RTCCTV-Live kuliah-Prerecording majlis-

Tuesday, August 26, 2008

Kedudukan Irfan dalam hirarki keilmuan Islam

Posisi Mistisisme (Irfan) dalam Hirarki Ilmu-ilmu Islam Cetak E-mail
Ditulis Oleh Muhsin Araki
Jumaat, 09 Mei 2008

Untuk menegaskan dan mendefinisikan lokasi yang tepat bagi penelitian mistisisme, kami perlu menjelaskan tiga isu kontekstual. Pertama, apa yang dimaksud dengan istilah “ilmu-ilmu Islam?” Kedua, apa karakteristik yang sama dan apa yang membedakan mistisisme dari jenis sains dan disiplin ilmu Islam yang lain? Ketiga, bagaimana mistisisme berkembang dalam kaitannya dengan ilmu-ilmu yang lain, dan bagaimana mereka ini saling mempengaruhi?

Suatu Definisi Umum tentang Ilmu-ilmu Islam

Ilmu-ilmu Islam (ulum islamiyyah) merupakan konsep yang digunakan dalam dua makna.1 Makna yang pertama dipahami secara luas. Ilmu-ilmu Islam, dalam maknanya yang luas, meliputi suatu konstelasi berbagai disiplin ilmu, yang telah terlibat dalam konteks peradaban Islam, baik yang berkembang dari sumber-sumber dan prinsip-prinsip Islam maupun yang telah ada dalam komunitas dan peradaban lain (ulum al-awa’il), tetapi terintegrasi dan berkembang di dalam peradaban Islam. Ilmu-ilmu Islam dalam makna luas ini merangkul berbagai disiplin ilmu yang lazim diyakini oleh para ilmuwan Islam di berbagai institusi ilmiah dan akademis di dunia Islam di sepanjang sejarah Islam. Konsekuensinya, baik ilmu-ilmu Islam seperti fikih, teologi, ushul fikih, tafsir al-Quran, dan sejarah hidup (sirah) Nabi saw dan para imam maksum as, dan ilmu-ilmu yang lain yang berasal dari peradaban lain seperti astronomi, obat-obatan, dan matematika, semuanya sesuai dengan kategori yang luas ini.

Makna yang kedua lebih sempit. Definisi sempit ini meliputi disiplin-disiplin ilmu yang langsung berasal dari prinsip-prinsip dan sumber-sumber Islam, yaitu al-Quran, hadis (sunah) Nabi saw dan para imam as, dan keketapan-ketetapan yang berasal dari al-Quran. Kategori ilmu-ilmu ini merupakan inovasi umat Islam, dan sebenarnya, merupakan sebuah ilustrasi dan interpretasi dari hadis Nabi saw. Kategori yang sempit dari ilmu-ilmu Islam itu sendiri dibagi menjadi dua kelompok. Yang pertama meliputi ilmu-ilmu yang dikembangkan semata-mata untuk tujuan penafsiran dan penjabaran makna dan tujuan al-Quran dan hadis Nabi saw. Yang kedua meliputi ilmu-ilmu yang dianggap sebagai suatu pengantar pada kelompok yang pertama, misalnya logika, literatur dan tata bahasa Arab, sejarah Islam, rujukan-rujukan yang berkaitan dengan pemahaman al-Quran, dan ilmu pembacaan al-Quran, dan ilmu untuk melakukan verifikasi periwayat hadis Nabi saw dan para imam as (ilm ar-rijal).

Ilmu-ilmu Islam juga dibagi menjadi dua kategori berdasarkan metodologinya. Mereka bisa didasarkan pada penalaran murni, bisa pula memperoleh otoritasnya dari sumber-sumber agama. Kategori yang pertama, yang didasarkan pada investigasi intelektual, meliputi ilmu-ilmu intelektual (ulum al-aqliyyah). Yang kedua meliputi ilmu-ilmu yang didasarkan pada otoritas dan penafsiran terhadap kitab suci (ulum an-naqliyyah). Dalam ilmu-ilmu yang berasal dari kitab suci —skriptural, otoritas sumber-sumber yang suci ini merupakan landasan utama argumentasi-argumentasinya. Namun demikian, derajat penalaran rasional dalam ilmu-ilmu ini bervariasi. Disiplin-disiplin ilmu seperti filsafat (falsafah al-Ilahiyyah), mistisisme teoritis, logika, dan teologi rasional (kalam al-aqli) hanya menggunakan premis-premis rasional dalam argumentasi mereka. Jelas, bahwa mereka masuk ke dalam kategori yang pertama; sedangkan mistisisme praktis teologi skriptural, ushul fikih dan penafsiran al-Quran, dianggap sebagai ilmu-ilmu skriptural.

Kesamaan dan Perbedaan antara Mistisisme dan Cabang-cabang Lain Ilmu-ilmu Islam

Ilmu-ilmu Islam berbeda dalam bahasannya, tujuan atau metodologinya, atau salah satu atau dua dari faktor-faktor ini. Misalnya, teologi berbeda dari fikih dari sisi bahasan dan tujuannya. Bahasan teologi adalah sikap religius seseorang terhadap umat manusia dan dunia, sedangkan bahasan fikih adalah aktivitas manusia dalam hubungannya dengan Tuhan, manusia lain, dan dunia. Tujuan teologi adalah mencapai kedamaian pikiran dan kepastian dalam sebuah dunia yang tidak pasti, sedangkan fikih berurusan dengan kesesuaian tindakan-tindakan kita dengan perintah-perintah Tuhan. Di sisi lain, tidak seperti fikih, teologi rasional mengikuti suatu metodologi rasional dan kebanyakan hanya mengandalkan “nalar—akal” (aql), sedangkan teologi skriptural memiliki metodologi yang sama dengan fikih, dengan mengombinasikan metodologi argumentasi skriptural dan akal murni.

