadhayah) yang terlibat turut menentukan karakteristik disiplin ilmu tersebut; keempat, tujuan dan telos(ghayah) dari suatu ilmu mendefinisikan tujuan penelitian.5

Irfan teoritis menggunakan sebuah metodologi yang berbeda dari yang digunakan oleh filsafat dan teologi. Selain suatu metodologi intelektual, ia terutama mengandalkan pada intuisi (isyraq) dan pengalaman langsung (dzawq). Ilmu ini lebih memilih pengetahuan yang diilhami oleh suatu pemahaman melalui hati, daripada yang melalui penalaran logis. Karena melalui intuisi, suatu penyatuan antara subjek pengetahuan, pengetahuan itu sendiri, dan yang memiliki pengetahuan terjadi (ittihad al-aql wa al-aqil wa al-ma‘qul). Sebaliknya, hasil-hasil penelitian rasional hanya beberapa refleksi atau image kognitif dari pokok bahasannya, dan realitas dari pokok bahasannya sendiri tidak hadir pada orang yang memiliki pengetahuan tersebut.

Mistisisme teoritis dan teologi adalah sama, karena keduanya menetapkan hasil-hasilnya sebelum penalaran apa pun, dan kemudian mencoba untuk memperkuatnya melalui penalaran. Namun demikian, keduanya berbeda karena dasar suatu pengetahuan priori dalam teologi memiliki otoritas religius, dan dalam irfan teoritis, pengetahuan diperoleh melalui intuisi.

Berkaitan dengan pokok bahasannya, filsafat berbeda dengan irfan teoritis. Bahasan filsafat adalah eksistensi murni atau eksistensi qua eksistensi. Bahasan irfan teoritis, sebaliknya, adalah Tuhan atau suatu model eksistensi, yang ketiadaannya adalah hal yang secara logis mustahil dibayangkan, yakni Eksisten Wajib (wajib al-wujud). Filsafat berurusan dengan eksistensi dalam bentuk dan sifat-sifatnya yang murni, tanpa memandang tipe eksistensinya. Namun demikian, mistisisme hanya berfokus kepada Tuhan dan eksistensi-Nya, karena bentuk-bentuk eksisten lain itu sebenarnya tidak ada; mereka hanyalah sebuah bayangan eksistensi, yakni eksistensi Tuhan.6 Dia adalah eksistensi dan segala sesuatu yang lain merupakan sebuah bayangan dari eksistensi-Nya. Menurut irfan, eksistensi itu ekuivalen dengan wajibnya eksistensi. Artinya bahwa eksistensi yang sejati adalah yang secara mutlak wajib ada, yaitu Tuhan. Yang lainnya memiliki suatu eksistensi yang bersifat ilusi.

Bahasan teologi menyertakan isu-isu yang berkenaan dengan asal-usul penciptaan, kebangkitan, kenabian, kepemimpinan, dan topik-topik terkait. Eksistensi Tuhan dan sifat-sifat-Nya merupakan bahasan mistisisme. Namun demikian, mistisisme tidak berurusan dengan pembuktian adanya Tuhan, yang di luar cakupannya. Tidak ada disiplin ilmu yang diperlukan untuk membuktikan eksistensi pokok bahasannya. Eksistensi Tuhan tidak memperoleh perhatian dalam mistisisme, dan tugas onto-teologi atau teologilah untuk membuktikan eksistensi Tuhan. Sekedar fakta bahwa Tuhan itu ada adalah masalah filosofis, karena sifat wajib ada di antara sifat-sifat eksistensi.

Konsepsi umum dalam mistisisme dan filsafat tidak sama. Dalam filsafat, eksistensi dibagi menjadi kategori-kategori semacam: kejamakan dan ketunggalan, kausalitas, esensi dan sifat-sifat, keabadian dan sifat baru, dan eksistensi wajib (inheren) atau eksistensi yang mungkin. Namun demikian, dalam mistisisme dengan asumsinya tentang monorealisme (wahdat al-wujud), kategori-kategori eksistensi ini sama sekali tidak masuk akal. Berbagai bentuk dan warna berbeda pada eksisten adalah ilusi, karena ada ketunggalan dalam ketunggalan. Yang ada hanya satu realitas.

Dalam filsafat, yang dipertimbangkan adalah konsep-konsep umum. Melalui sebuah proses abstraksi deduktif, pikiran melanjutkan untuk mengonseptualisasikan beberapa konsep umum, yang tidak memiliki posisi dalam eksistensi konkrit. Tahap pertama proses semacam itu terjadi dengan membentuk sebuah konsep umum, yang bisa diterapkan para subjek-subjek yang aktual dan nyata. Misalnya, konsep tentang “kucing” diasumsikan dari seekor atau banyak kucing yang nyata, tetapi konsep umum ini tidak ekuivalen dengan bayangan kita tentang kucing individual mana pun. Ini merupakan sebuah konsep umum, yang meliputi sifat-sifat lazim kucing, dan mengabaikan perbedaannya. Konseptualisasi ini bahkan bisa melangkah lebih jauh dan menghasilkan konsep sekunder, seperti seekor “binatang.” Bahkan ada sebuah konseptualisasi yang lebih canggih ketika kita menyimpulkan kategori-kategori logis seperti “generality-sifat umum,” “necessity-sifat wajib,” “causality-kausalitas dan sebagainya. Mereka bisa berupa konsep sekunder yang logis atau yang filosofis (ma‘qulat tsaniyyah manthiqiyyah aw falsafiyyah).

Shadruddin Muhammad Syirazi (w. 1641) dikenal sebagai Mulla Shadra, seorang filosof zaman kebangkitan Safawi di Iran, mengakhiri kontroversi antara filsafat dan irfan ketika ia memperkenalkan filsafat transendentalnya, dengan menggabungkan elemen-elemen dari kedua belah pihak.7 Nilai orisinal kontribusinya terletak pada teori eksistensialisnya (jangan terkacaukan dengan eksistensialisme Eropa Modern),8 yang menurutnya, batas-batas eksistensi yang membentuk identitas sesuatu dianggap sebagai hal yang sekunder pada eksistensi itu sendiri. Dalam teori piramida eksistensi (hiram-e hasti)-nya, semua makhluk memiliki eksistensi, namun perbedaan mereka berasal dari derajat atau intensitas eksistensi mereka. Eksistensi Tuhan dalam piramida ini tidak memiliki batasan dan keterbatasan. Oleh karena itu, identitasnya identik dengan eksistensi-Nya. Dengan pemahaman seperti ini, perbedaan antara filsafat dengan irfan bisa diselesaikan. Ada kejamakan (derajat eksistensi) dalam ketunggalan (semua wujud memiliki eksistensi).9 Ini merupakan doktrin tasykik al-wujid, atau gradasi dan modulasi eksistensi.10

Sifat Konstan Eksistensi

Apakah eksistensi itu statis atau dinamis? Jika dinamis, bagaimana ia bisa konstan dan berkelanjutan? Jika eksistensi itu konstan, apa pengaruhnya bagi pikiran? Para filosof Islam klasik percaya bahwa jika suatu wujud ciptaan dan penyebab eksistensinya itu ada, maka wujud itu akan terus ada, tak terpengaruh oleh berlalunya waktu. Sebenarnya, mereka berpikir bahwa alih-alih berlalunya waktu, wujud tetap mempertahankan identitasnya (huwiyyah). Mistisisme tidak sepakat dengan pemikiran ini. Dalam irfan, tidak ada keberlangsungan seperti itu, dan eksistensi diperbarui secara konstan. Mereka memiliki identitas baru seiring dengan berjalannya waktu. Imajinasi kitalah yang berusaha untuk mengabaikan transformasi fundamental ini. Karenanya, eksistensi itu adalah sebuah proses untuk menjadi —process of becoming.

Ketidakcocokan antara pendekatan filosofis dan mistis ini diselesaikan oleh Mulla Shadra melalui teori gerak substansial (harakah jawhariyyah). Dia berpendapat bahwa walaupun eksistensi cair menjalani perubahan yang konstan, ada satu faktor yang selalu menyertai eksistensi yang mengalir jauh ini di sepanjang waktu. Ia adalah eksistensi itu sendiri, yang senantiasa hadir pada setiap detik dari segala perubahan. Sekali lagi, aspek statis dan dinamis yang dimiliki eksistensi bisa dipertemukan.[]

Catatan:

1. Tentang hirarki pengetahuan, lihat Seyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam, edisi ke-2, Cambridge: Islamic Texts Society 1987, hal.59-64; Osman Bakar, The Classification of the Sciences in Islamic Philosophy, Cambridge: Islamic Texts Society 2000.

2. Tentang tema penting ini, lihat Allamah Thabathaba’i, Risalat al-Wilaya, Tehran: Intisharat-e Hikmat 1374 Syamsi, dan Hasan Zadah Amuli, "Vilayat-e Takvini," dalam Majma‘a-ye Maqalat, Qum: Daftar-e Tablighat-e Islami 1375 Syamsi, hal.31-82.

3. Rumi, Mathnavi-ye Ma‘navi, ed. R.A. Nicholson, London: Gibb Memorial Trust 1925-40, vol.II, ayat ke-2943.

4. Bandingkan dengan Katibi Qazwini, “al-Risalah al-Syamsiyyah” dalam Biblioteca Indica Appendix I, ed. A. Sprenger, Calcutta: Bengal Military Orphan Press 1854, hal.3.

5. Skema empat lapis ini memiliki para pendahulu terkemuka di zaman Neoplatonis dan penyusunan kurikulum dan pendidikan tradisional. Lihat, I. Hadot, "Les introductions aux commentaires exégètiques," dalam Les règles de l’interpretation, ed. M. Tardieu, Paris: Presses Universitaires de France 1987, hal.99-122.

6. Dawud Qaysari, Syarh-e Muqaddima-ye Qaysari bar Fushush al-Hikam, ed. S.J. ashtiyânî, Qum: Daftar-e Tablighat-e Islami 1991, hal.100.

7. Dalam beberapa tulisannya, dia lebih mengistimewakan mistisisme daripada filsafat. Misalnya, dalam hirarki ilmunya dalam “Iksir al-‘Arifin” dalam Rasa’il, Tehran lithograph 1885, hal.279-86, dia menempatkan ilmu-ilmu “kondisi” (ahwal) pada puncak pencarian akal. Filsafat lain yang menempatkan mistisisme sebagai kulminasi pencarian adalah Quthbuddin Syirazi (w. 1311), yang melengkapi ensiklopedinya, Durrat al-Taj li-Ghurrat al-Dubaj dengan sebuah khatima tentang mistisisme —lihat, Majlis-e Syura 4720, vol.596-620; bandingkan dengan J. Walbridge, "A Sufi scientist of the thirteenth century: The mystical ideas and practices of Quthbuddin Syirazi," dalam The heritage of Sufism Volume II: The Legacy of Medieval Persian Sufism, ed. L. Lewisohn, laporan, Oxford: Oneworld 1999, hal.326-40.

8. Bandingkan dengan diskusi pembuka Henry Corbin dalam pendahuluannya pada Mulla Shadra Syirazi, Kitab al-Masha‘ir (Le Livre des Pénétrations Métaphysiques, laporan,Tehran 1982, hal.62-75.

9. Lihat Fazlurrahman, The philosophy of Mulla Shadra, Albany: State University of New York Press 1975, hal.27-41.

10. Lihat Sajjad H. Rizvi, Modulation of Being (Tasykik al-Wujud) in the Philosophy of Mulla Shadra Syirazi, desertasi doktoral yang tidak dipublikasikan, Cambridge University 2000.

*) Dialihbahasakan oleh Anna Farida dari “The place of Mysticism (irfan) Within the Hierarchy of Islamic Sciences” dalam Transcendent Philosophy, vol.II, no.2, Juni 2001.

Kedudukan An-Nafs dan Perjuangannya

Sifat, Nama Tahapan, dan Kedudukan Nafs dalam Perjuangan dan Peningkatannya Cetak E-mail
Ditulis Oleh Mahmoud Mostafa
Jumaat, 09 Mei 2008
Sebuah terjemahan dari teks klasik oleh Mahmoud Mostafa, yang membahas sifat, nama tahapan dan kedudukan nafs dalam perjuangan dan peningkatannya. Dalam al-Quran disebutkan secara umum lima tingkatan jiwa manusia. Oleh kaum arif, diperinci menjadi tujuh tahapan, bahwa nafs bisa saja naik sampai pada kedudukan yang paling indah; atau ia bisa turun sampai pada kedudukan yang terendah dari yang rendah.

Sebelumnya telah jelas bagi kita bahwa ada tiga musuh utama dan penyebab kerusakan dan kesesatan manusia. Pertama, hasrat ego (hawa an-nafs). Juga dikenal sebagai nafsu tersembunyi. Ini adalah musuh nomor satu dan yang paling berbahaya, karena jika ia ada, maka kedua musuh yang lainnya akan ada, dan tanpanya, maka musuh dari dalam nafs tak akan ada pula. Musuh ini berada jauh di dalam hakikat umat manusia, yakni di dalam nafs-nya, di sebelah kiri, dan bersifat mendorong kepada pelanggaran (fujur). Ia adalah lawan dari sisi kanan jiwa yang bersifat mendorong kepada kesadaran (taqwa).

Pelanggaran jiwa terjadi di dalam hasratnya dan hasratnya itu berarti nafsunya kepada kebanggaan diri (aku!) dan kebebasan (kekuasaan dan kedengkian tanpa batas). Musuh ini adalah penyebab utama penzaliman diri sendiri pada manusia. Penzaliman ini menuntun kepada penolakan dan politeisme, atau kepada kesesatan, keingkaran, dan dosa-dosa. Tidak ada obat bagi kedua hasrat ini kecuali melalui mengingatkan nafs secara terus-menerus tentang hidupnya yang sementara dan tentang kematian yang pasti datang. “Sesungguhnya nafsu itu selalu memerintahkan kepada keburukan kecuali bagi mereka yang telah diberi pengampunan oleh Tuhanku.” (QS. Yusuf [12]: 53)

Kedua, hasrat akan hiasan dunia (syahwat ad-dunya). Ini adalah musuh yang kedua, namun ia ada di luar hakikat umat manusia. Ia adalah senjata Iblis yang dimainkannya di depan mata yang penuh birahi dari hasrat ego. Jadi ia membuatnya seperti cermin yang menarik perhatian nafs dan menggodanya, sehingga ia berbelok dan bergerak menuju kesenangan pribadi dan keterikatan pada hasrat dan kecintaannya pada dunia material, yang mendorongnya hingga terjatuh ke dalam kepalsuan duniawi dan lautan kebinasaan.

Satu-satunya obat bagi hasrat ini adalah bersikap sadar dan tegas terhadap sifat sementara dari dunia ini, dan kesadaran akan perlunya manusia untuk melepaskan diri dari keterikatan kepadanya. Yaitu dengan mengetahui bahwa dunia hanyalah rumah sementara dan tempat ujian dan cobaan. Yaitu dengan memahami bahwa dunia ini adalah bagian dari sebuah rangkaian keabadian; sebelumnya ia merupakan rumah bagi atom (dar az-zhar) dan sesudahnya, akan muncul tahap lain, yakni alam isthmus (alam al-barzakh). Hasrat kepada dunia ada lima, sebagaimana dijelaskan dalam al-Quran, “Kecintaan pada hasrat telah dibuat menjadi indah bagi manusia: yaitu kepada perempuan-perempuan, keturunan, emas dan perak, kuda-kuda yang gagah, ternak, dan pertanian.” (QS. Ali Imran [3]: 14)

Ketiga, setan adalah musuh yang ketiga (syaitan ar-rajim). Dia juga berada di luar hakikat manusia. Perannya adalah untuk menggoda, menyesatkan, dan mempercantik segala yang salah dan terlarang dan keji di dunia ini agar membuat nafs menjadi terikat pada semua itu melalui hasratnya. Ia tak punya maksud selain merayu dan menggoda ego, dan tak punya senjata selain menghidupkan dan menyetir kedua hasrat ego, yaitu “keakuan” dan “kekuasaan” sehingga manusia akan merasa bangga dengan dirinya sendiri, dan pada gilirannya memperjauh kesesatannya. Dengan cara ini, setan menuntun manusia untuk mengarah pada kekafiran dan politeisme, atau keingkaran dan dosa-dosa. Tiada obat atau pun pencegahan untuk hal ini kecuali dengan terus-menerus mengingat dan mencari pertolongan Allah, dan menyandarkan kepercayaan kepada-Nya. “Sesungguhnya setan adalah musuhmu, maka jadikanlah ia musuhmu.” (QS. Fathir [35]: 6)

Naik atau turunnya nafs tergantung pada derajat pengobatan dan perlindungan dari ketiga musuh ini. Jadi, nafs bisa saja naik sampai pada kedudukan “…kedudukan yang paling indah.” Atau ia bisa turun sampai pada kedudukan “…yang terendah dari yang rendah.”

Al-Quran menyebutkan lima tingkatan jiwa manusia. Tahap dasar adalah yang ada bersama kelahiran kita, yang disebut dengan jiwa yang penuh celaan (nafs al-lawwamah). Jika diabaikan dan dibiarkan dengan dorongan dan hasratnya, maka ia akan naik kepada jiwa yang penuh perintah (nafs al-ammarah). Dan jika ia berkembang dan dipelihara melalui usaha dan pertahanan diri melawan hasrat-hasratnya, maka insya Allah, ia akan naik ke tingkatan tertinggi, yakni kedekatan, kebahagiaan, dan kecintaan pada Allah dan Rasul-Nya saw. Tingkat yang lebih tinggi ini ada tiga, yang tepat di atas jiwa yang penuh celaan tadi adalah jiwa yang tenteram (nafs al-muthmainah), diikuti oleh jiwa yang puas (nafs ar-radhiyyah), dan akhirnya pada jiwa yang diridhai (nafs al-mardhiyyah), dan inilah yang dimaksud dengan jiwa yang meraih tempat dan kedudukan asalnya, yang merupakan “…kedudukan yang paling indah.”

