RTCCTV-Live kuliah-Prerecording majlis-

Tuesday, August 5, 2008

Rahasia Puasa Menurut Ibn ‘Arabi

Rahasia Puasa Menurut Ibn ‘Arabi*

Agustus 4, 2008 at 9:16 am (Ibnu Arabi, Ilmiah, Publikasi ilmiah)

Dalam al-Futuhat al-Makkiyyah Bab 71 “Tentang Rahasia Puasa”, Ibn ‘Arabi mendedah rahasia-rahasia yang terkandung dalam puasa. Sebelumnya, Syekh al-Akbar menuliskan beberapa bait puisi tetapi dalam tulisan ini, puisi-puisinya tidak kami sertakan mengingat ruang yang terbatas.

Puasa adalah Pencegahan dan Peninggian

Semoga Allah menolong Anda! Ketahuilah, bahwa puasa (shawm) adalah pencegahan dan pengangkatan. Orang mengatakan, “Siang telah mencapai ketinggian penuhnya (shama)” ketika ia sudah mencapai titik tertingginya. (Penyair) Imru’l-Qays berkata:

Ketika siang mencapai ketinggiannya (shama) dan panasnya demikian kuat,

Yaitu, siang mencapai keluasannya yang terpenuh. Itu disebabkan puasa mempunyai suatu derajat yang lebih tinggi dibandingkan semua amal ibadah lain yang disebut ”puasa” (shawm). Allah meninggikannya dengan penolakan bahwa ia seperti amal ibadah lain sebagaimana akan kita bahas. Ia menolak kepemilikannya kepada hamba-hamba-Nya meski mereka menyembah-Nya dengannya [puasa] itu dan menisbatkan puasa kepada Diri-Nya. Bagian afirmasinya adalah bahwa Dia memberi pahala kepada orang yang digambarkan olehnya dengan tangan-Nya meskipun Dia menghubungkan puasa kepada Diri-Nya ketika Dia menyatakan bahwa ia [puasa] tidak seperti [ibadah] yang lain itu.

Berpuasa adalah Tiada-Tindakan, Bukan Tindakan

Pada kenyataannya, puasa adalah tiada-tindakan, bukan tindakan. Penafian keserupaan adalah sifat negatif. Karena itu, hubungan antara puasa dan Allah diperkuat. Allah Yang Mahakuasa berkata tentang Diri-Nya, Laytsa kamitslihî syai’un (Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia) (QS asy-Syûrâ: 11). Ia menolak bahwa ada sesuatu yang menyerupai-Nya, dan, dengan demikian, tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya dengan bukti-bukti logis dan dengan Syari’ah. An-Nasa’i meriwayatkan bahwa Abu Umamah berkata, ”Aku datang ke Rasulullah saw dan berkata, ”Berikan kepadaku sesuatu yang saya dapat mengambilnya Anda.” Ia berkata, ”Anda harus puasa. Tidak ada sesuatu pun yang menyerupainya.” Ia menolak bahwa ia seperti amal ibadah lain yang ditentukan bagi hamba-hamba Allah.

Siapa pun yang mengetahui bahwa ia merupakan sifat negatif—karena ia mengandung penundaan berbagai hal yang melanggarnya—mengetahui secara mutlak bahwa tidak ada sesuatu yang menyerupainya (puasa) karena ia tidak memiliki sumber yang digambarkan dengan eksistensi yang dipahami. Inilah alasan kenapa Allah berkata, “Puasa adalah milik-Ku.” Senyatanya, ia bukan ibadah ataupun tindakan. Diperbolehkan untuk menerapkan nama ”tindakan” (action) kepadanya, seperti halnya penggunaan ungkapan maujud (‘existent’) dapat diterapkan kepada Allah. Kita paham, itu dibolehkan sekalipun penisbatan wujud kepada Dia, yang eksistensinya sama dengan esensi-Nya, yang tidak sama penisbatan wujud kepada kita. Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia.

Setiap perbuatan putra Adam adalah miliknya kecuali puasa. Ia milik Allah.

Kutipan Hadis Profetik

Muslim meriwatkan di dalam Shahih-nya bahwa Abu Hurairah melaporkan dari Rasulullah bahwa Allah berfirman, ”Setiap perbuatan putra Adam miliknya kecuali puasa. Itu adalah milik-Ku, dan Aku membayarnya kembali untuk itu. Puasa adalah perisai (penjagaan). Ketika salah seorang dari kalian mempunyai satu hari puasa, maka seharusnya ia tidak berbicara cabul maupun keras; dan jika seseorang berusaha mengutuknya atau berkelahi dengannya, biarkan dia berkata, ’Saya sedang berpuasa.’ Demi Zat yang di tangan-Nya jiwa Muhammad, bau mulut orang yang berpuasa lebih sedap bagi Allah dibandingkan bau harum misik. Orang yang berpuasa mempunyai dua kebahagiaan yang di dalamnya [ia] bergembira: ketika ia berbuka puasa, ia gembira; dan ketika ia bertemu Tuhannya, ia bergembira dalam puasanya.” (Muslim, 13: 163)

