RTCCTV-Live kuliah-Prerecording majlis-

Tuesday, November 18, 2008

Ali ibn Abi Thalib dan Tasawuf

Ali bin Abi Thalib dan Tasawuf

Oktober 28, 2008 at 5:45 am (Ilmiah, Publikasi ilmiah, Tulisan Luar)

Caner K. Dagli

“Aku adalah kota ilmu, dan Ali adalah pintunya,” (Nabi saw)

Tidak ada satu tokoh dalam sejarah Islam awal, selain Nabi sendiri, yang menjadi pusat kontroversi dan perdebatan seperti Ali bin Abi Thalib. Kontroversi ini muncul pada lebih dari satu tataran, mulai dari persoalan-persoalan politik dan sejarah hingga masalah-masalah di bidang teologi dan metafisika. Keluasan intelektual dan kedalam spiritual Ali telah mengilhami seluruh penjuru dunia Islam, baik Sunni maupun Syi’i, dan sekalipun banyak konflik di antara kedua mazhab besar Islam ini yang berpusat pada pribadi Ali, satu pihak tidak pernah bisa menuduh yang lain kurang memiliki kecintaan dan penghormatan kepadanya. Dalam hal ini, secara paradoks, Ali menyatukan kaum Muslim dalam kecintaan mereka kepadanya, tetapi sentralitasnya dalam sudut pandang yang berlawanan menjadikannya sumber perselisihan yang serius.

Lebih jauh, kita temukan dalam dunia Sunni perdebatan dengan Ali pada pusatnya, dan ini merupakan persoalan esoterisme dalam Islam, yang manifestasi utamanya adalah tasawuf. Kaum Sufi mengakui dua jenis otoritas, berkaitan dengan dua jenis ilmu. Dalam konteks otoritas politis, posisi ortodoks Sunni sangat dikenal. Sekalipun Nabi saw tidak meninggalkan perintah-perintah tegas berkaitan dengan yang akan menggantikan beliau secara politis, sebagian besar (?) komunitas Islam menyetujui Abu Bakar Shiddiq, sahabat lama Nabi dan tokoh terhormat di antara para sahabat, sebagai khalifah Islam yang pertama. Ia menunjuk Umar bin Khaththab, yang dirinya sendiri menyusun sebuah komisi yang beranggotakan enam orang sahabat yang pada gilirannya komisi ini memilih Utsman bin Affan. Pasca pembunuhan Utsman, Ali menjadi khalifah keempat.

Tak seorang Sunni pun menolak bahwa, dalam konteks ortoritas temporal, ini merupakan sebuah peristiwa yang biasa. Dalam dunia Sunni, sekalipun tidak ada pemisahan antara gereja dan negara (baca: agama dan politik), khalifah hanyalah administrator, dan ketika ia secara ruhani unggul, ini tidak dipandang sebagai syarat untuk jabatan khalifah. Otoritas khalifah dinilai sebagai berasal dari Tuhan. Namun dalam dunia Sunni, terutama setelah generasi pertama, adalah kelompok ulama, yang bertanggung jawab atas pengalihan pengetahuan keagamaan dan spiritual dan yang berperan sebagai otoritas final mengenai persoalan-persoalan agama.

Sultan, khalifah, fukaha, dan umumnya kelas masyarakat terpelajar merepresentasikan otoritas eksoteris dalam Islam Sunni. Akan tetapi, kaum Sufi mengetahui rantai otoritas spiritual yang secara relatif terlepas dari otoritas eksoteris dan secara prinsip, lebih utama atasnya. Kita katakan terlepas atau independen bukan dalam arti bahwa tasawuf secara inheren antinomian; lawannya adalah benar. Namun keputusan ulama eksoteris (ulama zahir) tak akan pernah, bagi kaum Sufi, mengatasi ajaran-ajaran dari seorang guru spiritual otentik, seorang ulama batin. Ini disebabkan yang zahir, yang aturannya dijalankan dengan syariah atau hukum Tuhan, ada sebagai pendukung kehidupan batin, yang pertumbuhannya dijalankankan melalui thariqah atau jalan spiritual.

