TASHAWWUF & IRFAN DALAM ISLAM[1]
Ahmad Y. Samantho Al-Hussaini[2]
(Kandidat Magister Islamic Philosophy ICAS-Paramadina)
Prolog
Di tengah kegersangan spiritual dan hegemoni paradigma budaya materialistik-sekular, umat manusia ditenggarai makin tercerabut dari kesejatian eksistensi dirinya. Kebanyakan manusia makin terasing dari alam semesta, Tuhan dan dirinya sendiri, berjalan tak tentu arah, tak tahu tujuan hidupnya dan merasa hidup ini hanyalah sia-sia belaka, tanpa makna tanpa tujuan. Akhirnya penyakit-penyakit epidemik psikosomatik akibat depresi, stress, kehampaan spiritual, skisofrenia, hedonisme, krisis makna-legimasi hidup atau nihilisme dan bunuh diri, makin merebak. Abad ke-20-21 inilah abad yang oleh Anthony Giddens disebut berciri: ”manufactured uncertainity” yaitu masa yang dipenuhi oleh ketidakpastian dan mengarah kepada high concequence risk.[3] Krisis-krisis tersebut makin mengental menjadi krisis multidimensional yang disebabkan oleh krisis eksistensial menurut Seyyed Hosein Nasr.
Sebagaimana Syed Hossein Nasr katakan, krisis-krisis eksistensial ini bermula pada pemberontakan manusia modern kepada Tuhan. Krisis eksitensial ini merupakan manifestasi dari krisis spiritual manusia modern. Ketika manusia meninggalkan Tuhan demi mengukuhkan eksistensi dirinya, manusia telah bergerak dari pusat eksistensinya sendiri menuju wilayah pinggiran eksistensi. Kehidupan manusia modern, kata Nasr, telah terperangkap dalam pinggiran eksistensi mereka yang semakin lama semakin jauh meninggalkan pusat eksistensinya. Mereka kehilangan harapan kebahagiaan masa depan seperti yang dijanjikan oleh gerakan renaisance, enlightment era, sekularisme-materialisme sains dan teknologi. Oleh karena itu, kecemasan eksistensial yang menghantui manusia modern adalah merupakan konsekuensi logis alamiah dari modus eksistensi mereka yang mencampakkan kehidupan spiritual dan Tuhan mereka. Krisis ini bermula ketika manusia modern memberontak terhadap Allah Tuhan Yang Maha Pencipta.[4]
Allah sendiri telah berfirman: “Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang melupakan Allah sehingga mereka lupa kepada diri mereka sendiri.” (QS Al-Hasyr: 19). Jika kita merujuk kepada sabda Nabi SAAW: “Barangsiapa yang mengenal dirinya, akan mengenali Tuhannya.” Dan sabda Imam Ali KW : “Pokok pangkal agama adalah mengenal Tuhan. (awwaludin al-Ma’rifatullah)”, maka pengenalan jati diri manusia juga menjadi pokok ajaran agama.
|
Bahkan, khususnya di kalangan masyarakat Muslim di Indonesia, kita juga mulai melihat gejala arus balik ke arah spiritualitas tersebut. Gejala ini dapat kita lihat misalnya dengan merebaknya majlis-majlis dzikir massal yang diikuti oleh belasan ribu jamaah. Atau gerakan kelompok-kelompok tasawuf dan pengobatan Sufi di kota-kota besar di Indonesia yang makin mendapat tempat, baik di kalangan masyarakat bawah maupun kelas menengah-atas.
Keislaman Kontroversi Tasawuf & Irfan
Namun demikian, masih terdapat resistensi dan penolakan yang cukup kuat dari sebagian masyarakat Muslim, yang mempertanyakan apakah Tasawuf atau Irfan tersebut adalah asli ajaran Islam ataukah pengaruh dari luar Islam? Penentangan terhadap gerakan tasawuf ini umumnya muncul dari kalangan kelompok literalis & formalis Islam, kaum muhaditsun (yang berpegang teguh pada makna literal hadits) dan akhbariyun yang tak jarang didukung oleh para penguasa politik. Inilah yang akan kita bahas dalam paper singkat ini.
Memang untuk mengkaji masalah ini diperlukan kajian teliti yang mendalam dan komprehensif, mengingat cukup peliknya masalah ini. Namun pembahasan dalam paper ini mungkin hanya sekedar pengantar ke arah kajian yang lebih dalam dan komprehensif tersebut.