Filsafat Islam (metafisika) dan teologi juga berbeda dalam hal bahasan dan tujuannya. Bahasan metafisika adalah eksistensi murni (al-wujud bima huwa wujud), sedangkan bahasan teologi adalah eksistensi Tuhan (kesadaran atas eksistensi-Nya adalah wajib). Namun demikian, kedua disiplin ilmu ini menggunakan metodologi yang sama dalam mencapai tujuan mereka, yakni akal murni. Maksud kami di sini adalah memperlihatkan kesamaan dan perbedaan antara mistisisme dan disiplin-disiplin lain dalam ilmu Islam.

Kategorisasi ilmu-ilmu Islam ke dalam ilmu pengantar dan ilmu inti menempatkan mistisisme ke dalam kategori inti dan fundamental. Ia juga masuk ke dalam kategori ilmu rasional, walaupun mistisisme praktis masuk ke dalam kategori ilmu-ilmu skriptural. Masuknya mistisisme teoritis ke dalam ilmu-ilmu intelektual menunjukkan bahwa mistisisme tipe ini mendorong penemuan intuisi melalui penalaran rasional, walaupun sumber utama intuisi dan pengetahuan diperoleh melalui penyucian hati. Hasil-hasil perjalanan spiritual seperti itu seringkali ditegaskan oleh penalaran induktif. Sebagai hasil dari sebuah metodologi yang diperluas seperti itu, kita bisa mengklasifikasikan tipe pengetahuan ini sebagai bagian dari ilmu-ilmu rasional.

Salah satu prinsip utama dari disiplin ilmu ini, yang disepakati oleh semua ulama irfan, adalah bahwa orang harus mengikuti seorang pembimbing dalam semua tahap perjalanan spiritual. Pemimpin yang jujur dan berpengalaman, yang dipilih sebagai pembimbing dalam perjalanan ini harus juga seorang kekasih Tuhan (wali Allah).2 Guru dan pembimbing yang terbesar dalam perjalanan spiritual kepada Tuhan adalah Nabi Islam, Muhammad saw. Beliau dan keturunannya adalah para guru dan pembimbing terbesar yang harus diikuti oleh manusia dalam pencarian spiritualnya atas kebenaran dan makna kehidupan. Mereka adalah orang-orang terdepan dalam pengetahuan dan para guru cinta, dan tanpa mereka manusia bisa tersesat, karena upaya yang dilakukannya itu bisa berubah menjadi perjalanan yang sangat beresiko tanpa bimbingan para wali Tuhan ini.

Interpretasi ini berdasarkan pemikiran Syiah yang menempatkan akal sebagai bagian utama. Rujukan kepada suatu otoritas, dalam pemikiran Syiah dianggap tidak meyakinkan. Pada analisis akhirnya, otoritas terletak pada akal. Di sisi lain, beberapa mahzab pemikiran, terutama dari kalangan mahzab Islam Suni, menisbatkan otoritas absolut kepada Nabi saw dan menolak peran akal.

Perlunya memiliki seorang tutor dalam jalan spiritual telah dikatakan berulang kali oleh para guru besar di bidang ini. Jalaluddin Rumi (w. 1274), guru besar sufi dan pendiri Ordo Maulawi yang beranggotakan para darwis, dalam risalahnya yang sangat menarik, Mathnavi-ye Ma‘navi, mengingatkan kita tentang pentingnya hal tersebut, ketika ia berkata:

Ikutilah sang guru (pir) karena tanpanya,

perjalanan ini sangat penuh bahaya

Karena itu, di jalan yang belum kau lihat sebelumnya

Hendaknya kau tak pergi sendiri, jangan membantah sang pembimbing3

Hafizh(w. 1389), ahli lain dalam bidang ini menyatakan hal yang sama ketika ia berkata:

Janganlah berjalan ke wilayah cinta tanpa alasan yang kuat,

Aku telah melakukan ratusan upaya namun sia-sia

Waspadalah dengan jalan yang penuh bahaya ini tanpa bimbingan Khidir,

ia adalah kegelapan, dan bahaya tersesat pun hadir.

Menurut prinsip irfan yang penting ini, adalah wajib untuk mengikuti seorang kekasih atau wakil Tuhan. Mengikuti Nabi Suci saw dan orang-orang yang paling dekat dengannya sebagai kekasih Tuhan adalah hal yang paling penting. Kedua, mereka yang paling akrab dengan praktik dan ajaran Nabi saw dan para imam as juga ditunjuk untuk membimbing manusia.

