RTCCTV-Live kuliah-Prerecording majlis-

Tuesday, August 26, 2008

Filsafat Hikmah (al-muta'aliyah)

Filsafat Hikmah dan Agama Masa Depan Cetak E-mail
Ditulis Oleh Musa Kazhim Habsyi
Jumaat, 09 Mei 2008


Sebelum berbicara tentang hikmah muta’aliyah (selanjutnya kita sebut sebagai filsafat hikmah), saya perlu mengemukakan sejumlah pendahuluan berikut. Pertama, manusia adalah makhluk yang secara intrinsik (fitriah) mencari kesempurnaan. Fitrah ini mendorong manusia untuk terus-menerus berevolusi dan menyempurna. Kedua, dalam mencari kesempurnaan ini manusia akan mengandalkan pelbagai daya yang telah dimilikinya. Ketiga, pengetahuan dalam pengertian luas adalah kriteria untuk mengukur tingkat evolusi dan kesempurnaan manusia. Keempat, setidaknya ada enam kategori pengetahuan manusia:

  1. Pengetahuan hudhuri/badihi (fitrah);
  2. Pengetahuan rasional (akal);
  3. Pengetahuan indrawi (panca indra);
  4. Pengetahuan mistis/emosional (hati);
  5. Pengetahuan imajiner (imajinasi);
  6. Pengetahuan keagamaan (wahyu/teks suci).

Kelima, pengetahuan hudhuri merupakan pijakan dasar bagi seluruh tindak pengetahuan manusia. Untuk jenis pengetahuan ini, manusia hanya perlu untuk menyadarinya secara langsung dan introspektif. Dalam pengetahuan ini tidak ada jarak antara subjek dan objek, ranah ontologis dan epistemologis melebur jadi satu.

Keenam, pengetahuan rasional berpusat pada akal, dengan sifat yang universal dan abstrak. Ketujuh, pengetahuan indrawi diperoleh lewat panca indra. Pengetahuan ini bersifat spasio-temporer, partikular dan berubah-ubah, sesuai dengan hukum-hukum yang mengatur alam fisik.

Kedelapan, pengetahuan mistis/hati (ma’rifah qalbiyah) adalah pengetahuan yang bersumber dari lintasan-lintasan hati. Pengetahuan ini memiliki sejumlah kendala yang berasal dari watak-watak yang merusak (al-malakat al-fasidah). Sifat pengetahuan ini adalah partikular abstrak.

Kesembilan, pengetahuan imajiner bersumber pada daya imajinasi dan angan-angan manusia. Imajinasi berperan menghidupkan dan mengembangkan kognisi manusia tentang objek-objek partikular. Kesepuluh, pengetahuan keagamaan bersumber pada teks-teks suci. Al-Quran dan hadis adalah dua sumber utama pengetahuan keagamaan dalam konteks Islam. Pemahaman atas al-Quran mestilah berangkat dari al-Quran itu sendiri atau dari hadis-hadis yang mendampinginya.

Filsafat Hikmah

Bertolak dari sepuluh pendahuluan di atas, kita bisa memahami proyek filsafat hikmah secara utuh dan ringkas. Untuk menjelaskan proyek filsafat hikmah, makalah ini akan berpijak pada rumusan-rumusan Mulla Shadra dan Allamah Thabathaba’i. Ada beberapa langkah menarik yang diambil oleh Mulla Shadra, untuk merumuskan kompleksitas proyek filsafat hikmah dengan segenap implikasinya.

Pertama, meletakkan sistem filsafat hikmah di atas sejumlah dasar pengetahuan hudhuri/badihi, sambil menegaskan bahwa semua dasar itu bersifat swabukti (self-evident). Dasar-dasar swabukti tidak memerlukan pembuktian (burhanah) atau pengukuhan (itsbat), melainkan hanya memerlukan pemaparan atau penjelasan.

Kedua, menurunkan sejumlah prinsip rasional-filosofis untuk mendukung bangunan filsafatnya dari prinsip-prinsip swabukti yang telah diketahui manusia secara hudhuri tersebut.

Ketiga, menyelaraskan prinsip-prinsip rasional-filosofis yang bersumber pada prinsip-prinsip swabukti dengan sejumlah mukasyafah (penyingkapan batin) para mistikus. Kategori pengetahuan ini juga sering disebut dengan ilmu gaib atau ilmu laduni.

Keempat, menyelaraskan prinsip-prinsip rasional-filosofis dan mukasyafah dengan teks-teks suci dalam rangka memperteguh dan memperluas bangunan filsafat hikmah.

Kelima, mengajukan metodologi sistematis untuk mencapai kebenaran utuh sebagaimana tersebut di atas secara teoritis dan praktis.

Dalam karya utamanya yang berjudul Hikmah Muta’aliyah fi al-Asfar al-Arba’ah (Hikmah yang Mengemuncak dalam Empat Perjalanan Manusia), Mulla Shadra secara panjang-lebar memaparkan lima langkah yang telah diambilnya untuk menemukan kebenaran tertinggi, kebenaran utuh, yang tidak sekedar bersifat rasional-filosofis, mistis-emosional, tekstual-keagamaan, tetapi juga kebenaran dalam pengertian realisasi langsung (tahaqquq).