Kepuasan dari Orang yang Puasa Terletak pada Keterikatannya pada Tingkatan Penafian Keserupaan

Ketahuilah, karena Nabi menolak bahwa ada sesuatu yang menyerupai puasa, seperti yang disebutkan dalam hadis dari an-Nasa’i, dan ”Allah tidak mempunyai sesuatu yang menyerupai-Nya”, orang yang puasa menemui Tuhannya digambarkan sebagai ”[orang] yang tidak mempunyai sesuatu yang menyerupainya”. Ia melihat-Nya dengannya [puasa], dan Dia adalah Yang Melihat sekaligus Yang Dilihat (the Seer-Seen). Inilah alasan mengapa Nabi saw berkata, “Ia gembira dalam puasanya” dan bukan “Ia gembira dalam menemui Tuhannya.” Kebahagiaan tidak menggembirakan pada dirinya sendirinya; ia dibuat untuk bergembira dengannya. Siapa saja yang mempunyai Allah sebagai penglihatannya ketika ia melihat dan merenungkan-Nya, [ia] hanya melihat dirinya dengan melihat-Nya.

Pelaku puasa bergembira karena mempunyai tingkatan penafian keserupaan. Ia gembira ketika berbuka puasa di dunia ini karena itu [buka puasa] memberi jiwa binatangnya haknya, karena pada hakikatnya [jiwa hewani] mencari makanan. Ketika seorang ’arif melihat bahwa jiwa binatangnya membutuhkan makanan dan melihat bahwa ia ada karena nutrisi yang diberikan kepadanyanya, maka ia memenuhi haknya yang telah Allah wajibkan kepadanya dan menempatkan kedudukan makhluk yang digambarkan sebagai hak. Ia memberi dengan tangan Allah sebagaimana Ia melihat Allah di dalam pertemuan dengan mata Allah. Inilah alasan mengapa ia gembira ketika berbuka puasa sebagaimana ia gembira dalam puasanya ketika ia berjumpa Tuhannya.

Puasa adalah Sifat Shamadiyyah dan al-Haqq adalah Tebusannya

Penjelasan dari apa dikandung dalam hadis ini:

Hamba digambarkan sebagai melakukan puasa dan berhak diberi nama “orang yang puasa” (shaim) oleh sifat ini. Setelah mengafirmasi puasanya, kemudian Allah mengeluarkannya [sifat itu] darinya dan menisbatkannya kepada Diri-Nya. Dia berfirman, ”Puasa adalah milik-Ku,” yakni, sifat ash-shamadiyyah. Ia adalah keterputusan dari makanan. ”Ia hanya milik-Ku, sekalipun Aku sudah menggambarkan kepadamu dengannya. Aku menggambarkan kepadamu dengan suatu kualifikasi keterputusan terbatas tertentu, bukan dengan keterputusan (tanzih) yang keagungan-Ku berhak atasnya. Aku berfirman, ’Aku menebusnya dengan itu.’” Allah menebus puasanya pelaku puasa ketika dialihkan kepada Tuhannya dan ia menemui-Nya dengan suatu sifat yang tidak seperti lainnya: yakni puasa, karena ”Zat yang tidak mempunyai sesuatu yang menyerupai-Nya” hanyalah [bisa] dilihat oleh orang yang tidak mempunyai sesuatu yang menyerupai-Nya. Hal ini seperti teks dari Abu Thalib al-Makki, salah seorang guru para ahli dzawq. ”Balasannya, ialah pada siapa diketemukan (barang yang hilang) dalam karungnya, maka dia sendirilah balasannya (tebusannya) (QS Yusuf: 75) Itulah sesuatu yang diwajibkan oleh ayat ini dalam keadaan ini.

Perbedaan antara Penafian Keserupaan dari Allah dan dari Puasa

Lalu beliau [Nabi saw] berkata, ”Puasa adalah perisai [penjagaan],” dan [ini] adalah perisai sebagaimana Dia berfirman, Bertakwalah kepada Allah (QS al-Baqarah: 194), yaitu menjadikan-Nya sebagai suatu perisai dan [ia] juga menjadi perisai bagi-Nya. Dia menempatkan puasa di dalam posisi-Nya ketika bertindak sebagai perisai. ”Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia”, dan puasa tidak memiliki keserupaan di antara amal ibadah lainnya. Siapa pun tidak mengatakan bahwa tidak ada sesuatu yang menyerupai puasa. Sesuatu itu adalah masalah keabadian atau eksistensi. Puasa adalah tidak-berbuat (non-action). Ia adalah intelijibel non-maujud dan sifat negatif. Puasa tidak mempunyai keserupaan. Ini adalah perbedaan antara sifat Allah di dalam peniadaan persamaan dan cara yang puasa dijelaskan olehnya.