Penafsiran yang beragam atas pengertian otoritas spiritual dan temporal telah mengarahkan kepada kesalahpahaman antara Syi’ah dan Sunni juga antara elemen-elemen tertentu dalam dunia Sunni itu sendiri. Otoritas kerohanian diserahkan kepada Ali oleh Nabi merupakan satu realitas yang diterima baik oleh Sufi-sufi Sunni1 dan Syi’i, namun mereka berbeda berkaitan dengan konsekuensinya dalam ranah temporal. Sebagai imam pertama kaum Syi’ah, Ali menggabungkan dua jenis otoritas di atas dalam satu pribadi, dan menurut Syi’isme, aturan tepat segala sesuatu menuntut bahwa Imam harus mengatur dan memerintah secara spiritual dan temporal. Akan tetapi, sementara dalam Syi’isme aspek esoteris Islam diproyeksikan ke masyakarat umum, sehingga perbedaan antara eksoteris dan esoteris menjadi samar, kaum Sufi puas mempraktikkan jalan mereka dalam bingkai yang ditetapkan oleh otoritas eksoteris. Inilah mengapa, mereka mengakui Ali sebagai pengalih utama rahasia-rahasia batin (ada yang lain seperti Abu Bakar) tanpa ada suatu kontradiksi penting dengan seorang otorita eksoteris yang tidak memiliki rahasia-rahasia (batin) ini. Dengan kata lain, hierarki vertikal dan horizontal tidak perlu bercampur. Dari perspektif Sufi, misteri-misteri paling dakhil tidak ditujukan bagi setiap orang, dan mengajarkan misteri-misteri kepada mayoritas orang mukmin akan lebih banyak merusak ketimbang maslahatnya, demarkasi yang lebih jelas antara dimensi eksoteris dan esoteris memiliki faedah-faedah berupa menghindari bahaya-bahaya tersebut.

Dari apa yang telah diutarakan, kita bisa simpulkan bahwa cara terbaik untuk memahami konflik yang berpusat pada Ali adalah dengan melihat pertikaian ”horizontal” antara Syi’ah dan Sunnah sebagai bentuk proyeksi dari perbedaan vertikal esoterisme dan eksoterisme. Hal ini semakin jelas ada ketika orang menguji persamaan mendalam antara tasawuf dan Syi’isme. Para Imam dari Syi’ah Dua Belas Imam juga merupakan guru-guru spiritual dalam rantai transmisi Sufi atau silsilah.

Apabila orang mengesampingkan syariat dan juga fungsi kosmis dari Imam, fungsi inisiatori dan peran sebagai pembimbing ruhani dari Imam adalah persis sama dengan peran dan fungsi guru Sufi. Pada dasarnya, sebagaimana dalam tasawuf setiap guru berkomunikasi dengan kutub di zamannya, maka dalam Syi’isme seluruh fungsi keruhanian di setiap zaman secara batiniah terkait dengan Imam. Gagasan Imam sebagai kutub alam semesta dan konsep quthb dalam tasawuf nyaris identik.2

Perbedaan utamanya adalah sejauh mana otoritas spiritual mesti terentang luas ke dalam ranah temporal. Dalam kasus Ali, ia menggabungkan dua aspek tersebut hingga ke tingkatan yang paling tinggi, baik sebagai penerima utama ajaran batiniah Nabi maupun pemimpin pemerintahan Islam. Mendiskusikan perdebatan seputar suksesi bukan menjadi bahasan kita di sini. Namun kiranya penting untuk mengingat bahwa persoalan yang paling mendalam adalah salah satunya perbedaan esoteris/eksoteris, dan bukan perbedaan mesin politik dan perjuangan-perjuangan kekuasaan. Tidak ada diskusi yang cerdas akan peran keruhanian Ali yang mungkin tanpa memahami butir ini.3

***

Ali bin Abi Thalib adalah putra paman Nabi, Abi Thalib. Ketika Nabi menerima wahyu pertamanya, Ali baru berusia 10 tahun. Dari sejak kanak-kanak, ia dibesarkan dalam lingkungan keluarga Nabi, karena kesulitan finansial di rumah ayahnya sendiri, dan tetap dekat dengan Nabi sampai kewafatan Nabi 23 tahun kemudian. Selama kurun waktu tersebut, klaim Sufi, bahwa Nabi menyampaikan ajaran-ajaran batin dari agama baru itu kepada Ali. Sekalipun orang bisa saja mengatakan bahwa semua anggota komunitas apostolik awal di Mekkah adalah para wali,4 bukan hanya persoalan kesucian namun juga persoalan kualifikasi intelektual. Tidak setiap metafisikawan itu seorang wali, dan sebaliknya juga, tidak setiap wali adalah metafisikawan besar. Ali menghimpun dalam dirinya sendiri kesempurnaan vertikal yang kita sebut kesucian dengan kedalaman dan keluasan yang luar biasa pada tataran horizontal. Tradisi Islam mengingat Ali sebagai ksatria agung di zamannya, tak pernah terkalahkan dalam peperangan dan selalu lembut kepada musuh-musuhnya. Kebajikannya di medan perang sama terkenalnya. Di lingkungan Dunia Muslim, Ali dikenal sebagai bentuk pelindung kaum miskin dan sebuah model dari apa yang disebut dunia Barat keksatriaan, futuwwah Islam. Yang lebih penting, ia dikenal di zamannya sendiri dan hingga sampai masa kita sebagai orang yang memiliki inteligensi yang memukau dan kebijakan yang mendalam, baik sebagai guru besar juga pembicara fasih bahasa Arab.5 Di dunia Syi’ah, kekhususan tersebut diberikan kepada Ali begitu terkenal.