Para arif (arifin) telah merinci dan memaparkan masalah ini dan mempermudah umat Islam untuk memahaminya, dan mempraktikkannya, agar tindakan pencegahan dan pengobatan menjadi mudah. Mereka menjabarkan tujuh tingkat dari lima cakupan yang disebutkan dalam al-Quran:

1. Jiwa yang penuh perintah (nafs al-ammarah)

Zikir yang tepat untuk menanganinya adalah La Ilâha illallah (Tiada tuhan selain Allah). Ia adalah tingkatan jiwa yang paling rendah dan yang paling buruk. Di dalamnya ditemukan hasrat dan nafsu yang ekstrim akan kebanggaan diri dan kekuasaan. Jadi, ia terikat pada karakteristik yang paling buruk, yang oleh Allah dan Nabi-Nya saw, kita diperingatkan untuk mewaspadainya. Misalnya, kekaguman pada diri sendiri, arogansi dan kesombongan, kekerasan hati, kesenangan membeberkan kesalahan orang lain, berbohong, gosip, main belakang, iri, dengki, senang mengkritik, memuji diri dengan pujian tak pantas, tidak ramah, selalu menginginkan apa yang dimiliki orang lain bahkan walau yang dimilikinya lebih baik, selalu kurang puas, kurang bersyukur, buta terhadap karunia yang diterima, berharap maju tanpa usaha, egois berlebihan, ketamakan dan keserakahan yang tak berbatas, senang menguasai, cinta pada diri dan hasrat-hasratnya, kebencian pada yang mengkritik walaupun itu demi kebaikannya sendiri, dan cinta pada yang memuji walaupun mereka itu munafik, menolak nasihat dan bimbingan, dan hanya peduli pada dirinya sendiri.

Jiwa yang penuh perintah ini secara umum dibagi menjadi dua tingkat: Pertama, jiwa binatang (nafs al-hayawaniyyah); ia adalah jiwa yang mengejar hasrat-hasrat sensual dan kepemilikan materi tanpa peduli itu benar atau salah, adil atau zalim, halal atau haram. Ia tenggelam dalam kesenangan kepemilikan, seks, dan perhiasan. Ia penuh dengan nafsu, kejahatan, dan tidak manusiawi. Ia membenci agama, dan mencintai dirinya sendiri dengan penuh keegoisan. Ia tidak tahu apa itu puas, malu, rasa syukur, rasa hormat, dan tak pula punya sikap yang baik.

Kedua, jiwa setan (nafs al-iblisiyyah); ia bahkan lebih rendah dari jiwa binatang, karena kecintaannya pada dirinya sendiri telah mencapai tahap di mana ia menantang Allah untuk bersaing dalam ketuhanan dan kekuasaan-Nya. “Aku adalah tuhan kamu sekalian….” Kata Firaun, dan kata Iblis, “Aku lebih baik dari dia (Adam)…”

Jiwa yang penuh perintah ini ada pada hati yang berpenyakit. Jika hati itu tak disembuhkan, maka nafs ini akan melanjutkan perjalanannya sampai hati yang terbutakan dan akhirnya terkunci. Akar dari jiwa ini adalah, ia yakin bahwa dirinya itu sempurna, dan bahwa yang lainnya rusak, dan bahwa semua orang lain akan mati sedangkan dirinya tetap abadi. Ia dinamakan dengan istilah itu karena begitu banyaknya permintaan dan ajakan yang harus segera dipenuhi untuk memuaskan hasratnya. Jadi, ia menginginkan sesuatu, dan sebelum itu terpenuhi, ia akan meminta sesuatu yang lain, demikian terus-menerus. Manusia pada tahap ini adalah kawan dan dicintai setan, dan musuh Allah Yang Maha Pengasih. “Kecuali pada mereka yang Allah tunjukkan kasih-sayang.”

2. Jiwa yang penuh celaan (nafs al-lawwamah)

Zikir penyembuhnya adalah Allah (Tuhan). Ia adalah jiwa yang ada bersamaan dengan lahirnya seorang manusia ke dunia, sebagaimana firman Allah, “Demi Dia Yang membawa jiwa kepada keseimbangan, yang mengilhamkan kepadanya dengan penyimpangan dan ketakwaannya.” (QS. Syams [91]: 7-8)

Ini adalah jiwa yang telah disentuh oleh kasih-sayang Allah, sehingga ketika ia melakukan dosa atau terjatuh dalam kemungkaran, maka ia akan mencela dirinya sendiri dan kembali memohon ampunan dan bertobat kepada Penciptanya. Lalu ia akan terus taat sampai ia tergelincir kembali ke dalam dosa, lalu ia kembali mohon ampun dan bertobat, dan seterusnya. Ini sesuai dengan apa yang dikatakan Baginda Nabi saw, “Semua manusia itu cenderung untuk berbuat dosa, dan pendosa yang terbaik adalah yang bertobat.” Ia adalah jiwa yang terus-menerus berada dalam fluktuasi antara ketaatan dan kemungkaran. Di satu waktu ia tak peduli dan terjatuh, di waktu lain ia sadar dan bertahan.

Ini adalah kedudukan awal di mana kita mulai melangkah sejak lahir, dan dari sana kita turun atau naik. Ciri-cirinya adalah terjadinya fluktuasi antara karakteristik antara penghuni dunia ini dan penghuni alam setelah dunia ini. Kondisinya tidak sama jahatnya dengan jiwa yang penuh perintah, tetapi hasratnya akan kebanggaan diri dan kekuasaan masih aktif di dalamnya, walaupun takarannya sudah sangat ditekan atau dilemahkan. Ini adalah tahap pertama untuk mencapai keselamatan bagi jiwa, dan langkah pertama untuk menuju penyucian jiwa dan keberhasilannya.

3. Jiwa yang terilhami (nafs al-mulhamah)

Zikirnya adalah Hu (kata ganti Tuhan, DIA). Ia adalah jiwa yang telah naik melalui perjuangan dan komitmen terhadap jalannya yang sejati, dari tingkat jiwa yang penuh celaan menuju jiwa yang secara terus-menerus memohon pengampunan dan bertobat, baik ia berbuat dosa atau pun tidak. Ini disebabkan oleh keyakinannya bahwa akar dari sifat-sifatnya adalah ketidaksempurnaan, kesalahan, kelemahan, dan ketidaklengkapan.

Pada tingkatan ini, jiwa terilhami dengan kecintaan tahap awal kepada perbuatan baik (amal saleh), dan kepada al-Quran, dan ajaran Nabi saw. Ia juga terilhami oleh kecintaan kepada zikir, dan untuk memohon pengampunan (istigfar), dan untuk meluruskan niatnya (niyyah), dan untuk memperbarui tobatnya (tawbah).

Ini adalah tahap terakhir bahaya bagi jiwa, karena ia masih tak terjaga dari kemungkinan turun kepada tingkatan yang lebih rendah, yaitu nafsu lawwamah dan nafsu ammarah. Pada tingkat ini, hasrat akan kebanggaan diri dan kekuasaan telah tidur, kecuali terlintasnya kedua hasrat itu dalam pikiran.

4. Jiwa yang tenteram (nafs al-muthmainnah)

Zikirnya adalah Haqq (Kebenaran). Ia adalah jiwa yang telah naik kepada tingkatan tahap yang pertama, dan meniti tangga menuju kedekatan, kebahagiaan, dan kecintaan pada Allah. Penyuciannya ini diperoleh melalui meningkatkan komitmen, dan ia memenuhi kewajibannya dengan penuh ketulusan dan kejujuran, dengan berpegang pada jalan yang hakiki dalam semua aspeknya, khususnya dalam hubungannya dengan sesama manusia dan dalam budi pekertinya, sebelum ibadah-ibadah ritual. Nabi saw bersabda, “Jalan (agama) itu ada pada budi pekerti,” dan “Yang paling baik budi pekertinya di antara kalian adalah yang terbaik keimanannya.”

Jiwa yang tenteram ini telah memasuki jalan, metode, dan sarana perlindungan dan pengobatan melalui menghitung kesalahan diri, bertahan dari godaan, berjuang, dan dengan kesetiaan. Semua upaya ini membuahkan hasil berupa keyakinan atas kebenaran bahwa hanya Allah sajalah Yang berkuasa. Dia adalah Penyebab dan Penggerak segala sesuatu, karena tiada tuhan selain Dia dan tiada penguasa selain Dia. Dan dalam segala tindakan-Nya, Allah adalah Pengasih dan Pemurah. Dia mengetahui yang paling bermanfaat bagi jiwa ini. Keyakinan ini mengarahkan jiwa pada kepercayaan pada Allah. Ia mengarahkannya pada sifat Pengasih dan Pemurah-Nya. Jiwa ini menjadi yakin bahwa yang bersama dengan Allah adalah lebih baik dan lebih bertahan daripada segala sesuatu yang menjadi miliknya atau yang dimiliki oleh orang lain. Dengan begitu, ia mencapai keyakinan yang lengkap kepada Tuhannya; Dia Yang mengetahui apa yang terbaik baginya, dan Dia adalah Rabb Yang Terbaik, dan Penjaga (wakil) Yang Terbaik. Jadi, jiwa akan menjadi tenteram dan berhenti menimbuni dirinya dengan segala sesuatu selain apa yang telah berhasil diyakininya, yaitu Tuhannya, Allah.

Pada posisi ini, jiwa memperluas kapasitasnya di luar upaya dan kesungguhannya dalam bertobat. Ketika ia merasa tenteram bersama Allah, pada dirinya ia memberikan posisi tambahan seperti harapan (raja) dan ketakutan (khawf) dan kepercayaan kepada-Nya (tawakkal). Pada tingkatan ini, jiwa yang tenteram senantiasa berzikir kepada Allah baik di lidah maupun di hatinya. “Bukankah dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram?” (QS. Rad [13]: 28)

Ini adalah tahap pertama bagi sempurnanya (kamal) jiwa. Hati mulai bersinar dengan cahaya kesadaran. Kekuatan ego mulai menyusut, sehingga kesucian, keindahan, kejelasan, dan cahaya mendominasi hati, sehingga ia menjadi jiwa yang tenteram. Pada tingkatan ini, hasrat-hasrat kebanggaan diri dan kekuasaan jadi sepenuhnya terhalangi, dan keduanya kembali kepada pemiliknya yang sejati, yakni Allah. Kini jiwa mulai menunjukkan sifat-sifat sejatinya yang sebelumnya tersembunyi, yang berupa sifat-sifat kehambaan (ubudiyyah), tak berdaya (‘ajz), kehinaan (zhull), kemiskinan (faqr), membutuhkan (ihtiyaj), dan kefanaan (fana).

5. Jiwa yang puas (nafs ar-radhiyyah)

“Kembalilah kepada Tuhanmu dengan rasa puas…” (QS. al-Fajar [89]: 28)

Zikirnya adalah Hayy (Hidup). Ketika jiwa yang tenteram naik kepada Tuhannya, cahaya hatinya semakin terang dan memenuhi keseluruhan tubuh, mengubah hasrat-hasrat sensual ego menjadi hasrat yang telah diajarkan oleh Nabi saw dari dalam al-Quran dan sunah. Kini hasratnya sepenuhnya hanya untuk hal-hal seperti itu dan secara mutlak puas bersama Tuhannya. Kini kesulitan dan kemudahan menjadi sama baginya, sebagaimana kerugian dan keberuntungan, dan memberi atau menerima, karena setelah menjadi tenteram, ia yakin bahwa semua tindakan dan perbuatan itu sebenarnya berasal hanya dari Allah. Dia adalah Tuan, Penguasa, dan Penciptanya. Dia adalah Yang memberinya pengampunan dan kasih-sayang. Dia adalah Yang Lembut dan Pemurah kepadanya. Segala sesuatu yang berasal dari yang dicintainya pasti diterima olehnya, dan ia puas bersamanya. Ia puas dengan apa pun yang diperintahkan Allah untuk dilakukannya.

Pada tahap ini, watak jiwa ini adalah: jika diuji ia bersabar, jika diberi ia bersyukur, jika dijauhkan dari keuntungan ia menerima, jika ada perbuatan salah kepadanya ia memaafkan. Kini ia menjadi jiwa dengan hati yang tenang dan indah. Ia berjalan di semua kedudukannya, antara kepercayaan (tawwakal) dan merasa jauh (tafwid), kepuasan (ridha), dan menyerah (taslim) kepada Allah. Sifat dari jiwa ini adalah selalu ceria, penuh syukur, dan rasa terima-kasih tak peduli apa pun yang terjadi. Ini adalah tingkatan kedua dari jiwa yang sempurna (nafs al-kamilah), yang merupakan tahap penghambaan. Dengan naik kepada tingkat ini, jiwa yang puas telah memasuki tingkat pertama dari “…kedudukan yang paling indah.” Tingkatan ini terhubung dengan tingkatan di atasnya.

6. Jiwa yang diridai (nafs al-mardiyyah)

“Kembalilah pada Tuhanmu dengan rasa puas dan diridai-Nya” (QS. al-Fajar [89]: 28)

Zikirnya adalah Qayyum (Yang Hidup dengan Sendirinya) pada tahapan ini jiwa bukan hanya puas dengan Tuhannya tapi juga diridai-Nya. “Allah rida dengan mereka dan mereka rida dengan-Nya.” (QS. Bayyinah [98]: 8)

Rasulullah saw ditanya, “Kapankah kami akan mencapai rida Allah?” Dia menjawab, “Ketika kalian rida dengan Tuhan kalian.”

Pada tahap ini, cahaya hati telah disempurnakan. Hati bertolak dari hati yang tenang (qalb salim) menuju hati yang secara total merasa takut (khasyiyah) kepada Allah, secara terus-menerus cenderung (munib) kepada-Nya, dihiasi dengan kesahajaan (haya’) di hadapan-Nya setiap saat.

“Barangsiapa yang takut kepada Allah secara diam-diam dan datang kepada-Nya dengan hati yang bertobat. Masuklah surga dengan damai. Itu adalah hari yang kekal. Di dalamnya mereka akan peroleh apa pun yang mereka kehendaki, dan bersama Kami ada kelebihannya.” (QS. Qaf [50]: 33-35)

Orang-orang pada tahap ini adalah mereka yang menyaksikan manifestasi-manifestasi berbagai tindakan dari nama-nama Allah (musyahadat tajalliyyat afa’al Allah). Manifestasi kekuasaan Allah yang telah mereka saksikan dalam hati telah membuat mereka merasa takut di hadapan Kebesaran dan Kekuasaan Allah dalam segala tindakan-Nya, yang pada hakikatnya adalah manifestasi dari nama-nama-Nya. Orang pada tingkatan ini juga dikaruniai penyingkapan dan mukjizat-mukjizat untuk membuat mereka bisa mengajak manusia menuju cinta Allah. Pada hakikatnya mukjizat ini ditujukan bagi mereka yang menyangkal dan menolak kebenaran, namun pada saat yang sama menyeru kepada Allah. Kepada mereka Allah mengirimkan mukjizat melalui orang pada tingkatan ini, sehingga ego mereka akan tunduk kepada mukjizat-mukjizat tersebut, dan mereka akan kembali ke jalan Allah. Karena ketika Allah mencintai salah seorang hamba-Nya, maka Dia akan mencarinya dan memanggilnya kepada-Nya. Jika dipanggil satu kali hamba itu memberi respon, maka ia akan dibawa mendekati Allah. Allah mencari hamba-Nya itu melalui cobaan-cobaan, atau melalui mukjizat. Karena perintah Allah itu harus menjadi kenyataan dan sepenuhnya wajib terlaksana.

Tingkatan ini adalah tingkatan iman yang terakhir, dan melaluinya jiwa memasuki tingkatan “….kedudukan yang paling indah” (ihsan), yang merupakan tujuan dan hasrat bagi seluruh hamba.

7. Jiwa yang sempurna (nafs al-kamilah)

Juga dikenal dengan istilah jiwa cahaya (nafs al-nuraniyyah), jiwa Muhammadan (nafs al-Muhammadiyyah), dan jiwa yang mencinta (nafs al-muhibbah).

“Allah akan mendatangkan suatu kaum yang dicintai-Nya dan yang mencintai-Nya; mereka akan rendah hati kepada orang-orang beriman dan tegas terhadap yang ingkar. Mereka akan berjuang di jalan Allah dan tidak akan takut celaan dari orang-orang yang mencela. Itu adalah karunia Allah yang diberikan-Nya kepada siapa pun di antara hamba-hamba yang dikehendaki-Nya. Allah Mahaluas (karunia-Nya) dan Maha Mengetahui.” (QS. al-Maidah [5]: 54)

“Maka ikutilah aku dan Allah, dan Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosamu. Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran [3]: 31)

Zikir lahiriahnya adalah Qahhar (Yang Memaksa) dan zikir batiniahnya adalah Wadud (Yang Mencintai). Ini adalah tingkatan kesempurnaan penghambaan terhadap Allah, melalui kesempurnaan mengikuti ajaran-ajaran manusia yang dicintai-Nya, Muhammad saw. Orang yang mencapai tingkatan ini dikaruniai dengan pengetahuan tentang cinta Allah yang sempurna baginya dan bagi Nabi-Nya saw.