Pelaku Puasa Dilarang Berbuat Cabul, Berteriak, dan Bertengkar

Kemudian, Pemberi-hukum [Allah] menempatkan larangan-larangan pada pelaku puasa. Larangan itu adalah tidak-berbuat dan sifat negatif. Dia berfirman, “maka ia semestinya tidak berbicara cabul maupun berteriak.” Dia tidak memerintahkan kepadanya suatu perbuatan, tetapi melarang itu ia digambarkan oleh tindakan-tindakan tertentu. Puasa adalah tidak-berbuat, sehingga hubungan antara puasa dan apa yang Dia larang kepada pelaku puasa adalah sah. Kemudian Dia memerintahkan agar ia [pelaku puasa] berkata kepada orang yang mencelanya atau bertengkar dengannya, ”Saya sedang berpuasa,” yaitu, saya sedang meninggalkan perbuatan yang sedang Anda lakukan ini, suka bertengkar atau pengecam, kepada saya. Atas perintah Tuhannya, ia memutuskan dirinya dari perbuatan ini. Ia melaporkan bahwa ia tidak berbuat, yaitu, ia tidak mempunyai sifat melaknat atau berjuang bagi yang mengecam dan memeranginya.

Bau Mulut Pelaku Puasa Di Sisi Allah

Lalu ia [Nabi] bersumpah, “Demi Zat yang memegang jiwa Muhammad di tangan-Nya, napas busuk dari pelaku puasa…” Ini adalah bau mulut yang busuk dari pelaku puasa yang hanya ada melalui pernapasan. Ia menghembuskan kata-kata baik yang dengannya ia diperintahkan. Kata-kata ini adalah: “Aku sedang berpuasa.” Kata-kata ini dan setiap napas dari pelaku puasa adalah ”lebih sedap di hari Kebangkitan,” hari ketika orang-orang dihidupkan kembali untuk Tuhan semesta alam, ”di sisi Allah.” Ia menggunakan nama [Allah] yang menggabungkan semua Nama [Allah] dan ia menggunakan nama yang tidak ada sesuatu pun yag menyerupainya karena hanya Allah yang dinamai oleh nama ini. Ini selaras dengan puasa itu sendiri yang tidak ada sesuatu pun menyerupainya.

Ia berkata, “lebih sedap dibanding bau harum misik.” Bau misik (bau harum dari zat kelenjar rusa jantan) adalah satu keadaan eksistensial yang dicandra oleh bau. Orang yang mempunyai struktur yang seimbang menikmatinyanya. Bau harum dari napas yang busuk dianggap lebih semerbak di sisi Allah dibandingkan dengan misik, karena penyifatan persepsi bau harum kepada Allah tidak menyerupai persepsi bau harum kepada pencium. Kita menemukannya tidak sedap, sementara di sisi-Nya napas ini lebih mulia ketimbang bau harum misik. Ini merupakan ruh yang digambarkan yang tidak ada sesuatupun menyerupainya sebagaimana Ia menggambarkannya. Bau harum ini [puasa] tidak seperti bau harum itu [puasa]. Bau harum pelaku puasa datang dari respirasi atau hembusan napas. Bau harum misik tidak muncul dari respirasi misik.

Ibn ‘Arabi dengan Musa ibn Muhammad al-Qabbab di Menara Masjidil Haram Makkah

Sesuatu yang seperti ini terjadi ini kepadaku. Aku sedang bersama Musa ibn Muhammad al-Qabbab di menara Masjidil Haram Makkah di pintu Hazawwara. Saat itu, azan sedang dikumandangkan. Ia mempunyai beberapa makanan yang berbau sangat kuat yang tercium oleh setiap orang. Aku mendengar dalam sebuah hadis Nabi, bahwa para malaikat merasa tersinggung dengan bau menyengat yang datang dari anak-anak Adam. Maka itu, adalah terlarang mendekati mesjid-mesjid dengan bau bawang putih, bawang perai, dan bawang bombay. Aku begadang dan memutuskan untuk menyuruh orang itu untuk memindahkan makanan itu dari mesjid demi para malaikat. Kemudian aku menyaksikan Allah Yang Mahakuasa dalam sebuah mimpi, yang di dalam mimpi itu, Dia berfirman kepadaku, ”Jangan katakan kepadanya tentang makanan itu. Baunya di sisi-Ku tidak seperti baunya di sisimu.” Pagi-pagi, ia datang kepada kami seperti biasanya. Aku berkata kepadanya apa yang telah tersingkap [kepadaku]. Ia menangis dan bersujud kepada Allah karena rasa syukur. Lalu ia berujar kepadaku, ”Guruku, kendati demikian, adab dengan syariah adalah lebih baik,” dan ia memindahkan makanan itu dari mesjid. Semoga Allah merahmatinya.