Dalam pengantar al-Asfar, Mulla Shadra menyatakan:

“Teori-teori diskursif hanya akan mempermainkan para pemegangnya dengan keragu-raguan. Kelompok yang datang belakangan akan melaknat kelompok yang datang sebelumnya, sehingga ‘Setiap umat yang masuk (ke dalam neraka) akan melaknat umat sebelumnya (yang telah ikut menyesatkannya).’” (QS. al-A’raf [7]: 38)1

Persis dalam pengantar ini, dia mulai melancarkan pukulan bertubi-tubi pada kalangan Paripatetik yang bersikukuh memegang akal dan prinsip-prinsip rasional sebagai satu-satunya alat penyingkap kebenaran. Menurut Mulla Shadra, akal punya keterbatasan, sebagaimana alat-alat pengetahuan manusia lainnya. Karena itu, diperlukan suatu metodologi yang mensinergikan semua potensi yang ada, sehingga masing-masing potensi itu dapat mengambil perannya dalam mengantarkan manusia kepada kebenaran seutuhnya dan puncak kesempurnaannya.

Selanjutnya, dalam Mafatih al-Ghayb, Mulla Shadra menuturkan:

“Banyak orang yang bergelut dalam ilmu pengetahuan menyangkal (adanya) ilmu gaib laduni (langsung dari sisi Allah) yang dicapai oleh para ahli suluk dan ahli makrifat (yang lebih kuat dan lebih kukuh dibanding semua kategori ilmu lain) dengan mengatakan, ‘Apakah ada ilmu tanpa proses belajar, berpikir dan bernalar?’”2

Kemudian dia memaparkan bukti-bukti filosofis untuk menepis keragu-raguan semacam itu. Seperti biasa, dia membingkai bukti-bukti filosofisnya dengan dalil-dalil tekstual yang melimpah ruah.

Dalam sistem filsafat hikmah, metode rasional-filosofis tidak bisa berdiri secara terpisah dari metode penyucian hati dan begitu pula sebaliknya; keduanya saling membutuhkan, sedemikian sehingga bila yang satu berjalan tanpa yang lain maka kerancuan dan kesesatan akan terjadi.

Mulla Shadra menyatakan, “Kaum sufi biasanya mencukupkan diri pada rasa dan intuisi (wijdan) dalam mengambil kesimpulan, sedangkan kami tidak akan berpegang pada apa yang tidak berdasarkan pada bukti-bukti demonstratif (burhan).”3

Kemudian Mulla Shadra meneruskan, “Janganlah engkau peduli pada pelbagai kepura-puraan puak sufi, dan jangan pula engkau gandrung pada pelbagai celoteh para filosof gadungan. Hati-hatilah wahai sahabatku, atas kejahatan kedua puak ini. Semoga Allah tidak mempertemukan kita dan mereka walau hanya sekejap mata.”4

Di tempat lain, dia menyimpulkan, “Oleh sebab itu, yang paling tepat adalah kembali kepada metode kami dalam memperoleh makrifat dan pengetahuan dengan memadu-padankan metode para filosof yang bertuhan (muta’allih) dan para mistikus yang beragama Islam.”5

Upaya Mulla Shadra mendamaikan metode rasional-filosofis dan spiritual-mistis dengan ajaran-ajaran Islam sesungguhnya berangkat dari keyakinannya pada keunggulan Islam. Baginya, keunggulan Islam yang menggabungkan kekuatan rasional dengan kekayaan spiritual hanya bisa dipahami dan diapresiasi melalui kedua metode ini secara seimbang.

Dalam al-Mabda wa al-Ma’ad, Mulla Shadra secara singkat memaparkan keserasian bukti-bukti rasional dan ajaran-ajaran tradisional Islam. Pada karya utamanya, al-Asfar, secara ekstensif ia meneguhkan keserasian metode filosofis dan mistis dengan ajaran-ajaran Islam. Ia menandaskan, “Adalah mustahil hukum-hukum syariat yang hak, Ilahi dan putih-bersih berbenturan dengan pengetahuan yang swabukti; dan celakalah aliran filsafat yang prinsip-prinsipnya tidak selaras dengan al-Quran dan sunah.”6

Dasar-dasar

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, prinsip-prinsip utama filsafat hikmah semuanya bersifat hudhuri (swabukti atau self-evident), sehingga pengukuhan filsafat ini dapat dilakukan secara introspektif. Berikut adalah sebagian dari prinsip-prinsip utama filsafat hikmah:

Pertama, para pendukung filsafat ini menyatakan bahwa wujud atau ada merupakan konsep sederhana yang secara langsung bisa dimengerti tanpa perantara konsep lain (badihah mafhum al-wujud).7

Kedua, wujud merupakan konsep yang berlaku secara umum atas segala sesuatu dengan pengertian tunggal (mafhum al-wujud musytarakun ma’nawi).8