Perbedaan antara Problem Filsafat dengan Problem Irfan

Ketentuan untuk mengikuti Nabi saw dan para wali yang lain mengisyaratkan bahwa irfan praktis adalah suatu ilmu yang didasarkan pada otoritas skriptural. Manusia hanya boleh mengikuti mereka melalui suatu pemahaman terhadap tindakan mereka dan terhadap al-Quran. Namun demikian, mistisisme, filsafat, dan teologi teoritis memiliki karakteristik lazim yang sama seperti inkuiri intelektual pada sifat eksistensi. Di sisi lain, irfan praktis ini serupa dengan etika dan fikih, karena ketiganya berurusan dengan masyarakat manusia. Ilmu-ilmu Islam yang lain tidak memiliki landasan yang sama dengan irfan, sehingga tidak dimasukkan dalam penelitian ini.

Karakteristik-karakteristik disiplin ilmu mana pun terdiri dari dari empat elemen. Pertama, metodologi menetapkan model-model inkuiri dan metoda verifikasi; kedua, pokok bahasan (mawdhu)mendefinisikan ilmu, karena suatu “ilmu meneliti kelengkapan esensial dari pokok bahasannya”;4 ketiga, apriori dan topik(masa’il, qadhayah) yang terlibat turut menentukan karakteristik disiplin ilmu tersebut; keempat, tujuan dan telos(ghayah) dari suatu ilmu mendefinisikan tujuan penelitian.5

Irfan teoritis menggunakan sebuah metodologi yang berbeda dari yang digunakan oleh filsafat dan teologi. Selain suatu metodologi intelektual, ia terutama mengandalkan pada intuisi (isyraq) dan pengalaman langsung (dzawq). Ilmu ini lebih memilih pengetahuan yang diilhami oleh suatu pemahaman melalui hati, daripada yang melalui penalaran logis. Karena melalui intuisi, suatu penyatuan antara subjek pengetahuan, pengetahuan itu sendiri, dan yang memiliki pengetahuan terjadi (ittihad al-aql wa al-aqil wa al-ma‘qul). Sebaliknya, hasil-hasil penelitian rasional hanya beberapa refleksi atau image kognitif dari pokok bahasannya, dan realitas dari pokok bahasannya sendiri tidak hadir pada orang yang memiliki pengetahuan tersebut.

Mistisisme teoritis dan teologi adalah sama, karena keduanya menetapkan hasil-hasilnya sebelum penalaran apa pun, dan kemudian mencoba untuk memperkuatnya melalui penalaran. Namun demikian, keduanya berbeda karena dasar suatu pengetahuan priori dalam teologi memiliki otoritas religius, dan dalam irfan teoritis, pengetahuan diperoleh melalui intuisi.

Berkaitan dengan pokok bahasannya, filsafat berbeda dengan irfan teoritis. Bahasan filsafat adalah eksistensi murni atau eksistensi qua eksistensi. Bahasan irfan teoritis, sebaliknya, adalah Tuhan atau suatu model eksistensi, yang ketiadaannya adalah hal yang secara logis mustahil dibayangkan, yakni Eksisten Wajib (wajib al-wujud). Filsafat berurusan dengan eksistensi dalam bentuk dan sifat-sifatnya yang murni, tanpa memandang tipe eksistensinya. Namun demikian, mistisisme hanya berfokus kepada Tuhan dan eksistensi-Nya, karena bentuk-bentuk eksisten lain itu sebenarnya tidak ada; mereka hanyalah sebuah bayangan eksistensi, yakni eksistensi Tuhan.6 Dia adalah eksistensi dan segala sesuatu yang lain merupakan sebuah bayangan dari eksistensi-Nya. Menurut irfan, eksistensi itu ekuivalen dengan wajibnya eksistensi. Artinya bahwa eksistensi yang sejati adalah yang secara mutlak wajib ada, yaitu Tuhan. Yang lainnya memiliki suatu eksistensi yang bersifat ilusi.

Bahasan teologi menyertakan isu-isu yang berkenaan dengan asal-usul penciptaan, kebangkitan, kenabian, kepemimpinan, dan topik-topik terkait. Eksistensi Tuhan dan sifat-sifat-Nya merupakan bahasan mistisisme. Namun demikian, mistisisme tidak berurusan dengan pembuktian adanya Tuhan, yang di luar cakupannya. Tidak ada disiplin ilmu yang diperlukan untuk membuktikan eksistensi pokok bahasannya. Eksistensi Tuhan tidak memperoleh perhatian dalam mistisisme, dan tugas onto-teologi atau teologilah untuk membuktikan eksistensi Tuhan. Sekedar fakta bahwa Tuhan itu ada adalah masalah filosofis, karena sifat wajib ada di antara sifat-sifat eksistensi.

Konsepsi umum dalam mistisisme dan filsafat tidak sama. Dalam filsafat, eksistensi dibagi menjadi kategori-kategori semacam: kejamakan dan ketunggalan, kausalitas, esensi dan sifat-sifat, keabadian dan sifat baru, dan eksistensi wajib (inheren) atau eksistensi yang mungkin. Namun demikian, dalam mistisisme dengan asumsinya tentang monorealisme (wahdat al-wujud), kategori-kategori eksistensi ini sama sekali tidak masuk akal. Berbagai bentuk dan warna berbeda pada eksisten adalah ilusi, karena ada ketunggalan dalam ketunggalan. Yang ada hanya satu realitas.