Hakikat Surgawi Berlawanan dengan Aroma-aroma Busuk

Struktur-struktur alamiah yang logis pada diri manusia dan malaikat bebas dari bau-bau busuk yang tidak sedap karena daya sengat yang mereka rasa sebagai akibat dari ketiadaan keselarasan. Aspek al-Haqq di dalam bau-bau yang busuk hanya bisa dirasakan oleh Allah dan siapa saja yang mempunyai disposisi untuk menerimanya di antara binatang dan manusia yang mempunyai sifat alamiah binatang itu. Ini bukan kasus di sisi malaikat. Inilah alasan kenapa ia berkata, ”di sisi Allah”. Sepanjang pelaku puasa adalah seorang manusia dengan struktur yang sempurna, ia tidak menyukai napas yang busuk dari perbuatan puasa pada dirinya dan orang lain.

Apakah setiap makhluk dengan struktur sempurna menyadari Tuhan mereka sebentar atau dalam penyaksian sehingga mereka secara mutlak merasa bau-bau busuk sebagai yang menyedapkan? Kami belum mendengar hal ini. Kami katakan ”secara mutlak” karena beberapa struktur tidak menyukai aroma misik dan bunga mawar, terutama struktur yang panas. Sesuatu yang didapati menyengat bukanlah menyenangkan untuk orang yang dengan struktur ini. Inilah alasan kenapa kami berkata ”secara mutlak” karena kebanyakan struktur-struktur menemukan misik, mawar dan semacamnya yang harumnya semerbak. [Ini] merupakan struktur jarang, yaitu, tidak biasa, yang menemukan bau-bau yang menyengat ini sebagai yang menyenangkan.

Aku tidak mengetahui apakah Allah telah mengaruniakan kepada siapa saja persepsi persamaan bau harum karena tidak ada bau busuk di sisi-Nya. Kami belum merasakan diri kami sendiri dan itu belum dipancarkan kepada kami bahwa siapa pun merasakan hal itu. Lebih dari itu, diriwayatkan bahwa manusia sempurna dan para malaikat menemukan bau-bau busuk yang menyengat ini. Hanya Allah yang merasakannya sebagai hal yang menyenangkan. Ini terpancar. Aku juga tidak tahu kasus apa di sisi binatang di luar manusia mengenai hal itu. Karena, Allah tidak menetapkanku dalam wujud seekor binatang selain manusia ketika Dia menetapkanku dalam bentuk-bentuk para malaikat-Nya. Kadang-kadang. Allah mengetahui yang terbaik.

Pintu Haus yang dengannya Pelaku Puasa Memasuki Surga

Berdasarkan pengertiannya, syari’ah telah mendedahkan berpuasa dengan kesempurnaan yang di atasnya tidak ada kesempurnaan. Ini disebabkan Allah memberinya suatu pintu khusus dengan nama khusus yang menuntut kesempurnaan. Ia disebut “pintu orang yang dahaga”. Pelaku puasa memasukinya. Pemuasan dahaga adalah suatu derajat tingkat kesempurnaan di dalam [perbuatan] minum. Setelah haus terpuaskan, peminum itu tidak menerima apa pun lagi untuk diminum. Setiap kali ia menerima, maka ia tidak terpuaskan, entah ini adalah negeri di tengah negeri golongan-golongan binatang ataukah bukan.

Muslim meriwayatkan, dari hadis Sahl ibn Sa’d bahwa Rasulullah berkata, ”Ada sebuah pintu di surga yang disebut ’Pintu Dahaga’. Para pelaku puasa memasukinya pada hari Kebangkitan. Tidak ada seorang pun kecuali mereka yang akan memasukinya. Dikatakan [kepada mereka], ’Di manakah para pelaku puasa?’ dan mereka akan memasukinya. Ketika yang terkakhir dari mereka sudah memasukinya, pintu itu akan terkunci dan tidak ada orang lain akan memasukinya.”

Sesuatu tidak disebutkan berkaitan dengan salah satu perbuatan ibadah yang wajib atau yang haram kecuali puasa. Dengan ’pintu dahaga’, Dia menjelaskan bahwa mereka memperoleh sifat kesempurnaan dalam perbuatan karena mereka digambarkan oleh sesuatu yang tidak memiliki keserupaan seperti yang telah kami katakan sebelumnya. Pada kenyataannya, siapa saja yang yang tidak memiliki keserupaan, adalah [orang] yang sempurna. Para pelaku puasa termasuk di antara para arif yang memasukinya di sini. Di sana mereka akan memasukinya dengan ilmu semua makhluk.[]


* Diterjemahkan dari Chapter 71: On The Secrets Of Fasting. Sumber: ourworld.compuserve.com/homepages/ABewley/fut71a.html.