Ketiga, prinsip yang disebut dengan ashalah al-wujud yang berintikan bahwa wujud adalah ungkapan bagi realitas secara mutlak yang mau tak mau pasti kita akui keberadaannya.9 Di luar itu, yakni segenap ungkapan dan konsep lain yang terdapat dalam perbendaharaan bahasa manusia yang dalam istilah para filosof disebut dengan mahiyah adalah rekaan manusia (i’tibariyah). Semua konsep selain wujud hanyalah batasan konseptual atau ilustrasi dari wujud.10

Keempat, untuk menjelaskan keberagaman wujud yang kita saksikan secara langsung di alam raya ini, filsafat hikmah mengajukan prinsip yang disebut dengan tasykik al-wujud. Intinya, wujud yang mutlak itu merupakan kenyataan atau realitas yang bertingkat-tingkat.11 Contoh yang lazim digunakan untuk menggambarkan kebertingkatan itu adalah cahaya sebagai realitas yang bergradasi.

Kelima, setiap titik dalam wujud yang bertingkat-tingkat itu mengalami proses evolusi yang terus-menerus dalam suatu gerakan substansial. Perlu dicatat bahwa dalam wacana filsafat, gerak (harakah) diartikan sebagai proses aktualisasi potensi (khuruj al-quwwah ila al-fi’li). Inilah prinsip yang disebut dengan al-harakah al-jauhariyyah.

Keenam, gerakan substansial dalam konteks manusia terjadi melalui hubungan subjek dengan objek. Subjek di sini adalah ruh, jiwa atau akal, sementara objek adalah pengetahuan yang dicerapnya (ilm). Jadi, pertumbuhan ruh manusia ditentukan oleh objek-objek pengetahuan yang dicerapnya, persis sebagaimana pertumbuhan tubuh ditentukan oleh gizi yang dimakannya. Makin tinggi nilai objek-objek pengetahuannya, makin subur dan “sehat” ruh itu. Sebaliknya, makin rendah nilai objek-objek pengetahuannya, makin lemah, “sakit,” dan surut ruh itu. Inilah prinsip yang dalam filsafat hikmah disebut dengan ittihad al-aqil bi al-ma’qul.

Beberapa Implikasi

Filsafat hikmah merupakan pengembangan atas pesan-pesan al-Quran dan sunah. Dalam banyak kesempatan, Mulla Shadra sang jurubicara ulung sangat berbangga karena dapat merumuskan sistem filosofis yang sepenuhnya berpijak di atas dasar teks-teks al-Quran dan sunah. Seperti telah kita kutip di atas, Mulla Shadra mengecam spekulasi filosofis liar yang tidak berpijak pada wahyu Ilahi. Baginya, semua spekulasi filosofis yang tidak bermuara pada teks-teks suci hanya akan berakhir dengan kesimpulan-kesimpulan yang membingungkan dan menyesatkan. Penegasan tersebut merupakan langkah besar dalam sejarah panjang filsafat Islam, mengingat hal itu berarti berita tentang lahirnya filsafat Islam yang sebenarnya.

Atas dasar itu, Mulla Shadra menyebut filsafatnya dengan al-hikmah atau al-hikmah al-Ilahiyyah. Hikmah merupakan istilah yang secara khas dipakai oleh al-Quran dan sunah dalam bermacam makna. Al-Quran menyebutkan tugas kenabian sebagai pengajaran al-Quran dan hikmah (QS. 2: 129, 3; 48, 3: 164, dan sebagainya). Lantas, Allah meminta Nabi Muhammad saw untuk menyeru ke jalan-Nya dengan al-hikmah (QS 16: 125). Dalam surah al-Baqarah ayat 269, al-Quran menyebut al-hikmah sebagai anugerah kebaikan yang besar.

Filsafat hikmah tidak mengajak orang untuk sekadar berwacana, tetapi bergerak secara konstan dalam kerangka ajaran-ajaran Islam yang bercirikan hikmah (kebijaksanaan, ketegasan, kepastian). Dalam wujud yang luas ini, filsafat hikmah menempatkan manusia sebagai entitas unik yang dapat berkembang sedemikian sehingga substansinya terus meninggi (atau menurun). Filsafat hikmah mengapresiasi proses evolusi manusia ini dengan mendayagunakan semua potensi yang telah dimilikinya.

Dalam pelbagai karya mereka, para pendukung filsafat hikmah selalu menggambarkan bahwa manusia adalah suatu kemenjadian yang secara konstan mengalir tanpa henti. Manusia bukan merupakan entitas yang mandeg, melainkan terus bergerak menaiki atau menuruni deretan tak-terbatas dari tingkatan-tingkatan wujud. Pernyataan seperti ini sebenarnya menjelaskan ajaran pokok semua agama mengenai manusia sebagai makhluk unik yang bergerak dalam suatu gerakan yang tak-terelakkan melewati “kematian” menuju “surga” ataupun “neraka.”