Dalam filsafat, yang dipertimbangkan adalah konsep-konsep umum. Melalui sebuah proses abstraksi deduktif, pikiran melanjutkan untuk mengonseptualisasikan beberapa konsep umum, yang tidak memiliki posisi dalam eksistensi konkrit. Tahap pertama proses semacam itu terjadi dengan membentuk sebuah konsep umum, yang bisa diterapkan para subjek-subjek yang aktual dan nyata. Misalnya, konsep tentang “kucing” diasumsikan dari seekor atau banyak kucing yang nyata, tetapi konsep umum ini tidak ekuivalen dengan bayangan kita tentang kucing individual mana pun. Ini merupakan sebuah konsep umum, yang meliputi sifat-sifat lazim kucing, dan mengabaikan perbedaannya. Konseptualisasi ini bahkan bisa melangkah lebih jauh dan menghasilkan konsep sekunder, seperti seekor “binatang.” Bahkan ada sebuah konseptualisasi yang lebih canggih ketika kita menyimpulkan kategori-kategori logis seperti “generality-sifat umum,” “necessity-sifat wajib,” “causality-kausalitas dan sebagainya. Mereka bisa berupa konsep sekunder yang logis atau yang filosofis (ma‘qulat tsaniyyah manthiqiyyah aw falsafiyyah).

Shadruddin Muhammad Syirazi (w. 1641) dikenal sebagai Mulla Shadra, seorang filosof zaman kebangkitan Safawi di Iran, mengakhiri kontroversi antara filsafat dan irfan ketika ia memperkenalkan filsafat transendentalnya, dengan menggabungkan elemen-elemen dari kedua belah pihak.7 Nilai orisinal kontribusinya terletak pada teori eksistensialisnya (jangan terkacaukan dengan eksistensialisme Eropa Modern),8 yang menurutnya, batas-batas eksistensi yang membentuk identitas sesuatu dianggap sebagai hal yang sekunder pada eksistensi itu sendiri. Dalam teori piramida eksistensi (hiram-e hasti)-nya, semua makhluk memiliki eksistensi, namun perbedaan mereka berasal dari derajat atau intensitas eksistensi mereka. Eksistensi Tuhan dalam piramida ini tidak memiliki batasan dan keterbatasan. Oleh karena itu, identitasnya identik dengan eksistensi-Nya. Dengan pemahaman seperti ini, perbedaan antara filsafat dengan irfan bisa diselesaikan. Ada kejamakan (derajat eksistensi) dalam ketunggalan (semua wujud memiliki eksistensi).9 Ini merupakan doktrin tasykik al-wujid, atau gradasi dan modulasi eksistensi.10

Sifat Konstan Eksistensi

Apakah eksistensi itu statis atau dinamis? Jika dinamis, bagaimana ia bisa konstan dan berkelanjutan? Jika eksistensi itu konstan, apa pengaruhnya bagi pikiran? Para filosof Islam klasik percaya bahwa jika suatu wujud ciptaan dan penyebab eksistensinya itu ada, maka wujud itu akan terus ada, tak terpengaruh oleh berlalunya waktu. Sebenarnya, mereka berpikir bahwa alih-alih berlalunya waktu, wujud tetap mempertahankan identitasnya (huwiyyah). Mistisisme tidak sepakat dengan pemikiran ini. Dalam irfan, tidak ada keberlangsungan seperti itu, dan eksistensi diperbarui secara konstan. Mereka memiliki identitas baru seiring dengan berjalannya waktu. Imajinasi kitalah yang berusaha untuk mengabaikan transformasi fundamental ini. Karenanya, eksistensi itu adalah sebuah proses untuk menjadi —process of becoming.

Ketidakcocokan antara pendekatan filosofis dan mistis ini diselesaikan oleh Mulla Shadra melalui teori gerak substansial (harakah jawhariyyah). Dia berpendapat bahwa walaupun eksistensi cair menjalani perubahan yang konstan, ada satu faktor yang selalu menyertai eksistensi yang mengalir jauh ini di sepanjang waktu. Ia adalah eksistensi itu sendiri, yang senantiasa hadir pada setiap detik dari segala perubahan. Sekali lagi, aspek statis dan dinamis yang dimiliki eksistensi bisa dipertemukan.[]

Catatan:

1. Tentang hirarki pengetahuan, lihat Seyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam, edisi ke-2, Cambridge: Islamic Texts Society 1987, hal.59-64; Osman Bakar, The Classification of the Sciences in Islamic Philosophy, Cambridge: Islamic Texts Society 2000.

2. Tentang tema penting ini, lihat Allamah Thabathaba’i, Risalat al-Wilaya, Tehran: Intisharat-e Hikmat 1374 Syamsi, dan Hasan Zadah Amuli, "Vilayat-e Takvini," dalam Majma‘a-ye Maqalat, Qum: Daftar-e Tablighat-e Islami 1375 Syamsi, hal.31-82.

3. Rumi, Mathnavi-ye Ma‘navi, ed. R.A. Nicholson, London: Gibb Memorial Trust 1925-40, vol.II, ayat ke-2943.

4. Bandingkan dengan Katibi Qazwini, “al-Risalah al-Syamsiyyah” dalam Biblioteca Indica Appendix I, ed. A. Sprenger, Calcutta: Bengal Military Orphan Press 1854, hal.3.

5. Skema empat lapis ini memiliki para pendahulu terkemuka di zaman Neoplatonis dan penyusunan kurikulum dan pendidikan tradisional. Lihat, I. Hadot, "Les introductions aux commentaires exégètiques," dalam Les règles de l’interpretation, ed. M. Tardieu, Paris: Presses Universitaires de France 1987, hal.99-122.

