RTCCTV-Live kuliah-Prerecording majlis-

Tuesday, August 26, 2008

Kedudukan An-Nafs dan Perjuangannya

Sifat, Nama Tahapan, dan Kedudukan Nafs dalam Perjuangan dan Peningkatannya Cetak E-mail
Ditulis Oleh Mahmoud Mostafa
Jumaat, 09 Mei 2008
Sebuah terjemahan dari teks klasik oleh Mahmoud Mostafa, yang membahas sifat, nama tahapan dan kedudukan nafs dalam perjuangan dan peningkatannya. Dalam al-Quran disebutkan secara umum lima tingkatan jiwa manusia. Oleh kaum arif, diperinci menjadi tujuh tahapan, bahwa nafs bisa saja naik sampai pada kedudukan yang paling indah; atau ia bisa turun sampai pada kedudukan yang terendah dari yang rendah.

Sebelumnya telah jelas bagi kita bahwa ada tiga musuh utama dan penyebab kerusakan dan kesesatan manusia. Pertama, hasrat ego (hawa an-nafs). Juga dikenal sebagai nafsu tersembunyi. Ini adalah musuh nomor satu dan yang paling berbahaya, karena jika ia ada, maka kedua musuh yang lainnya akan ada, dan tanpanya, maka musuh dari dalam nafs tak akan ada pula. Musuh ini berada jauh di dalam hakikat umat manusia, yakni di dalam nafs-nya, di sebelah kiri, dan bersifat mendorong kepada pelanggaran (fujur). Ia adalah lawan dari sisi kanan jiwa yang bersifat mendorong kepada kesadaran (taqwa).

Pelanggaran jiwa terjadi di dalam hasratnya dan hasratnya itu berarti nafsunya kepada kebanggaan diri (aku!) dan kebebasan (kekuasaan dan kedengkian tanpa batas). Musuh ini adalah penyebab utama penzaliman diri sendiri pada manusia. Penzaliman ini menuntun kepada penolakan dan politeisme, atau kepada kesesatan, keingkaran, dan dosa-dosa. Tidak ada obat bagi kedua hasrat ini kecuali melalui mengingatkan nafs secara terus-menerus tentang hidupnya yang sementara dan tentang kematian yang pasti datang. “Sesungguhnya nafsu itu selalu memerintahkan kepada keburukan kecuali bagi mereka yang telah diberi pengampunan oleh Tuhanku.” (QS. Yusuf [12]: 53)

Kedua, hasrat akan hiasan dunia (syahwat ad-dunya). Ini adalah musuh yang kedua, namun ia ada di luar hakikat umat manusia. Ia adalah senjata Iblis yang dimainkannya di depan mata yang penuh birahi dari hasrat ego. Jadi ia membuatnya seperti cermin yang menarik perhatian nafs dan menggodanya, sehingga ia berbelok dan bergerak menuju kesenangan pribadi dan keterikatan pada hasrat dan kecintaannya pada dunia material, yang mendorongnya hingga terjatuh ke dalam kepalsuan duniawi dan lautan kebinasaan.

Satu-satunya obat bagi hasrat ini adalah bersikap sadar dan tegas terhadap sifat sementara dari dunia ini, dan kesadaran akan perlunya manusia untuk melepaskan diri dari keterikatan kepadanya. Yaitu dengan mengetahui bahwa dunia hanyalah rumah sementara dan tempat ujian dan cobaan. Yaitu dengan memahami bahwa dunia ini adalah bagian dari sebuah rangkaian keabadian; sebelumnya ia merupakan rumah bagi atom (dar az-zhar) dan sesudahnya, akan muncul tahap lain, yakni alam isthmus (alam al-barzakh). Hasrat kepada dunia ada lima, sebagaimana dijelaskan dalam al-Quran, “Kecintaan pada hasrat telah dibuat menjadi indah bagi manusia: yaitu kepada perempuan-perempuan, keturunan, emas dan perak, kuda-kuda yang gagah, ternak, dan pertanian.” (QS. Ali Imran [3]: 14)

Ketiga, setan adalah musuh yang ketiga (syaitan ar-rajim). Dia juga berada di luar hakikat manusia. Perannya adalah untuk menggoda, menyesatkan, dan mempercantik segala yang salah dan terlarang dan keji di dunia ini agar membuat nafs menjadi terikat pada semua itu melalui hasratnya. Ia tak punya maksud selain merayu dan menggoda ego, dan tak punya senjata selain menghidupkan dan menyetir kedua hasrat ego, yaitu “keakuan” dan “kekuasaan” sehingga manusia akan merasa bangga dengan dirinya sendiri, dan pada gilirannya memperjauh kesesatannya. Dengan cara ini, setan menuntun manusia untuk mengarah pada kekafiran dan politeisme, atau keingkaran dan dosa-dosa. Tiada obat atau pun pencegahan untuk hal ini kecuali dengan terus-menerus mengingat dan mencari pertolongan Allah, dan menyandarkan kepercayaan kepada-Nya. “Sesungguhnya setan adalah musuhmu, maka jadikanlah ia musuhmu.” (QS. Fathir [35]: 6)

Naik atau turunnya nafs tergantung pada derajat pengobatan dan perlindungan dari ketiga musuh ini. Jadi, nafs bisa saja naik sampai pada kedudukan “…kedudukan yang paling indah.” Atau ia bisa turun sampai pada kedudukan “…yang terendah dari yang rendah.”

Al-Quran menyebutkan lima tingkatan jiwa manusia. Tahap dasar adalah yang ada bersama kelahiran kita, yang disebut dengan jiwa yang penuh celaan (nafs al-lawwamah). Jika diabaikan dan dibiarkan dengan dorongan dan hasratnya, maka ia akan naik kepada jiwa yang penuh perintah (nafs al-ammarah). Dan jika ia berkembang dan dipelihara melalui usaha dan pertahanan diri melawan hasrat-hasratnya, maka insya Allah, ia akan naik ke tingkatan tertinggi, yakni kedekatan, kebahagiaan, dan kecintaan pada Allah dan Rasul-Nya saw. Tingkat yang lebih tinggi ini ada tiga, yang tepat di atas jiwa yang penuh celaan tadi adalah jiwa yang tenteram (nafs al-muthmainah), diikuti oleh jiwa yang puas (nafs ar-radhiyyah), dan akhirnya pada jiwa yang diridhai (nafs al-mardhiyyah), dan inilah yang dimaksud dengan jiwa yang meraih tempat dan kedudukan asalnya, yang merupakan “…kedudukan yang paling indah.”