Berdasarkan prinsip-prinsip filsafat hikmah, kita dapat menghayati teks-teks suci, khususnya yang berbicara tentang hal-hal gaib, dalam bentuk yang lebih filosofis. Umpamanya, dalam banyak kesempatan, Mulla Shadra sering mengutip ayat-ayat dan hadis-hadis Nabi Muhammad saw atau pun para imam Syiah mengenai hubungan satu amalan kecil dengan pahala besar yang dihasilkannya. Hubungan-hubungan antara alam gaib dan alam fisik ini dijelaskan sebagai hubungan antara satu tingkat dengan tingkat lain dalam piramida wujud yang tunggal.

Filsafat hikmah menyadarkan kita bahwa semua kerja manusia punya nilainya yang tersendiri, betapa pun tidak berartinya nilai itu dalam perskeptif suatu tingkatan wujud tertentu. Di dalam wujud yang bergerak secara konstan ini, hal-hal kecil akan berpengaruh terhadap proses evolusi manusia selanjutnya. Manusia yang berpikir tentang batu pasti akan dipengerahui oleh citranya tentang batu, sampai akhirnya ia akan menyerap sifat-sifat batu itu secara total.

Oleh sebab itu, para pendukung filsafat hikmah sangat menekankan pentingnya kita untuk mengkaji teks-teks suci sebagai satu-satunya rujukan pasti mengenai hubungan-hubungan alam fisik dan alam gaib. Setiap tindakan fisik kita akan mempunyai dampak terhadap dimensi ruhani-gaib kita yang pada gilirannya akan kembali menghantui kita sehingga kita melakukan hal-hal lain yang akan berpengaruh terhadap dimensi ruhani-gaib kita dan begitulah seterusnya. Hubungan-hubungan yang saling berjalin-berkelindan ini dijelaskan dalam filsafat hikmah berdasarkan bukti-bukti filosofis yang diperkuat oleh teks-teks suci dan penyingkapan mistis.

Catatan Akhir

Kebangkitan atau renaisans Islam tidak boleh diukur dari kemajuan dalam bidang-bidang teknis-perindustrian, lantaran manusia menuju puncak kesempurnaannya justru melalui pembebasan dirinya dari kondisi-kondisi alam yang melingkupinya. Makin sempurna manusia, makin bebas ia dari hal-hal material dan makin bertumpu ia pada kekuatan kemanusiaannya.

Dengan kata lain, kesempurnaan manusia ditentukan oleh ciri khasnya sebagai manusia, yaitu kesempurnaan daya-daya intelektual dan spiritualnya. Oleh karena itu, langkah manusia menuju kesempurnaan berbanding lurus dengan langkah pembebasannya dari materi dan pendekatannya ke arah pengetahuan, keruhaniaan dan keimanan.

Maksud ungkapan ‘bebas dari materi’ bukanlah ‘hidup dalam kevakuman yang jauh dari alam materi,’ melainkan penguasaan dan pengendalian manusia atas kondisi-kondisi material dan bukan sebaliknya. Kalau di masa-masa lampau manusia sedemikian bergantung pada kondisi-kondisi material yang mengurungnya, maka di masa-masa mendatang ia pasti akan makin mandiri dari lingkungan materialnya. Manusia masa depan akan makin sanggup mengendalikan dan memanfaatkan semua potensi dan kapasitas material untuk pergerakan substansialnya mendaki puncak-puncak kesempurnaan manusiawinya yang hakiki.

Oleh sebab itu, agama masa depan mestilah merupakan pandangan dunia yang memiliki sendi logis-rasional yang utuh, sendi emosional-spiritual yang kaya, mengandung gagasan-gagasan yang mendalam dan menghunjam, tidak saling beradu dan berbenturan, serta mengandung cita-cita besar yang luhur dan suci.

Agama masa depan mesti mampu menjelaskan semua ajarannya dalam bentuk penuturan logis-filosofis yang lancar dan memuaskan, tidak dalam bentuk yang dipaksakan dan dibuat-buat. Agama yang demikian ini juga harus bisa menghadirkan harapan dan kegairahan spiritual bagi manusia, sedemikian sehingga manusia dapat merasakan adanya makna di balik perjalanan hidupnya yang serba-singkat dan sarat-penderitaan ini.

Salah satu implikasi terbesar dari kehadiran filsafat hikmah di tengah-tengah umat adalah munculnya kesadaran bahwa Islam memiliki semua syarat dan kelayakan untuk menjadi agama masa depan. Tidak berlebihan bila saya katakan bahwa filsafat hikmah yang sepenuhnya bersumber pada al-Quran dan sunah ini menggugah kita untuk kembali menghayati ajaran-ajaran Islam. Bagaimana tidak! Filsafat hikmah telah berhasil menampilkan Islam sebagai puncak dari ribuan tahun tradisi agama semitik, rasionalisme Yunani, dan mistisisme Timur yang telah banyak menyumbang perkembangan peradaban manusia di muka bumi.[]

Catatan Kaki:

1. Mulla Shadra, al-Asfar, Maktabah al-Mushthafawi, 1378 H, Qum, Bagian Pengantar.

2. Mulla Shadra, Mafatihul Ghayb, Muassasah Muthala’at va Tahqiqat Farhanggi, Tehran, tanpa tahun, hal.48.

3. Ibid, hal.55.
4. Ibid, hal.56.
5. Ibid, hal.56.
6. Op.Cit, hal.23.

7. Thabathaba’i, Bidayatul Hikmah, Muassasah an-Nasyr al-Islami, 1422 H., Qum, hal.11.

8. Ibid, hal.12.
9. Ibid, hal.14.
10. Ibid, hal.20.
11. Ibid, hal.24.

No comments:

...SOALAN CEPU ALIAS MENYENTAP BENAK....