Di antara kaum Sunni, kaum Sufi memandangnya sebagai penerus utama ajaran keruhanian Nabi, dan seluruh tarekat Sufi, kecuali satu, asal-usulnya bermuara kepadanya.6 Demikian juga, orang menemukan pengecualian khusus yang terwujud ketika namanya disebutkan: untuk para sahabat lain, pencantuman radhiyallahu ‘anhu (semoga Allah meridhainya) lazim dipakai, namun dalam kasus Ali oran acap mendengar frase karram Allahu wajhah yang secara harfiah berarti “semoga Allah memuliakan wajahnya”. Belakangan kita akan melihat bagaimana formula ini berkaitan dengan fungsi spiritual Ali di dunia Islam. Seluruh keturunan Nabi, yang diagungkan di dunia Syi’ah maupun Sunni, mendapatkan garis keturunan mereka kepada pernikahan Ali dengan Fathimah, putri Nabi. Melalui Ali dan anak keturunannya, otoritas spiritual Nabi terus berlangsung hingga sekarang, dan bersamanya Zaman Keemasan Islam, periode Madinah awal, mulai pudar.

Tujuan kami dalam esai pendek ini adalah melihat sumber-sumber orisinal dalam tasawuf untuk mengetahui bagaimana ajaran-ajaran keruhanian Islam terkait dengan Ali. Kita dapat mengatakan bahwa esoterisme Islam, alih-alih sekadar tasawuf karena Nahj al-Balâghah dan sebuah ulasan atas sejumlah pasasenya oleh ulama Syi’ah, Allamah Thabathaba’i juga digunakan sebagai sumber-sumber. Tanpa memasuki perdebatan seputar autentisitas Nahj al-Balâghah, cukuplah untuk menyatakan bahwa bahkan dari perspektif Sunni, ada banyak dalam buku ini yang bersumber dari Ali, dan bahwa konflik Syi’ah-Sunni telah menghasilkan fenomena tidak menguntungkan berupa “pelemparan bayi dari air mandi”. Banyak kaum Sunni cenderung meragukan laporan-laporan Syi’ah tentang Ali, karena concern pada “melebih-lebihkan kesalehan tertentu” dari pihak Syi’ah, dan tentu saja, terputus dari banyak hadis yang autentik. Karena itu, kami rasa tepat untuk menggunakan sejumlah pasase yang termasyhur dan paling penting dari Nahj al-Balâghah sebagaimana diseleksi oleh Thabathaba’i, yang tak satu pun darinya bisa dikhususkan sebagai “Syi’ah” sebagaimana yang dilabeli oleh Sunni. Dalam peristiwa apa pun, sebagaimana dinyatakan di atas, adalah dalam tasawuf dan aspek yang paling esoteris dari Syi’isme konsensus itu dapat diraih menyangkut Ali.

Naasnya, ada sebuah karya sedikit serius dalam kesarjanaan Barat yang terfokus pada Ali, selain dari terjemahan-terjemahan yang kurang akurat dari sumber-sumber Arab dan sejumlah buku yang ditulis dalam bahasa Inggris berupa watak polemis dari India dan Pakistan, namun ada juga terjemahan luar biasa dari sejumlah cuplikan Nahj al-Balâghah7 yang dialihbahasakan oleh Thomas Cleary bertajuk Living and Dying with Grace. Kekurangan materi ini adalah fenomena yang aneh, dengan mempertimbangkan arti penting Ali, dan mempertimbangkan bahwa jilid-jilid yang telah ditulis mengenai tokoh-tokoh politik dan historis belakangan dalam sejarah Islam. Di antara Nabi dan para tokoh terpandang belakangan ada sebuah jurang dalam kesarjanaan modern. Kita harap untuk menggunakan beberapa hadis menyangkut Ali, dan, dari tulisan-tulisan belakangan Matsnawi-nya Rumi, melihat apa yang bisa mereka katakan kepada kita tentang Ali dan tasawuf.