Sejak lama, di dunia Islam memang telah muncul kecenderungan ke arah apa yang disebut ‘Irfan dan Sufisme (tashawwuf), yang sejak abad IV Hijriah (X Masehi) sampai abad VIII H ( XIV M) keduanya mencapai puncaknya di berbagai negara seperti Iran dan Turki. Saat ini di seluruh penjuru dunia terdapat berbagai sekte sufi. Kecenderungan serupa juga kita dapatkan pada pemeluk agama-agama lain. Maka wajarlah sekiranya timbul pertanyaaan apakah irfan/tashawwuf itu asli Islam atau berasal dari pengaruh agama lain?Dalam menyikapi persoalan keaslian atau keislaman Tashawwuf atau Irfan ini, paling tidak, ada 3 kelompok yang berbeda tanggapannya :
1. Kelompok yang menolak keislaman Irfan dan Tashawwuf. Mereka menganggap Irfan & Tashawwuf ini adalah bid’ah yang bertentangan dengan atau menyimpang dari Islam, karena berasal dari luar Islam. Kelompok ini pada umumnya adalah kaum literalis dan formalis Islam (Muhaditsun/Akhbariyun), seperti Khawarij, para ulama kerajaan, para modernis dan para pengikutnya dari kalangan Wahabiyin.
2. Kelompok yang menganggap Irfan dan Tashawwuf adalah bid’ah yang diperbolehkan dalam Islam, sebagaimana kerahiban (kehidupan pastoral) dalam ajaran Kristiani. Kelompok ini berdalil dengan ayat Al Qur’an: “ Dan tentang kerahiban, mereka mengada-adakannya; padahal kami tidak mewajibkannya kepada mereka, kecuali untuk mencari keridoan Allah.” (QS. 57:27).
3. Kelompok ketiga, yang berpendapat bahwa Irfan atau Tashawwuf bukan hanya merupakan bagian dari ajaran Islam, bahkan keduanya merupakan intisari dan jiwa sejati dari Islam itu sendiri, yang lahir dari Al Qur’an dan Sunnah Nabi. Sebagaimana dikatakan oleh Ayatullah Muhammad Taqi Misbah Yazdi[5] “Irfan tidaklah diambil dari mazhab pemikiran dan trend lain. Aspek-aspek yang sama dalam Irfan yang dimiliki oleh Islam dan agama-agama lain, tidak dapat begitu saja dkatakan bahwa hal itu diambil dari ajaran agama lain. Namun demikian walau Muhammad Taqi Misbah Yazdi setuju dengan kelompok ketiga ini, tidak berarti ia mengabaikan apa-apa yang selama ini juga terjadi pada beberapa kelompok faktual yang mengaku mengikuti sufisme Islam, namun ternyata hanya sekedar mengadopsi unsur-unsur asing, yang beberapa pandangan dan perilakunya memang diragukan kebenarannya dari sudut pandang Islam yang sejati.
Masing-masing dari 3 kelompok tersebut akan kita bahas selanjutnya dalam paper ini, insya-Allah.
Kelompok pertama, yang menolak keislaman Irfan dan tashawuf, terlihat misalnya dari bagaimana para ‘ulama’ mengkafirkan dan menganggap sesat seorang sufi (Abu Abd al-Rahman al-Sulami) yang telah menulis tafsir al Qur’an, Haqa’iq al-Tafsir, dengan pendekatan tashawwuf. Al-Sulami dikafirkan dan dianggap sesat dan pendusta antara lain oleh Ibn Shalah, Imam Abu al-Hasan al Wahidi, Al Dzahabi, dan Ibn Taymiah[6].
Ibn Arabi (Syaikh al-Akbar Ibn ‘Arabi) yang menulis salah satu tafsir Sufi, Tafsir al Qur’an al Karim, dikecam dan dikafirkan oleh Syeik Muhammad Abduh. Tafsir ini dikecam dan dinisbahkan oleh Abduh kepada seorang Syiah batiniah, Al-Kasyani. Kata Abduh: ‘Di dalamnya banyak sekali penyimpangan yang terlepas darinya agama Allah dan Kitab Allah yang Mulia.” Kecaman kepadanya bergema sampai sekarang, ketika sebuah lembaga dakwah nasional (DDII ?) di Indonesia pernah menerbitkan daftar para ‘ulama sesat’ sekaligus fatwa mereka yang menegaskan kekafiran Ibn Arabi.[7]
Al-Husayn bin Mansyur al-Hallaj adalah seorang ahli ibadah yang cintanya kepada Allah menyala-nyala dan sangat mabuk dalam tashawwuf.[8] Ia diadili dengan berbagai tuduhan yang bertentangan satu sama lain. Ia dituduh telah mengaku sebagai Imam Mahdi, nabi bahkan tuhan. Ia juga dituduh pengikut Syiah ekstrem dan menganjurkan haji ke Ka’bah yang dibuat di rumahnya sendiri. Dalam pengadilan ia dibela oleh Ibn Atha yang dengan berani berkata kepada Majlis Hakim, “Apa hubungannya kalian dengan peristiwa ini? Cemaskanlah perampasan hak rakyat yang disitu kalian terlibat, pikirkanlah perbuatan kalian menindas dan membunuhi mereka. Apa hubungannya kalian dengan ucapan-ucapan orang yang mulia ini.” Ibn Atha lalu dipukuli sampai mati dengan sepatunya sebelum al-Hallaj dicambuk 1000 kali dan tubuhnya dibakar pada tahun 309 H.