Adakah Jabatan Imam Allah?

Masalah kepemimpinan merupakan salah satu persoalan yang sangat mendasar di dalam kehidupan manusia. Sejak kecil, setiap orang akan mengenal dan berinteraksi dengan persoalan ini. Kita mengenal istilah orang tua sebagai pemimpin di rumah, guru di sekolah, direktur di perusahaan, komandan di keperwiraan, kepala pemerintahan dan seterusnya. Intinya, persoalan kepemimpinan meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Ia menjadi pondasi dan tulang punggung keberlangsungan spesies manusia dimanapun dan kapanpun mereka berada. Tanpa adanya kepemimpinan, maka seluruh pilar dan sistem kehidupan manusia niscaya porak poranda atau khaos—lawan katanya adalah kosmos, yakni teratur. Hal ini sangat jelas sehingga tak perlu pembuktian lagi. Bahkan dalam skala komunitas yang paling sederhana sekalipun, kalimat “broken home” adalah istilah umum yang ditujukan bagi seorang anak yang tidak merasakan adanya figur pemimpin dirumahnya.

Pada dasarnya, makna pemimpin adalah pengatur, pembimbing, penuntun, pengawas, penegak aturan dan pemberi keputusan sehingga hubungan antara kepemimpinan dan keteraturan adalah perkara yang mustahil bisa dipisahkan. Secara esensial, penataan sekelompok masyarakat sangat bergantung pada dua kunci utama bagi terwujudnya suatu tatanan kehidupan yang harmonis, yakni adanya seperangkat aturan atau hukum dan figur pelaksananya atau penegak aturan tersebut yakni hakim. Untuk itu, munculnya kesadaran dan kebutuhan manusia bagi adanya seperangkat hukum dan keberadaan hakim adalah perkara rasional. Sedangkan penolakan atau penerimaan salah satu darinya saja adalah irasional.

Sehubungan dengan hal ini, secara garis besar agama bisa dimaknai sebagai seperangkat aturan yang diharapkan bisa menata hubungan dan perilaku manusia kepada Tuhan dan alam kehidupannya. Di setiap agama, wacana kepemimpinan adalah topik sentral yang tak bisa disepelekan terutama bagi keberlangsungan ajaran tersebut dan juga penganutnya. Saat ini, agama-agama di dunia umumnya dibagi menjadi dua kelompok. Pertama adalah agama-agama yang melandasi ajarannya berdasarkan wahyu atau “agama samawi”. Dan kedua adalah agama-agama yang melandasi ajarannya berdasarkan kebijakan dan tradisi.

Dalam kaitannya dengan studi kristologi, pembahasan komprehensif ditujukan kepada agama-agama yang mendasari ajarannya melalui wahyu Tuhan atau profetisme, yakni kenabian. Dan pada saat ini, agama-agama seperti Islam, Yahudi dan Kristen adalah ajaran-ajaran yang meyakini tentang keberadaan para nabi Tuhan. Secara substansial, kendati masing-masing agama itu punya banyak perbedaan, tapi secara umum, seluruh agama wahyu ini punya satu simpul yang sama, yaitu adanya pengakuan dari masing-masing agama tersebut bahwa Abraham [Islam: Ibrahim] adalah seorang nabi Tuhan.

Di dalam Alkitab Perjanjian Lama (Yudaisme: Tanakh), Abraham memiliki beberapa gelar yang masing-masing mencerminkan jabatan langit yang diembannya. Hal ini memposisikan Abraham sebagai orang pilihan yang mulia disisi Allah dan juga dihadapan keturunan dan para pengikutnya. Dia disebut sebagai nabi (Kej 20:7) [1], bapa sejumlah besar bangsa (Kej 17:15-16) [2], sahabat Allah (2Taw 20:7; Yes 41: 8) [3], dan yang terpenting dari semua adalah raja-imam (Kej: 12:7; 13:4) [4]. Jabatan Abraham sebagai imam Allah ini memang sangat unik dan berbeda dari kedudukan-kedudukan dia sebelumnya sehingga ada pendapat umum bahwa Kejadian 14 merupakan salah satu bab yang paling sukar dalam Kitab Kejadian.[5] Istilah “raja” dan “imam” yang selanjutnya dipadukan menjadi raja-imam mengindikasikan kepada otoritas penuh yang dijabat oleh Abraham dan keturunannya. Yakni sebagai penguasa dan pemimpin sekaligus. Hal ini otomastis berimplikasi bagi adanya suatu wilayah kekuasaan dan kepemimpinan (Kej 17:8-9) [6]. Adapun peristiwa pemberkatan Abraham sebagai Imam Alah bisa ditemukan dalam Kitab Kejadian di pasal 14:1-24. Peran Abraham sebagai pemimpin atau imam yang dipilih dan dinobatkan secara langsung oleh Allah ini—melalui perantaraan Melkisedek—adalah peristiwa yang tak dinafikan kebenarannya, baik oleh Yahudi maupun Kristen.