Futuwwah: Ali sebagai Model Keperwiraan Spiritual

Kata futuwwah secara harfiah artinya “pemuda” namun bisa diterjemahkan sebagai “pemuda mistis” atau “keperwiraan spiritual”.8 Kita sebut keperwiraan spiritual karena kebajikan-kebajikan tradisional dari keperwiraan, seperti kedermawanan dan keberanian, tidak terbatas pada tataran perbuatan tetapi mesti eksis pada aras tertinggi dari wujud seseorang. Menurut tradisi Sufi, adalah bersama [Nabi] Syits futuwwah menjadi jalan ruhani, dan yang pakaiannya adalah khirqah, atau jubah. Menjelang masa Nabi Ibrahim, khirqah ini menjadi “terlalu berat”, yang mungkin suatu rujukan pada hakikat segala sesuatu yang akan sirna dan kemustahilan dari mereka di masa-masa belakangan untuk menyandingkan praktik-praktik spiritual para leluhur mereka. Karena itu, Ibrahim melembagakan suatu jenis futuwwah baru, yang disebarkan olehnya melalui keturunan-keturunnya yang menjadi nabi. Nabi sendiri menerimanya, dan mentransmisikannya kepada Ali, yang kemudian menjadi diidentifikasi sebagai kutub futuwwah.9

Ali sendiri sangat beliau apabila dibandingkan dengan para tokoh lainnya dari abad apostolik Islam. Fakta ini dikombinasikan dengan kemampuan tempurnya yang legendaris dan kecerdasan serta kebajikannya menjadikannya fatal par excellence dalam Islam. Ketika orang membaca Ali orang bisa melihat energi dan kebajikannya yang bertenaga muncul melalui halaman-halaman. Nasihat dan perbuatannya berasal dari watak pedang yang menyerang dan anak panah yang bersasaran baik. Ketika diinformasikan bahwa Ali menantangnya berduel untuk mengakhiri peperangan, Muawiyah mengetahui “ia pasti membunuhku” karena sangat terkenal ungkapan bahwa Ali tidak pernah terkalahkan dalam perang. Tulisan-tulisan belakangnya merupakan bukti dari kemuliaan dan kecerdasannya, dan kezuhudannya dari dunia dan gemerlapnya menyematkan pada dirinya gelar Abu Turab, “Bapak Debu”, yang diberikan kepadanya dari Nabi sendiri.10

Dalam Matsnawi Rumi, kita menemukan kisah menawan mengenai peristiwa yang terjadi antara Ali dan seorang ksatria kafir yang secara tradisional dipandang telah terjadi dalam Perang Khaybar. Ali mendapatkan pejuang ini dan mengelilinginya untuk membunuhnya, lalu tentara kafir meludahi wajah Ali. Terkejut dengan reaksi tentara itu, Ali menyarungkan kembali pedangnya, memperpanjang usia si tentara.

Pelajarilah bagaimana bertindak secara ikhlas dari Ali: ketahuilah, singa Allah disucikan dari (semua) tipu daya. Ia meludahi wajah Ali, kebanggaan setiap nabi dan wali; ia meludahi muka yang di hadapannya rembulan membungkuk di tempat ibadah.

Seketika Ali menyarungkan pedangnya dan menenangkan (usahanya) dalam memeranginya. Jawara itu terheran-heran dengan perbuatan Ali ini dan dengan menunjukkan pengampunan dan rahmatnya segera. Ia berkata, “Anda mengangkat pedang tajam Anda terhadapku: mengapa engkau menyarungkannya kembali? Apakah Anda melihat bahwa itu lebih baik ketimbang memerangiku, sehingga Anda menjadi segan dalam memburuku?11

Ketika pasase ini berlanjut, jawara itu meminta Ali untuk mengatakan kepadanya apa yang telah ia lihat, menyampaikan alasan rahasia atas pemaafannya. Jawara itu telah merasakan suatu perubahan spiritual yang berkilau melalui perbuatan ganjil Ali, dan kini berusaha memahamai bagaimana rahmat Allah telah mendatanginya:

Wahai Ali, engkau adalah semua pikiran dan pandangan, ceritakanlah sedikit apa yang telah kaulihat!

Pedang kesabaranmu merobek jiwaku, air pengetahuanmu telah menyucikan bumiku.