No comments:

...SOALAN CEPU ALIAS MENYENTAP BENAK....

Adakah Jabatan Imam Allah?

Masalah kepemimpinan merupakan salah satu persoalan yang sangat mendasar di dalam kehidupan manusia. Sejak kecil, setiap orang akan mengenal dan berinteraksi dengan persoalan ini. Kita mengenal istilah orang tua sebagai pemimpin di rumah, guru di sekolah, direktur di perusahaan, komandan di keperwiraan, kepala pemerintahan dan seterusnya. Intinya, persoalan kepemimpinan meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Ia menjadi pondasi dan tulang punggung keberlangsungan spesies manusia dimanapun dan kapanpun mereka berada. Tanpa adanya kepemimpinan, maka seluruh pilar dan sistem kehidupan manusia niscaya porak poranda atau khaos—lawan katanya adalah kosmos, yakni teratur. Hal ini sangat jelas sehingga tak perlu pembuktian lagi. Bahkan dalam skala komunitas yang paling sederhana sekalipun, kalimat “broken home” adalah istilah umum yang ditujukan bagi seorang anak yang tidak merasakan adanya figur pemimpin dirumahnya.

Pada dasarnya, makna pemimpin adalah pengatur, pembimbing, penuntun, pengawas, penegak aturan dan pemberi keputusan sehingga hubungan antara kepemimpinan dan keteraturan adalah perkara yang mustahil bisa dipisahkan. Secara esensial, penataan sekelompok masyarakat sangat bergantung pada dua kunci utama bagi terwujudnya suatu tatanan kehidupan yang harmonis, yakni adanya seperangkat aturan atau hukum dan figur pelaksananya atau penegak aturan tersebut yakni hakim. Untuk itu, munculnya kesadaran dan kebutuhan manusia bagi adanya seperangkat hukum dan keberadaan hakim adalah perkara rasional. Sedangkan penolakan atau penerimaan salah satu darinya saja adalah irasional.

Sehubungan dengan hal ini, secara garis besar agama bisa dimaknai sebagai seperangkat aturan yang diharapkan bisa menata hubungan dan perilaku manusia kepada Tuhan dan alam kehidupannya. Di setiap agama, wacana kepemimpinan adalah topik sentral yang tak bisa disepelekan terutama bagi keberlangsungan ajaran tersebut dan juga penganutnya. Saat ini, agama-agama di dunia umumnya dibagi menjadi dua kelompok. Pertama adalah agama-agama yang melandasi ajarannya berdasarkan wahyu atau “agama samawi”. Dan kedua adalah agama-agama yang melandasi ajarannya berdasarkan kebijakan dan tradisi.

Dalam kaitannya dengan studi kristologi, pembahasan komprehensif ditujukan kepada agama-agama yang mendasari ajarannya melalui wahyu Tuhan atau profetisme, yakni kenabian. Dan pada saat ini, agama-agama seperti Islam, Yahudi dan Kristen adalah ajaran-ajaran yang meyakini tentang keberadaan para nabi Tuhan. Secara substansial, kendati masing-masing agama itu punya banyak perbedaan, tapi secara umum, seluruh agama wahyu ini punya satu simpul yang sama, yaitu adanya pengakuan dari masing-masing agama tersebut bahwa Abraham [Islam: Ibrahim] adalah seorang nabi Tuhan.

Di dalam Alkitab Perjanjian Lama (Yudaisme: Tanakh), Abraham memiliki beberapa gelar yang masing-masing mencerminkan jabatan langit yang diembannya. Hal ini memposisikan Abraham sebagai orang pilihan yang mulia disisi Allah dan juga dihadapan keturunan dan para pengikutnya. Dia disebut sebagai nabi (Kej 20:7) [1], bapa sejumlah besar bangsa (Kej 17:15-16) [2], sahabat Allah (2Taw 20:7; Yes 41: 8) [3], dan yang terpenting dari semua adalah raja-imam (Kej: 12:7; 13:4) [4]. Jabatan Abraham sebagai imam Allah ini memang sangat unik dan berbeda dari kedudukan-kedudukan dia sebelumnya sehingga ada pendapat umum bahwa Kejadian 14 merupakan salah satu bab yang paling sukar dalam Kitab Kejadian.[5] Istilah “raja” dan “imam” yang selanjutnya dipadukan menjadi raja-imam mengindikasikan kepada otoritas penuh yang dijabat oleh Abraham dan keturunannya. Yakni sebagai penguasa dan pemimpin sekaligus. Hal ini otomastis berimplikasi bagi adanya suatu wilayah kekuasaan dan kepemimpinan (Kej 17:8-9) [6]. Adapun peristiwa pemberkatan Abraham sebagai Imam Alah bisa ditemukan dalam Kitab Kejadian di pasal 14:1-24. Peran Abraham sebagai pemimpin atau imam yang dipilih dan dinobatkan secara langsung oleh Allah ini—melalui perantaraan Melkisedek—adalah peristiwa yang tak dinafikan kebenarannya, baik oleh Yahudi maupun Kristen.