Secara etimologi, kata “imam” dalam bahasa Ibraninya di Authorized Version (AV) adalah kohen [7] dan nasiy [8]. Masing-masing dari kata ini di ulang sebanyak 750 kali dan 132 kali. Kedudukan ini juga menandai perjanjian atau covenant antara Abraham dan Allah yang mana melalui keturunannya itu Dia akan mengutus seorang yang diurapiNya atau Mesiah, dan akan menjadi berkat bagi seluruh bangsa di bumi (Kej 18:18).[9] Pengesahan kovenan ini ditandai dengan kewajiban penuh bagi Abraham dan keturunannya untuk mentaati hukum-hukum Ilahi berdasarkan prinsip kebenaran dan keadilan.[10]

Untuk itu, kendati sudah ada tiga jabatan langit yang diberikan kepada Abraham, yakni sebagai nabi atau rasul dan kedudukan khususnya sebagai sahabat Allah. Namun masih ada satu jabatan langit terakhir yang tertinggi, yakni sebagai imam Allah. Kedudukan ini juga dianugerahkan kepada Abraham dan keturunan biologisnya. [11] Adapun dari segi pelaksanaan bahwa meskipun jabatan imam Allah ini munculnya belakangan, namun inti dari ajaran Allah kepada manusia itu sendiri sebenarnya baru bisa direalisasikan, apabila hukum-hukum tersebut telah selesai disyariatkan oleh para nabi. Dan setelah itu, syariat ini akan ditegakkan oleh imam-imam Allah yang berasal dari keturunan biologis Abraham. Fakta ini jelas sangat rasional karena tak ada hakim kecuali setelah adanya hukum. Dan hukum pun mustahil bisa ditegakkan kecuali setelah adanya para hakim.

Pada dasarnya, jabatan imam Allah merupakan satu-satunya jabatan tertinggi dan tunas dari “Pohon Kejadian” yang menjadi tujuan atas penciptaan manusia di bumi. [12] Sedangkan kenabian atau kerasulan adalah cabang dari “Pohon Kejadian” tersebut. Artiya, institusi ilahiah ini secara gradual diawali oleh keimaman—yang menduduki puncak dari hierarki rububiyah itu, kemudian disusul dengan kerasulan atau kenabian. Sedangkan penampakan atas jabatan imam Allah di alam dunia (syahadah) secara hierarki adalah kebalikan dari hakekatnya di alam sorgawi (ghayb). Di alam dunia, kemunculan jabatan-jabatan langit ini diawali lebih dahulu dengan kenabian, kerasulan dan imamah.

Setelah Ibraham wafat, jabatan-jabatan ini terus diwariskan melalui keturunan biologis Ismail dan Ishak yang mana keduanya adalah nabi. Dalam Alkitab dinubuatkan bahwa dari Ismail dan keturunannya akan muncul duabelas orang imam “Tentang Ismael, Aku telah mendengarkan permintaanmu; ia akan Kuberkati, Kubuat beranak cucu dan sangat banyak; ia akan memperanakkan dua belas imam, [13] dan Aku akan membuatnya menjadi umat [14] yang besar (Kej 17:20). Kondisi serupa juga ditampakkan kepada bangsa Israel pada zaman Musa as yang mana dia telah diperintahkan oleh Allah untuk melantik duabelas orang imam yang dikepalai oleh Harun dan keturunannya (Bil 17:1-13). Pelantikan para imam Allah ini menandai kesempurnaan RisalahNya dan puncak dari kovenan antara Allah dan para nabi yang ditugaskan untuk menyampaikan AjaranNya kepada manusia. Bahkan fungsi utama dari pengutusan seorang nabi atau rasul itu adalah untuk menegakkan kerajaan imam dan umat yang kudus.Alkitab dan Al-Qur’an menyatakan:

“Jadi sekarang, jika kamu sungguh-sungguh mendengarkan firman-Ku dan berpegang pada perjanjian-Ku, maka kamu akan menjadi harta kesayangan-Ku sendiri dari antara segala bangsa, sebab Akulah yang empunya seluruh bumi. Kamu akan menjadi bagi-Ku kerajaan imam dan bangsa yang kudus. Inilah semuanya firman yang harus kaukatakan kepada orang Israel. (Keluaran 19:5-6)

“Dan ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu, dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putera Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh”. (QS. 33:7)

Sedangkan mengenai perjanjian [mitsaq] yang dimaksudkan itu, maka Al-Qur’an menjelaskan lagi, “Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian dari Bani Israil dan telah Kami angkat di antara mereka 12 orang pemimpin” (QS. 5:12).