Para arif (arifin) telah merinci dan memaparkan masalah ini dan mempermudah umat Islam untuk memahaminya, dan mempraktikkannya, agar tindakan pencegahan dan pengobatan menjadi mudah. Mereka menjabarkan tujuh tingkat dari lima cakupan yang disebutkan dalam al-Quran:

1. Jiwa yang penuh perintah (nafs al-ammarah)

Zikir yang tepat untuk menanganinya adalah La Ilâha illallah (Tiada tuhan selain Allah). Ia adalah tingkatan jiwa yang paling rendah dan yang paling buruk. Di dalamnya ditemukan hasrat dan nafsu yang ekstrim akan kebanggaan diri dan kekuasaan. Jadi, ia terikat pada karakteristik yang paling buruk, yang oleh Allah dan Nabi-Nya saw, kita diperingatkan untuk mewaspadainya. Misalnya, kekaguman pada diri sendiri, arogansi dan kesombongan, kekerasan hati, kesenangan membeberkan kesalahan orang lain, berbohong, gosip, main belakang, iri, dengki, senang mengkritik, memuji diri dengan pujian tak pantas, tidak ramah, selalu menginginkan apa yang dimiliki orang lain bahkan walau yang dimilikinya lebih baik, selalu kurang puas, kurang bersyukur, buta terhadap karunia yang diterima, berharap maju tanpa usaha, egois berlebihan, ketamakan dan keserakahan yang tak berbatas, senang menguasai, cinta pada diri dan hasrat-hasratnya, kebencian pada yang mengkritik walaupun itu demi kebaikannya sendiri, dan cinta pada yang memuji walaupun mereka itu munafik, menolak nasihat dan bimbingan, dan hanya peduli pada dirinya sendiri.

Jiwa yang penuh perintah ini secara umum dibagi menjadi dua tingkat: Pertama, jiwa binatang (nafs al-hayawaniyyah); ia adalah jiwa yang mengejar hasrat-hasrat sensual dan kepemilikan materi tanpa peduli itu benar atau salah, adil atau zalim, halal atau haram. Ia tenggelam dalam kesenangan kepemilikan, seks, dan perhiasan. Ia penuh dengan nafsu, kejahatan, dan tidak manusiawi. Ia membenci agama, dan mencintai dirinya sendiri dengan penuh keegoisan. Ia tidak tahu apa itu puas, malu, rasa syukur, rasa hormat, dan tak pula punya sikap yang baik.

Kedua, jiwa setan (nafs al-iblisiyyah); ia bahkan lebih rendah dari jiwa binatang, karena kecintaannya pada dirinya sendiri telah mencapai tahap di mana ia menantang Allah untuk bersaing dalam ketuhanan dan kekuasaan-Nya. “Aku adalah tuhan kamu sekalian….” Kata Firaun, dan kata Iblis, “Aku lebih baik dari dia (Adam)…”

Jiwa yang penuh perintah ini ada pada hati yang berpenyakit. Jika hati itu tak disembuhkan, maka nafs ini akan melanjutkan perjalanannya sampai hati yang terbutakan dan akhirnya terkunci. Akar dari jiwa ini adalah, ia yakin bahwa dirinya itu sempurna, dan bahwa yang lainnya rusak, dan bahwa semua orang lain akan mati sedangkan dirinya tetap abadi. Ia dinamakan dengan istilah itu karena begitu banyaknya permintaan dan ajakan yang harus segera dipenuhi untuk memuaskan hasratnya. Jadi, ia menginginkan sesuatu, dan sebelum itu terpenuhi, ia akan meminta sesuatu yang lain, demikian terus-menerus. Manusia pada tahap ini adalah kawan dan dicintai setan, dan musuh Allah Yang Maha Pengasih. “Kecuali pada mereka yang Allah tunjukkan kasih-sayang.”

2. Jiwa yang penuh celaan (nafs al-lawwamah)

Zikir penyembuhnya adalah Allah (Tuhan). Ia adalah jiwa yang ada bersamaan dengan lahirnya seorang manusia ke dunia, sebagaimana firman Allah, “Demi Dia Yang membawa jiwa kepada keseimbangan, yang mengilhamkan kepadanya dengan penyimpangan dan ketakwaannya.” (QS. Syams [91]: 7-8)

Ini adalah jiwa yang telah disentuh oleh kasih-sayang Allah, sehingga ketika ia melakukan dosa atau terjatuh dalam kemungkaran, maka ia akan mencela dirinya sendiri dan kembali memohon ampunan dan bertobat kepada Penciptanya. Lalu ia akan terus taat sampai ia tergelincir kembali ke dalam dosa, lalu ia kembali mohon ampun dan bertobat, dan seterusnya. Ini sesuai dengan apa yang dikatakan Baginda Nabi saw, “Semua manusia itu cenderung untuk berbuat dosa, dan pendosa yang terbaik adalah yang bertobat.” Ia adalah jiwa yang terus-menerus berada dalam fluktuasi antara ketaatan dan kemungkaran. Di satu waktu ia tak peduli dan terjatuh, di waktu lain ia sadar dan bertahan.

Ini adalah kedudukan awal di mana kita mulai melangkah sejak lahir, dan dari sana kita turun atau naik. Ciri-cirinya adalah terjadinya fluktuasi antara karakteristik antara penghuni dunia ini dan penghuni alam setelah dunia ini. Kondisinya tidak sama jahatnya dengan jiwa yang penuh perintah, tetapi hasratnya akan kebanggaan diri dan kekuasaan masih aktif di dalamnya, walaupun takarannya sudah sangat ditekan atau dilemahkan. Ini adalah tahap pertama untuk mencapai keselamatan bagi jiwa, dan langkah pertama untuk menuju penyucian jiwa dan keberhasilannya.