6. Dawud Qaysari, Syarh-e Muqaddima-ye Qaysari bar Fushush al-Hikam, ed. S.J. ashtiyânî, Qum: Daftar-e Tablighat-e Islami 1991, hal.100.

7. Dalam beberapa tulisannya, dia lebih mengistimewakan mistisisme daripada filsafat. Misalnya, dalam hirarki ilmunya dalam “Iksir al-‘Arifin” dalam Rasa’il, Tehran lithograph 1885, hal.279-86, dia menempatkan ilmu-ilmu “kondisi” (ahwal) pada puncak pencarian akal. Filsafat lain yang menempatkan mistisisme sebagai kulminasi pencarian adalah Quthbuddin Syirazi (w. 1311), yang melengkapi ensiklopedinya, Durrat al-Taj li-Ghurrat al-Dubaj dengan sebuah khatima tentang mistisisme —lihat, Majlis-e Syura 4720, vol.596-620; bandingkan dengan J. Walbridge, "A Sufi scientist of the thirteenth century: The mystical ideas and practices of Quthbuddin Syirazi," dalam The heritage of Sufism Volume II: The Legacy of Medieval Persian Sufism, ed. L. Lewisohn, laporan, Oxford: Oneworld 1999, hal.326-40.

8. Bandingkan dengan diskusi pembuka Henry Corbin dalam pendahuluannya pada Mulla Shadra Syirazi, Kitab al-Masha‘ir (Le Livre des Pénétrations Métaphysiques, laporan,Tehran 1982, hal.62-75.

9. Lihat Fazlurrahman, The philosophy of Mulla Shadra, Albany: State University of New York Press 1975, hal.27-41.

10. Lihat Sajjad H. Rizvi, Modulation of Being (Tasykik al-Wujud) in the Philosophy of Mulla Shadra Syirazi, desertasi doktoral yang tidak dipublikasikan, Cambridge University 2000.

*) Dialihbahasakan oleh Anna Farida dari “The place of Mysticism (irfan) Within the Hierarchy of Islamic Sciences” dalam Transcendent Philosophy, vol.II, no.2, Juni 2001.

No comments:

...SOALAN CEPU ALIAS MENYENTAP BENAK....

Adakah Jabatan Imam Allah?

Masalah kepemimpinan merupakan salah satu persoalan yang sangat mendasar di dalam kehidupan manusia. Sejak kecil, setiap orang akan mengenal dan berinteraksi dengan persoalan ini. Kita mengenal istilah orang tua sebagai pemimpin di rumah, guru di sekolah, direktur di perusahaan, komandan di keperwiraan, kepala pemerintahan dan seterusnya. Intinya, persoalan kepemimpinan meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Ia menjadi pondasi dan tulang punggung keberlangsungan spesies manusia dimanapun dan kapanpun mereka berada. Tanpa adanya kepemimpinan, maka seluruh pilar dan sistem kehidupan manusia niscaya porak poranda atau khaos—lawan katanya adalah kosmos, yakni teratur. Hal ini sangat jelas sehingga tak perlu pembuktian lagi. Bahkan dalam skala komunitas yang paling sederhana sekalipun, kalimat “broken home” adalah istilah umum yang ditujukan bagi seorang anak yang tidak merasakan adanya figur pemimpin dirumahnya.

Pada dasarnya, makna pemimpin adalah pengatur, pembimbing, penuntun, pengawas, penegak aturan dan pemberi keputusan sehingga hubungan antara kepemimpinan dan keteraturan adalah perkara yang mustahil bisa dipisahkan. Secara esensial, penataan sekelompok masyarakat sangat bergantung pada dua kunci utama bagi terwujudnya suatu tatanan kehidupan yang harmonis, yakni adanya seperangkat aturan atau hukum dan figur pelaksananya atau penegak aturan tersebut yakni hakim. Untuk itu, munculnya kesadaran dan kebutuhan manusia bagi adanya seperangkat hukum dan keberadaan hakim adalah perkara rasional. Sedangkan penolakan atau penerimaan salah satu darinya saja adalah irasional.

Sehubungan dengan hal ini, secara garis besar agama bisa dimaknai sebagai seperangkat aturan yang diharapkan bisa menata hubungan dan perilaku manusia kepada Tuhan dan alam kehidupannya. Di setiap agama, wacana kepemimpinan adalah topik sentral yang tak bisa disepelekan terutama bagi keberlangsungan ajaran tersebut dan juga penganutnya. Saat ini, agama-agama di dunia umumnya dibagi menjadi dua kelompok. Pertama adalah agama-agama yang melandasi ajarannya berdasarkan wahyu atau “agama samawi”. Dan kedua adalah agama-agama yang melandasi ajarannya berdasarkan kebijakan dan tradisi.

Dalam kaitannya dengan studi kristologi, pembahasan komprehensif ditujukan kepada agama-agama yang mendasari ajarannya melalui wahyu Tuhan atau profetisme, yakni kenabian. Dan pada saat ini, agama-agama seperti Islam, Yahudi dan Kristen adalah ajaran-ajaran yang meyakini tentang keberadaan para nabi Tuhan. Secara substansial, kendati masing-masing agama itu punya banyak perbedaan, tapi secara umum, seluruh agama wahyu ini punya satu simpul yang sama, yaitu adanya pengakuan dari masing-masing agama tersebut bahwa Abraham [Islam: Ibrahim] adalah seorang nabi Tuhan.