Di dalam sejarah Islam di tanah air Indonesia, kita melihat bagaimana Hamzah Fanshuri, seorang sufi dan sastrawan-pujangga Islam Melayu di Aceh, dikafirkan dan ditindas oleh kerajaan dan ‘ulama’ kerajaan: Nurrudin Ar Raniry. Atau Syeikh Siti Jenar di pulau Jawa, dianggap sesat dan dibunuh oleh para ulama kerajaan di Jawa.
Kelompok kedua, meski tidak mengharamkan Irfan dan Tashawwuf, mereka masih meragukan keaslian dan kemurnian Islam dalam Tashawuf dan Irfan. Akibatnya mereka masih ragu-ragu untuk mengikuti dan mempromosikan tasawuf /Irfan. Dan menganggapnya hanyalah sebagai urusan pribadi masing-masing orang dalam berhubungan dengan Tuhan Pencipta-nya.
Kelompok ketiga, yang mengatakan bahwa Irfan dan Tashawwuf, adalah ajaran asli Islam dan merupakan intisari ajaran Islam, menurut penulis adalah yang paling mendekati kebenaran dalam hal ini, dengan catatan tertentu[9]. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
Konsep ‘Irfan, Sufisme (Tashawwuf)
Sebelum membahas tentang keaslian Irfan, tashawwuf dalam ajaran Islam, maka agar terhindar dari kebingungan dan kesalahpahaman, di sini perlu didefinikan terlebih dahulu makna istilah ‘Irfan dan Sufisme/Tashawwuf.
Istilah Irfan – sebagaimana istilah ma’rifah yang berasal dari akar kata yang sama dalam bahasa Arab – secara literal berarti ilmu pengetahuan. Makna khususnya adalah ilmu pengetahuan tertentu yang diperoleh tidak melalui indera maupun pengalaman (empirisme & eksperimentasi), tidak pula melalui rasio atau cerita orang lain, melainkan melalui penyaksian ruhani dan penyingkapan batiniah. Kemudian fakta tersebut digeneralisasikan menjadi suatu proposisi yang bisa menjelaskan makna penyaksian dan penyingkapan tersebut antara lain melalui argumentasi rasional (misalnya dalam filsafat iluminasi (Isyraqiyah). Inilah yang disebut dengan Irfan (teoritis). Dan karena penyaksian dan penyingkapan tersebut dicapai melalui latihan-latihan (riyadah) khusus dan perilaku perjalanan spiritual tertentu (syair wa suluk) maka yang terakhir ini disebut Irfan ‘Amali (praktik Sufisme/Tashawwuf).
Istilah Sufisme (Tashawwuf), kemungkinan besar berasal dari kata shuf (wol, bulu domba) yang berarti memakai pakaian dari wol yang kasar, sebagai simbol hidup yang keras (zuhud) yang jauh dari kenikmatan duniawi. Sufisme/tashawuf lebih tepat digunakan untuk penyebutan irfan praktis (amali) sedangkan istilah ‘Irfan adalah untuk Irfan teoritis.
Keaslian Irfan & Tashawwuf dalam Islam
Menurut Ayatullah Muhammad Taqi Misbah Yazdi, siapa pun yang mencermati ayat-ayat al-Qur’an, perkataan Rasulullah dan semua Ahlul Baitnya yang suci as, pasti akan menemukan banyak hal mulia dan terpuji yang berkaitan dan menjadi dasar Irfan teoritis, maupun berbagai ajaran dan instruksional praktis sehubungan dengan perjalanan spiritual para arif. Misalnya, kita bisa merujuk kepada ayat yang menerangkan tentang penyatuan dengan hakikat, sifat dan perbuatan ketuhanan dalam Surat Tauhid (Al-Ikhlas), juga dalam permulaan Surah Al-Hadid, dan akhir Surah Al-Hasyr, dll.