3. Jiwa yang terilhami (nafs al-mulhamah)

Zikirnya adalah Hu (kata ganti Tuhan, DIA). Ia adalah jiwa yang telah naik melalui perjuangan dan komitmen terhadap jalannya yang sejati, dari tingkat jiwa yang penuh celaan menuju jiwa yang secara terus-menerus memohon pengampunan dan bertobat, baik ia berbuat dosa atau pun tidak. Ini disebabkan oleh keyakinannya bahwa akar dari sifat-sifatnya adalah ketidaksempurnaan, kesalahan, kelemahan, dan ketidaklengkapan.

Pada tingkatan ini, jiwa terilhami dengan kecintaan tahap awal kepada perbuatan baik (amal saleh), dan kepada al-Quran, dan ajaran Nabi saw. Ia juga terilhami oleh kecintaan kepada zikir, dan untuk memohon pengampunan (istigfar), dan untuk meluruskan niatnya (niyyah), dan untuk memperbarui tobatnya (tawbah).

Ini adalah tahap terakhir bahaya bagi jiwa, karena ia masih tak terjaga dari kemungkinan turun kepada tingkatan yang lebih rendah, yaitu nafsu lawwamah dan nafsu ammarah. Pada tingkat ini, hasrat akan kebanggaan diri dan kekuasaan telah tidur, kecuali terlintasnya kedua hasrat itu dalam pikiran.

4. Jiwa yang tenteram (nafs al-muthmainnah)

Zikirnya adalah Haqq (Kebenaran). Ia adalah jiwa yang telah naik kepada tingkatan tahap yang pertama, dan meniti tangga menuju kedekatan, kebahagiaan, dan kecintaan pada Allah. Penyuciannya ini diperoleh melalui meningkatkan komitmen, dan ia memenuhi kewajibannya dengan penuh ketulusan dan kejujuran, dengan berpegang pada jalan yang hakiki dalam semua aspeknya, khususnya dalam hubungannya dengan sesama manusia dan dalam budi pekertinya, sebelum ibadah-ibadah ritual. Nabi saw bersabda, “Jalan (agama) itu ada pada budi pekerti,” dan “Yang paling baik budi pekertinya di antara kalian adalah yang terbaik keimanannya.”

Jiwa yang tenteram ini telah memasuki jalan, metode, dan sarana perlindungan dan pengobatan melalui menghitung kesalahan diri, bertahan dari godaan, berjuang, dan dengan kesetiaan. Semua upaya ini membuahkan hasil berupa keyakinan atas kebenaran bahwa hanya Allah sajalah Yang berkuasa. Dia adalah Penyebab dan Penggerak segala sesuatu, karena tiada tuhan selain Dia dan tiada penguasa selain Dia. Dan dalam segala tindakan-Nya, Allah adalah Pengasih dan Pemurah. Dia mengetahui yang paling bermanfaat bagi jiwa ini. Keyakinan ini mengarahkan jiwa pada kepercayaan pada Allah. Ia mengarahkannya pada sifat Pengasih dan Pemurah-Nya. Jiwa ini menjadi yakin bahwa yang bersama dengan Allah adalah lebih baik dan lebih bertahan daripada segala sesuatu yang menjadi miliknya atau yang dimiliki oleh orang lain. Dengan begitu, ia mencapai keyakinan yang lengkap kepada Tuhannya; Dia Yang mengetahui apa yang terbaik baginya, dan Dia adalah Rabb Yang Terbaik, dan Penjaga (wakil) Yang Terbaik. Jadi, jiwa akan menjadi tenteram dan berhenti menimbuni dirinya dengan segala sesuatu selain apa yang telah berhasil diyakininya, yaitu Tuhannya, Allah.

Pada posisi ini, jiwa memperluas kapasitasnya di luar upaya dan kesungguhannya dalam bertobat. Ketika ia merasa tenteram bersama Allah, pada dirinya ia memberikan posisi tambahan seperti harapan (raja) dan ketakutan (khawf) dan kepercayaan kepada-Nya (tawakkal). Pada tingkatan ini, jiwa yang tenteram senantiasa berzikir kepada Allah baik di lidah maupun di hatinya. “Bukankah dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram?” (QS. Rad [13]: 28)

Ini adalah tahap pertama bagi sempurnanya (kamal) jiwa. Hati mulai bersinar dengan cahaya kesadaran. Kekuatan ego mulai menyusut, sehingga kesucian, keindahan, kejelasan, dan cahaya mendominasi hati, sehingga ia menjadi jiwa yang tenteram. Pada tingkatan ini, hasrat-hasrat kebanggaan diri dan kekuasaan jadi sepenuhnya terhalangi, dan keduanya kembali kepada pemiliknya yang sejati, yakni Allah. Kini jiwa mulai menunjukkan sifat-sifat sejatinya yang sebelumnya tersembunyi, yang berupa sifat-sifat kehambaan (ubudiyyah), tak berdaya (‘ajz), kehinaan (zhull), kemiskinan (faqr), membutuhkan (ihtiyaj), dan kefanaan (fana).

5. Jiwa yang puas (nafs ar-radhiyyah)

“Kembalilah kepada Tuhanmu dengan rasa puas…” (QS. al-Fajar [89]: 28)

Zikirnya adalah Hayy (Hidup). Ketika jiwa yang tenteram naik kepada Tuhannya, cahaya hatinya semakin terang dan memenuhi keseluruhan tubuh, mengubah hasrat-hasrat sensual ego menjadi hasrat yang telah diajarkan oleh Nabi saw dari dalam al-Quran dan sunah. Kini hasratnya sepenuhnya hanya untuk hal-hal seperti itu dan secara mutlak puas bersama Tuhannya. Kini kesulitan dan kemudahan menjadi sama baginya, sebagaimana kerugian dan keberuntungan, dan memberi atau menerima, karena setelah menjadi tenteram, ia yakin bahwa semua tindakan dan perbuatan itu sebenarnya berasal hanya dari Allah. Dia adalah Tuan, Penguasa, dan Penciptanya. Dia adalah Yang memberinya pengampunan dan kasih-sayang. Dia adalah Yang Lembut dan Pemurah kepadanya. Segala sesuatu yang berasal dari yang dicintainya pasti diterima olehnya, dan ia puas bersamanya. Ia puas dengan apa pun yang diperintahkan Allah untuk dilakukannya.