Katakanlah! Aku tahu bahwa semua ini adalah rahasia-rahasia-Nya, karena ini (cara) kerja-Nya untuk membunuh tanpa pedang

Matamu telah belajar mempersepsi Yang Gaib, (sementara) pandangan pengamat tertutup

Sejauh bulan membisu menunjukkan jalan itu, ketika ia berbicara ia menjadi cahaya di atas cahaya

Karena engkau adalah gerbang kota ilmu12 karena engkau adalah pendaran cahaya Rahmat,

Bukalah, wahai Gerbang, kepadanya yang mencari gerbang, agar melaluimu sekam bisa sampai pada inti

Kita harus memperhatikan pertama-tama bahwa Rumi menulis bahwa ia (si jawara kafir) meludahi wajah Ali. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, tradisi Islam memberi Ali gelar khusus karramallahu wajhah. Wajah yang diludahi si jawara adalah wajah yang sama yang memiliki kekuatan transformatif pada jiwanya.13 Di sini kita bisa menyamakan wajah Ali dengan rembulan, dan cahaya di atas cahaya sebagai cahaya-cahaya yang direfleksikan dari matahari.

Kegelapan malam dari jiwa “menutupi” (kafir) disinari oleh cahaya yang datang dari bulan, tetapi bulan memberikan cahaya secara tepat karena itu bukan di kegelapan malam, namun ada dalam kehadiran cahaya matahari, cahaya Intelek Ilahi, yang itu memantul kepada mereka yang belum mencapai visi matahari Ilahi. Ksatria mengakui ketika ia membicarakan bulan yang menunjukkan jalan tanpa bicara. Separuh kehidupannya yang tidak diharapkan cukup membuka pandangan batin sehingga ia bisa melihat bulan “wajah Ali” yang menyinarinya, mendesaknya untuk bertanya kepada Ali apa yang baru dilihatnya, sebagaimana orang yang telah melihat rembulan tetapi tidak matahari akan heran apakah sumber cahaya luar biasa itu.14 Karena ksatria itu, Ali adalah cahaya Tuhan di dunia ini, seorang wali yang Tuhan jadikan cahaya di antara manusia.15

Sumber Tambahan yang Digunakan

al-Sya’rani. Abd al-Wahhab ibn Ahmad. ath-Thabaqat al-Kubra, Mesir. 1936, hal. 17-18.

Lings, Martin. Muhammad: His Life Based on the Earliest Sources. Rochester, VT, 1983.

Thabathaba’i, Allamah, Ali wa al-Falsafat ul-Ilahiyyah. (tanpa titimangsa)

(Selengkapnya: tunggu di Jurnal Al-Huda edisi 16, bulan depan)

1 Kami katakan Sufi-sufi Sunni karena tasawuf tidak terbatas pada dunia Sunni, namun hidup dan eksis juga di kalangan Syi’ah.

2 S.H. Nasr, Sufi Essays, New York, 1991. hal.111.

3 Untuk bacaan lebih lanjut tentang topik ini lihat Frithjof Schuon, “Seeds of a Divergence” dalam bukunya Islam and the Perennial Philosophy.

4 Kuliah S.H. Nasr, Musim Gugur 1997.

5 Siapa pun tidak bisa membantu menegaskan di sini bahwa “Dia seperti Arjuna, Bunda Teresa, dan Shankaracharya yang semuanya menyatu.

6 Tarekat Naqsyabandiyyah melacak rantai kesufian mereka melalui Abu Bakar Shiddiq, namun juga mengklaim terhubung dengan Ali melalui Ja’far Shadiq, Imam Syi’ah keenam.

7 Sebenarnya, saya tidak melihat terjemahan utuh darinya di manapun.

8 S.H. Nasr, Spiritual Chivalry”, Islamic Spirituality, vol 2, ed. S.H. Nasr, New York, 1991. hal.305.

9 Ibid.

10 Barangkali terpancar dari paragraf ini.

11 Rumi, Mathnawi, terjemahan R. A. Nicholson, Lahore. Vol. 1, p.202.

12 Merujuk pada hadis yang muncul di awal tulisan ini.

13 Kuliah S. H. Nasr, Musim Gugur 1997.

14 Perlambang ini diambil dari Abu Bakr Siraj ad-Din, The Book of Certainty, Cambridge, 1992. Bab “The Sun and the Moon”.

15 Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar daripadanya? (QS al-An’am: 122)

No comments:

...SOALAN CEPU ALIAS MENYENTAP BENAK....

Adakah Jabatan Imam Allah?