Secara etimologi, kata “imam” dalam bahasa Ibraninya di Authorized Version (AV) adalah kohen [7] dan nasiy [8]. Masing-masing dari kata ini di ulang sebanyak 750 kali dan 132 kali. Kedudukan ini juga menandai perjanjian atau covenant antara Abraham dan Allah yang mana melalui keturunannya itu Dia akan mengutus seorang yang diurapiNya atau Mesiah, dan akan menjadi berkat bagi seluruh bangsa di bumi (Kej 18:18).[9] Pengesahan kovenan ini ditandai dengan kewajiban penuh bagi Abraham dan keturunannya untuk mentaati hukum-hukum Ilahi berdasarkan prinsip kebenaran dan keadilan.[10]

Untuk itu, kendati sudah ada tiga jabatan langit yang diberikan kepada Abraham, yakni sebagai nabi atau rasul dan kedudukan khususnya sebagai sahabat Allah. Namun masih ada satu jabatan langit terakhir yang tertinggi, yakni sebagai imam Allah. Kedudukan ini juga dianugerahkan kepada Abraham dan keturunan biologisnya. [11] Adapun dari segi pelaksanaan bahwa meskipun jabatan imam Allah ini munculnya belakangan, namun inti dari ajaran Allah kepada manusia itu sendiri sebenarnya baru bisa direalisasikan, apabila hukum-hukum tersebut telah selesai disyariatkan oleh para nabi. Dan setelah itu, syariat ini akan ditegakkan oleh imam-imam Allah yang berasal dari keturunan biologis Abraham. Fakta ini jelas sangat rasional karena tak ada hakim kecuali setelah adanya hukum. Dan hukum pun mustahil bisa ditegakkan kecuali setelah adanya para hakim.

Pada dasarnya, jabatan imam Allah merupakan satu-satunya jabatan tertinggi dan tunas dari “Pohon Kejadian” yang menjadi tujuan atas penciptaan manusia di bumi. [12] Sedangkan kenabian atau kerasulan adalah cabang dari “Pohon Kejadian” tersebut. Artiya, institusi ilahiah ini secara gradual diawali oleh keimaman—yang menduduki puncak dari hierarki rububiyah itu, kemudian disusul dengan kerasulan atau kenabian. Sedangkan penampakan atas jabatan imam Allah di alam dunia (syahadah) secara hierarki adalah kebalikan dari hakekatnya di alam sorgawi (ghayb). Di alam dunia, kemunculan jabatan-jabatan langit ini diawali lebih dahulu dengan kenabian, kerasulan dan imamah.

Setelah Ibraham wafat, jabatan-jabatan ini terus diwariskan melalui keturunan biologis Ismail dan Ishak yang mana keduanya adalah nabi. Dalam Alkitab dinubuatkan bahwa dari Ismail dan keturunannya akan muncul duabelas orang imam “Tentang Ismael, Aku telah mendengarkan permintaanmu; ia akan Kuberkati, Kubuat beranak cucu dan sangat banyak; ia akan memperanakkan dua belas imam, [13] dan Aku akan membuatnya menjadi umat [14] yang besar (Kej 17:20). Kondisi serupa juga ditampakkan kepada bangsa Israel pada zaman Musa as yang mana dia telah diperintahkan oleh Allah untuk melantik duabelas orang imam yang dikepalai oleh Harun dan keturunannya (Bil 17:1-13). Pelantikan para imam Allah ini menandai kesempurnaan RisalahNya dan puncak dari kovenan antara Allah dan para nabi yang ditugaskan untuk menyampaikan AjaranNya kepada manusia. Bahkan fungsi utama dari pengutusan seorang nabi atau rasul itu adalah untuk menegakkan kerajaan imam dan umat yang kudus.Alkitab dan Al-Qur’an menyatakan:

“Jadi sekarang, jika kamu sungguh-sungguh mendengarkan firman-Ku dan berpegang pada perjanjian-Ku, maka kamu akan menjadi harta kesayangan-Ku sendiri dari antara segala bangsa, sebab Akulah yang empunya seluruh bumi. Kamu akan menjadi bagi-Ku kerajaan imam dan bangsa yang kudus. Inilah semuanya firman yang harus kaukatakan kepada orang Israel. (Keluaran 19:5-6)

“Dan ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu, dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putera Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh”. (QS. 33:7)

Sedangkan mengenai perjanjian [mitsaq] yang dimaksudkan itu, maka Al-Qur’an menjelaskan lagi, “Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian dari Bani Israil dan telah Kami angkat di antara mereka 12 orang pemimpin” (QS. 5:12).