Pada tahap ini, watak jiwa ini adalah: jika diuji ia bersabar, jika diberi ia bersyukur, jika dijauhkan dari keuntungan ia menerima, jika ada perbuatan salah kepadanya ia memaafkan. Kini ia menjadi jiwa dengan hati yang tenang dan indah. Ia berjalan di semua kedudukannya, antara kepercayaan (tawwakal) dan merasa jauh (tafwid), kepuasan (ridha), dan menyerah (taslim) kepada Allah. Sifat dari jiwa ini adalah selalu ceria, penuh syukur, dan rasa terima-kasih tak peduli apa pun yang terjadi. Ini adalah tingkatan kedua dari jiwa yang sempurna (nafs al-kamilah), yang merupakan tahap penghambaan. Dengan naik kepada tingkat ini, jiwa yang puas telah memasuki tingkat pertama dari “…kedudukan yang paling indah.” Tingkatan ini terhubung dengan tingkatan di atasnya.

6. Jiwa yang diridai (nafs al-mardiyyah)

“Kembalilah pada Tuhanmu dengan rasa puas dan diridai-Nya” (QS. al-Fajar [89]: 28)

Zikirnya adalah Qayyum (Yang Hidup dengan Sendirinya) pada tahapan ini jiwa bukan hanya puas dengan Tuhannya tapi juga diridai-Nya. “Allah rida dengan mereka dan mereka rida dengan-Nya.” (QS. Bayyinah [98]: 8)

Rasulullah saw ditanya, “Kapankah kami akan mencapai rida Allah?” Dia menjawab, “Ketika kalian rida dengan Tuhan kalian.”

Pada tahap ini, cahaya hati telah disempurnakan. Hati bertolak dari hati yang tenang (qalb salim) menuju hati yang secara total merasa takut (khasyiyah) kepada Allah, secara terus-menerus cenderung (munib) kepada-Nya, dihiasi dengan kesahajaan (haya’) di hadapan-Nya setiap saat.

“Barangsiapa yang takut kepada Allah secara diam-diam dan datang kepada-Nya dengan hati yang bertobat. Masuklah surga dengan damai. Itu adalah hari yang kekal. Di dalamnya mereka akan peroleh apa pun yang mereka kehendaki, dan bersama Kami ada kelebihannya.” (QS. Qaf [50]: 33-35)

Orang-orang pada tahap ini adalah mereka yang menyaksikan manifestasi-manifestasi berbagai tindakan dari nama-nama Allah (musyahadat tajalliyyat afa’al Allah). Manifestasi kekuasaan Allah yang telah mereka saksikan dalam hati telah membuat mereka merasa takut di hadapan Kebesaran dan Kekuasaan Allah dalam segala tindakan-Nya, yang pada hakikatnya adalah manifestasi dari nama-nama-Nya. Orang pada tingkatan ini juga dikaruniai penyingkapan dan mukjizat-mukjizat untuk membuat mereka bisa mengajak manusia menuju cinta Allah. Pada hakikatnya mukjizat ini ditujukan bagi mereka yang menyangkal dan menolak kebenaran, namun pada saat yang sama menyeru kepada Allah. Kepada mereka Allah mengirimkan mukjizat melalui orang pada tingkatan ini, sehingga ego mereka akan tunduk kepada mukjizat-mukjizat tersebut, dan mereka akan kembali ke jalan Allah. Karena ketika Allah mencintai salah seorang hamba-Nya, maka Dia akan mencarinya dan memanggilnya kepada-Nya. Jika dipanggil satu kali hamba itu memberi respon, maka ia akan dibawa mendekati Allah. Allah mencari hamba-Nya itu melalui cobaan-cobaan, atau melalui mukjizat. Karena perintah Allah itu harus menjadi kenyataan dan sepenuhnya wajib terlaksana.

Tingkatan ini adalah tingkatan iman yang terakhir, dan melaluinya jiwa memasuki tingkatan “….kedudukan yang paling indah” (ihsan), yang merupakan tujuan dan hasrat bagi seluruh hamba.

7. Jiwa yang sempurna (nafs al-kamilah)

Juga dikenal dengan istilah jiwa cahaya (nafs al-nuraniyyah), jiwa Muhammadan (nafs al-Muhammadiyyah), dan jiwa yang mencinta (nafs al-muhibbah).

“Allah akan mendatangkan suatu kaum yang dicintai-Nya dan yang mencintai-Nya; mereka akan rendah hati kepada orang-orang beriman dan tegas terhadap yang ingkar. Mereka akan berjuang di jalan Allah dan tidak akan takut celaan dari orang-orang yang mencela. Itu adalah karunia Allah yang diberikan-Nya kepada siapa pun di antara hamba-hamba yang dikehendaki-Nya. Allah Mahaluas (karunia-Nya) dan Maha Mengetahui.” (QS. al-Maidah [5]: 54)

“Maka ikutilah aku dan Allah, dan Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosamu. Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran [3]: 31)

Zikir lahiriahnya adalah Qahhar (Yang Memaksa) dan zikir batiniahnya adalah Wadud (Yang Mencintai). Ini adalah tingkatan kesempurnaan penghambaan terhadap Allah, melalui kesempurnaan mengikuti ajaran-ajaran manusia yang dicintai-Nya, Muhammad saw. Orang yang mencapai tingkatan ini dikaruniai dengan pengetahuan tentang cinta Allah yang sempurna baginya dan bagi Nabi-Nya saw.