Masalah kepemimpinan merupakan salah satu persoalan yang sangat mendasar di dalam kehidupan manusia. Sejak kecil, setiap orang akan mengenal dan berinteraksi dengan persoalan ini. Kita mengenal istilah orang tua sebagai pemimpin di rumah, guru di sekolah, direktur di perusahaan, komandan di keperwiraan, kepala pemerintahan dan seterusnya. Intinya, persoalan kepemimpinan meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Ia menjadi pondasi dan tulang punggung keberlangsungan spesies manusia dimanapun dan kapanpun mereka berada. Tanpa adanya kepemimpinan, maka seluruh pilar dan sistem kehidupan manusia niscaya porak poranda atau khaos—lawan katanya adalah kosmos, yakni teratur. Hal ini sangat jelas sehingga tak perlu pembuktian lagi. Bahkan dalam skala komunitas yang paling sederhana sekalipun, kalimat “broken home” adalah istilah umum yang ditujukan bagi seorang anak yang tidak merasakan adanya figur pemimpin dirumahnya.

Pada dasarnya, makna pemimpin adalah pengatur, pembimbing, penuntun, pengawas, penegak aturan dan pemberi keputusan sehingga hubungan antara kepemimpinan dan keteraturan adalah perkara yang mustahil bisa dipisahkan. Secara esensial, penataan sekelompok masyarakat sangat bergantung pada dua kunci utama bagi terwujudnya suatu tatanan kehidupan yang harmonis, yakni adanya seperangkat aturan atau hukum dan figur pelaksananya atau penegak aturan tersebut yakni hakim. Untuk itu, munculnya kesadaran dan kebutuhan manusia bagi adanya seperangkat hukum dan keberadaan hakim adalah perkara rasional. Sedangkan penolakan atau penerimaan salah satu darinya saja adalah irasional.

Sehubungan dengan hal ini, secara garis besar agama bisa dimaknai sebagai seperangkat aturan yang diharapkan bisa menata hubungan dan perilaku manusia kepada Tuhan dan alam kehidupannya. Di setiap agama, wacana kepemimpinan adalah topik sentral yang tak bisa disepelekan terutama bagi keberlangsungan ajaran tersebut dan juga penganutnya. Saat ini, agama-agama di dunia umumnya dibagi menjadi dua kelompok. Pertama adalah agama-agama yang melandasi ajarannya berdasarkan wahyu atau “agama samawi”. Dan kedua adalah agama-agama yang melandasi ajarannya berdasarkan kebijakan dan tradisi.

Dalam kaitannya dengan studi kristologi, pembahasan komprehensif ditujukan kepada agama-agama yang mendasari ajarannya melalui wahyu Tuhan atau profetisme, yakni kenabian. Dan pada saat ini, agama-agama seperti Islam, Yahudi dan Kristen adalah ajaran-ajaran yang meyakini tentang keberadaan para nabi Tuhan. Secara substansial, kendati masing-masing agama itu punya banyak perbedaan, tapi secara umum, seluruh agama wahyu ini punya satu simpul yang sama, yaitu adanya pengakuan dari masing-masing agama tersebut bahwa Abraham [Islam: Ibrahim] adalah seorang nabi Tuhan.

Di dalam Alkitab Perjanjian Lama (Yudaisme: Tanakh), Abraham memiliki beberapa gelar yang masing-masing mencerminkan jabatan langit yang diembannya. Hal ini memposisikan Abraham sebagai orang pilihan yang mulia disisi Allah dan juga dihadapan keturunan dan para pengikutnya. Dia disebut sebagai nabi (Kej 20:7) [1], bapa sejumlah besar bangsa (Kej 17:15-16) [2], sahabat Allah (2Taw 20:7; Yes 41: 8) [3], dan yang terpenting dari semua adalah raja-imam (Kej: 12:7; 13:4) [4]. Jabatan Abraham sebagai imam Allah ini memang sangat unik dan berbeda dari kedudukan-kedudukan dia sebelumnya sehingga ada pendapat umum bahwa Kejadian 14 merupakan salah satu bab yang paling sukar dalam Kitab Kejadian.[5] Istilah “raja” dan “imam” yang selanjutnya dipadukan menjadi raja-imam mengindikasikan kepada otoritas penuh yang dijabat oleh Abraham dan keturunannya. Yakni sebagai penguasa dan pemimpin sekaligus. Hal ini otomastis berimplikasi bagi adanya suatu wilayah kekuasaan dan kepemimpinan (Kej 17:8-9) [6]. Adapun peristiwa pemberkatan Abraham sebagai Imam Alah bisa ditemukan dalam Kitab Kejadian di pasal 14:1-24. Peran Abraham sebagai pemimpin atau imam yang dipilih dan dinobatkan secara langsung oleh Allah ini—melalui perantaraan Melkisedek—adalah peristiwa yang tak dinafikan kebenarannya, baik oleh Yahudi maupun Kristen.