Ini adalah tingkatan keindahan (Maqam al-Ihsan) dan ia di atas semua tingkatan iman yang sebelumnya. Pada tahap ini seorang hamba telah sepenuhnya mencapai tingkatan “…kedudukan yang paling indah.” Dan karenanya, ia memasuki cahaya manusia yang dicintai-Nya, yang terpilih, pada jarak "Two bow's lengths or nearer," dari langkah-langkah kekasih-Nya, Muhammad saw. Ini adalah tahap terakhir dalam tingkatan-tingkatan jiwa. Tahap ini tidak memiliki akhir dalam peningkatan dan keindahannya. Orang-orang pada tahapan ini, dalam hati mereka tidak terdapat apa pun selain kecintaan pada Allah dan Rasul-Nya, dan pada mereka yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Pada tahap ini, jiwa yang sempurna menjadi cermin bagi hakikat cahaya kerasulan jiwa Muhammadan, sehingga ia mencapai sifat-sifat kecintaan dan penghambaan yang sempurna. Pada tahap ini jiwa menikmati cahaya-cahaya manifestasi sifat-sifat dan hakikat Allah (tajalliyat ash-shifat wa adz-dzat al-Illahiyyah), sehingga ia bergerak dalam cahaya kebahagiaan dalam semua kedudukan dan tahapannya. Ia adalah jiwa malaikat cahaya yang berada dalam tubuh manusia. Ia tak lagi egois; ia tak memiliki pilihan, dan jika ia diberi pilihan, maka ia akan memilih hanya yang dicintai dan disukai Allah. Jika ditanya, apakah ia merasa memperoleh karunia atau dijauhkan darinya, maka ia tidak akan tahu, karena cinta telah menguasainya dan sehingga, ia telah secara total tidak dikuasai oleh sebab-sebab. Ia terhinakan melalui cinta (hubb), kekaguman (walah), dan hasrat (isyq), menuju cahaya keindahan hakikat Tuhan pemilik sebab-sebab, yang merupakan Kecintaannya dan Pelindungnya. Orang-orang pada tahap ini adalah orang-orang yang menjadi Kecintaan dan Hasrat Tuhan. Mereka adalah orang-orang yang mengikuti jejak sejati Muhammad saw.

Mereka sibuk dengan kecintaan dan ibadah kepada Kebenaran Sejati, dan tidak tertarik kepada makhluk kecuali untuk memenuhi kewajiban mereka. Dan karena mereka telah menjadi cermin bagi cahaya Muhammadan, dengan kokoh mereka selalu dalam Lingkupan Kenabian. Segala gerak, diam, perkataan, dan perbuatan mereka adalah dari Allah, melalui Allah, dan menuju Allah. Seluruh hati mereka mengikuti Manusia Terkasih dan Terpilih, Shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam, karena mereka telah mengetahui melalui Allah bahwa dia (Nabi) adalah kekasih pertama, cahaya yang pertama yang bersujud, menyembah, dan menghamba kepada-Nya. Barangsiapa dari para pecinta yang mematuhi, mencintai, dan meneladaninya dalam sifat, perbuatan, dan ibadahnya, akan memperoleh kecintaan Allah.

Orang-orang seperti ini adalah hamba-hamba yang telah dibawa mendekat (muqarrabun) dan telah dipilih, dan telah mencapai kepastian bahwa kewajiban mereka yang pertama setelah penghambaan adalah mencintai Allah dan Rasul-Nya. Ini dilakukan dengan tetap mematuhi hukum dan menjunjung tinggi agamanya. Mereka adalah para pemuka dalam pengetahuan agama dan mereka merupakan cahaya kearifan di dalam Kebenaran. Melalui cahaya di dalam hati mereka, manusia lain yang ada di sekitar mereka menjadi tersinari, dan berkat zikir-zikir merekalah, pengampunan diturunkan. Mereka telah memiliki segala yang mereka inginkan, dan mereka hanya menghendaki kecintaan Allah dan Rasul-Nya. Mereka tidak mencari dunia ini, tak pula mereka dikuasai oleh dunia yang selanjutnya. Segala perhatian mereka adalah untuk mencapai kedekatan dengan Allah, untuk mendengar dari-Nya, selalu berdekatan dengan-Nya, karena mereka menganggap bahwa sedetik saja perpisahan dari-Nya adalah siksaan yang lebih pedih daripada neraka. “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa kepada Tuhan itu berada di dalam taman-taman dan sungai-sungai, di tempat kebenaran, dalam kehadiran Tuhan Yang Mahakuasa” (QS. al-Qamar [54]: 55).[]

Dialihbahasakan oleh Anna Farida dari “The Attributes and Names of the Ranks and Stations of the Nafs in its Striving and Elevation.”

Monday, August 25, 2008

Sepercik ilmu logika ijtihad

LOGIKA IJITIHAD: Definisi dan perkembangannya dalam khazanah pemikiran islam

Ditulis oleh Saleh Lapadi di/pada Mac 31, 2007

LOGIKA IJITIHAD:

Definisi dan perkembangannya dalam khazanah pemikiran islam

Saleh Lapadi

Berbicara mengenai ijtihad memang menarik. Ijtihad salah satu sumber inspirasi guna memacu islam menyesuaikan dirinya dengan percepatan zaman. Tanpa ijtihad sama artinya mengembalikan kehidupan era millenium ini sesuai dengan seribu empat ratus tahun lalu. Mungkin umat islam perlu memikirkan unta (lagi) sebagai ganti mobil dan kereta api selain sebagai alat transport yang ramah lingkungan juga sesuai dengan sunnah nabi yang senantiasa hilir mudik dengannya[1].

Ijtihad juga merupakan satu kata kunci guna dapat memahami islam. Mengingat proses ijtihad membutuhkan kemampuan komprehensif seorang pemikir islam (baca: mujtahid) atas ilmu-ilmu islam dan tentunya ilmu-ilmu lain dan metodologi yang memiliki kaitan erat dalam proses penyimpulan sebuah hukum syareat.

Sayangnya, usaha memperbaharui pemahaman islam (dengan tanpa melupakan usaha yang telah dilakukan) kemudian menjadi terbalik. Dengan slogan yang sama yaitu meneruskan tradisi ijtihad dengan penguasaan yang baik terhadap ilmu-ilmu dan metodologi yang berkembang sekarang namun dengan kemampuan ilmu-ilmu islam yang tidak sebanding. Fenomena ini memang berbanding terbalik dengan mayoritas ulama sebelumnya yang minim akan ilmu-ilmu dan metodologi yang dapat mendongkrak kualitas hasil penyimpulan hukumnya. Walaupun hal ini masih ditolerir mengingat perkembangan metodologi di dunia barat lebih dahulu terjadi.

Kondisi ini semakin diperburuk dengan kurangnya informasi seorang pemikir islam mengenai aliran-aliran pemikiran dalam islam. Tarik saja dari masalah ushuluddin hingga furu’uddin. Ini sering tidak menjadi fokus perhatian mereka yang ingin mengkaji sesuatu dan akan mengatasnamakan kajiannya sebagai pandangan islam. Katakanlah bahwa pemetaan perbedaan pemikiran telah dilakukan, hal yang masih harus dipertanyakan adalah informasi perbedaan tersebut lebih sering bukan dari sumber-sumber pertama. Selain secara ilmiah hal masih perlu dipertanyakan, akan semakin ruwet lagi bila penukilan tersebut jatuh ke tangan mereka yang membenci pemikiran lain[2].

Akhirnya, alih-alih ijtihad membawa cakrawala baru bahkan menambah pekerjaan rumah yang telah menumpuk. Kenyataan ini menuntut sebuah langkah serius untuk membenahi dan menata kembali pranata ijtihad. Banyak sekali pertanyaan yang berkaitan dengan ijtihad yang selama ini jangankan dikaji dilirik pun tidak pernah. Sebagai contoh, apakah Allah memiliki hukum-hukum selain yang termaktub di al-Quran dan hadis? Bila jawabannya adalah “tidak” maka ketika seorang pemikir islam menyampaikan sebuah hukum sebagai hasil dari ijtihadnya, apa esensi hukum yang dihasilkannya? Apakah setara dengan al-Quran dan hadis ataukah tidak ? Seberapa besar kebenaran yang dikandungnya? Dengan kata lain, proses ijtihad dan hasilnya lebih memiliki sosok manusiawi dari pada ilahi, hukum yang dihasilkan memang tidak punya kaitan dengan Allah, dan lain-lain. Bila jawabannya adalah ‘iya’ proses yang dilakukan dalam ijtihad adalah menyingkap hukum Allah. Pertanyaannya adalah seberapa jauh urgensi seorang pemikir islam harus melakukan ijtihad? Hukum yang dihasilkannya, karena tidak termaktub dalam al-Quran dan hadis, disebut apa? Apa esensinya? Di sini proses ijtihad tidak murni manusiawi karena kesimpulan akhir yang ingin diraih adalah menyingkap hukum Allah. Dan masih banyak lagi pertanyaan seputar ijtihad yang belum digali.

Ijtihad sendiri dalam perkembangan maknanya tidaklah sesederhana yang dibayangkan selama ini. Kata ijtihad sendiri pernah menjadi biang sengketa yang sempat membuat Syiah tidak memakai kata ini. Hal itu karena Ahli Sunah menggunakannya dengan sebuah pemaknaan khusus. Para Imam Syiah dalam banyak hadis mengisyaratkan bahwa ijtihad yang dilakukan oleh ulama Ahli Sunah adalah batil. Hal itu diikuti oleh ulama Syiah dengan menulis buku-buku yang intinya menolak ijtihad. Artinya, ijtihad sempat mendapat penilaian miring.

Ijtihad untuk kedua kalinya, dalam Syiah, mendapat kritikan-kritikan tajam oleh ulama yang mengatasnamakan dirinya Akhbariyun berhadap-hadapan dengan Ushuliyun[3]. Ahli Sunah yang sebelumnya adalah lokomotif gerbong gerakan ijtihad harus menelan pil pahit dengan tertutupnya pintu ijtihad.

Definisi ijtihad

Sebagaimana kata-kata kunci lainnya dalam islam, ijtihad adalah bahasa Arab yang diadopsi ke dalam bahasa Indonesia. Sekalipun kamus-kamus bahasa Indonesia telah memaknainya namun hal itu tidak cukup untuk menjelaskan hakikat ijtihad itu sendiri. Perlu kajian khusus berkenaan dengannya guna menemukan arti yang sesungguhnya yang pada gilirannya kajian seputar ijtihad tidak lagi mengambang. Mengapa? Hal itu tidak lain dikarenakan beberapa pertanyaan sekaitan dengan ijtihad dengan sendirinya akan ditemukan jawabannya setelah maknanya menjadi jelas.

Kata ijtihad dalam bahasa Arab mengambil bentuk masdar tsulatsi mazid[4]. Bila dikembalikan ke bentuk aslinya yang hanya memiliki tiga huruf ia menjadi jahada dan bentuk masdarnya ada dua; jahdun dan juhdun. Para ahli bahasa terbagi dalam pemaknaan dua kata ini. Ada yang menganggap keduanya memiliki satu arti sedangkan yang lainya meyakini masing-masing memiliki arti sendiri-sendiri.

Jauhari menuliskan: “Al-Jahdu dan al-Juhdu kedua-duanya memiliki arti kemampuan, oleh karenanya pada surat Taubah ayat 79 dapat dibaca kedua-duanya, Walladzina laa yajiduna illa jahdahum atau juhdahum [5].

Sementara Ahmad Fayyumi dalam kamusnya membedakan antara al-Jahdu dan al-Juhdu. Ia menuliskan: “Al-Juhd adalah kata yang dipakai oleh orang-orang Hijaz sementara kata al-Jahd dipakai oleh selain Arab Hijaz. Al-Jahd memiliki arti mengerahkan segenap kemampuan. Sementara kata al-Juhd mengandung makna kesulitan[6].

Mencermati arti yang disampaikan para ahli bahasa terlihat ada perbedaan dalam memaknai akar kata ijtihad. Namun bila diteliti lebih dalam lagi sebenarnya tidak ada perbedaan di sana. Kata al-Jahdu yang memiliki arti mengerahkan segenap kemampuan tidak akan pernah dilakukan oleh seseorang bila tidak menemui sebuah kesulitan. Artinya kedua kata ini saling melengkapi. Setiap kesulitan akan dihadapi dengan segenap kekuatan yang dimiliki sebagaimana segenap kekuatan hanya akan dikeluarkan bila menghadapi kesulitan.

Raghib Al Isfahani dengan indah mengartikan kata ijtihad dengan menggabungkan dua unsur tersebut. Beliau menuliskan, ‘Wa Al Ijtihadu Akhdzun Nafsi Bi Badzlit Thoqoti Wa Tahammuli Al Masyaqqoh’ (Ijtihad adalah suatu usaha yang dilakukan oleh seseorang dengan segala kemampuan yang dimiliki dan menanggung semua kesulitan yang ada)[7].

Ijtihad dalam riwayat

Pada bab ‘Kaifa As Sholah ‘Alan Nabiyi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam’ An-Nasa’i meriwayatkan bahwa Zaid bin Kharijah berkata: “Aku mendengar Rasulullah berkata, Ucapakanlah shalawat kepadaku, berusahalah dengan sungguh-sungguh untuk berdoa dan katakan, Allohumma Sholli ‘Ala Muhammad Wa Ali Muhammad”’[8].

Imam Ali as berkata: “Alhamdulillahi alladzi laa yablughu midhatahu alqooilun, … wa laa yuaddi haqqohu almujtahidun, …” (segala puji bagi Allah, tidak akan pernah mampu orang memujiNya dengan sebenar-benar pujian, …, dan usaha sebesar apapun yang dilakukan oleh orang-orang yang berusaha tidak akan pernah setara dengan hak yang dimilikinya atas hambaNya[9].

Tsiqotul Islam Kulaini membawakan sebuah hadis dari Imam Shadiq as pada bab “Haq Al Mukmin ‘Ala Akhiihi Wa Ada’u Haqqihi” (hak seorang mukmin atas saudara mukminnya dan menunaikan haknya) yang berbunyi: “Al muslimu akhu al muslimi laa yuzlimuhu wa laa yakhdzuluhu wa laa yakhunuhu wa yahiqqu ‘ala al muslimina al ijtihadu fi at tawasshuli wa at ta’awuni’ala at ta’atufi wa almusawati li ahli al hajati” (sesama muslim diikat oleh tali persaudaraan, ia tidak menganiaya saudaranya, tidak membiarkannya, tidak mengkhianatinya. Seyogianya seorang muslim berusaha sungguh-sungguh untuk menyambung silaturahmi dengan saudaranya, saling membantu, saling menyayangi, bersama-sama mengulurkan tangan membantu orang yang membutuhkan pertolongan)[10].

Aisyah ra istri Nabi sempat mengomentari perilaku Rasulullah ketika memasuki bulan Ramadhan. Ibnu Majah menukilkan dari Aisyah ra: “Nabi senantiasa berusaha lebih giat dan bersungguh-sungguh dalam beribadah ketika memasuki hari-hari kesepuluh terakhir dari bulan Ramadhan berbeda dengan hari-hari selainnya”[11].

Riwayat-riwayat di atas menegaskan pemakaian kata ijtihad oleh Nabi dan yang lainnya sesuai dengan makna yang dituliskan oleh para pakar bahasa Arab.

Terminologi ijtihad dalam islam

Pakar-pakar bahasa Arab dengan gamblang menjelaskan arti kata ijtihad dalam kamus-kamus mereka. Sementara untuk menjelaskan terminologi ijtihad dalam islam ada sedikit masalah. Hal itu dikarenakan kata ijtihad dalam perkembangan maknanya tidak sebagaimana yang dibayangkan selama ini karena ia mengalami dua fase pemaknaan. Dua bentuk pemaknaan kata ijtihad inilah yang sempat menjadi titik api mengapa Syiah menolak ijtihad.

1. Ijtihad dengan makna khusus

Mendefinisikan ijtihad dengan makna khusus bukanlah hal yang mudah. Hal itu lebih disebabkan karena ulama Ahli Sunah ketika mencoba mendefinisikannya tidak dengan ungkapan yang satu tapi berbeda-beda.

Muhammad bin Idris as-Syafi’i ra adalah orang pertama yang berusaha mendefinisikan kata ijtihad dalam bukunya ar-Risalah[12]. Bahkan satu-satunya dari empat mazhab Ahli Sunah yang memiliki peninggalan buku-buku fiqih dan ushul fiqih. Beliau dalam ar-Risalahnya ada bab yang judulnya Qiyas, Ijtihad, Istihsan dan Ikhtilaf. Pada bab Qiyas ditanyakan: “Apa itu qiyas, apakah Qiyas sama dengan ijtihad ataukah keduanya adalah kata yang memiliki arti berbeda?” Aku (Syafi’i) menjawab: “Kedua adalah dua kata untuk satu makna”[13].

Menjadi orang pertama yang mendefinisikan kata ijtihad tidak berarti Imam Syafi’i menjadi orang pertama yang mempergunakan qiyas. Abu Hanifah, sebagai penggagas mazhab Hanafiyah, yang memopulerkan penggunaan qiyas. Hal itu dapat dimaklumi mengingat mazhab yang dikembangkannya disebut dengan madrasah ra’yu.

Ensiklopedia fiqih islam yang dikenal dengan nama Mausu’ah Fiqh Jamal Abdun Naser’(Ensiklopedia Fiqih Jamal Abdun Naser), pada pasal Anwa’ Ijtihad (bentuk-bentuk ijtihad), setelah menjelaskan makna ijtihad dalam arti yang umum, memerikan apa arti ijtihad khusus. Disebutkan: “Kedua, ijtihad lewat pemikiran pribadi. Ijtihad yang dilakukan ketika tidak ditemukan teks-teks Al-Quran dan hadis juga tidak ada ijma’ berkenaan dengan sebuah masalah. Demikian pula mencakup proses penyimpulan sebuah hukum syar’i dengan memakai kaedah-kaedah umum syareat. Ijtihad yang semacam ini disebut Ijtihad Ra’yu”[14].