Ini adalah tingkatan keindahan (Maqam al-Ihsan) dan ia di atas semua tingkatan iman yang sebelumnya. Pada tahap ini seorang hamba telah sepenuhnya mencapai tingkatan “…kedudukan yang paling indah.” Dan karenanya, ia memasuki cahaya manusia yang dicintai-Nya, yang terpilih, pada jarak "Two bow's lengths or nearer," dari langkah-langkah kekasih-Nya, Muhammad saw. Ini adalah tahap terakhir dalam tingkatan-tingkatan jiwa. Tahap ini tidak memiliki akhir dalam peningkatan dan keindahannya. Orang-orang pada tahapan ini, dalam hati mereka tidak terdapat apa pun selain kecintaan pada Allah dan Rasul-Nya, dan pada mereka yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Pada tahap ini, jiwa yang sempurna menjadi cermin bagi hakikat cahaya kerasulan jiwa Muhammadan, sehingga ia mencapai sifat-sifat kecintaan dan penghambaan yang sempurna. Pada tahap ini jiwa menikmati cahaya-cahaya manifestasi sifat-sifat dan hakikat Allah (tajalliyat ash-shifat wa adz-dzat al-Illahiyyah), sehingga ia bergerak dalam cahaya kebahagiaan dalam semua kedudukan dan tahapannya. Ia adalah jiwa malaikat cahaya yang berada dalam tubuh manusia. Ia tak lagi egois; ia tak memiliki pilihan, dan jika ia diberi pilihan, maka ia akan memilih hanya yang dicintai dan disukai Allah. Jika ditanya, apakah ia merasa memperoleh karunia atau dijauhkan darinya, maka ia tidak akan tahu, karena cinta telah menguasainya dan sehingga, ia telah secara total tidak dikuasai oleh sebab-sebab. Ia terhinakan melalui cinta (hubb), kekaguman (walah), dan hasrat (isyq), menuju cahaya keindahan hakikat Tuhan pemilik sebab-sebab, yang merupakan Kecintaannya dan Pelindungnya. Orang-orang pada tahap ini adalah orang-orang yang menjadi Kecintaan dan Hasrat Tuhan. Mereka adalah orang-orang yang mengikuti jejak sejati Muhammad saw.

Mereka sibuk dengan kecintaan dan ibadah kepada Kebenaran Sejati, dan tidak tertarik kepada makhluk kecuali untuk memenuhi kewajiban mereka. Dan karena mereka telah menjadi cermin bagi cahaya Muhammadan, dengan kokoh mereka selalu dalam Lingkupan Kenabian. Segala gerak, diam, perkataan, dan perbuatan mereka adalah dari Allah, melalui Allah, dan menuju Allah. Seluruh hati mereka mengikuti Manusia Terkasih dan Terpilih, Shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam, karena mereka telah mengetahui melalui Allah bahwa dia (Nabi) adalah kekasih pertama, cahaya yang pertama yang bersujud, menyembah, dan menghamba kepada-Nya. Barangsiapa dari para pecinta yang mematuhi, mencintai, dan meneladaninya dalam sifat, perbuatan, dan ibadahnya, akan memperoleh kecintaan Allah.

Orang-orang seperti ini adalah hamba-hamba yang telah dibawa mendekat (muqarrabun) dan telah dipilih, dan telah mencapai kepastian bahwa kewajiban mereka yang pertama setelah penghambaan adalah mencintai Allah dan Rasul-Nya. Ini dilakukan dengan tetap mematuhi hukum dan menjunjung tinggi agamanya. Mereka adalah para pemuka dalam pengetahuan agama dan mereka merupakan cahaya kearifan di dalam Kebenaran. Melalui cahaya di dalam hati mereka, manusia lain yang ada di sekitar mereka menjadi tersinari, dan berkat zikir-zikir merekalah, pengampunan diturunkan. Mereka telah memiliki segala yang mereka inginkan, dan mereka hanya menghendaki kecintaan Allah dan Rasul-Nya. Mereka tidak mencari dunia ini, tak pula mereka dikuasai oleh dunia yang selanjutnya. Segala perhatian mereka adalah untuk mencapai kedekatan dengan Allah, untuk mendengar dari-Nya, selalu berdekatan dengan-Nya, karena mereka menganggap bahwa sedetik saja perpisahan dari-Nya adalah siksaan yang lebih pedih daripada neraka. “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa kepada Tuhan itu berada di dalam taman-taman dan sungai-sungai, di tempat kebenaran, dalam kehadiran Tuhan Yang Mahakuasa” (QS. al-Qamar [54]: 55).[]

Dialihbahasakan oleh Anna Farida dari “The Attributes and Names of the Ranks and Stations of the Nafs in its Striving and Elevation.”

No comments:

...SOALAN CEPU ALIAS MENYENTAP BENAK....

Adakah Jabatan Imam Allah?

Masalah kepemimpinan merupakan salah satu persoalan yang sangat mendasar di dalam kehidupan manusia. Sejak kecil, setiap orang akan mengenal dan berinteraksi dengan persoalan ini. Kita mengenal istilah orang tua sebagai pemimpin di rumah, guru di sekolah, direktur di perusahaan, komandan di keperwiraan, kepala pemerintahan dan seterusnya. Intinya, persoalan kepemimpinan meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Ia menjadi pondasi dan tulang punggung keberlangsungan spesies manusia dimanapun dan kapanpun mereka berada. Tanpa adanya kepemimpinan, maka seluruh pilar dan sistem kehidupan manusia niscaya porak poranda atau khaos—lawan katanya adalah kosmos, yakni teratur. Hal ini sangat jelas sehingga tak perlu pembuktian lagi. Bahkan dalam skala komunitas yang paling sederhana sekalipun, kalimat “broken home” adalah istilah umum yang ditujukan bagi seorang anak yang tidak merasakan adanya figur pemimpin dirumahnya.