Alhasil, substansi yang ingin ditegaskan dalam pengantar yang ringkas ini bahwa status seorang imam di dalam agama Ibrahimik—menurut tinjauan kristologi—itu memang ada dan dipilih secara mutlak oleh Allah sebagaimana halnya kenabian dan kerasulan. Artinya tidak melalui konsensus. Imam Allah adalah jabatan sorgawi yang kudus dan tidak terbentuk melalui mekanisme pemilihan umum ataupun cara-cara lain yang dilandasi oleh perspektif manusia. Sungguh tidak mengherankan bila Al-Qur’an sendiri pernah menegaskan bahwa keluarga Ibrahim as telah dianugerahi suatu kerajaan yang besar.

“Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya? Sesungguhnya Kami memberikan Kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar”. (QS. 4:54)

Secara historis, pena sejarah umat manusia belum pernah mencatat bahwa keluarga Ibrahim ada yang mendirikan monarki keluarga, misalnya seperti Ibrahimiyah, Ismailiyah, Ishakiyah, Yakubiyah, Yusufiyah, Musaiyah atau Haruniyah dan lain sebagainya. Hal itu disebabkan keluarga Ibrahim lebih dikenang sebagai mata airnya kenabian, kerasulan dan imamah. Jika demikian, maka kerajaan besar apakah yang dimaksudkan oleh al-Qur’an itu? Apabila hal ini tidak merujuk kepada mamlakah kohen atau kerajaan imam,[15] tentu akan sulit menemukan makna yang sebenarnya dari ayat tersebut. Lalu, apabila keluarga Ibrahim telah diwariskan kerajaan besar oleh Allah, maka bagaimanakah dengan nasib keluarga Muhammad saw sendiri? Artinya, apakah mungkin dari keturunan Muhammad saw ini akan ada yang menjadi imam-imam Allah seperi yang pernah terjadi di masa para nabi terdahulu yang berasal dari keluarga Ibrahim? Dan apabila jumlah para imam dari keluarga Ibrahim as ini selalu duabelas orang, maka mungkinkah jumlah para imam dari keluarga Muhammad pun juga demikian?

Sebagai penutup, barangkali hadis Nabi saw yang pernah diriwayatkan dalam Sahih Bukhari[16] ini bisa membawa kita kepada kontemplasi mendalam yang selaras dengan pendewasaan beragama. “Jabir ibn Samurah mengatakan, ‘Saya mendengar Nabi berkata: “Akan ada duabelas pemimpin setelah saya.” Kemudian mengatakan, “Saya mendengar ayah saya mengatakan ia mendengar Nabi berkata, “Mereka berasal dari suku Qurays”’”. Wallahu’alam.

Catatan Kaki:

[1]“Jadi sekarang, kembalikanlah isteri orang itu, sebab dia seorang nabi;”.

[2]“Aku akan memberkatinya, dan dari padanya juga Aku akan memberikan kepadamu seorang anak laki-laki, bahkan Aku akan memberkatinya, sehingga ia menjadi ibu bangsa-bangsa; raja-raja bangsa-bangsa akan lahir dari padanya”.

[3] “Bukankah Engkau Allah kami yang menghalau penduduk tanah ini dari depan umat-Mu Israel, dan memberikannya kepada keturunan Abraham, sahabat-Mu itu, untuk selama-lamanya?”; Dan juga “Tetapi engkau, hai Israel, hamba-Ku, hai Yakub, yang telah Kupilih, keturunan Abraham, yang Kukasihi;”.

[4] ”Ketika itu TUHAN menampakkan diri kepada Abram dan berfirman: ‘Aku akan memberikan negeri ini kepada keturunanmu.’ Maka didirikannya di situ mezbah bagi TUHAN yang telah menampakkan diri kepadanya”; Dan juga “ke tempat mezbah yang dibuatnya dahulu di sana; di situlah Abram memanggil nama TUHAN”.

[5] Lembaga Biblika Indonesia, Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, disunting oleh Dianne Bergant, CSA dan Robert J. Karris, OFM (Jakarta: Penerbit Kanisius, 2002) hal. 52.

[6] “Kepadamu dan kepada keturunanmu akan Kuberikan negeri ini yang kaudiami sebagai orang asing, yakni seluruh tanah Kanaan akan Kuberikan menjadi milikmu untuk selama-lamanya; dan Aku akan menjadi Allah mereka.’ Lagi firman Allah kepada Abraham: ‘Dari pihakmu, engkau harus memegang perjanjian-Ku, engkau dan keturunanmu turun-temurun”.

[7] Kata kohen artinya imam atau pendeta (priest), orang yang memiliki (own), penguasa tertinggi (chief ruler), pejabat (officer), pangeran atau putra mahkota (princes).

[8] Kata nasiy’ atau nasi’ artinya pangeran atau putra mahkota (prince), kapten (captain), ketua (chief), penguasa (ruler), beruap atau menguap (vapours), gubernur pemerintahan (governor), awan (clouds), bagian (part). Secara definisi adalah orang yang ditinggikan (one lifted up) atau imam (leader) dan uap yang terangkat, yakni selalu meninggi dari lainnya (raising mist).