Muhammad Salam Madkur menggambarkan sikap para sahabat sekaitan dengan masalah ijtihad tidak hanya melakukan qiyas tapi juga mencakup Ijtihad Ra’yu, Mashalih Mursalah dan Istihsan. Beliau menulis: “Ijtihad para sahabat Nabi ada tiga bentuk. Pertama, penjelasan teks-teks syar’i dan penafsirannya. Kedua, mengqiyaskan masalah dengan teks-teks syar’i dan ijma’. Ketiga, Ijtihad Ra’yu, Mashalih Mursalah, Istihsan. Kelompok ketiga inilah yang sering dilakukan oleh para sahabat”[15].

Hadis dari Mu’adz Bin Jabal ra berkenaan dengan pengutusannya ke Yaman sangat jelas bagaimana ia berijtihad dengan ra’yu-nya. Dalam dialognya dengan Rasulullah saw yang ditulis oleh ad-Darimi dalam Sunannya menyebutkan: “Rasulullah bertanya kepada Mu’adz, Bila ada masalah yang menuntutmu menyelesaikannya bagaimana engkau akan menyelesaikannya?” “Aku akan menyelesaikannya dengan berpegangan pada Kitab Allah”, jawabnya. Rasulullah saw kembali bertanya: “Seandainya masalah yang engkau selesaikan tidak terdapat dalam Kitab Allah apa yang kau perbuat?” “Aku akan berpegangan dengan sunnah Rasulullah”, kembali Mu’adz menjawab. “Bila masalahnya tidak kau temukan dalam Kitab Allah dan sunnah RasulNya?”, tanya Nabi. Mu’adz menjawab: “Ajtahidu bira’yi” (aku akan berijtihad dengan pikiranku sendiri)…[16].

Syahid Shadr dengan lugas menangkap kenyataan ini dan menjelaskan: “… Madrasah fiqih Ahli Sunah memiliki kaidah berdasarkan ijtihad sebagai berikut: “Seorang fakih (ahli fiqih) bila hendak menyimpulkan sebuah hukum syar’i dan kemudian ia tidak mendapatkannya pada Al-Quran atau sunnah Nabi ia akan mengambil sikap ijtihad sebagai ganti dari teks-teks agama tersebut”.

Ijtihad di sini berarti pemikiran pribadi. Seorang fakih yang tidak menemukan teks-teks agama beralih pada pemikiran pribadi yang menuntunnya membuat hukum syar’i. Ijtihad seperti ini disebut Ijtihad Ra’yu.

Ijtihad dengan makna seperti ini menjadi salah satu argumentasi seorang fakih bahkan salah satu dari sumber hukum syar’i. Sebagaimana seorang fakih berpegangan pada kitab atau sunah dan berargumentasi dengan keduanya ia berpegangan dengan pendapat dan pikiran pribadinya ketika tidak menemukan dalil dari keduanya’[17].

Analisa ijtihad makna khusus

Di antara para sahabat Nabi yang berada dalam baris terdepan menggunakan kata ijtihad dengan makna khusus ini adalah khalifah kedua Umar bin Khattab ra. Sementara di kalangan tabi’in Rabi’ah bin Abdur Rahman dan Abu Hanifah dari kalangan tabi’ tabi’in. Bahkan Abu Hanifah dengan tegas menjadikan ra’yu sebagai ciri khas mazhabnya[18].

Dalam sejarah perkembangan kata ijtihad makna khusus ada tiga bentuk penafsiran. Pertama, sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya. Ijtihad menjadi sumber hukum syar’i setelah al-Quran dan Sunah[19]. Kedua, Ijtihad makna khusus berada setara dengan al-Quran dan Sunah[20]. Ketiga, Ijtihad terkadang lebih didahulukan dari al-Quran dan Sunah[21].

Konsep ijtihad makna khusus yang diamalkan oleh Ahli Sunah dan lebih khususnya para sahabat merupakan sebuah keharusan sejarah. Sunah dalam konsep Ahli Sunah terbatas pada Nabi Muhammad saw. Hal ini membuat mereka harus segera mencari sumber lain selain dua sumber asli. Hal ini berbeda dengan Syiah yang meyakini konsep Imamah menganggap sunah berlanjut hingga 12 Imam. Berdasarkan kenyataan bahwa sunah hanya terbatas pada Nabi, membuat Ahli Sunah harus mengambil sikap ini. Hal ini kemudian ditambah dengan perluasan wilayah islam menambah kerumitan tersendiri bagaimana islam, dengan berpegangan hanya dengan Al-Quran dan Sunah, harus menyelesaikan masalah-masalah yang baru muncul. Dan satu faktor lain yang tidak boleh dilupakan adalah bagaimana menyimpulkan sebuah hukum dari dua sumber asli untuk menyelesaikan problem yang ada. Dengan kata lain, pada masa itu ilmu ushul belum ada. Metode penyimpulan hukum dari dua sumber asli belum terpikirkan oleh para sahabat.

Sumber hukum yang terbatas[22] dan konsep yang belum ada ditambah perluasan wilayah dan permasalahannya adalah faktor asli yang membuat para sahabat mengambil sikap ijtihad.

Hadis Mu’adz bin Jabal yang berisikan dialognya dengan Nabi ketika hendak diutus ke Yaman merupakan salah satu dalil kunci pemaknaan ini. Jawaban terakhirnya berkenaan dengan ijtihad ra’yunya mendapat pujian dari Nabi. Pujian inilah yang memberikan kekuatan hadis ini sebagai dasar bagi kata ijtihad. Untuk itu perlu sedikit kajian berkenaan dengan sanad hadis ini.

Dalam buku ‘Aunul Ma’bud disebutkan:

“Hadis ini oleh Al-Juzqani dikelompokkan dalam hadis maudhu’ (hadis yang dibuat-buat). Al-Juzqani berkata: “Hadis ini batil karena diriwayatkan oleh sekelompok perawi dari Syu’bah. Sementara hadis ini dinukil dalam perari-perawi baik besar maupun kecil. Aku bertanya kepada setiap muhaddis yang meriwayatkan hadis ini namun tidak kutemui jalur lain selain yang diriwayatkan oleh Syu’bah”.

Al-Harits bin Amr bin Akhil Mughirah bin Syu’bah seorang pribadi yang majhul, tidak diketahui latar belakangnya. Para sahabat Mu’adz yang ahli Hims tidak mengenalnya. Sanad yang seperti ini tidak dapat dijadikan pegangan dalam asli syareat. Bila dikatakan: “Mayoritas ahli fiqih meriwayatkan dan berpegangan dengan hadis Mu’adz”. Jawabannya adalah jalur hadis ini demikian adanya. Khalaf dalam hal ini telah mengikuti Salaf. Seandainya mereka menunjukkan jalur lain bagi hadis ini yang dapat diterima oleh ahli hadis, niscaya pandangan kami akan berubah mengikutinya. Namun, sayangnya, hal itu tidak mungkin terjadi[23].”

Ibnu Hazm Al-Andalusi pada beberapa tempat menyebutkan hadis ini sambil menegaskan batilnya hadis Mu’adz. Ibnu Hazm berkata:

“Hadis ini tak dapat dijadikan dalil. Tidak ditemukan seorang pun yang meriwayatkannya selain dari jalur ini. Tidak dapat dijadikannya hadis ini sebagai dalil lebih kembali kepada sekelompok orang yang meriwayatkan hadis ini. Mereka kelompok yang tidak dikenal dan tidak pernah disebut. Setiap perawi yang tidak dikenal riwayatnya tidak dapat dijadikan sebuah dalil. Dalam hadis tersebut ada seorang perawi yang bernama Al-Harits bin Amr. Seorang perawi yang tidak dikenal siapa dia (majhul). Hadis Mua’dz tidak pernah diriwayatkan selain dari jalur Al-Harits bin Amr[24].”

Di sebagian tempat Ibnu Hazm menukil dari Bukhari bahwa ia berkata: “Al-Harits tidak pernah dikenal kecuali dari jalur hadis Mu’adz dan ini tidak sahih’”[25].

Komentar-komentar ulama di atas membuat sulit untuk meyakini kebenaran hadis Mu’adz sebagai pembenaran makna ijtihad yang diinginkan oleh Ahli Sunah. Namun pun demikian, tidak dapat disandarkan makna ijtihad lewat hadis Mu’adz tidak membuat makna yang diinginkan tidak lagi dipakai. Ijtihad makna khusus adalah sudah merupakan fenomena yang diterima luas di kalangan Ahli Sunah dengan atau tanpa hadis Mu’adz. Yang dapat dibuktikan adalah makna yang diinginkan tidak lagi dapat disandarkan dengan hadis Mu’adz.

Kembali pada masalah ijtihad dengan makna khusus (ra’yu). Dalam perkembangannya, pada masa hidupnya para Imam empat mazhab belum menemukan formula baku. Hal itu dengan melihat cara mereka mengartikan kata ijtihad itu sendiri. Ditemukan adanya perbedaan mengenai apa yang dimaksud dengan ijtihad. Imam Syafi’i dengan tegas menyebutkan bahwa ijtihad adalah qiyas itu sendiri. Sementara yang lainnya menyebutkan istihsan atau mashalih mursalah. Jelas, bahwa qiyas bukan ijtihad begitu juga istihsan dan mashalih mursalah. Namun ketiganya adalah metode yang dipakai dalam berijtihad untuk menyimpulkan sebuah hukum.

Perbedaan yang ada dalam mengartikan kata ijtihad membuka sebuah peluang untuk menafsirkan kata ijtihad pada generasi awal islam (sahabat). Ijtihad yang dipakai generasi awal tidak jelas apa maksudnya dan terlepas dari pemaknaan positif dan tidak ada kaitannya dengan mazhab. Oleh karenanya, metode yang dipakai bukanlah qiyas yang dibangun oleh para Imam Mazhab. Ijtihad yang dipakai oleh para sahabat adalah bentuk qiyas yang masih sederhana dengan memakai tolok ukur maslahat. Maslahat pun tidak mendapat bingkai yang jelas. Bisa jadi maslahat kaum muslimin, Arab, kabilah atau pribadi.

Seiring dengan berlalunya waktu, kata ijtihad mulai mendapat batasan-batasan tertentu hingga akhirnya mengambil bentuknya yang baku. Itulah mengapa untuk membakukan makna ijtihad Syafi’i menyebutnya qiyas. Sementara yang lain istihsan atau mashalih mursalah[26].

Setelah jelas bahwa prinsip ijtihad yang dikembangkan oleh para sahabat yang kemudian disempurnakan oleh para imam mazhab muncul karena sebuah keharusan sejarah. Sumber hukum yang terbatas, belum adanya konsep dan permasalahan yang muncul akibat perluasan wilayah adalah alasan mengapa harus ijtihad makna khusus. Ijtihad yang dikembangkan juga masih dalam bentuk yang sederhana yang kemudian mengalami penyempurnaan pada masa imam mazhab. Di sisi lain, hadis Mu’adz tidak dapat menjustifikasi makna yang diinginkan Ahli Sunah bagi ijtihad. Perlu kiranya mendudukan prinsip yang dikembangkan ini dalam sebuah perspektif yang lebih luas dan dampaknya bagi islam.

Untuk memulai kajian yang lebih luas, berkaitan dengan ijtihad makna khusus, ada baiknya kalau kembali melihat pikiran inti dari ijtihad makna khusus ini. Pikiran tersebut, dengan menukil ucapan Syahid Shadr, sebagai berikut:

“Seorang fakih (ahli fiqih) bila hendak menyimpulkan sebuah hukum syar’i dan kemudian ia tidak mendapatkannya pada Al-Quran atau Sunnah Nabi ia akan mengambil sikap ijtihad sebagai ganti dari teks-teks agama tersebut.

Ijtihad di sini berarti pemikiran pribadi. Seorang fakih yang tidak menemukan teks-teks agama beralih pada pemikiran pribadi yang menuntunnya membuat hukum syar’i. Ijtihad seperti ini disebut Ijtihad Ra’yu.

Ijtihad dengan makna seperti ini menjadi salah satu argumentasi seorang fakih bahkan salah satu dari sumber hukum syar’i. Sebagaimana seorang fakih berpegangan pada kitab atau sunah dan berargumentasi dengan keduanya ia berpegangan dengan pendapat dan pikiran pribadinya ketika tidak menemukan dalil dari keduanya[27].”

Seandainya dicoba membandingkan proses munculnya sebuah hukum yang dihasilkan oleh seorang fakih lewat ijtihad didapatkan kesamaan dengan proses munculnya sebuah hukum yang tertera dalam al-Quran atau hadis Nabi. Ilustrasinya demikian, pada al-Quran, Allah adalah sang pembuat hukum. Al-Quran adalah sumbernya sementara teks yang tertera adalah dalil yang menunjukkan adanya sebuah hukum. Pada hadis, Nabi, dengan ijin Allah[28], adalah pembuat hukum. Hadis adalah sumbernya sementara teks hadis adalah dalil yang menunjukkan adanya sebuah hukum. Pada proses ijtihad, Mujtahid[29] adalah pembuat hukum (setelah mencari dan tidak menemukan pada dua sumber asli). Fatwa mujtahid adalah sumber hukum sementara teks fatwa adalah dalil yang menunjukkan adanya sebuah hukum.

Dengan berpegangan pada ilustrasi di atas, mendudukkan seorang mujtahid setara dengan Nabi, sebagai pembuat hukum ilahi, memerlukan argumentasi yang lebih kuat dari sekedar dalil yang menyebutkan bahwa seorang mujtahid bila benar mendapat dua pahala sedangkan bila salah mendapat satu pahala. Dalil yang diperlukan harus qat’i, jelas, kuat dan disepakati kaum muslimin. Mengingat Nabi sendiri harus mendapat mandat untuk dapat melakukan tugas berat tersebut agar hukum yang keluar darinya tidak dipandang sebagai produk pribadi yang lebih sering dipengaruhi faktor-faktor emosi dan lingkungan[30]. Satu hal yang tidak boleh dilupakan, bila ingin produk hukum yang dibuat akan diberi stempel ilahi. Nabi sendiri selaku pribadi yang mempunyai hak membuat undang-undang (hukum ilahi), oleh kaum muslimin, tidak pernah diposisikan sama dengan Allah.

Lebih dari itu, Mendudukkan seorang mujtahid setara dengan Allah sebagai pembuat hukum ilahi adalah sangat sulit diterima. Ayat Al-Quran menyebutkan: “Inil Hukmu Illaa Lillaah”. Hukum hanyalah milik Allah. Tanpa mengajukan argumentasi kuat lewat Al-Quran posisi mujtahid sebagai pembuat hukum setara dengan Allah hanya sebuah dakwaan belaka. Dan, bagaimana mungkin teori yang sulit dipertanggungjawabkan seperti ini menjadi prinsip mazhab Ahli Sunah. Sebuah prinsip yang tidak hanya sulit di kalangan ahli fiqih dan ushul namun juga pada tataran teologi. Allah adalah Esa sampai pada tataran pembuatan hukum (tauhid fi tasyri’).

Pada sisi yang lain, terlihat bahwa ahlus sunah dengan penjelasan di atas mengalami kerancuan dalam usaha membedakan antara khitab (teks ) dan hukum. Hukum Allah berkaitan dengan ilmu-Nya. Sementara ayat-ayat yang berada dalam Al-Quran adalah teks-teks yang menunjukkan adanya hukum Allah. Hukum Allah tidak selamanya tertera dalam al-Quran. Hukum Allah terkadang mengambil bentuk sebagai teks-teks Al-Quran, terkadang berbentuk hadis qudsi, hadis-hadis yang diucapkan Nabi perbuatan atau taqrirnya. Hukum Allah terkadang tersembunyi pada sebuah teks umum yang kemudian dipersempit oleh hadis atau akal atau yang lainnya[31].

Dengan penjelasan di atas, Hukum Allah terkadang diketahui oleh mujtahid sejauh eksplorasinya terhadap sumber-sumber hukum syar’i, terkadang ia tidak mengetahuinya. Tidak seorang pun yang dapat mendakwa bahwa ia mengetahui semua hukum Allah tanpa terkecuali. Hukum Allah terkait erat dengan ilmu dan iradah-Nya. Oleh karenanya, ketika disebutkan seorang mujtahid tidak menemukan hukum Allah sebenarnya ia tidak menemukan teks yang langsung berkaitan dengan masalah yang dihadapinya. Tidak menemukan teks tidak langsung berarti tidak menemukan hukum. Sebuah perbedaan yang sangat besar.

Sekarang masuk pada permasalahan yang lebih besar dan lebih penting dan itu berkaitan dengan hukum Allah. Hukum Allah sebagaimana yang diyakini kaum muslimin adalah universal. Hukum Allah kekal dan mampu menjawab semua tantangan zaman. Keduanya dakwaan yang disepakati oleh kaum muslimin. Hukum Allah kekal sesuai dengan janji Allah akan kekekalan al-Quran. Sementara hukum islam mampu menjawab tantangan zaman sampai saat masih memiliki ujian bahkan semakin berat. Argumentasi terkait dengan dakwaan ini kembali kepada Zat Allah sendiri. Allah swt adalah Zat Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana. Sesuai dengan sifat yang dimilikiNya hukum yang dipersiapkan tentunya adalah hukum yang sempurna sesuai dengan kesempurnanNya. Dengan dasar ini, tidak ada satu fenomena apapun yang terjadi di dunia ini tanpa hukum Allah[32]. Sekali lagi, bedakan antara teks dan hukum.