Pada dasarnya, makna pemimpin adalah pengatur, pembimbing, penuntun, pengawas, penegak aturan dan pemberi keputusan sehingga hubungan antara kepemimpinan dan keteraturan adalah perkara yang mustahil bisa dipisahkan. Secara esensial, penataan sekelompok masyarakat sangat bergantung pada dua kunci utama bagi terwujudnya suatu tatanan kehidupan yang harmonis, yakni adanya seperangkat aturan atau hukum dan figur pelaksananya atau penegak aturan tersebut yakni hakim. Untuk itu, munculnya kesadaran dan kebutuhan manusia bagi adanya seperangkat hukum dan keberadaan hakim adalah perkara rasional. Sedangkan penolakan atau penerimaan salah satu darinya saja adalah irasional.

Sehubungan dengan hal ini, secara garis besar agama bisa dimaknai sebagai seperangkat aturan yang diharapkan bisa menata hubungan dan perilaku manusia kepada Tuhan dan alam kehidupannya. Di setiap agama, wacana kepemimpinan adalah topik sentral yang tak bisa disepelekan terutama bagi keberlangsungan ajaran tersebut dan juga penganutnya. Saat ini, agama-agama di dunia umumnya dibagi menjadi dua kelompok. Pertama adalah agama-agama yang melandasi ajarannya berdasarkan wahyu atau “agama samawi”. Dan kedua adalah agama-agama yang melandasi ajarannya berdasarkan kebijakan dan tradisi.

Dalam kaitannya dengan studi kristologi, pembahasan komprehensif ditujukan kepada agama-agama yang mendasari ajarannya melalui wahyu Tuhan atau profetisme, yakni kenabian. Dan pada saat ini, agama-agama seperti Islam, Yahudi dan Kristen adalah ajaran-ajaran yang meyakini tentang keberadaan para nabi Tuhan. Secara substansial, kendati masing-masing agama itu punya banyak perbedaan, tapi secara umum, seluruh agama wahyu ini punya satu simpul yang sama, yaitu adanya pengakuan dari masing-masing agama tersebut bahwa Abraham [Islam: Ibrahim] adalah seorang nabi Tuhan.

Di dalam Alkitab Perjanjian Lama (Yudaisme: Tanakh), Abraham memiliki beberapa gelar yang masing-masing mencerminkan jabatan langit yang diembannya. Hal ini memposisikan Abraham sebagai orang pilihan yang mulia disisi Allah dan juga dihadapan keturunan dan para pengikutnya. Dia disebut sebagai nabi (Kej 20:7) [1], bapa sejumlah besar bangsa (Kej 17:15-16) [2], sahabat Allah (2Taw 20:7; Yes 41: 8) [3], dan yang terpenting dari semua adalah raja-imam (Kej: 12:7; 13:4) [4]. Jabatan Abraham sebagai imam Allah ini memang sangat unik dan berbeda dari kedudukan-kedudukan dia sebelumnya sehingga ada pendapat umum bahwa Kejadian 14 merupakan salah satu bab yang paling sukar dalam Kitab Kejadian.[5] Istilah “raja” dan “imam” yang selanjutnya dipadukan menjadi raja-imam mengindikasikan kepada otoritas penuh yang dijabat oleh Abraham dan keturunannya. Yakni sebagai penguasa dan pemimpin sekaligus. Hal ini otomastis berimplikasi bagi adanya suatu wilayah kekuasaan dan kepemimpinan (Kej 17:8-9) [6]. Adapun peristiwa pemberkatan Abraham sebagai Imam Alah bisa ditemukan dalam Kitab Kejadian di pasal 14:1-24. Peran Abraham sebagai pemimpin atau imam yang dipilih dan dinobatkan secara langsung oleh Allah ini—melalui perantaraan Melkisedek—adalah peristiwa yang tak dinafikan kebenarannya, baik oleh Yahudi maupun Kristen.

Secara etimologi, kata “imam” dalam bahasa Ibraninya di Authorized Version (AV) adalah kohen [7] dan nasiy [8]. Masing-masing dari kata ini di ulang sebanyak 750 kali dan 132 kali. Kedudukan ini juga menandai perjanjian atau covenant antara Abraham dan Allah yang mana melalui keturunannya itu Dia akan mengutus seorang yang diurapiNya atau Mesiah, dan akan menjadi berkat bagi seluruh bangsa di bumi (Kej 18:18).[9] Pengesahan kovenan ini ditandai dengan kewajiban penuh bagi Abraham dan keturunannya untuk mentaati hukum-hukum Ilahi berdasarkan prinsip kebenaran dan keadilan.[10]

Untuk itu, kendati sudah ada tiga jabatan langit yang diberikan kepada Abraham, yakni sebagai nabi atau rasul dan kedudukan khususnya sebagai sahabat Allah. Namun masih ada satu jabatan langit terakhir yang tertinggi, yakni sebagai imam Allah. Kedudukan ini juga dianugerahkan kepada Abraham dan keturunan biologisnya. [11] Adapun dari segi pelaksanaan bahwa meskipun jabatan imam Allah ini munculnya belakangan, namun inti dari ajaran Allah kepada manusia itu sendiri sebenarnya baru bisa direalisasikan, apabila hukum-hukum tersebut telah selesai disyariatkan oleh para nabi. Dan setelah itu, syariat ini akan ditegakkan oleh imam-imam Allah yang berasal dari keturunan biologis Abraham. Fakta ini jelas sangat rasional karena tak ada hakim kecuali setelah adanya hukum. Dan hukum pun mustahil bisa ditegakkan kecuali setelah adanya para hakim.

Pada dasarnya, jabatan imam Allah merupakan satu-satunya jabatan tertinggi dan tunas dari “Pohon Kejadian” yang menjadi tujuan atas penciptaan manusia di bumi. [12] Sedangkan kenabian atau kerasulan adalah cabang dari “Pohon Kejadian” tersebut. Artiya, institusi ilahiah ini secara gradual diawali oleh keimaman—yang menduduki puncak dari hierarki rububiyah itu, kemudian disusul dengan kerasulan atau kenabian. Sedangkan penampakan atas jabatan imam Allah di alam dunia (syahadah) secara hierarki adalah kebalikan dari hakekatnya di alam sorgawi (ghayb). Di alam dunia, kemunculan jabatan-jabatan langit ini diawali lebih dahulu dengan kenabian, kerasulan dan imamah.