Di dalam Alkitab Perjanjian Lama (Yudaisme: Tanakh), Abraham memiliki beberapa gelar yang masing-masing mencerminkan jabatan langit yang diembannya. Hal ini memposisikan Abraham sebagai orang pilihan yang mulia disisi Allah dan juga dihadapan keturunan dan para pengikutnya. Dia disebut sebagai nabi (Kej 20:7) [1], bapa sejumlah besar bangsa (Kej 17:15-16) [2], sahabat Allah (2Taw 20:7; Yes 41: 8) [3], dan yang terpenting dari semua adalah raja-imam (Kej: 12:7; 13:4) [4]. Jabatan Abraham sebagai imam Allah ini memang sangat unik dan berbeda dari kedudukan-kedudukan dia sebelumnya sehingga ada pendapat umum bahwa Kejadian 14 merupakan salah satu bab yang paling sukar dalam Kitab Kejadian.[5] Istilah “raja” dan “imam” yang selanjutnya dipadukan menjadi raja-imam mengindikasikan kepada otoritas penuh yang dijabat oleh Abraham dan keturunannya. Yakni sebagai penguasa dan pemimpin sekaligus. Hal ini otomastis berimplikasi bagi adanya suatu wilayah kekuasaan dan kepemimpinan (Kej 17:8-9) [6]. Adapun peristiwa pemberkatan Abraham sebagai Imam Alah bisa ditemukan dalam Kitab Kejadian di pasal 14:1-24. Peran Abraham sebagai pemimpin atau imam yang dipilih dan dinobatkan secara langsung oleh Allah ini—melalui perantaraan Melkisedek—adalah peristiwa yang tak dinafikan kebenarannya, baik oleh Yahudi maupun Kristen.

Secara etimologi, kata “imam” dalam bahasa Ibraninya di Authorized Version (AV) adalah kohen [7] dan nasiy [8]. Masing-masing dari kata ini di ulang sebanyak 750 kali dan 132 kali. Kedudukan ini juga menandai perjanjian atau covenant antara Abraham dan Allah yang mana melalui keturunannya itu Dia akan mengutus seorang yang diurapiNya atau Mesiah, dan akan menjadi berkat bagi seluruh bangsa di bumi (Kej 18:18).[9] Pengesahan kovenan ini ditandai dengan kewajiban penuh bagi Abraham dan keturunannya untuk mentaati hukum-hukum Ilahi berdasarkan prinsip kebenaran dan keadilan.[10]

Untuk itu, kendati sudah ada tiga jabatan langit yang diberikan kepada Abraham, yakni sebagai nabi atau rasul dan kedudukan khususnya sebagai sahabat Allah. Namun masih ada satu jabatan langit terakhir yang tertinggi, yakni sebagai imam Allah. Kedudukan ini juga dianugerahkan kepada Abraham dan keturunan biologisnya. [11] Adapun dari segi pelaksanaan bahwa meskipun jabatan imam Allah ini munculnya belakangan, namun inti dari ajaran Allah kepada manusia itu sendiri sebenarnya baru bisa direalisasikan, apabila hukum-hukum tersebut telah selesai disyariatkan oleh para nabi. Dan setelah itu, syariat ini akan ditegakkan oleh imam-imam Allah yang berasal dari keturunan biologis Abraham. Fakta ini jelas sangat rasional karena tak ada hakim kecuali setelah adanya hukum. Dan hukum pun mustahil bisa ditegakkan kecuali setelah adanya para hakim.

Pada dasarnya, jabatan imam Allah merupakan satu-satunya jabatan tertinggi dan tunas dari “Pohon Kejadian” yang menjadi tujuan atas penciptaan manusia di bumi. [12] Sedangkan kenabian atau kerasulan adalah cabang dari “Pohon Kejadian” tersebut. Artiya, institusi ilahiah ini secara gradual diawali oleh keimaman—yang menduduki puncak dari hierarki rububiyah itu, kemudian disusul dengan kerasulan atau kenabian. Sedangkan penampakan atas jabatan imam Allah di alam dunia (syahadah) secara hierarki adalah kebalikan dari hakekatnya di alam sorgawi (ghayb). Di alam dunia, kemunculan jabatan-jabatan langit ini diawali lebih dahulu dengan kenabian, kerasulan dan imamah.

Setelah Ibraham wafat, jabatan-jabatan ini terus diwariskan melalui keturunan biologis Ismail dan Ishak yang mana keduanya adalah nabi. Dalam Alkitab dinubuatkan bahwa dari Ismail dan keturunannya akan muncul duabelas orang imam “Tentang Ismael, Aku telah mendengarkan permintaanmu; ia akan Kuberkati, Kubuat beranak cucu dan sangat banyak; ia akan memperanakkan dua belas imam, [13] dan Aku akan membuatnya menjadi umat [14] yang besar (Kej 17:20). Kondisi serupa juga ditampakkan kepada bangsa Israel pada zaman Musa as yang mana dia telah diperintahkan oleh Allah untuk melantik duabelas orang imam yang dikepalai oleh Harun dan keturunannya (Bil 17:1-13). Pelantikan para imam Allah ini menandai kesempurnaan RisalahNya dan puncak dari kovenan antara Allah dan para nabi yang ditugaskan untuk menyampaikan AjaranNya kepada manusia. Bahkan fungsi utama dari pengutusan seorang nabi atau rasul itu adalah untuk menegakkan kerajaan imam dan umat yang kudus.Alkitab dan Al-Qur’an menyatakan:

“Jadi sekarang, jika kamu sungguh-sungguh mendengarkan firman-Ku dan berpegang pada perjanjian-Ku, maka kamu akan menjadi harta kesayangan-Ku sendiri dari antara segala bangsa, sebab Akulah yang empunya seluruh bumi. Kamu akan menjadi bagi-Ku kerajaan imam dan bangsa yang kudus. Inilah semuanya firman yang harus kaukatakan kepada orang Israel. (Keluaran 19:5-6)

“Dan ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu, dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putera Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh”. (QS. 33:7)

Sedangkan mengenai perjanjian [mitsaq] yang dimaksudkan itu, maka Al-Qur’an menjelaskan lagi, “Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian dari Bani Israil dan telah Kami angkat di antara mereka 12 orang pemimpin” (QS. 5:12).

Alhasil, substansi yang ingin ditegaskan dalam pengantar yang ringkas ini bahwa status seorang imam di dalam agama Ibrahimik—menurut tinjauan kristologi—itu memang ada dan dipilih secara mutlak oleh Allah sebagaimana halnya kenabian dan kerasulan. Artinya tidak melalui konsensus. Imam Allah adalah jabatan sorgawi yang kudus dan tidak terbentuk melalui mekanisme pemilihan umum ataupun cara-cara lain yang dilandasi oleh perspektif manusia. Sungguh tidak mengherankan bila Al-Qur’an sendiri pernah menegaskan bahwa keluarga Ibrahim as telah dianugerahi suatu kerajaan yang besar.

“Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya? Sesungguhnya Kami memberikan Kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar”. (QS. 4:54)

Secara historis, pena sejarah umat manusia belum pernah mencatat bahwa keluarga Ibrahim ada yang mendirikan monarki keluarga, misalnya seperti Ibrahimiyah, Ismailiyah, Ishakiyah, Yakubiyah, Yusufiyah, Musaiyah atau Haruniyah dan lain sebagainya. Hal itu disebabkan keluarga Ibrahim lebih dikenang sebagai mata airnya kenabian, kerasulan dan imamah. Jika demikian, maka kerajaan besar apakah yang dimaksudkan oleh al-Qur’an itu? Apabila hal ini tidak merujuk kepada mamlakah kohen atau kerajaan imam,[15] tentu akan sulit menemukan makna yang sebenarnya dari ayat tersebut. Lalu, apabila keluarga Ibrahim telah diwariskan kerajaan besar oleh Allah, maka bagaimanakah dengan nasib keluarga Muhammad saw sendiri? Artinya, apakah mungkin dari keturunan Muhammad saw ini akan ada yang menjadi imam-imam Allah seperi yang pernah terjadi di masa para nabi terdahulu yang berasal dari keluarga Ibrahim? Dan apabila jumlah para imam dari keluarga Ibrahim as ini selalu duabelas orang, maka mungkinkah jumlah para imam dari keluarga Muhammad pun juga demikian?

Sebagai penutup, barangkali hadis Nabi saw yang pernah diriwayatkan dalam Sahih Bukhari[16] ini bisa membawa kita kepada kontemplasi mendalam yang selaras dengan pendewasaan beragama. “Jabir ibn Samurah mengatakan, ‘Saya mendengar Nabi berkata: “Akan ada duabelas pemimpin setelah saya.” Kemudian mengatakan, “Saya mendengar ayah saya mengatakan ia mendengar Nabi berkata, “Mereka berasal dari suku Qurays”’”. Wallahu’alam.

Catatan Kaki:

[1]“Jadi sekarang, kembalikanlah isteri orang itu, sebab dia seorang nabi;”.

[2]“Aku akan memberkatinya, dan dari padanya juga Aku akan memberikan kepadamu seorang anak laki-laki, bahkan Aku akan memberkatinya, sehingga ia menjadi ibu bangsa-bangsa; raja-raja bangsa-bangsa akan lahir dari padanya”.

[3] “Bukankah Engkau Allah kami yang menghalau penduduk tanah ini dari depan umat-Mu Israel, dan memberikannya kepada keturunan Abraham, sahabat-Mu itu, untuk selama-lamanya?”; Dan juga “Tetapi engkau, hai Israel, hamba-Ku, hai Yakub, yang telah Kupilih, keturunan Abraham, yang Kukasihi;”.

[4] ”Ketika itu TUHAN menampakkan diri kepada Abram dan berfirman: ‘Aku akan memberikan negeri ini kepada keturunanmu.’ Maka didirikannya di situ mezbah bagi TUHAN yang telah menampakkan diri kepadanya”; Dan juga “ke tempat mezbah yang dibuatnya dahulu di sana; di situlah Abram memanggil nama TUHAN”.

[5] Lembaga Biblika Indonesia, Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, disunting oleh Dianne Bergant, CSA dan Robert J. Karris, OFM (Jakarta: Penerbit Kanisius, 2002) hal. 52.

[6] “Kepadamu dan kepada keturunanmu akan Kuberikan negeri ini yang kaudiami sebagai orang asing, yakni seluruh tanah Kanaan akan Kuberikan menjadi milikmu untuk selama-lamanya; dan Aku akan menjadi Allah mereka.’ Lagi firman Allah kepada Abraham: ‘Dari pihakmu, engkau harus memegang perjanjian-Ku, engkau dan keturunanmu turun-temurun”.