Alhasil, substansi yang ingin ditegaskan dalam pengantar yang ringkas ini bahwa status seorang imam di dalam agama Ibrahimik—menurut tinjauan kristologi—itu memang ada dan dipilih secara mutlak oleh Allah sebagaimana halnya kenabian dan kerasulan. Artinya tidak melalui konsensus. Imam Allah adalah jabatan sorgawi yang kudus dan tidak terbentuk melalui mekanisme pemilihan umum ataupun cara-cara lain yang dilandasi oleh perspektif manusia. Sungguh tidak mengherankan bila Al-Qur’an sendiri pernah menegaskan bahwa keluarga Ibrahim as telah dianugerahi suatu kerajaan yang besar.

“Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya? Sesungguhnya Kami memberikan Kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar”. (QS. 4:54)

Secara historis, pena sejarah umat manusia belum pernah mencatat bahwa keluarga Ibrahim ada yang mendirikan monarki keluarga, misalnya seperti Ibrahimiyah, Ismailiyah, Ishakiyah, Yakubiyah, Yusufiyah, Musaiyah atau Haruniyah dan lain sebagainya. Hal itu disebabkan keluarga Ibrahim lebih dikenang sebagai mata airnya kenabian, kerasulan dan imamah. Jika demikian, maka kerajaan besar apakah yang dimaksudkan oleh al-Qur’an itu? Apabila hal ini tidak merujuk kepada mamlakah kohen atau kerajaan imam,[15] tentu akan sulit menemukan makna yang sebenarnya dari ayat tersebut. Lalu, apabila keluarga Ibrahim telah diwariskan kerajaan besar oleh Allah, maka bagaimanakah dengan nasib keluarga Muhammad saw sendiri? Artinya, apakah mungkin dari keturunan Muhammad saw ini akan ada yang menjadi imam-imam Allah seperi yang pernah terjadi di masa para nabi terdahulu yang berasal dari keluarga Ibrahim? Dan apabila jumlah para imam dari keluarga Ibrahim as ini selalu duabelas orang, maka mungkinkah jumlah para imam dari keluarga Muhammad pun juga demikian?

Sebagai penutup, barangkali hadis Nabi saw yang pernah diriwayatkan dalam Sahih Bukhari[16] ini bisa membawa kita kepada kontemplasi mendalam yang selaras dengan pendewasaan beragama. “Jabir ibn Samurah mengatakan, ‘Saya mendengar Nabi berkata: “Akan ada duabelas pemimpin setelah saya.” Kemudian mengatakan, “Saya mendengar ayah saya mengatakan ia mendengar Nabi berkata, “Mereka berasal dari suku Qurays”’”. Wallahu’alam.

Catatan Kaki:

[1]“Jadi sekarang, kembalikanlah isteri orang itu, sebab dia seorang nabi;”.

[2]“Aku akan memberkatinya, dan dari padanya juga Aku akan memberikan kepadamu seorang anak laki-laki, bahkan Aku akan memberkatinya, sehingga ia menjadi ibu bangsa-bangsa; raja-raja bangsa-bangsa akan lahir dari padanya”.

[3] “Bukankah Engkau Allah kami yang menghalau penduduk tanah ini dari depan umat-Mu Israel, dan memberikannya kepada keturunan Abraham, sahabat-Mu itu, untuk selama-lamanya?”; Dan juga “Tetapi engkau, hai Israel, hamba-Ku, hai Yakub, yang telah Kupilih, keturunan Abraham, yang Kukasihi;”.

[4] ”Ketika itu TUHAN menampakkan diri kepada Abram dan berfirman: ‘Aku akan memberikan negeri ini kepada keturunanmu.’ Maka didirikannya di situ mezbah bagi TUHAN yang telah menampakkan diri kepadanya”; Dan juga “ke tempat mezbah yang dibuatnya dahulu di sana; di situlah Abram memanggil nama TUHAN”.

[5] Lembaga Biblika Indonesia, Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, disunting oleh Dianne Bergant, CSA dan Robert J. Karris, OFM (Jakarta: Penerbit Kanisius, 2002) hal. 52.

[6] “Kepadamu dan kepada keturunanmu akan Kuberikan negeri ini yang kaudiami sebagai orang asing, yakni seluruh tanah Kanaan akan Kuberikan menjadi milikmu untuk selama-lamanya; dan Aku akan menjadi Allah mereka.’ Lagi firman Allah kepada Abraham: ‘Dari pihakmu, engkau harus memegang perjanjian-Ku, engkau dan keturunanmu turun-temurun”.

[7] Kata kohen artinya imam atau pendeta (priest), orang yang memiliki (own), penguasa tertinggi (chief ruler), pejabat (officer), pangeran atau putra mahkota (princes).