Ahli Sunah dengan mengatakan bahwa ketika seorang mujtahid tidak menemukan hukum maka ia berijtihad. Tanpa disadari ada sebuah bentuk pengakuan bahwa hukum Allah tidak sempurna. Hukum Allah tidak mencakup masalah-masalah yang tidak terdapat dalam Al-Quran dan hadis. Sederhana, namun memiliki konsekuensi yang sangat berat. Meyakini bahwa hukum Allah tidak sempurna dengan sendirinya kebijakan dan pengetahuan Allah dipertanyakan. Ketidaksempurnaan hukum Allah, oleh Ahli Sunah, bagaimanapun juga harus diisi untuk tetap memberikan kesan kemampuan syariat islam menjawab tantangan zaman. Sayangnya, kemampuan tersebut tidak diseimbangkan dengan menempa sistem yang lebih baik dalam menyimpulkan hukum syar’i. Lebih dari itu, Ahli Sunah mencoba memberikan porsi yang lebih kepada para mujtahid berkreasi memproduksi hukum syar’i.

Keyakinan akan ketidaksempurnaan hukum Allah harus dibayar mahal oleh Ahli Sunah. Mereka terpaksa memperbolehkan mujtahid ikut campur tangan mengisi “Ruang Kosong” yang ditinggalkan oleh Allah. Kesempurnaan hukum Allah akan menjadi bermakna dengan tambahan hukum yang diproduksi oleh sang mujtahid, siapa saja.

Para Imam Syiah dengan lantang menyampaikan ketidaksetujuan mereka berkenaan dengan pandangan yang seperti ini:

1. Dari Imam Shadiq as diriwayatkan: “Sesungguhnya Allah swt telah menurunkan di dalam al-Quran penjelas segala sesuatu dan Allah tidak meninggalkan sesuatu pun yang dibutuhkan oleh seorang hamba sehingga ia tak dapat berkata: “Alangkah baiknya bila hal ini diturunkan Allah dalam al-Quran”. Allah telah menurunkan semua yang dibutuhkan hambanya”[33].

2. Riwayat dari Imam Shadiq as: ”Tidak ada sesuatu yang tidak terdapat dalam al-Quran atau sunah”[34].

3. Abu Bashir bertanya kepada Imam Shadiq as: “Kami menemukan beberapa masalah yang hukumnya tidak kami dapatkan baik di dalam al-Quran maupun sunah Nabi. Bolehkah kami berpendapat sesuai dengan pandangan pribadi kami? Imam menjawab: “Tidak. Ketahuilah, pendapat pribadimu sesuai dengan kebenaran engkau tidak akan mendapat pahala karenanya. Dan, agar pendapat pribadimu tidak benar, engkau telah berdusta atas nama Allah”[35].

Ketidaksetujuan ini sebenarnya tidak hanya dari mazhab Syiah Imamiyah, namun mendapat reaksi yang cukup keras dari tubuh Ahli Sunah sendiri. Hal itu ditandai dengan munculnya mazhab Zhohiri, pada pertengahan abad ke tiga hijriah, yang dipelopori oleh Daud bin Ali bin Khalaf Al Ishbahani. Ia menyerukan untuk beramal sesuai dengan apa yang tertera dalam al-Quran dan Sunah Nabi tidak lebih. Ini jelas sangat bertentangan dengan pendapat di atas yang lebih menekankan peran pendapat pribadi manusia setara dengan hukum Allah.

Ulama Syiah dan sebagian sahabat para Imam as menulis buku yang isinya menolak ijtihad dengan makna khusus. Berikut ini sebagian nama dan tulisannya:

1. Abdullah bin Abdur Rahman az Zubairi, Al-Istifadah fi At Thu’un ‘ala Al-Awail wa Ar Raddu ‘ala ashabil ijtihad wa Al-Qiyas (… dan menolak pengikut ijtihad dan qiyas).

2. Hilal bin Ibrahim bin Abi Al-Fath Al-Madani, Ar Raddu ‘ala Man Radda Atsar Ar Rasul wa ‘Itamada ‘ala Nataiji Al-‘Uqul (Menolak siapa yang menolak hadis-hadis Rasul dan berpegangan dengan kesimpulan-kesimpulan akal).

3. Ismail bin Ali bin Ishaq bin Abi Sahl An-Naubakhti, Ar Raddu ‘ala ‘Isa bin Aban Fi Al-Ijtihad (Menolak Isa bin Aban dalam masalah ijtihad).

4. Syaikh Shaduq ra dalam bukunya Al Muqni’ah menuliskan: “Sesungguhnya Musa as, dengan segala kesempurnaan akal, keutamaan dan kedekatannya di sisi Allah, tidak mengetahui dengan argumentasi yang dimilikinya apa arti perilaku Khidir as sehingga ia rancu menghukuminya. Bila tidak diperbolehkan seorang Nabi dan Rasul Allah untuk melakukan qiyas maka sudah barang tentu orang-orang selainnya lebih patut untuk tidak melakukan itu …”.

5. Syaikh Mufid, An-Naqdhu ‘ala Ibnil Junaid fi Ijtihadi Ar Ra’yu (mengkritik Ibnul Junaid dalam masalah ijtihad bir ra’yi).

6. Sayyid Murtadha dalam buku Adz Dzari’ah menulis: “Ijtihad adalah batil hukumnya. Imamiyah tidak memperbolehkan pengikutnya untuk beramal dengan zhan (persangkaan), ra’yu dan ijtihad”.

Melangkah lebih jauh mengamati ijtihad makna khusus akan ditemukan sebuah pembahasan yang lebih menarik. Dan itu berkaitan dengan usaha penjustifikasian perbedaan pendapat para mujtahid. Sebuah pertanyaan sederhana. Namun jawaban pertanyaan ini telah melahirkan dua peta pemikiran besar dalam ijtihad. Pertanyaan tersebut berbunyi, bila terjadi perbedaan pendapat antara dua atau lebih mujtahid manakah yang benar?

Jawaban pertanyaan ini memunculkan istilah tashwib dan takhtiah. Ahli Sunah menjadikan tashwib sebagai landasan pemikiran mereka sementara Syiah dengan takhtiah.

Syiah dengan mengusung takhti’ah berpendapat bahwa Allah memiliki hukum di semua bidang kehidupan manusia. Tidak ada satu kondisi dari kehidupan manusia yang kosong dari hukum Allah[36]. Hanya saja terkadang manusia mengetahuinya dan terkadang tidak. Ketidaktahuan manusia akan hukum Allah tidak sama dengan ketiadaan hukum Allah. Peran akal di sini hanyalah sebagai penyingkap hukum Allah, bukan penentu sebuah hukum. Akal manusia hanya menuntun dan menyingkap hukum Allah. Oleh karenanya, seorang mujtahid dapat salah dan juga dapat benar. Takhti’ah artinya seorang mujtahid dalam usahanya menyingkap hukum Allah boleh jadi benar dan boleh jadi salah. Dan di sini, kesalahannya dimaafkan.

Sementara Ahli Sunah, sesuai dengan keterangan sebelumnya yang memaknai ijtihad dengan makna khusus, memilih tashwib sebagai keharusan logis. Dengan pemaknaan khusus ini, sadar atau tidak, Ahli Sunah meyakini bahwa Allah tidak memiliki hukum di semua bidang kehidupan manusia. Ada kondisi-kondisi di mana Allah tidak memberikan hukum. Oleh karenanya, ketika tidak ditemukan hukum tersebut seorang mujtahid akan menyandarkan pendapat pribadinya sebagai hukum sejajar dengan hukum Allah. Dan, bila terjadi perbedaan pendapat dengan seorang mujtahid lainnya maka kedua-duanya benar. Kebenaran semua pendapat mujtahid yang berbeda pendapat dalam memproduksi hukum syar’i mendapat justifikasi penuh dengan kaidah tashwib. Tashwib adalah pembenaran. Hal itu tidak lain dikarenakan pendapat setiap mujtahid adalah hukum yang sejajar dengan hukum Allah.

Satu-satunya sumber yang membagi tashwib menjadi dua kelompok disebutkan oleh Syaikh Muhammad Ali Al-Kazhimi. Ia dalam bukunya membagi tashwib menjadi Tashwib Asy’ari dan Tashwib Mu’tazili[37]. Apa alasan menjadikan pembagiannya dengan memakai istilah Asy’ari dan Mu’tazili tidak dijelaskan. Hanya saja dapat dikatakan bahwa Tashwib Asy’ari adalah bentuk ekstrim dari tashwib, sementara Tashwib Mu’tazili menunjukkan bentuk moderatnya.

Al-Ghazali mendefinisikan tashwib yang diyakininya sebagai berikut:

“Tidak ada hukum tertentu bagi sebuah fenomena yang tidak ada teksnya. Hukum dicari lewat zhan (persangkaan). Lebih tepat, hukum mengikuti zhan. Hukum Allah bagi setiap mujtahid adalah zhan yang dimilikinya[38].”

Al-Ghazali dan sebagian ulama meyakini pandangan ini[39]. Tashwib yang diyakini ini disebut Tashwib Asy’ari.

Sebagian sumber-sumber menisbatkan tashwib Mu’tazili kepada As Syafi’i. Tashwib Mu’tazili berpendapat:

“Setiap fenomena yang tidak memiliki teks mempunyai hukum tertentu bila hendak dicari. Akan tetapi, seorang mujtahid tidak memiliki kewajiban untuk mencari dan sampai kepada hukum tersebut. Ia tetap dianggap benar sekalipun pada kenyataannya salah berkaitan dengan hukum tersebut”[40].

Pemikiran tashwib membuka sebuah medan baru bagi akal dalam proses ijtihad. Mengingat syareat atau hukum Allah memiliki kekurangan dan tidak sempurna, akal tidak lagi hanya berperan sebagai penyingkap hukum syar’i. Namun, dengan tashwib ia adalah pembuat hukum syar’i sejajar dengan Allah.

Yang lebih menarik adalah pandangan tashwib yang coba digagas oleh ulama Ahli Sunah ternyata tidak mendapat pengakuan dari Imam Empat.

Imam Abu Hanifah berkata: “Kami tahu bahwa ini adalah pendapat kami. Ini adalah yang paling mampu kami lakukan. Bila ada yang mampu membawakan pandangan yang lebih baik niscaya itulah yang benar. Tidak benar seorang yang tetap berpendirian dengan pendapat kami sekalipun ia mengetahui dari mana munculnya pendapat kami tersebut”[41].

Imam Malik berkata: “Saya adalah manusia juga yang dapat salah dan benar. Perhatikan dan telitilah pendapat ku. Bila ia sesuai dengan al-Quran dan Sunah maka ambillah pendapat ku. Sementara pendapat ku yang tidak sesuai dengan keduanya jangan diikuti”[42].

Imam Syafi’i berkata: “Jangan kalian mengikuti semua pendapatku. Perhatikan dan telitilah dalam pendapat ku karena ini adalah masalah agama”[43].

Hal ini juga yang membuat Imam Ahmad bin Hanbal melarang taklid.

Imam Ali as dengan cepat dan tanggap melihat fenomena ini sebagai sesuatu yang membahayakan agama. Dan itu tidak lain karena kesimpulan pemikiran ini berujung pada tidak sempurnanya agama yang pada gilirannya menganggap Allah sang pemilik agama sebagai Zat yang tidak lagi Maha Mengetahui.

Imam Ali as dalam Nahjul Balaghah pada khutbah yang ke delapan belas menyebutkan:

“Masyarakat membawa sebuah permasalahan yang berkenaan dengan sebuah hukum kepada seorang hakim[44]. Sang hakim menghukumi dengan pendapat pribadinya. Masalah yang sama di hadapkan kepada seorang hakim yang lain, ia menghukumi berbeda dengan hakim pertama. Kemudian para hakim dikumpulkan di hadapan pemimpin yang mengangkat mereka kemudian ia membenarkan semua pendapat yang ada. Sementara Tuhan mereka satu. Nabi mereka satu. Kitab mereka juga satu.

Apakah Allah swt memerintahkan mereka untuk berselisih paham kemudian ditaati ataukah Allah melarang mereka berselisih paham untuk kemudian dikhianati? Apakah Allah swt menurunkan agama yang tidak sempurna sehingga meminta pertolongan kepada mereka agar menyempurnakannya? Apakah mereka adalah sekutu Allah dalam penyempurnaan agama? Mereka yang berpendapat sementara Allah yang mengiakan dan memberikan stempel legalitas? Apakah Allah menurunkan agama yang sempurna kemudian Nabi saw tidak menyampaikannya dengan sempurna?

Bukankah Allah swt berfirman: “… Kami tidak meninggalkan sesuatupun kecuali menyebutkannya dalam al-Quran…”[45]. “… Dan di dalam al-Quran dijelaskan segala sesuatu …”[46]. Allah mengingatkan bahwa sebagian al-Quran membenarkan yang lainnya, tidak ada perselisihan di dalamnya. Allah berfirman, “… Seandainya al-Quran tidak diturunkan oleh Allah niscaya mereka akan menemukan perselisihan yang banyak di dalamnya”[47].

Sesungguhnya al-Quran memiliki tampakan luar yang indah sementara batinnya sangat dalam. Keajaiban-keajaibannya tidak akan pernah sirna. Rahasia-rahasia yang dikandungnya tidak akan pernah ada habis-habisnya digali. Dan, kegelapan tak akan pernah dapat berubah terang tanpanya[48].”

2. Ijtihad makna umum

Mencermati pemaknaan ijtihad secara khusus dapat ditemukan bahwa ijtihad dilakukan ketika tidak ada nash (teks). Ijtihad dilakukan ketika tidak ditemukan teks ayat Al-Quran atau teks dari hadis Nabi. Dengan berlalunya waktu, ijtihad mengalami perkembangan yang cukup berarti. Qiyas yang sebelumnya diamalkan untuk memberikan hukum pada masalah yang tidak memiliki teks diperluas berkaitan dengan teks-teks. Qiyas tidak lagi terpenjara hanya terkait dengan masalah yang tidak memiliki teks saja. Bahkan lebih dari itu, usaha-usaha penyempurnaan ilmu usul fiqih semakin mendapat perhatian. Terutama berkaitan dengan masalah memahami teks.

Abu Al-Husein Al-Bashri dalam bukunya menuliskan: “Ketahuilah bahwa para fakih mengategorikan masalah-masalah ijtihad berkaitan juga dengan al-Quran seperti niat dalam berwudu dan tertib (satu persatu), demikian juga bahwa huruf Wau memiliki arti tertib dan terkumpul…”[49]. Lebih dari itu, Imam Gazali berpendapat bahwa cakupan ijtihad tidak keluar dari bingkai teks. Alasan beliau terkait erat dengan sumber-sumber dalil yang menurutnya ada empat, al-Quran, Sunah, Ijma’ dan dalil akal dan ishtishab yang keduanya menunjukkan tidak adanya pertanggungan jawab seorang mukallaf di hadapan Allah sebelum ada teks yang sampai padanya”[50].

Terlihat sebuah perbedaan yang sangat mendasar berkaitan dengan pandangan ulama sebelumnya yang membatasi ijtihad hanya pada masalah yang tidak memiliki teks, sementara ulama setelah mereka menjadikan teks sebagai kajian ijtihad. Pada awalnya ijtihad adalah al-intaj al-ma’rifi (hasil pemikiran) sementara sekarang berubah menjadi fahm an-nash (memahami teks).

Sebagian lainnya tidak hanya terhenti pada teks tetapi melebarkannya mencakup masalah-masalah akal. Sebagaimana dapat ditemukan pada definisi ijtihad yang ditulis oleh Syaikh Abu Muhammad as-Salimi (W. 1332 H). Ia mendefinisikan ijtihad sebagai: “Usaha keras seorang fakih untuk mendapatkan masalah lewat syariat (Al-Quran dan Sunah) atau akal. Sesungguhnya saya menyebutkan itu mencakup akal karena ijtihad juga berlaku padanya”[51]. Dapat dikatakan bahwa ini adalah sebuah usaha untuk meluaskan sumber-sumber hukum syar’i yang oleh masyhur ulama Ahli sunah ada empat, al-Quran, Sunah, Ijma’ dan Qiyas. Dan sebagaimana diketahui qiyas adalah bagian dari hasil-hasil akal.

Berbeda dengan perkembangan makna ijtihad pada mazhab Ahli Sunah, Syiah tidak mengenal tahapan al-intaj al-ma’rifi. Bahkan dapat dikatakan bahwa ulama Syiah sebelum Muhaqqiq Al-Hilli (W. 676 H) tidak menerima ijtihad makna khusus. Tidak hanya menolak bahkan dalam tulisan-tulisan mereka ijtihad dengan makna seperti itu dianggap batil. Pendapat semacam ini dapat ditelusuri pada tulisan-tulisan ulama besar Syiah seperti, Syaikh Shaduq, Syarif Al-Murtadha, Syaikh Mufid dan Syaikh Thusi[52].

Syiah, sejak awal, memaknai ijtihad sebagai fahm an-nash, namun tidak berarti terhenti pada teks dengan pendekatan bahasa belaka melainkan telah berkembang lebih jauh dari itu. Hal itu dikarenakan, sejak awalnya, sumber-sumber ijtihad yang diakui oleh Syiah mencakup akal.

Definisi ijtihad, menurut Syiah, untuk pertama kalinya ditulis dan diterima oleh Muhaqqiq al-Hilli. Beliau dalam bukunya Ma’arij al-Ushul bab 9 berkaitan dengan hakikat ijtihad menulis:

“Ijtihad menurut fuqaha adalah usaha untuk mengeluarkan/menyimpulkan hukum-hukum syar’i. Dengan ini, mengeluarkan hukum syar’i dari dalil-dalil syar’i merupakan ijtihad. Hal ini dikarenakan mengeluarkan hukum-hukum syar’i berdasarkan sebuah proses pemikiran dan tidak semata-mata dari zuhur[53] teks-teks. Proses berpikir dapat berupa qiyas atau selainnya. Berdasarkan ini qiyas juga merupakan bagian dari ijtihad.