Ada pula ayat yang berisi petunjuk khusus yang merupakan langkah menuju perjalanan spiritual Islam, seperti ayat yang memerintahkan manusia untuk melakukan perenungan, untuk selalu ingat kepada Allah (zikir), bangun sebelum fajar dan tetap terjaga di malam hari (qiyamul lail), merendahkan diri dan tawakal di hadapan Allah SWT, menangis dan merendah ketika membaca dan mendengar ayat al-Qur’an, tulus dalam beribadah, melakukan perbuatan terpuji, mencintai Allah untuk mencapai kedekatan kepada-Nya dan untuk meraih keridhaan-Nya, maupun ayat-ayat lain yang menegaskan agar percaya kepada Allah, kepada kebahagiaan ruhani, dan penyerahan diri kepada Allah. Selain itu juga banyak pelajaran yang dapat diperoleh dari riwayat yang dinisbahkan pada Rasulullah SAW dan Para Imam Ma’shum as, dan dalam doa-doa mereka, juga dalam penyerahan diri mereka kepada Allah SWT.
Dalam pandangan kelompok ketiga ini, dari sudut pandang Islam, perjalanan spiritual (syair wa suluk) seorang arif (salik,) bukanlah suatu perjalanan yang terpisah dari aspek-aspek hukum agama (syari’ah). Bahkan Islam menganggap Irfan (Tasawwuf) sebagai bagian penting dan mendalam dari keberagamaan seseorang. Jika kita memahami syariat dari sisi luarnya, maka tarikat (Tariqah/Suluk) adalah bagian internal (intisari) dari syariat, yang bisa dimengerti hanya dengan mempelajarinya melalui persepsi syariat.
Misalnya, syariat menetapkan pandangan dan aturan tentang ibadah-ibadah ritual seperti shalat, dan tariqat (tashawuf/irfan) mengajarkan jalan untuk menghadirkan hati kita ketika shalat, serta adab-adab bathin untuk menyempurnakan ibadah kita. Dalam pandangan syariat, pelaksanaan ibadah ditujukan untuk menghindari azab Allah dan untuk memperoleh karunia berupa pahala surga, sudah dianggap cukup. Namun demikian, para arif perlu menyucikan niat untuk tidak meraih apapun selain dari Allah SWT. Inilah yang oleh para Ahlul Bait as dengan “ibadahnya orang-orang merdeka.” Demikian pula tentang syirik. Menurut syariah, yang dimaksud dengan syirik adalah adalah menyembah berhala atau yang sejenisnya. Sedangkan dalam tarikat, ada jenis-jenis syirik yang tersembunyi dalam diri manusia dan bertingkat-tingkat ketersembunyiannya. Menyandarkan harapan kepada selain Allah, meminta pertolongan selain kepada Allah, dan kecintaan selain kepada-Nya, jika tidak didasarkan kepada ketaatan terhadap perintah dan ketentuan Allah SWT, juga akan dianggap sebagai syirik.
|
[1] Materi kajian ini pernah disajikan penulis dalam acara siaran “Kaji Filsafat” di Radio 107,2 KIS FM, Jakarta Pusat, pada bulan Juni 2004
[2] Mahasiswa Pascasarjana Filsafat Islam (ICAS)-Paramadina
[3] A, Giddens, Beyond Left and Right, Cambridge, 1994
[4] Hussein Heriyanto, Proposal Short Course Ideologi, Peradaban dan Agama, Depok, 2000
[5] Ayatullah Muhammad Taqi Misbah Yazdi, “Islamic Gnosis (‘Irfan) and Wisdom (Hikmat)” from Journal Al Tawheed, Vol.14, No. 3, 1997, page 21-29. Terjemahan Indonesianya oleh Anna Farida dimuat dalam Jurnal Al Huda, Vol. 1 No. 3, hal. 51-60, Jakarta 2001.
[6] Al Itqan, 4: 485. Lihat pengantar yang ditulis oleh oleh Dr. Ibrahim Bisyuni untuk Lataif al Isyarat. Kairo Markaz Tahziq at Turats, 1981.
[7] Jalaluddin Rakhmat, dalam pengantar berjudul Tafsir Sufi: Menyesatkan atau Diperlukan, untuk bukunya Tafsir Sufi Al Fatihah, Rosda, 1999.
[8] Al Hujwiri, Kasyf al-Mahjub.
[9] Namun demikian banyak juga orang atau kelompok yang mengatasnamakan sebagai kelompok atau gerakan tasawuf, namun ternyata sesungguhnya melakukan banyak penyimpangan dari syariah Islam (al-Qur’an Sunnah Nabi SAW). Inilah yang oleh M.T. Ja’fari disebut sebagai “tasawuf negatif” sebagai lawan dari “tasawuf positif” yaitu tasawuf yang benar-benar asli berasal dan bersumber dari intisari ajaran Islam. Di Indonesia banyak pula gerakan/kelompok tasawuf negatif ini. (MT Ja’fari, Tasawwuf Positif (Positive Mysticism), Jurnal Al Hikmah, edisi 5, 1992)
No comments:
Post a Comment