Setelah Ibraham wafat, jabatan-jabatan ini terus diwariskan melalui keturunan biologis Ismail dan Ishak yang mana keduanya adalah nabi. Dalam Alkitab dinubuatkan bahwa dari Ismail dan keturunannya akan muncul duabelas orang imam “Tentang Ismael, Aku telah mendengarkan permintaanmu; ia akan Kuberkati, Kubuat beranak cucu dan sangat banyak; ia akan memperanakkan dua belas imam, [13] dan Aku akan membuatnya menjadi umat [14] yang besar (Kej 17:20). Kondisi serupa juga ditampakkan kepada bangsa Israel pada zaman Musa as yang mana dia telah diperintahkan oleh Allah untuk melantik duabelas orang imam yang dikepalai oleh Harun dan keturunannya (Bil 17:1-13). Pelantikan para imam Allah ini menandai kesempurnaan RisalahNya dan puncak dari kovenan antara Allah dan para nabi yang ditugaskan untuk menyampaikan AjaranNya kepada manusia. Bahkan fungsi utama dari pengutusan seorang nabi atau rasul itu adalah untuk menegakkan kerajaan imam dan umat yang kudus.Alkitab dan Al-Qur’an menyatakan:

“Jadi sekarang, jika kamu sungguh-sungguh mendengarkan firman-Ku dan berpegang pada perjanjian-Ku, maka kamu akan menjadi harta kesayangan-Ku sendiri dari antara segala bangsa, sebab Akulah yang empunya seluruh bumi. Kamu akan menjadi bagi-Ku kerajaan imam dan bangsa yang kudus. Inilah semuanya firman yang harus kaukatakan kepada orang Israel. (Keluaran 19:5-6)

“Dan ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu, dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putera Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh”. (QS. 33:7)

Sedangkan mengenai perjanjian [mitsaq] yang dimaksudkan itu, maka Al-Qur’an menjelaskan lagi, “Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian dari Bani Israil dan telah Kami angkat di antara mereka 12 orang pemimpin” (QS. 5:12).

Alhasil, substansi yang ingin ditegaskan dalam pengantar yang ringkas ini bahwa status seorang imam di dalam agama Ibrahimik—menurut tinjauan kristologi—itu memang ada dan dipilih secara mutlak oleh Allah sebagaimana halnya kenabian dan kerasulan. Artinya tidak melalui konsensus. Imam Allah adalah jabatan sorgawi yang kudus dan tidak terbentuk melalui mekanisme pemilihan umum ataupun cara-cara lain yang dilandasi oleh perspektif manusia. Sungguh tidak mengherankan bila Al-Qur’an sendiri pernah menegaskan bahwa keluarga Ibrahim as telah dianugerahi suatu kerajaan yang besar.

“Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya? Sesungguhnya Kami memberikan Kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar”. (QS. 4:54)

Secara historis, pena sejarah umat manusia belum pernah mencatat bahwa keluarga Ibrahim ada yang mendirikan monarki keluarga, misalnya seperti Ibrahimiyah, Ismailiyah, Ishakiyah, Yakubiyah, Yusufiyah, Musaiyah atau Haruniyah dan lain sebagainya. Hal itu disebabkan keluarga Ibrahim lebih dikenang sebagai mata airnya kenabian, kerasulan dan imamah. Jika demikian, maka kerajaan besar apakah yang dimaksudkan oleh al-Qur’an itu? Apabila hal ini tidak merujuk kepada mamlakah kohen atau kerajaan imam,[15] tentu akan sulit menemukan makna yang sebenarnya dari ayat tersebut. Lalu, apabila keluarga Ibrahim telah diwariskan kerajaan besar oleh Allah, maka bagaimanakah dengan nasib keluarga Muhammad saw sendiri? Artinya, apakah mungkin dari keturunan Muhammad saw ini akan ada yang menjadi imam-imam Allah seperi yang pernah terjadi di masa para nabi terdahulu yang berasal dari keluarga Ibrahim? Dan apabila jumlah para imam dari keluarga Ibrahim as ini selalu duabelas orang, maka mungkinkah jumlah para imam dari keluarga Muhammad pun juga demikian?

Sebagai penutup, barangkali hadis Nabi saw yang pernah diriwayatkan dalam Sahih Bukhari[16] ini bisa membawa kita kepada kontemplasi mendalam yang selaras dengan pendewasaan beragama. “Jabir ibn Samurah mengatakan, ‘Saya mendengar Nabi berkata: “Akan ada duabelas pemimpin setelah saya.” Kemudian mengatakan, “Saya mendengar ayah saya mengatakan ia mendengar Nabi berkata, “Mereka berasal dari suku Qurays”’”. Wallahu’alam.

Catatan Kaki:

[1]“Jadi sekarang, kembalikanlah isteri orang itu, sebab dia seorang nabi;”.

[2]“Aku akan memberkatinya, dan dari padanya juga Aku akan memberikan kepadamu seorang anak laki-laki, bahkan Aku akan memberkatinya, sehingga ia menjadi ibu bangsa-bangsa; raja-raja bangsa-bangsa akan lahir dari padanya”.

[3] “Bukankah Engkau Allah kami yang menghalau penduduk tanah ini dari depan umat-Mu Israel, dan memberikannya kepada keturunan Abraham, sahabat-Mu itu, untuk selama-lamanya?”; Dan juga “Tetapi engkau, hai Israel, hamba-Ku, hai Yakub, yang telah Kupilih, keturunan Abraham, yang Kukasihi;”.

[4] ”Ketika itu TUHAN menampakkan diri kepada Abram dan berfirman: ‘Aku akan memberikan negeri ini kepada keturunanmu.’ Maka didirikannya di situ mezbah bagi TUHAN yang telah menampakkan diri kepadanya”; Dan juga “ke tempat mezbah yang dibuatnya dahulu di sana; di situlah Abram memanggil nama TUHAN”.