Bila dipertanyakan bahwa apakah itu berarti Syiah juga berijtihad? Jawabannya adalah ‘iya’. Permasalahannya adalah dalam ijtihad ada bagian yang disebut qiyas dan ini terkadang membingungkan. Kebingungan itu lebih pada hubungan qiyas dan ijtihad. Bila menerima ijtihad tanpa qiyas juga masih dapat disebut sebagai ijtihad maka sekali lagi Syiah juga berijtihad dengan tanpa qiyas”[54].

Tulisan Muhaqqiq al-Hilli dengan gamblang menerangkan bagaimana di kalangan Syiah kata ijtihad pernah memiliki nilai negatif. Ia juga mengakui bahwa untuk sebagian orang menerima kata ijtihad adalah berat. Terlebih lagi menyandarkan predikat mujtahid kepada seorang dari ulama Syiah. Namun semua itu ditepis olehnya dan bahkan ia berani untuk menyebut dirinya sebagai mujtahid. Tentunya dengan menepis terlebih dahulu pengertian negatif yang dimilikinya sebelumnya.

Tidak dapat dipungkiri bahwa pandangan Muhaqqiq al-Hilli dipengaruhi oleh perubahan makna yang terjadi di kalangan ulama Ahli Sunah. Setidak-tidaknya makna umum yang diberikan oleh al-Ghazali (W. 505 H) yang wafat sebelum Muhaqqiq al-Hilli. Definisi yang diusung oleh al-Ghazali dan sebagian ulama yang lain telah menekan dan memperkecil penggunaan ra’yu dan qiyas untuk memproses sebuah hukum syar’i. Dan untuk itu medan yang lebih besar diberikan kepada usaha keras secara ilmiah untuk menyimpulkan sebuah hukum. Syahid Muthahhari menangkap perubahan ini dan menyebutkan bahwa setelah terjadi perubahan yang sangat mendasar, kata ijtihad masuk dalam khazanah fiqih Syiah[55].

Tulisan Muhaqqiq al-Hilli tidak hanya sebagai peletak dasar pemakaian kata ijtihad dalam Syiah namun, lebih dari itu, ide-ide pikiran beliau sebenarnya juga menjadi titik tolak bentuk dari “memahami teks”. Ulama sebelumnya memahami korespondensi antara teks dan usaha memahaminya adalah hubungan identik. Artinya, proses penyimpulan hukum (baca: ijtihad) harus sampai pada sebuah ilmu dan keyakinan. Sementara itu, semenjak munculnya Muhaqqiq al-Hilli hingga sekarang hubungan antara teks dan usaha memahaminya adalah tidak identik[56]. Usaha yang dilakukan dapat saja salah dan tidak menghasilkan sebuah ilmu dan keyakinan[57].

Muhaqqiq al-Hilli dengan tulisannya membawa terobosan besar dalam fiqih Syiah sekaligus langkah ke depan terbentuknya sebuah dialog dalam masalah penyimpulan hukum syariat dengan mazhab Ahli Sunah. Sayangnya, ini tidak ditangkap dengan serius oleh kedua belah pihak sepeninggal Muhaqqiq al-Hilli.

Beberapa definisi ijtihad makna umum

Berkenaan dengan definisi ijtihad makna umum terjadi perbedaan di antara ulama baik Ahli Sunah maupun Syiah. Setiap ulama memiliki penafsiran tersendiri. Namun perbedaan dalam pendefinisian ini tidak ditangkap sebagai perbedaan pada esensi ijtihad makna umum itu sendiri. Esensi ijtihad diterima oleh seluruh Ulama. Perbedaan yang ada lebih muncul pada tambahan definisi yang biasanya muncul dari hal lain bukan ijtihad itu sendiri. Sebagaimana perkembangan yang terjadi pada ruang lingkup ijtihad. Ada yang menambahkan kata zhan (persangkaan) atau ilmu (keyakinan), di samping ada juga yang menambahkan kata fakih pada definisi bahkan ada yang menambahkan kata malakah (karakter tetap).

Definisi yang diusulkan oleh ulama Islam berkaitan dengan ijtihad bukanlah hakikat yang sebenarnya. Definisi yang diajukan lebih banyak sebagai komentar dan penjelas terhadap kata ijtihad itu sendiri.

1. Definisi dengan tambahan zhan (persangkaan)

Saifuddin al-Amidi as-Syafi’i (W. 631 H) berkata:

“Ijtihad adalah usaha serius untuk sampai pada zhan tentang hukum syar’i sehingga seseorang akan merasakan bahwa sulit dibayangkan kemampuannya lebih dari itu”[58].

Ibnu Subki berpendapat:

“Ijtihad adalah usaha sungguh-sungguh untuk menghasilkan zhan terhadap hukum syar’i”[59].

Allamah Al-Hilli mendefinisikan ijtihad sebagai berikut:

“Ijtihad adalah mengusahakan semua kemampuan untuk memberikan pendapat pada masalah zhan tentang hukum syar’i. Usaha yang dilakukan adalah puncaknya sehingga kemungkinan lebih dari itu adalah sangat sulit dibayangkan”[60].

Kritik definisi

Memberikan tambahan definisi ijtihad dengan kata zhan tidak tepat. Hal itu karena tambahan ini menafikan kemungkinan mendapatkan ilmu dan keyakinan dengan berijtihad. Bila dibayangkan bahwa selamanya yang dihasilkan dengan berijtihad adalah zhan maka itu berarti kemungkinan menghasilkan ilmu adalah tidak mungkin sementara hal ini tidak pernah diterima. Penambahan kata zhan mungkin dapat diterima dengan mengandaikan bahwa sebelumnya dengan ijtihad, ilmu dan keyakinan yang dihasilkan. Dan penambahan zhan ingin menambahkan bahwa tidak selamanya ijtihad menghasilkan ilmu dan keyakinan namun lebih sering kesimpulan yang dihasilkan adalah zhan. Bila kemungkinan seperti ini yang dimaksud tentu dapat diterima.

Penafsiran kedua ini juga masih lemah mengingat hasil dari ijtihad juga tidak selamanya ilmu dan zhan namun bisa tidak keduanya. Artinya, kesimpulan yang dihasilkan dari ijtihad boleh jadi tidak pada derajat zan apalagi ilmu, derajatnya kurang dari zhan. Bila ingin diperinci lebih detil maka hasil atau dalil yang diproses dari ijtihad memiliki sekurang-kurangnya tiga kondisi. Terkadang menghasilkan ilmu, zhan atau di bawah zhan. Kemungkinan ketiga itu dapat ditemukan pada hasil ijtihad yang lemah. Tentunya hasil sebuah metodologi ijtihad yang lemah pula.

Di sisi lain, dalam Islam beramal dengan zhan adalah sesuatu yang tidak terpuji[61]. Tentunya tidak semua zhan dalam Islam tidak diterima. Hadis Ahad atau khabar wahid adalah salah satu contohnya. Hadis yang diriwayatkan oleh sedikit perawi/satu perawi dan paling banyak diriwayatkan oleh tiga orang[62], bila yang meriwayatkan adalah tepercaya (tsiqah/adil) maka beramal dengan hadis tersebut adalah diperbolehkan. Dengan ini, ulama membagi beramal dengan zhan menjadi dua bagian. Zhan yang mu’tabar (yang diterima) dan zhan yang tidak mu’tabar. Zhan disebut mu’tabar karena ditopang oleh dalil-dalil, baik itu dari al-Quran dan atau perilaku orang-orang berakal (siroh ‘uqola) atau kearifan umum. Sementara zhan yang tidak mu’tabar adalah kebalikannya. Ia tidak ditopang oleh dalil-dalil. Seperti hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang tidak tepercaya (tsiqoh/adil).

2. Definisi dengan tambahan ilmu (keyakinan)

Al-Ghazali (W. 505 H) menulis:

“Ijtihad adalah usaha sungguh-sungguh dalam melakukan sesuatu. Kata ijtihad dipergunakan untuk sesuatu yang sulit. Kata ijtihad dipergunakan untuk orang yang berusaha sekuat tenaga untuk memindahkan batu yang berukuran besar bukan untuk memindahkan kerikil. Kata ijtihad kemudian dalam terminologi ulama fiqih dikhususkan pada usaha sungguh-sungguh untuk mendapatkan ilmu (keyakinan) lewat hukum syar’i. Ijtihad yang sempurna adalah usaha sungguh-sungguh unuk mendapatkan ilmu sehingga ia merasa ini adalah puncak usahanya”.

Khudhri Bik dalam buku Ushul Fiqihnya menulis:

“Seorang fakih berusaha secara sungguh-sungguh untuk mendapatkan ilmu (keyakinan) berkaitan dengan hukum syar’i”.

Kritik definisi

Definisi yang menambahkan kata ilmu dalam pendefinisiannya memiliki kelemahan yang sama dengan definisi yang memiliki tambahan kata zhan. Dan kritikan yang diajukan di atas tidak jauh berbeda dengan definisi ini. Namun kritikan tersebut dapat dimentahkan dengan satu catatan bahwa kata ilmu yang dipakai dimaknai secara umum. Kata ilmu yang dimaksud mencakup ilmu wujdani dan ilmu ta’abbudi. Ilmu wujdani adalah ilmu yang identik dengan keyakinan dalam logika. Sementara ilmu ta’abbudi sebenarnya adalah zhan (persangkaan) yang kemudian oleh syariat diberi justifikasi untuk dapat dipergunakan sebagai dalil. Ilmu ta’abbudi seperti beramal dengan Hadis Ahad yang diriwayatkan oleh seorang perawi tepercaya yang telah diberi legitimasi oleh syariat.

3. Definisi dengan tambahan fakih

Syahid Tsani dalam bukunya mendefinisikan ijtihad sebagai berikut:

“Usaha sungguh-sungguh seorang fakih untuk mendapatkan zhan (persangkaan) tentang hukum syar’i”.

Penulis buku Al-Fushul fi Al-Ushul menyebutkan:

“Ijtihad adalah puncak usaha dari seorang fakih untuk mendapatkan zhan tentang hukum syar’i”.

Kritik definisi

Dapat dikatakan bahwa definisi yang mendapatkan tambahan kata fakih adalah definisi yang paling banyak menghadapi keberatan. Hal itu tidak lepas dari proses melakukan ijtihad hanya terbatas pada seorang mujtahid dan seorang mujtahid adalah kata lain untuk fakih. Oleh karenanya menjadi sia-sia memasukkan kata fakih dalam definisi.

4. Definisi dengan tambahan kata malakah (kecakapan penalaran)

Sebagian ulama ketika mendefinisikan ijtihad menambahkan kata malakah. Sebagai contoh Syaikh Baha’i dalam bukunya mendefinisikannya sebagai berikut:

“Ijtihad adalah sebuah malakah dan instrumen yang membantu manusia memiliki kemampuan untuk menyimpulkan hukum syar’i”.

Sementara Mujtaba Tehrani pada catatan kaki buku Rasail milik Syaikh Anshari mendefinisikan ijtihad sebagai berikut:

“Definisi yang paling dekat untuk memerikan kata ijtihad adalah definisi ma’ruf yang berbunyi ijtihad adalah malakah atau sebuah kemampuan yang dengan itu seseorang mampu untuk menyimpulkan sebuah hukum syar’i”.

Kritik definisi

Definisi ini walaupun dapat menepis kritikan-kritikan pada definisi-definisi sebelumnya namun pada saat yang sama mendapatkan keberatan yang tidak mudah untuk dijawab. Keberatan pertama berkenaan dengan definisi yang menambahkan kata malakah. Hakikat ijtihad bukanlah malakah. Mengapa demikian? Karena bila ijtihad memiliki arti malakah maka penambahan itu memiliki unsur penjelas sementara yang terjadi tidak demikian. Penambahan kata malakah seperti penambahannya terhadap sifat adil.

Keberatan kedua adalah malakah dihasilkan dengan melatih ilmu-ilmu pengantar agar seorang dapat menjadi mujtahid. Seseorang yang telah menguasai pengantar ilmu-ilmu untuk dapat berijtihad adalah seorang mujtahid sekalipun dia belum pernah melakukan ijtihad, belum pernah menyimpulkan sebuah hukum. Sekali lagi, malakah berijtihad bukan ijtihad itu sendiri tapi muncul dari kecakapan penalaran yang didapatkan dengan melatih pengantar ilmu-ilmu ijtihad.

Keberatan ketiga terkait erat dengan penggunaan kata-kata yang berhubungan dengan ijtihad dalam riwayat-riwayat. Dalam hadis-hadis disebutkan beberapa kata seperti ‘arafa ahkamana (yang mengetahui hukum-hukum kami), nazhara fi halalina wa haramina (yang memiliki kecakapan dalam memahami halal dan haram kami), rawa’ haditsana (yang meriwayatkan hadis kami). Bila kita mengartikan ijtihad dengan malakah (masih pada tahapan potensi) maka mereka yang secara aktual (bil fi’l) mampu menyimpulkan hukum tidak termasuk dalam hadis di atas. Sementara tidak satu pun ulama yang meyakini hal itu. Karena hadis itu sifatnya umum mencakup keduanya tidak dikhususkan hanya yang memiliki malakah.

Ada beberapa definisi yang tidak menggunakan tambahan-tambahan di atas namun pun demikian masih rentan terhadap kritikan. Imam Khomeini dalam buku Ar-Rasail mendefinisikan ijtihad sebagai proses pengembalian furu’ kepada asal (mengembalikan cabang masalah pada pokoknya). Bahkan oleh beliau ditambahkan bahwa pada masa kini ijtihad tidak lebih dari proses pengembalian furu’ kepada asal yang kemudian diamini oleh sebagian murid-muridnya.[63] Definisi ini walaupun tidak mendapat kritikan seperti definisi yang sudah-sudah dan benar bahwa proses yang terjadi tidak lebih dari yang telah disebutkan namun definisi yang dibawakan masih terlalu umum.

Akhund Khurasani setelah mengajukan keberatan terhadap definisi yang menambahkan kata zhan mengajukan definisinya sendiri:

“Ijtihad adalah mengusahakan segala kemampuan untuk menghasilkan hujjah[64] atas hukum syar’i”[65]

Akhund Khurasani lebih memilih kata hujjah dikarenakan tolok ukur kesahihan sebuah amal perbuatan seorang muslim adalah mendapatkan dan adanya hujjah bagi dirinya. Penggunaan kata hujjah sendiri mencakup dalil-dalil yang masih belum sampai pada taraf ilmu seperti adanya sebuah hadis ahad yang sahih dan juga mencakup ilmu/keyakinan seseorang tentang sebuah dalil semisal al-Quran. Dengan ibarat khas ilmuwan usul fikih kata hujjah mencakup ‘ilmu’ dan ‘ilmi’. ‘Ilmu’ lebih diartikan dengan pengetahuan yang disertai dalil-dalil yang pasti, sementara ‘ilmi’ adalah pengetahuan yang tidak disertai oleh dalil-dalil yang pasti (zhan), namun oleh Allah dinaikkan nilainya seperti sebuah dalil yang pasti. Dan hal itu berlaku seperti pada hadis ahad yang sahih. Hadis ahad bukan dalil yang pasti yang dapat mendatangkan keyakinan kepada seseorang, tidak seperti hadis mutawatir, namun memberikan sebuah persangkaan yang lebih tentang sesuatu yang dikabarkannya. Persangkaan yang sebelumnya dalam ayat al-Quran surat Yunus ayat 36 dianggap tidak berarti untuk mencapai kebenaran dan dengan bantuan ayat-ayat lain terkait dengan masalah tersebut hadis ahad dapat diamalkan.

Pekerjaan rumah yang masih tertinggal dalam definisi ini adalah seorang mujtahid dalam proses penyimpulan hukumnya tidak hanya menghasilkan hukum syar’i. Hal itu lebih disebabkan karena pada kondisi-kondisi tertentu terkait dengan sebuah obyek masalah tidak ditemukan teks yang menjelaskan masalah yang dihadapi. Dalam khazanah usul fikih Syiah kumpulan hukum-hukum ini disebut ‘Ashl ‘Amali’ (prinsip praktis). Artinya, ketika tidak ditemukan sebuah dalil atau lebih lewat teks, seorang fakih atau mujtahid tetap bertanggung jawab untuk menyimpulkan sebuah hukum karena bagaimanapun setiap perilaku seorang mukallaf harus berlandaskan argumentasi. Ketiadaan hukum syar’i menuntut seorang fakih untuk menyimpulkan sebuah hukum sebagai sikap praktis karena ketiadaan teks yang sesuai dengan masalah yang dihadapi dan di sisi lain perilakunya harus berlandaskan dalil atau hujjah.

Mungkin Akhund Khurasani masih berkelit bahwa penggunaan kata hukum syar’i yang disebutkan telah mencakup juga makna prinsip praktis karena ketiadaan hukum syar’i. Namun, melihat keduanya, hukum syariat dan prinsip praktis, berbeda secara substansial maka penyebutannya menjadi sebuah keharusan.