[7] Kata kohen artinya imam atau pendeta (priest), orang yang memiliki (own), penguasa tertinggi (chief ruler), pejabat (officer), pangeran atau putra mahkota (princes).

[8] Kata nasiy’ atau nasi’ artinya pangeran atau putra mahkota (prince), kapten (captain), ketua (chief), penguasa (ruler), beruap atau menguap (vapours), gubernur pemerintahan (governor), awan (clouds), bagian (part). Secara definisi adalah orang yang ditinggikan (one lifted up) atau imam (leader) dan uap yang terangkat, yakni selalu meninggi dari lainnya (raising mist).

[9] “Oleh keturunanmulah semua bangsa di bumi akan mendapat berkat, karena engkau mendengarkan firman-Ku”.

[10] “Sebab Aku telah memilih dia, supaya diperintahkannya kepada anak-anaknya dan kepada keturunannya supaya tetap hidup menurut jalan yang ditunjukkan TUHAN, dengan melakukan kebenaran dan keadilan, dan supaya TUHAN memenuhi kepada Abraham apa yang dijanjikan-Nya kepadanya.” (Kej 18:19).

[11] Bandingkan juga beberapa kedudukan Nabi Ibrahim as yang disampaikan dalam Al-Qur’an, yaitu: Pertama, sebagai nabi “Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat benar dan seorang Nabi”. (QS. 19:41). Kedua, ayat al-Qur’an ini memaparkan dua sisi, yaitu kedudukan Ibrahim as sebagai rasul dan juga moyang bagi sejumlah besar bangsa yang mana keturunannya itu akan mewarisi jabatan kenabian dan kerasulan “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh dan Ibrahim dan Kami jadikan kepada keturunan keduanya kenabian dan Al Kitab, maka di antara mereka ada yang menerima petunjuk dan banyak di antara mereka yang fasik”. (QS. 57:26). Ketiga, sebagai khalil atau sahabat Allah “Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya”. (QS. 4:125). Keempat, sebagai imam “Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhanya dengan beberapa kalimat, lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: ‘Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu sebagai imam bagi seluruh manusia.’ Ibrahim berkata: ‘dan dari keturunanku.’ Allah berfirman: ‘JanjiKu tidak mengenai orang-orang yang zalim’”. (QS. 2:124).

[12] “Manusia adalah puncak dari seluruh penciptaan. Kelebihan ciptaan ini digarisbawahi oleh kenyataan bahwa hanya manusialah yang diciptakan menurut “gambar” atau “rupa Allah”. [Dikutip dari Lembaga Biblika Indonesia, Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, disunting oleh Dianne Bergant, CSA dan Robert J. Karris, OFM (Jakarta: Penerbit Kanisius, 2002) hal. 35]. Bandingkan dengan ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang kedudukan manusia sebagai khalifah Allah dimuka (QS. 2:30) dan hadis Nabi saw yang mengatakan bahwa Adam diciptakan dari citranya.

[13] Saya sengaja mengganti kata “raja”—seperti yang ada diterjemahan Alkitab LAI—dengan kata “imam”, karena kata “raja” adalah terjemahan yang tidak tepat. Dalam bahasa Ibrani kata “raja” adalah melek, sedangkan Authorized Version (AV) tidak menyebut kata tersebut di ayat ini melek (raja) tapi nasiy’ (imam). Yakni suatu posisi atau jabatan langit tertinggi yang berasal dari Allah saja. Kedudukan ini juga diikrarkan kembali pada zaman Musa, sewaktu Allah memerintahkannya untuk mengangkat duabelas orang pemimpin atau imam dari kalangan bangsa Israel (Bdk. Bil 17:1-6). Seluruh kata yang diterjemahkan “pemimpin” di ayat tersebut di dalam AV adalah nasiy’, persis seperti kedudukan yang diberikan kepada keturunan Ismail di Kej 17:20.

[14] Saya sengaja mengganti kata “bangsa”—seperti yang diterjemahkan dalam Alkitab bahasa Indonesia—dengan kata “umat”, karena kata asli di teks Ibraninya adalah goy yang dalam bahasa Inggris bisa diterjemahkan nation dan people. Walaupun demikian, pengunaan kata “bangsa” bukan berarti keliru, hanya saja dalam kajian mesianisme Yahudi, mereka sering mengaitkan hal ini dalam konteks kebangsaan atau keturunan biologis mereka saja (nationality) yakni partikular. Sedangkan dalam mesianisme Kristen, para penafsirnya telah melepas arti “keturunan biologis” Ibrahim ini sepenuhnya dan menguniversalkan maknanya (people). (lih. Ro 4:16; Ga 3:29). Padahal, janji Allah ini memang terkait dengan kedua sisi tersebut yakni kebangsaan dan juga manusia secara umum.

[15] “Dan Kami jadikan di antara mereka itu imam-imam yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami”. (QS. 32:24; 21:73; 28:5).

[16] Sahih Bukhari, bagian 9, “Kitab al-Maqadam”, hal. 1000. Sementara dalam Musnad Ahmad diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud bahwa ia bertanya kepada Nabi tentang para khalifahnya. Beliau berkata, “Mereka duabelas orang seperti suku bani Isra’il yang dua belas.” (Musnad Ahmad, Jilid 1, hal. 398).