[5] Lembaga Biblika Indonesia, Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, disunting oleh Dianne Bergant, CSA dan Robert J. Karris, OFM (Jakarta: Penerbit Kanisius, 2002) hal. 52.

[6] “Kepadamu dan kepada keturunanmu akan Kuberikan negeri ini yang kaudiami sebagai orang asing, yakni seluruh tanah Kanaan akan Kuberikan menjadi milikmu untuk selama-lamanya; dan Aku akan menjadi Allah mereka.’ Lagi firman Allah kepada Abraham: ‘Dari pihakmu, engkau harus memegang perjanjian-Ku, engkau dan keturunanmu turun-temurun”.

[7] Kata kohen artinya imam atau pendeta (priest), orang yang memiliki (own), penguasa tertinggi (chief ruler), pejabat (officer), pangeran atau putra mahkota (princes).

[8] Kata nasiy’ atau nasi’ artinya pangeran atau putra mahkota (prince), kapten (captain), ketua (chief), penguasa (ruler), beruap atau menguap (vapours), gubernur pemerintahan (governor), awan (clouds), bagian (part). Secara definisi adalah orang yang ditinggikan (one lifted up) atau imam (leader) dan uap yang terangkat, yakni selalu meninggi dari lainnya (raising mist).

[9] “Oleh keturunanmulah semua bangsa di bumi akan mendapat berkat, karena engkau mendengarkan firman-Ku”.

[10] “Sebab Aku telah memilih dia, supaya diperintahkannya kepada anak-anaknya dan kepada keturunannya supaya tetap hidup menurut jalan yang ditunjukkan TUHAN, dengan melakukan kebenaran dan keadilan, dan supaya TUHAN memenuhi kepada Abraham apa yang dijanjikan-Nya kepadanya.” (Kej 18:19).

[11] Bandingkan juga beberapa kedudukan Nabi Ibrahim as yang disampaikan dalam Al-Qur’an, yaitu: Pertama, sebagai nabi “Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat benar dan seorang Nabi”. (QS. 19:41). Kedua, ayat al-Qur’an ini memaparkan dua sisi, yaitu kedudukan Ibrahim as sebagai rasul dan juga moyang bagi sejumlah besar bangsa yang mana keturunannya itu akan mewarisi jabatan kenabian dan kerasulan “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh dan Ibrahim dan Kami jadikan kepada keturunan keduanya kenabian dan Al Kitab, maka di antara mereka ada yang menerima petunjuk dan banyak di antara mereka yang fasik”. (QS. 57:26). Ketiga, sebagai khalil atau sahabat Allah “Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya”. (QS. 4:125). Keempat, sebagai imam “Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhanya dengan beberapa kalimat, lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: ‘Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu sebagai imam bagi seluruh manusia.’ Ibrahim berkata: ‘dan dari keturunanku.’ Allah berfirman: ‘JanjiKu tidak mengenai orang-orang yang zalim’”. (QS. 2:124).

[12] “Manusia adalah puncak dari seluruh penciptaan. Kelebihan ciptaan ini digarisbawahi oleh kenyataan bahwa hanya manusialah yang diciptakan menurut “gambar” atau “rupa Allah”. [Dikutip dari Lembaga Biblika Indonesia, Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, disunting oleh Dianne Bergant, CSA dan Robert J. Karris, OFM (Jakarta: Penerbit Kanisius, 2002) hal. 35]. Bandingkan dengan ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang kedudukan manusia sebagai khalifah Allah dimuka (QS. 2:30) dan hadis Nabi saw yang mengatakan bahwa Adam diciptakan dari citranya.

[13] Saya sengaja mengganti kata “raja”—seperti yang ada diterjemahan Alkitab LAI—dengan kata “imam”, karena kata “raja” adalah terjemahan yang tidak tepat. Dalam bahasa Ibrani kata “raja” adalah melek, sedangkan Authorized Version (AV) tidak menyebut kata tersebut di ayat ini melek (raja) tapi nasiy’ (imam). Yakni suatu posisi atau jabatan langit tertinggi yang berasal dari Allah saja. Kedudukan ini juga diikrarkan kembali pada zaman Musa, sewaktu Allah memerintahkannya untuk mengangkat duabelas orang pemimpin atau imam dari kalangan bangsa Israel (Bdk. Bil 17:1-6). Seluruh kata yang diterjemahkan “pemimpin” di ayat tersebut di dalam AV adalah nasiy’, persis seperti kedudukan yang diberikan kepada keturunan Ismail di Kej 17:20.

[14] Saya sengaja mengganti kata “bangsa”—seperti yang diterjemahkan dalam Alkitab bahasa Indonesia—dengan kata “umat”, karena kata asli di teks Ibraninya adalah goy yang dalam bahasa Inggris bisa diterjemahkan nation dan people. Walaupun demikian, pengunaan kata “bangsa” bukan berarti keliru, hanya saja dalam kajian mesianisme Yahudi, mereka sering mengaitkan hal ini dalam konteks kebangsaan atau keturunan biologis mereka saja (nationality) yakni partikular. Sedangkan dalam mesianisme Kristen, para penafsirnya telah melepas arti “keturunan biologis” Ibrahim ini sepenuhnya dan menguniversalkan maknanya (people). (lih. Ro 4:16; Ga 3:29). Padahal, janji Allah ini memang terkait dengan kedua sisi tersebut yakni kebangsaan dan juga manusia secara umum.

[15] “Dan Kami jadikan di antara mereka itu imam-imam yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami”. (QS. 32:24; 21:73; 28:5).

[16] Sahih Bukhari, bagian 9, “Kitab al-Maqadam”, hal. 1000. Sementara dalam Musnad Ahmad diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud bahwa ia bertanya kepada Nabi tentang para khalifahnya. Beliau berkata, “Mereka duabelas orang seperti suku bani Isra’il yang dua belas.” (Musnad Ahmad, Jilid 1, hal. 398).