Dari sini, untuk menghilangkan kritikan selanjutnya yang dihadapi oleh Akhund Khurasani, Sayyid Khu’i dalam bukunya ar-Ra’yu as-Sadid fi al-Ijtihad wa at-Taqlid secara transparan menambahkan prinsip praktis tersebut. Beliau mendefinisikan ijtihad sebagai berikut :|

“Ijtihad adalah berusaha sekuat tenaga untuk menghasilkan hujjah atas realita (waqi’i) dan atau atas tanggung jawab praktis lahiri (zhahiri)”.[66]

Kata realita (waqi’i) dan lahiri (zhahiri) merujuk pada pembagian hukum menjadi dua bagian; waqi’i dan zhahiri. Hukum waqi’i adalah hukum yang jelas dan tidak memiliki keraguan terkait dengan obyeknya. Sementara hukum zhahiri adalah hukum yang terkait dengan obyek yang masih ragu. Hukum waqi’i seperti ayat yang mewajibkan haji. Obyek hukum adalah haji dan hukumnya pasti yaitu wajib bagi orang yang mampu. Sementara contoh hukum zhahiri seperti keraguan terhadap pakaian yang najis. Hukumnya adalah pakaian tersebut tidak najis karena dalil yang ada menyebutkan bahwa perlakukan segala sesuatu seperti suci sehingga suatu ketika engkau mendapatinya najis.[67]

Definisi yang diajukan oleh Sayyid Khu’i telah berhasil menyelesaikan perbedaan dalam usaha mendefinisikan kata ijtihad dengan maknanya yang umum. Setelah beliau, ulama Syiah saat ini dalam mendefinisikan kata ijtihad makna umum lebih memilih pendapat beliau.

Penutup

Dengan mempelajari secara seksama perkembangan sejarah makna ijtihad, makna khusus dan makna umum, terlihat perbedaan substansial. Makna pertama memberikan otoritas penuh kepada seorang mujtahid untuk menyimpulkan sebuah hukum yang pada akhirnya mendudukkan ijtihad sebagai salah satu sumber hukum. Tentunya pemahaman ini tanpa melupakan sebuah kenyataan lain bahwa itu dilakukan ketika ketiadaan nas dan teks. Sementara makna kedua, murni sebuah proses kerja ilmiah untuk menyimpulkan sebuah hukum syariat. Ijtihad dalam konteks ini bukan sumber hukum syariat dan tidak akan pernah menjadi sumber hukum syariat.

Ijtihad dengan makna khusus, dalam Syiah, menjadi terlarang, haram sementara ijtihad dengan makna umum merupakan keharusan.




[1] . Bahkan pernah menjadi alat penentu di mana beliau harus tinggal sebagaimana dalam kejadian di mana beliau harus tinggal setelah sampai di salah satu desa di Madinah (Yatsrib).

[2] . Teks-teks ulama sebelumnya bisa menjadi bukti bahwa tuduhan saling kafir antara pengikut mazhab yang satu akan lainnya. Padahal dalam sejarah kehidupan Nabi, kata kafir tidak pernah ditujukan bagi mereka yang mengucapkan La Ilaaha Illa Allah. Sebagaimana beliau dengan memarahi seorang sahabatnya yang membunuh seorang yang mengucapkan kalimat syahadah yang dipikirnya hanya ingin selamat. Beliau berkata: “Kaifa tashna’u bi laa ilaaha illa allah”. Apa yang kau perbuat dengan seorang yang telah mengucapkan La Ilaaha Illa Allah? Dalam islam ketika seorang disebut kafir tidak hanya berhenti di situ saja tapi memiliki konsekwensi-konsekwensi penting. Misalnya, seorang suami yang dihukumi kafir itu artinya ia harus dipisahkan dengan istrinya, ia tidak berhak mendapatkan harta waris dari istrinya dan lain-lain.

[3] . Kelompok Akhbariyun adalah mereka yang lebih menitik beratkan Al Qur’an dan riwayat ketimbang akal. Sementara Ushuliyun adalah orang-orang yang memberikan tempat kepada akal selain Al-Qur’an dan riwayat.

[4] . Kata yang aslinya memiliki tiga huruf dan di sini mendapat tambahan satu huruf. Sementara alif sebagai alif tambahan selaku masdar. Kata kerjanya adalah ijtahada. Berarti ada tambahan huruf ta’.

[5] . Ismail bin Hammad, As Shihhah Tajul Lughoh Wa Shihhahul Arobiyah, Darul ‘ilm Lil Malayin juz 2, hal 460. Ibnu Manzur dalam Lisanul Arab nya juga sependapat bahwa keduanya memiliki satu arti. Lisanul Arab, juz 3 hal 133, Nasyru Adabil Hauzah.

[6] . Ahmad Fayyumi, Al Mishbah Al Munir, juz 3, hal 30-32. Pandangan yang sama pula diyakini oleh Zamakhsyari dalam bukunya Asasul Balaghah hal 67. Begitu juga Raghib Al Isfahani dalam bukunya Al Mufradaat Fi Gharibil Qur’an hal 101.

[7] . Al Mufradaat Fi Gharibil Qur’an, hal 101

[8] . Sunan An Nasa’i Bi Syarhi Al Hafiz Jalaluddin As Suyuthi, Dar Ihya’it Turatsul Arabiyah, juz 3, hal 49. Bunyi lengkapnya, ‘Fa Qola Shalluu ‘Alayya Wa ijtahiduu Fi Ad Du’a Wa Quluu Allohumma Sholli ‘Ala Muhammad Wa Ali Muhammad.

[9] . Nahjul Balaghah, Syarhul Ustadzil Imam Muhammad Abduh, Darul Ma’rifah Lit Tiba’ah wan Nasyr, khutbah pertama, juz 1 hal 14. Begitu juga pada khutbah ke 104 dan 221.

[10] . Al Kulaini, Al Kafi, juz 2, hal 174.

[11] . Al Hafiz Abi Abdillah Muhammad bin Yazid Al Qazwini, Sunan Ibnu Majah, Darul Fikr, juz 1, hal 562, hadis 1768.

[12] . Salah satu buku yang pertama ditulis dalam bidang ushul fikih bahkan ushul hadis dalam Ahli Sunah. Lihat pengantar kitab Ar Risalah, hal 13.

[13] . Ar Risalah, Muhamamd bin Idris As Syafi’I, Tahqiq Wa Syarh: Ahmad Muhammad Syakir hal 476-478

[14] . Jamal Abdun Naser, Mausu’h Fiqhiyah, juz 3, hal 9 (dinukil dari buku Ejtehad Dar Asre A’emmah Ma’sumin, hal 36).

[15] . Al Madkhal Lil Fiqhil Islami, hal 72, 73, 79, 91. (dinukil dari buku Al Ijtihad Wa Mada Hajatina Ilaihi Fi Hadzal ‘Ashri, hal 39).

Komentar ulama sehubungan dengan ijtihad para sahabat yang bermakna khusus ini dapat dirujuk pada buku-buku; Muhammad Khudhri Beik, Ushulul Fiqh, hal370 dan Tarikhut Tasyri’il Islami, hal 115-116. Abu Zahroh, Tarikh Al Madzhibil Islamiyah, juz 2, hal 22. Abu Hamid Muhammad Al Ghazali, Al Mushthasfa, juz 2, hal 242. Jalaluddin As Suyuthi, Tarikhul Khulafa. (dinukil dari Advare Ejtehad Az Didgahe Mazahebe Eslami, hal 102-103).

[16] . Abu Muhammad Abdullah bin Ar Rahman bin Al Fadhl bin Bahram Ad Darimi, Babul Barid, juz 1, hal 60. hadis yang sama senada dengan ucapan Mu’adz dimuat pula oleh Ad Darimi dari Ibnu Abbas ra (hal 59) dan Umar bin Khatthab ra (hal 60).

[17] . As Syahid As Sayyid Muhammad Baqir As Shadr, Durusun Fi ‘Ilmil Ushul, Halaqah Ula, Muassasatun Nasyril Islami Qom, hal 54-55.

[18] . Rabi’ah bin Abdur Rahman bahkan sering dipangil Rabi’ah Ar Ra’yu, Tarikh Al Fiqh Al Islami, juz 2, hal 119.

[19] . Ali Hasbullah menulis, ‘Pokok-pokok sumber hukum secara berurutan ada tiga; Al Quran, Sunnah dan ijtihad bir Ra’yu. Ushul At Tasyri’ Al Islami, hal 12.

[20] . Ustad Khilaf menulis, sumber-sumber hukum syar’i pada masa sahabat ada tiga; Al Quran, Sunnah dan ijtihad sahabat. Khulashah Tarikh At Tasyri’ Al Islami, hal 33 dan Muhammad Ma’ruf Dawalibi, Al Madkhal fi ‘Ilm Ushul Al Fiqh, hal 11.

[21] . Muhammad Yusuf Musa, Tarikh Al Fiqh Al Islami juz 2 hal 7 dan seterusnya. Masalah didahulukannya ijtihad terhadap al-Quran dan Sunah oleh sebagian sahabat dapat ditemukan dalam buku An-Nash wa Al-Ijtihad karangan Sayyid Syaraf Ad-din Al-Musawi yang memang secara khusus ditulis untuk itu.

[22] . Setidak-tidaknya sebelum zaman pengumpulan hadis sekitar satu abad lebih sepeninggal Rasulullah saw.

[23] . Muhammad Asyraf bin Amir bin Ali, ‘Aunul Ma’bud fi Syarhi Sunani Abi Daud, juz 3, hal 330 dan lihat Al Qadhi Abdul Jabbar, Al Mughni, juz 7, hal 300.

[24] . Abi Muhammad Ali bin Hazm Al Andalusi, Al Ihkam fi Ushul Al Ahkam, hal 976.

[25] . Ibid. Untuk mendapat lebih banyak informasi mengenai masalah ini silahkan lihat, Ibnu Hazm Al Andalusi, Mulakhkhashu Ibthal Al Qiyas wa Ar Ra’yi wa Al Istihsan. Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz Dzahabi, Mizan Al I’tidal. Ibnu Hajar Al ‘Asqallani, Taqrib At Tahdzib.

[26] . Untuk lebih luas lihat, Muhammad Yusuf Musa, Tarikh Al Fiqh Al Islami, juz 1, hal 24-29.

[27] . As-Syahid As-Sayyid Muhammad Baqir As-Shadr, Durusun Fi ‘Ilmil Ushul, Halaqah Ula, Muassasatun Nasyril Islami Qom, hal 54-55.

[28] . Al Hasyr ayat 7.

[29] . Berkaitan dengan mujtahid ada dua permasalahan yang perlu mendapat perhatian serius. Pertama, berkaitan dengan dalil penunjukannya sebagai pembuat hukum. Kedua, Sejauh mana akal dalam proses pembuatan sebuah hukum mendapat justifikasi dari agama.

[30] . Sejarah mencatat adanya kelompok yang menyebut dirinya sebagai Ingkarus Sunnah (golongan yang mengingkari sunah Nabi).

[31] . Metode-metode yang dipakai untuk menyimpulkan hukum Allah dikaji sebagiannya dalam ilmu ushul fikih. Sebuah kenyataan yang membuat para sahabat harus melakukan ijtihad karena belum memiliki metode yang dapat dipakai untuk menyimpulkan sebuah hukum.

[32] . Masalah ini, pada kesempatan lain, akan lebih jelas pada pembahasan hukum Allah.

[33] . Kulaini, Ushul Al Kafi, juz 1, hadis 1, hal 59, Darul Kutubi Al Islamiyah.

[34] . Idem, hadis 4.

[35] . Idem, halaman 238.

[36] . Sesuai dengan sifat Maha Tahu dan Maha Bijak Allah.

[37] . Syaikh Muhammad Ali Al Kazhimi, Fawa’id Al Ushul, juz 1, hal 142. Pendapat ini kemudian dinukil oleh ulama ushul setelahnya.

[38] . Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al Ghazali As Syafi’I, Al Mustashfa min Ilmi Al Ushul, juz 2, hal 109.

[39] . Idem.

[40] . Idem, hal 109- 116.

[41] . Al-Jauziyah, Ibn Al-Qayyim, A’lam Al-Mauqi’in ‘an Rabb Al-‘Alamin, dikomentari oleh Taha Abdurrauf, juz 2, hal 201 dan 211. Ibn Al-Hazm, Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam, juz 2, hal 125. Abu Zarah, Abu Hanifah; Hayatuh wa ‘Ashruh, Ara’uh wa fiqhuh, hal 61.

[42]. Ibn Al-Hazm, Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam, juz 6 hal 56, 123 dan 149-150. As-Syathibi, Al-Muwafiqat, bersama dengan komentar Abdullah Deraz, juz 4, hal 289.

[43] . Al-Jauziyah, Ibn Al-Qayyim, A’lam Al-Mauqi’in, juz 2, hal 200.

[44] . Hakim pada zaman kekhalifahan islami selain menyelesaikan pengaduan masyarakat ia juga seorang alim yang mengerti benar ilmu agama (mujtahid).

[45] . Al An’am ayat 38.

[46] . An Nahl ayat 89

[47] . An Nisa’ ayat 82.

[48] . Imam Ali AS, Nahjul Balaghah, terjemah Muhammad Dashti, hal 62.

[49] . Al-Bashri, Abu Al-Husein, Al-Mu’tamad fi Ushul Al-Fiqh, hal 766.

[50] . Al-Ghazali, Abu Hamid, Al-Mustashfa, hal 149 dan 159. Lihat juga Ibnu Hazm, Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam, Juz 1, hal 45 dan juz 5, hal 126.

[51] . As-Salimi, Abdullah bin Hamid, Masyariq Anwar Al-‘Uqul, hal 70.

[52] . Secara berturut-turut, Al-Muqni’ah, Al-Intishar, hal 27 dan Rosa’il As-Syarif Al-Murtadha, juz 1, hal 7, An-Naqdh ‘ala Ibni Junaid fi Ijtihad Ar-Ra’yi, ‘Iddah Al-Ushul, juz 1, hal 39.

[53] . Dalam ilmu ushul fikih kajian zuhur menempati ruang yang sangat penting guna seorang mujtahid dapat memproses penyimpulan sebuah hukum. Dan sering kalinya perbedaan ulama pada masalah ini ketika hendak memaknai maksud sebuah teks. Proses para mujtahid dikenal dengan sebutan istizhar. Zuhur sebuah teks dalam ilmu ushul fikih berkaitan dengan kata dan makna. Kata dan makna oleh ulama ilmu ushul fikih dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, bila sebuah kata hanya memiliki satu makna tidak lebih disebut nash atau sharih. Kedua, bila sebuah kata memiliki beberapa makna yang setara hubungannya disebut musytarak. Pada kondisi ini kaedah bahasa tidak dapat menentukan mana makna yang diinginkan. Diperlukan lebih dari sekadar itu, kondisi pembicara misalnya. Ketiga, sebuah kata memiliki beberapa makna yang tidak setara. Salah satu makna dari kata tersebut lebih dekat. Kondisi kata yang demikian disebut zuhur. Kata laut misalnya, memiliki arti hakiki yang terkait erat dengan air. Namun laut juga memiliki arti lain yang jauh terkait dengan ilmu. Ketika diucapkan, ‘Pergilah ke laut setiap hari’, dan tanpa melihat kondisi dan syarat-syarat lain maka seorang mujtahid yang ingin memaknai teks di atas akan memaknainya dengan laut dari air. Hal itu dikarenakan laut dari airlah yang lebih dekat maknanya bukan ilmu.

[54] . Al-Muhaqqiq al-Hilli, Najmuddin Abu Al-Qasim Ja’far bin Al-Hasan Al-Hadzli, Ma’arij Al-Ushul, hal 179.

[55] . Muthahhari, Murtadha, Mabda Al-Ijtihad fi Al-Islam, hal 24.

[56] . Kecuali kelompok Akhbariyyun.

[57] . Pikiran semacam ini bila dikaji lebih dalam sesuai dengan ide takhti’ah dan tashwib namun ini tidak seratus persen benar mengingat pandangan Sayyid Al-Murtadha tidak meyakini hadis Ahad (hadis yang diriwayatkan oleh sedikit rawi/tidak lebih dari tiga rawi) membuat kajian ini lebih kompleks lagi.

[58] . Al-Amidi, Saifuddin, Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam juz 4, hal 141.

[59] . Ibnu Sabki, Jam’u Al-Jawami’, juz 2, hal 379.

[60] . Allamah Al-Hilli, Mabadi Al-Wushul ila Ilm Al-Ushul, hal 240. Lihat juga definisi yang senada pada bukunya yang lain Nihayah Al-Ushul.

[61]. Lihat QS. 6: 116, , QS. 10: 36, QS. 49: 12 dan QS. 53: 28.

[62] . Subhani, Ja’far, Ushulu Al-Hadits wa Ahkamuhu fi ‘Ilm Ad-Dirayah, hal 38.

[63] . Imam Khomeini, Rasail, juz 2, hal 125.

[64] . Argumentasi atau bukti apa saja yang dapat membuat seorang mukallaf terbebas dari sebuah kewajiban.

[65] . Akhund Khurasani, Kifayah Al-Ushul, juz 2, hal 422.

[66] . Hal, 9.

[67] . Lihat: Syahid Muhammad Baqir Shadr, Durusun fi ‘Ilmi al-Ushul, jilid 1, hal 165.

...SOALAN CEPU ALIAS MENYENTAP BENAK....

Adakah Jabatan Imam Allah?

Masalah kepemimpinan merupakan salah satu persoalan yang sangat mendasar di dalam kehidupan manusia. Sejak kecil, setiap orang akan mengenal dan berinteraksi dengan persoalan ini. Kita mengenal istilah orang tua sebagai pemimpin di rumah, guru di sekolah, direktur di perusahaan, komandan di keperwiraan, kepala pemerintahan dan seterusnya. Intinya, persoalan kepemimpinan meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Ia menjadi pondasi dan tulang punggung keberlangsungan spesies manusia dimanapun dan kapanpun mereka berada. Tanpa adanya kepemimpinan, maka seluruh pilar dan sistem kehidupan manusia niscaya porak poranda atau khaos—lawan katanya adalah kosmos, yakni teratur. Hal ini sangat jelas sehingga tak perlu pembuktian lagi. Bahkan dalam skala komunitas yang paling sederhana sekalipun, kalimat “broken home” adalah istilah umum yang ditujukan bagi seorang anak yang tidak merasakan adanya figur pemimpin dirumahnya.