[9] “Oleh keturunanmulah semua bangsa di bumi akan mendapat berkat, karena engkau mendengarkan firman-Ku”.

[10] “Sebab Aku telah memilih dia, supaya diperintahkannya kepada anak-anaknya dan kepada keturunannya supaya tetap hidup menurut jalan yang ditunjukkan TUHAN, dengan melakukan kebenaran dan keadilan, dan supaya TUHAN memenuhi kepada Abraham apa yang dijanjikan-Nya kepadanya.” (Kej 18:19).

[11] Bandingkan juga beberapa kedudukan Nabi Ibrahim as yang disampaikan dalam Al-Qur’an, yaitu: Pertama, sebagai nabi “Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat benar dan seorang Nabi”. (QS. 19:41). Kedua, ayat al-Qur’an ini memaparkan dua sisi, yaitu kedudukan Ibrahim as sebagai rasul dan juga moyang bagi sejumlah besar bangsa yang mana keturunannya itu akan mewarisi jabatan kenabian dan kerasulan “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh dan Ibrahim dan Kami jadikan kepada keturunan keduanya kenabian dan Al Kitab, maka di antara mereka ada yang menerima petunjuk dan banyak di antara mereka yang fasik”. (QS. 57:26). Ketiga, sebagai khalil atau sahabat Allah “Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya”. (QS. 4:125). Keempat, sebagai imam “Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhanya dengan beberapa kalimat, lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: ‘Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu sebagai imam bagi seluruh manusia.’ Ibrahim berkata: ‘dan dari keturunanku.’ Allah berfirman: ‘JanjiKu tidak mengenai orang-orang yang zalim’”. (QS. 2:124).

[12] “Manusia adalah puncak dari seluruh penciptaan. Kelebihan ciptaan ini digarisbawahi oleh kenyataan bahwa hanya manusialah yang diciptakan menurut “gambar” atau “rupa Allah”. [Dikutip dari Lembaga Biblika Indonesia, Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, disunting oleh Dianne Bergant, CSA dan Robert J. Karris, OFM (Jakarta: Penerbit Kanisius, 2002) hal. 35]. Bandingkan dengan ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang kedudukan manusia sebagai khalifah Allah dimuka (QS. 2:30) dan hadis Nabi saw yang mengatakan bahwa Adam diciptakan dari citranya.

[13] Saya sengaja mengganti kata “raja”—seperti yang ada diterjemahan Alkitab LAI—dengan kata “imam”, karena kata “raja” adalah terjemahan yang tidak tepat. Dalam bahasa Ibrani kata “raja” adalah melek, sedangkan Authorized Version (AV) tidak menyebut kata tersebut di ayat ini melek (raja) tapi nasiy’ (imam). Yakni suatu posisi atau jabatan langit tertinggi yang berasal dari Allah saja. Kedudukan ini juga diikrarkan kembali pada zaman Musa, sewaktu Allah memerintahkannya untuk mengangkat duabelas orang pemimpin atau imam dari kalangan bangsa Israel (Bdk. Bil 17:1-6). Seluruh kata yang diterjemahkan “pemimpin” di ayat tersebut di dalam AV adalah nasiy’, persis seperti kedudukan yang diberikan kepada keturunan Ismail di Kej 17:20.

[14] Saya sengaja mengganti kata “bangsa”—seperti yang diterjemahkan dalam Alkitab bahasa Indonesia—dengan kata “umat”, karena kata asli di teks Ibraninya adalah goy yang dalam bahasa Inggris bisa diterjemahkan nation dan people. Walaupun demikian, pengunaan kata “bangsa” bukan berarti keliru, hanya saja dalam kajian mesianisme Yahudi, mereka sering mengaitkan hal ini dalam konteks kebangsaan atau keturunan biologis mereka saja (nationality) yakni partikular. Sedangkan dalam mesianisme Kristen, para penafsirnya telah melepas arti “keturunan biologis” Ibrahim ini sepenuhnya dan menguniversalkan maknanya (people). (lih. Ro 4:16; Ga 3:29). Padahal, janji Allah ini memang terkait dengan kedua sisi tersebut yakni kebangsaan dan juga manusia secara umum.

[15] “Dan Kami jadikan di antara mereka itu imam-imam yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami”. (QS. 32:24; 21:73; 28:5).

[16] Sahih Bukhari, bagian 9, “Kitab al-Maqadam”, hal. 1000. Sementara dalam Musnad Ahmad diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud bahwa ia bertanya kepada Nabi tentang para khalifahnya. Beliau berkata, “Mereka duabelas orang seperti suku bani Isra’il yang dua belas.” (Musnad Ahmad, Jilid 1, hal. 398).