Secara etimologi, kata “imam” dalam bahasa Ibraninya di Authorized Version (AV) adalah kohen [7] dan nasiy [8]. Masing-masing dari kata ini di ulang sebanyak 750 kali dan 132 kali. Kedudukan ini juga menandai perjanjian atau covenant antara Abraham dan Allah yang mana melalui keturunannya itu Dia akan mengutus seorang yang diurapiNya atau Mesiah, dan akan menjadi berkat bagi seluruh bangsa di bumi (Kej 18:18).[9] Pengesahan kovenan ini ditandai dengan kewajiban penuh bagi Abraham dan keturunannya untuk mentaati hukum-hukum Ilahi berdasarkan prinsip kebenaran dan keadilan.[10]

Untuk itu, kendati sudah ada tiga jabatan langit yang diberikan kepada Abraham, yakni sebagai nabi atau rasul dan kedudukan khususnya sebagai sahabat Allah. Namun masih ada satu jabatan langit terakhir yang tertinggi, yakni sebagai imam Allah. Kedudukan ini juga dianugerahkan kepada Abraham dan keturunan biologisnya. [11] Adapun dari segi pelaksanaan bahwa meskipun jabatan imam Allah ini munculnya belakangan, namun inti dari ajaran Allah kepada manusia itu sendiri sebenarnya baru bisa direalisasikan, apabila hukum-hukum tersebut telah selesai disyariatkan oleh para nabi. Dan setelah itu, syariat ini akan ditegakkan oleh imam-imam Allah yang berasal dari keturunan biologis Abraham. Fakta ini jelas sangat rasional karena tak ada hakim kecuali setelah adanya hukum. Dan hukum pun mustahil bisa ditegakkan kecuali setelah adanya para hakim.

Pada dasarnya, jabatan imam Allah merupakan satu-satunya jabatan tertinggi dan tunas dari “Pohon Kejadian” yang menjadi tujuan atas penciptaan manusia di bumi. [12] Sedangkan kenabian atau kerasulan adalah cabang dari “Pohon Kejadian” tersebut. Artiya, institusi ilahiah ini secara gradual diawali oleh keimaman—yang menduduki puncak dari hierarki rububiyah itu, kemudian disusul dengan kerasulan atau kenabian. Sedangkan penampakan atas jabatan imam Allah di alam dunia (syahadah) secara hierarki adalah kebalikan dari hakekatnya di alam sorgawi (ghayb). Di alam dunia, kemunculan jabatan-jabatan langit ini diawali lebih dahulu dengan kenabian, kerasulan dan imamah.

Setelah Ibraham wafat, jabatan-jabatan ini terus diwariskan melalui keturunan biologis Ismail dan Ishak yang mana keduanya adalah nabi. Dalam Alkitab dinubuatkan bahwa dari Ismail dan keturunannya akan muncul duabelas orang imam “Tentang Ismael, Aku telah mendengarkan permintaanmu; ia akan Kuberkati, Kubuat beranak cucu dan sangat banyak; ia akan memperanakkan dua belas imam, [13] dan Aku akan membuatnya menjadi umat [14] yang besar (Kej 17:20). Kondisi serupa juga ditampakkan kepada bangsa Israel pada zaman Musa as yang mana dia telah diperintahkan oleh Allah untuk melantik duabelas orang imam yang dikepalai oleh Harun dan keturunannya (Bil 17:1-13). Pelantikan para imam Allah ini menandai kesempurnaan RisalahNya dan puncak dari kovenan antara Allah dan para nabi yang ditugaskan untuk menyampaikan AjaranNya kepada manusia. Bahkan fungsi utama dari pengutusan seorang nabi atau rasul itu adalah untuk menegakkan kerajaan imam dan umat yang kudus.Alkitab dan Al-Qur’an menyatakan:

“Jadi sekarang, jika kamu sungguh-sungguh mendengarkan firman-Ku dan berpegang pada perjanjian-Ku, maka kamu akan menjadi harta kesayangan-Ku sendiri dari antara segala bangsa, sebab Akulah yang empunya seluruh bumi. Kamu akan menjadi bagi-Ku kerajaan imam dan bangsa yang kudus. Inilah semuanya firman yang harus kaukatakan kepada orang Israel. (Keluaran 19:5-6)

“Dan ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu, dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putera Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh”. (QS. 33:7)

Sedangkan mengenai perjanjian [mitsaq] yang dimaksudkan itu, maka Al-Qur’an menjelaskan lagi, “Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian dari Bani Israil dan telah Kami angkat di antara mereka 12 orang pemimpin” (QS. 5:12).