Pada dasarnya, makna pemimpin adalah pengatur, pembimbing, penuntun, pengawas, penegak aturan dan pemberi keputusan sehingga hubungan antara kepemimpinan dan keteraturan adalah perkara yang mustahil bisa dipisahkan. Secara esensial, penataan sekelompok masyarakat sangat bergantung pada dua kunci utama bagi terwujudnya suatu tatanan kehidupan yang harmonis, yakni adanya seperangkat aturan atau hukum dan figur pelaksananya atau penegak aturan tersebut yakni hakim. Untuk itu, munculnya kesadaran dan kebutuhan manusia bagi adanya seperangkat hukum dan keberadaan hakim adalah perkara rasional. Sedangkan penolakan atau penerimaan salah satu darinya saja adalah irasional.

Sehubungan dengan hal ini, secara garis besar agama bisa dimaknai sebagai seperangkat aturan yang diharapkan bisa menata hubungan dan perilaku manusia kepada Tuhan dan alam kehidupannya. Di setiap agama, wacana kepemimpinan adalah topik sentral yang tak bisa disepelekan terutama bagi keberlangsungan ajaran tersebut dan juga penganutnya. Saat ini, agama-agama di dunia umumnya dibagi menjadi dua kelompok. Pertama adalah agama-agama yang melandasi ajarannya berdasarkan wahyu atau “agama samawi”. Dan kedua adalah agama-agama yang melandasi ajarannya berdasarkan kebijakan dan tradisi.

Dalam kaitannya dengan studi kristologi, pembahasan komprehensif ditujukan kepada agama-agama yang mendasari ajarannya melalui wahyu Tuhan atau profetisme, yakni kenabian. Dan pada saat ini, agama-agama seperti Islam, Yahudi dan Kristen adalah ajaran-ajaran yang meyakini tentang keberadaan para nabi Tuhan. Secara substansial, kendati masing-masing agama itu punya banyak perbedaan, tapi secara umum, seluruh agama wahyu ini punya satu simpul yang sama, yaitu adanya pengakuan dari masing-masing agama tersebut bahwa Abraham [Islam: Ibrahim] adalah seorang nabi Tuhan.

Di dalam Alkitab Perjanjian Lama (Yudaisme: Tanakh), Abraham memiliki beberapa gelar yang masing-masing mencerminkan jabatan langit yang diembannya. Hal ini memposisikan Abraham sebagai orang pilihan yang mulia disisi Allah dan juga dihadapan keturunan dan para pengikutnya. Dia disebut sebagai nabi (Kej 20:7) [1], bapa sejumlah besar bangsa (Kej 17:15-16) [2], sahabat Allah (2Taw 20:7; Yes 41: 8) [3], dan yang terpenting dari semua adalah raja-imam (Kej: 12:7; 13:4) [4]. Jabatan Abraham sebagai imam Allah ini memang sangat unik dan berbeda dari kedudukan-kedudukan dia sebelumnya sehingga ada pendapat umum bahwa Kejadian 14 merupakan salah satu bab yang paling sukar dalam Kitab Kejadian.[5] Istilah “raja” dan “imam” yang selanjutnya dipadukan menjadi raja-imam mengindikasikan kepada otoritas penuh yang dijabat oleh Abraham dan keturunannya. Yakni sebagai penguasa dan pemimpin sekaligus. Hal ini otomastis berimplikasi bagi adanya suatu wilayah kekuasaan dan kepemimpinan (Kej 17:8-9) [6]. Adapun peristiwa pemberkatan Abraham sebagai Imam Alah bisa ditemukan dalam Kitab Kejadian di pasal 14:1-24. Peran Abraham sebagai pemimpin atau imam yang dipilih dan dinobatkan secara langsung oleh Allah ini—melalui perantaraan Melkisedek—adalah peristiwa yang tak dinafikan kebenarannya, baik oleh Yahudi maupun Kristen.

Secara etimologi, kata “imam” dalam bahasa Ibraninya di Authorized Version (AV) adalah kohen [7] dan nasiy [8]. Masing-masing dari kata ini di ulang sebanyak 750 kali dan 132 kali. Kedudukan ini juga menandai perjanjian atau covenant antara Abraham dan Allah yang mana melalui keturunannya itu Dia akan mengutus seorang yang diurapiNya atau Mesiah, dan akan menjadi berkat bagi seluruh bangsa di bumi (Kej 18:18).[9] Pengesahan kovenan ini ditandai dengan kewajiban penuh bagi Abraham dan keturunannya untuk mentaati hukum-hukum Ilahi berdasarkan prinsip kebenaran dan keadilan.[10]

Untuk itu, kendati sudah ada tiga jabatan langit yang diberikan kepada Abraham, yakni sebagai nabi atau rasul dan kedudukan khususnya sebagai sahabat Allah. Namun masih ada satu jabatan langit terakhir yang tertinggi, yakni sebagai imam Allah. Kedudukan ini juga dianugerahkan kepada Abraham dan keturunan biologisnya. [11] Adapun dari segi pelaksanaan bahwa meskipun jabatan imam Allah ini munculnya belakangan, namun inti dari ajaran Allah kepada manusia itu sendiri sebenarnya baru bisa direalisasikan, apabila hukum-hukum tersebut telah selesai disyariatkan oleh para nabi. Dan setelah itu, syariat ini akan ditegakkan oleh imam-imam Allah yang berasal dari keturunan biologis Abraham. Fakta ini jelas sangat rasional karena tak ada hakim kecuali setelah adanya hukum. Dan hukum pun mustahil bisa ditegakkan kecuali setelah adanya para hakim.

Pada dasarnya, jabatan imam Allah merupakan satu-satunya jabatan tertinggi dan tunas dari “Pohon Kejadian” yang menjadi tujuan atas penciptaan manusia di bumi. [12] Sedangkan kenabian atau kerasulan adalah cabang dari “Pohon Kejadian” tersebut. Artiya, institusi ilahiah ini secara gradual diawali oleh keimaman—yang menduduki puncak dari hierarki rububiyah itu, kemudian disusul dengan kerasulan atau kenabian. Sedangkan penampakan atas jabatan imam Allah di alam dunia (syahadah) secara hierarki adalah kebalikan dari hakekatnya di alam sorgawi (ghayb). Di alam dunia, kemunculan jabatan-jabatan langit ini diawali lebih dahulu dengan kenabian, kerasulan dan imamah.

Setelah Ibraham wafat, jabatan-jabatan ini terus diwariskan melalui keturunan biologis Ismail dan Ishak yang mana keduanya adalah nabi. Dalam Alkitab dinubuatkan bahwa dari Ismail dan keturunannya akan muncul duabelas orang imam “Tentang Ismael, Aku telah mendengarkan permintaanmu; ia akan Kuberkati, Kubuat beranak cucu dan sangat banyak; ia akan memperanakkan dua belas imam, [13] dan Aku akan membuatnya menjadi umat [14] yang besar (Kej 17:20). Kondisi serupa juga ditampakkan kepada bangsa Israel pada zaman Musa as yang mana dia telah diperintahkan oleh Allah untuk melantik duabelas orang imam yang dikepalai oleh Harun dan keturunannya (Bil 17:1-13). Pelantikan para imam Allah ini menandai kesempurnaan RisalahNya dan puncak dari kovenan antara Allah dan para nabi yang ditugaskan untuk menyampaikan AjaranNya kepada manusia. Bahkan fungsi utama dari pengutusan seorang nabi atau rasul itu adalah untuk menegakkan kerajaan imam dan umat yang kudus.Alkitab dan Al-Qur’an menyatakan:

“Jadi sekarang, jika kamu sungguh-sungguh mendengarkan firman-Ku dan berpegang pada perjanjian-Ku, maka kamu akan menjadi harta kesayangan-Ku sendiri dari antara segala bangsa, sebab Akulah yang empunya seluruh bumi. Kamu akan menjadi bagi-Ku kerajaan imam dan bangsa yang kudus. Inilah semuanya firman yang harus kaukatakan kepada orang Israel. (Keluaran 19:5-6)

“Dan ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu, dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putera Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh”. (QS. 33:7)

Sedangkan mengenai perjanjian [mitsaq] yang dimaksudkan itu, maka Al-Qur’an menjelaskan lagi, “Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian dari Bani Israil dan telah Kami angkat di antara mereka 12 orang pemimpin” (QS. 5:12).

Alhasil, substansi yang ingin ditegaskan dalam pengantar yang ringkas ini bahwa status seorang imam di dalam agama Ibrahimik—menurut tinjauan kristologi—itu memang ada dan dipilih secara mutlak oleh Allah sebagaimana halnya kenabian dan kerasulan. Artinya tidak melalui konsensus. Imam Allah adalah jabatan sorgawi yang kudus dan tidak terbentuk melalui mekanisme pemilihan umum ataupun cara-cara lain yang dilandasi oleh perspektif manusia. Sungguh tidak mengherankan bila Al-Qur’an sendiri pernah menegaskan bahwa keluarga Ibrahim as telah dianugerahi suatu kerajaan yang besar.

“Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya? Sesungguhnya Kami memberikan Kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar”. (QS. 4:54)

Secara historis, pena sejarah umat manusia belum pernah mencatat bahwa keluarga Ibrahim ada yang mendirikan monarki keluarga, misalnya seperti Ibrahimiyah, Ismailiyah, Ishakiyah, Yakubiyah, Yusufiyah, Musaiyah atau Haruniyah dan lain sebagainya. Hal itu disebabkan keluarga Ibrahim lebih dikenang sebagai mata airnya kenabian, kerasulan dan imamah. Jika demikian, maka kerajaan besar apakah yang dimaksudkan oleh al-Qur’an itu? Apabila hal ini tidak merujuk kepada mamlakah kohen atau kerajaan imam,[15] tentu akan sulit menemukan makna yang sebenarnya dari ayat tersebut. Lalu, apabila keluarga Ibrahim telah diwariskan kerajaan besar oleh Allah, maka bagaimanakah dengan nasib keluarga Muhammad saw sendiri? Artinya, apakah mungkin dari keturunan Muhammad saw ini akan ada yang menjadi imam-imam Allah seperi yang pernah terjadi di masa para nabi terdahulu yang berasal dari keluarga Ibrahim? Dan apabila jumlah para imam dari keluarga Ibrahim as ini selalu duabelas orang, maka mungkinkah jumlah para imam dari keluarga Muhammad pun juga demikian?

Sebagai penutup, barangkali hadis Nabi saw yang pernah diriwayatkan dalam Sahih Bukhari[16] ini bisa membawa kita kepada kontemplasi mendalam yang selaras dengan pendewasaan beragama. “Jabir ibn Samurah mengatakan, ‘Saya mendengar Nabi berkata: “Akan ada duabelas pemimpin setelah saya.” Kemudian mengatakan, “Saya mendengar ayah saya mengatakan ia mendengar Nabi berkata, “Mereka berasal dari suku Qurays”’”. Wallahu’alam.

Catatan Kaki:

[1]“Jadi sekarang, kembalikanlah isteri orang itu, sebab dia seorang nabi;”.

[2]“Aku akan memberkatinya, dan dari padanya juga Aku akan memberikan kepadamu seorang anak laki-laki, bahkan Aku akan memberkatinya, sehingga ia menjadi ibu bangsa-bangsa; raja-raja bangsa-bangsa akan lahir dari padanya”.

[3] “Bukankah Engkau Allah kami yang menghalau penduduk tanah ini dari depan umat-Mu Israel, dan memberikannya kepada keturunan Abraham, sahabat-Mu itu, untuk selama-lamanya?”; Dan juga “Tetapi engkau, hai Israel, hamba-Ku, hai Yakub, yang telah Kupilih, keturunan Abraham, yang Kukasihi;”.

[4] ”Ketika itu TUHAN menampakkan diri kepada Abram dan berfirman: ‘Aku akan memberikan negeri ini kepada keturunanmu.’ Maka didirikannya di situ mezbah bagi TUHAN yang telah menampakkan diri kepadanya”; Dan juga “ke tempat mezbah yang dibuatnya dahulu di sana; di situlah Abram memanggil nama TUHAN”.

[5] Lembaga Biblika Indonesia, Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, disunting oleh Dianne Bergant, CSA dan Robert J. Karris, OFM (Jakarta: Penerbit Kanisius, 2002) hal. 52.

[6] “Kepadamu dan kepada keturunanmu akan Kuberikan negeri ini yang kaudiami sebagai orang asing, yakni seluruh tanah Kanaan akan Kuberikan menjadi milikmu untuk selama-lamanya; dan Aku akan menjadi Allah mereka.’ Lagi firman Allah kepada Abraham: ‘Dari pihakmu, engkau harus memegang perjanjian-Ku, engkau dan keturunanmu turun-temurun”.

[7] Kata kohen artinya imam atau pendeta (priest), orang yang memiliki (own), penguasa tertinggi (chief ruler), pejabat (officer), pangeran atau putra mahkota (princes).

[8] Kata nasiy’ atau nasi’ artinya pangeran atau putra mahkota (prince), kapten (captain), ketua (chief), penguasa (ruler), beruap atau menguap (vapours), gubernur pemerintahan (governor), awan (clouds), bagian (part). Secara definisi adalah orang yang ditinggikan (one lifted up) atau imam (leader) dan uap yang terangkat, yakni selalu meninggi dari lainnya (raising mist).

[9] “Oleh keturunanmulah semua bangsa di bumi akan mendapat berkat, karena engkau mendengarkan firman-Ku”.

[10] “Sebab Aku telah memilih dia, supaya diperintahkannya kepada anak-anaknya dan kepada keturunannya supaya tetap hidup menurut jalan yang ditunjukkan TUHAN, dengan melakukan kebenaran dan keadilan, dan supaya TUHAN memenuhi kepada Abraham apa yang dijanjikan-Nya kepadanya.” (Kej 18:19).

[11] Bandingkan juga beberapa kedudukan Nabi Ibrahim as yang disampaikan dalam Al-Qur’an, yaitu: Pertama, sebagai nabi “Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat benar dan seorang Nabi”. (QS. 19:41). Kedua, ayat al-Qur’an ini memaparkan dua sisi, yaitu kedudukan Ibrahim as sebagai rasul dan juga moyang bagi sejumlah besar bangsa yang mana keturunannya itu akan mewarisi jabatan kenabian dan kerasulan “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh dan Ibrahim dan Kami jadikan kepada keturunan keduanya kenabian dan Al Kitab, maka di antara mereka ada yang menerima petunjuk dan banyak di antara mereka yang fasik”. (QS. 57:26). Ketiga, sebagai khalil atau sahabat Allah “Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya”. (QS. 4:125). Keempat, sebagai imam “Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhanya dengan beberapa kalimat, lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: ‘Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu sebagai imam bagi seluruh manusia.’ Ibrahim berkata: ‘dan dari keturunanku.’ Allah berfirman: ‘JanjiKu tidak mengenai orang-orang yang zalim’”. (QS. 2:124).

[12] “Manusia adalah puncak dari seluruh penciptaan. Kelebihan ciptaan ini digarisbawahi oleh kenyataan bahwa hanya manusialah yang diciptakan menurut “gambar” atau “rupa Allah”. [Dikutip dari Lembaga Biblika Indonesia, Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, disunting oleh Dianne Bergant, CSA dan Robert J. Karris, OFM (Jakarta: Penerbit Kanisius, 2002) hal. 35]. Bandingkan dengan ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang kedudukan manusia sebagai khalifah Allah dimuka (QS. 2:30) dan hadis Nabi saw yang mengatakan bahwa Adam diciptakan dari citranya.

[13] Saya sengaja mengganti kata “raja”—seperti yang ada diterjemahan Alkitab LAI—dengan kata “imam”, karena kata “raja” adalah terjemahan yang tidak tepat. Dalam bahasa Ibrani kata “raja” adalah melek, sedangkan Authorized Version (AV) tidak menyebut kata tersebut di ayat ini melek (raja) tapi nasiy’ (imam). Yakni suatu posisi atau jabatan langit tertinggi yang berasal dari Allah saja. Kedudukan ini juga diikrarkan kembali pada zaman Musa, sewaktu Allah memerintahkannya untuk mengangkat duabelas orang pemimpin atau imam dari kalangan bangsa Israel (Bdk. Bil 17:1-6). Seluruh kata yang diterjemahkan “pemimpin” di ayat tersebut di dalam AV adalah nasiy’, persis seperti kedudukan yang diberikan kepada keturunan Ismail di Kej 17:20.

[14] Saya sengaja mengganti kata “bangsa”—seperti yang diterjemahkan dalam Alkitab bahasa Indonesia—dengan kata “umat”, karena kata asli di teks Ibraninya adalah goy yang dalam bahasa Inggris bisa diterjemahkan nation dan people. Walaupun demikian, pengunaan kata “bangsa” bukan berarti keliru, hanya saja dalam kajian mesianisme Yahudi, mereka sering mengaitkan hal ini dalam konteks kebangsaan atau keturunan biologis mereka saja (nationality) yakni partikular. Sedangkan dalam mesianisme Kristen, para penafsirnya telah melepas arti “keturunan biologis” Ibrahim ini sepenuhnya dan menguniversalkan maknanya (people). (lih. Ro 4:16; Ga 3:29). Padahal, janji Allah ini memang terkait dengan kedua sisi tersebut yakni kebangsaan dan juga manusia secara umum.

[15] “Dan Kami jadikan di antara mereka itu imam-imam yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami”. (QS. 32:24; 21:73; 28:5).

[16] Sahih Bukhari, bagian 9, “Kitab al-Maqadam”, hal. 1000. Sementara dalam Musnad Ahmad diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud bahwa ia bertanya kepada Nabi tentang para khalifahnya. Beliau berkata, “Mereka duabelas orang seperti suku bani Isra’il yang dua belas.” (Musnad Ahmad, Jilid 1, hal. 398).