[8] Kata nasiy’ atau nasi’ artinya pangeran atau putra mahkota (prince), kapten (captain), ketua (chief), penguasa (ruler), beruap atau menguap (vapours), gubernur pemerintahan (governor), awan (clouds), bagian (part). Secara definisi adalah orang yang ditinggikan (one lifted up) atau imam (leader) dan uap yang terangkat, yakni selalu meninggi dari lainnya (raising mist).

[9] “Oleh keturunanmulah semua bangsa di bumi akan mendapat berkat, karena engkau mendengarkan firman-Ku”.

[10] “Sebab Aku telah memilih dia, supaya diperintahkannya kepada anak-anaknya dan kepada keturunannya supaya tetap hidup menurut jalan yang ditunjukkan TUHAN, dengan melakukan kebenaran dan keadilan, dan supaya TUHAN memenuhi kepada Abraham apa yang dijanjikan-Nya kepadanya.” (Kej 18:19).

[11] Bandingkan juga beberapa kedudukan Nabi Ibrahim as yang disampaikan dalam Al-Qur’an, yaitu: Pertama, sebagai nabi “Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat benar dan seorang Nabi”. (QS. 19:41). Kedua, ayat al-Qur’an ini memaparkan dua sisi, yaitu kedudukan Ibrahim as sebagai rasul dan juga moyang bagi sejumlah besar bangsa yang mana keturunannya itu akan mewarisi jabatan kenabian dan kerasulan “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh dan Ibrahim dan Kami jadikan kepada keturunan keduanya kenabian dan Al Kitab, maka di antara mereka ada yang menerima petunjuk dan banyak di antara mereka yang fasik”. (QS. 57:26). Ketiga, sebagai khalil atau sahabat Allah “Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya”. (QS. 4:125). Keempat, sebagai imam “Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhanya dengan beberapa kalimat, lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: ‘Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu sebagai imam bagi seluruh manusia.’ Ibrahim berkata: ‘dan dari keturunanku.’ Allah berfirman: ‘JanjiKu tidak mengenai orang-orang yang zalim’”. (QS. 2:124).

[12] “Manusia adalah puncak dari seluruh penciptaan. Kelebihan ciptaan ini digarisbawahi oleh kenyataan bahwa hanya manusialah yang diciptakan menurut “gambar” atau “rupa Allah”. [Dikutip dari Lembaga Biblika Indonesia, Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, disunting oleh Dianne Bergant, CSA dan Robert J. Karris, OFM (Jakarta: Penerbit Kanisius, 2002) hal. 35]. Bandingkan dengan ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang kedudukan manusia sebagai khalifah Allah dimuka (QS. 2:30) dan hadis Nabi saw yang mengatakan bahwa Adam diciptakan dari citranya.

[13] Saya sengaja mengganti kata “raja”—seperti yang ada diterjemahan Alkitab LAI—dengan kata “imam”, karena kata “raja” adalah terjemahan yang tidak tepat. Dalam bahasa Ibrani kata “raja” adalah melek, sedangkan Authorized Version (AV) tidak menyebut kata tersebut di ayat ini melek (raja) tapi nasiy’ (imam). Yakni suatu posisi atau jabatan langit tertinggi yang berasal dari Allah saja. Kedudukan ini juga diikrarkan kembali pada zaman Musa, sewaktu Allah memerintahkannya untuk mengangkat duabelas orang pemimpin atau imam dari kalangan bangsa Israel (Bdk. Bil 17:1-6). Seluruh kata yang diterjemahkan “pemimpin” di ayat tersebut di dalam AV adalah nasiy’, persis seperti kedudukan yang diberikan kepada keturunan Ismail di Kej 17:20.

[14] Saya sengaja mengganti kata “bangsa”—seperti yang diterjemahkan dalam Alkitab bahasa Indonesia—dengan kata “umat”, karena kata asli di teks Ibraninya adalah goy yang dalam bahasa Inggris bisa diterjemahkan nation dan people. Walaupun demikian, pengunaan kata “bangsa” bukan berarti keliru, hanya saja dalam kajian mesianisme Yahudi, mereka sering mengaitkan hal ini dalam konteks kebangsaan atau keturunan biologis mereka saja (nationality) yakni partikular. Sedangkan dalam mesianisme Kristen, para penafsirnya telah melepas arti “keturunan biologis” Ibrahim ini sepenuhnya dan menguniversalkan maknanya (people). (lih. Ro 4:16; Ga 3:29). Padahal, janji Allah ini memang terkait dengan kedua sisi tersebut yakni kebangsaan dan juga manusia secara umum.

[15] “Dan Kami jadikan di antara mereka itu imam-imam yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami”. (QS. 32:24; 21:73; 28:5).

[16] Sahih Bukhari, bagian 9, “Kitab al-Maqadam”, hal. 1000. Sementara dalam Musnad Ahmad diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud bahwa ia bertanya kepada Nabi tentang para khalifahnya. Beliau berkata, “Mereka duabelas orang seperti suku bani Isra’il yang dua belas.” (Musnad Ahmad, Jilid 1, hal. 398).