Alhasil, substansi yang ingin ditegaskan dalam pengantar yang ringkas ini bahwa status seorang imam di dalam agama Ibrahimik—menurut tinjauan kristologi—itu memang ada dan dipilih secara mutlak oleh Allah sebagaimana halnya kenabian dan kerasulan. Artinya tidak melalui konsensus. Imam Allah adalah jabatan sorgawi yang kudus dan tidak terbentuk melalui mekanisme pemilihan umum ataupun cara-cara lain yang dilandasi oleh perspektif manusia. Sungguh tidak mengherankan bila Al-Qur’an sendiri pernah menegaskan bahwa keluarga Ibrahim as telah dianugerahi suatu kerajaan yang besar.

“Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya? Sesungguhnya Kami memberikan Kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar”. (QS. 4:54)

Secara historis, pena sejarah umat manusia belum pernah mencatat bahwa keluarga Ibrahim ada yang mendirikan monarki keluarga, misalnya seperti Ibrahimiyah, Ismailiyah, Ishakiyah, Yakubiyah, Yusufiyah, Musaiyah atau Haruniyah dan lain sebagainya. Hal itu disebabkan keluarga Ibrahim lebih dikenang sebagai mata airnya kenabian, kerasulan dan imamah. Jika demikian, maka kerajaan besar apakah yang dimaksudkan oleh al-Qur’an itu? Apabila hal ini tidak merujuk kepada mamlakah kohen atau kerajaan imam,[15] tentu akan sulit menemukan makna yang sebenarnya dari ayat tersebut. Lalu, apabila keluarga Ibrahim telah diwariskan kerajaan besar oleh Allah, maka bagaimanakah dengan nasib keluarga Muhammad saw sendiri? Artinya, apakah mungkin dari keturunan Muhammad saw ini akan ada yang menjadi imam-imam Allah seperi yang pernah terjadi di masa para nabi terdahulu yang berasal dari keluarga Ibrahim? Dan apabila jumlah para imam dari keluarga Ibrahim as ini selalu duabelas orang, maka mungkinkah jumlah para imam dari keluarga Muhammad pun juga demikian?

Sebagai penutup, barangkali hadis Nabi saw yang pernah diriwayatkan dalam Sahih Bukhari[16] ini bisa membawa kita kepada kontemplasi mendalam yang selaras dengan pendewasaan beragama. “Jabir ibn Samurah mengatakan, ‘Saya mendengar Nabi berkata: “Akan ada duabelas pemimpin setelah saya.” Kemudian mengatakan, “Saya mendengar ayah saya mengatakan ia mendengar Nabi berkata, “Mereka berasal dari suku Qurays”’”. Wallahu’alam.

Catatan Kaki:

[1]“Jadi sekarang, kembalikanlah isteri orang itu, sebab dia seorang nabi;”.

[2]“Aku akan memberkatinya, dan dari padanya juga Aku akan memberikan kepadamu seorang anak laki-laki, bahkan Aku akan memberkatinya, sehingga ia menjadi ibu bangsa-bangsa; raja-raja bangsa-bangsa akan lahir dari padanya”.

[3] “Bukankah Engkau Allah kami yang menghalau penduduk tanah ini dari depan umat-Mu Israel, dan memberikannya kepada keturunan Abraham, sahabat-Mu itu, untuk selama-lamanya?”; Dan juga “Tetapi engkau, hai Israel, hamba-Ku, hai Yakub, yang telah Kupilih, keturunan Abraham, yang Kukasihi;”.

[4] ”Ketika itu TUHAN menampakkan diri kepada Abram dan berfirman: ‘Aku akan memberikan negeri ini kepada keturunanmu.’ Maka didirikannya di situ mezbah bagi TUHAN yang telah menampakkan diri kepadanya”; Dan juga “ke tempat mezbah yang dibuatnya dahulu di sana; di situlah Abram memanggil nama TUHAN”.

[5] Lembaga Biblika Indonesia, Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, disunting oleh Dianne Bergant, CSA dan Robert J. Karris, OFM (Jakarta: Penerbit Kanisius, 2002) hal. 52.

[6] “Kepadamu dan kepada keturunanmu akan Kuberikan negeri ini yang kaudiami sebagai orang asing, yakni seluruh tanah Kanaan akan Kuberikan menjadi milikmu untuk selama-lamanya; dan Aku akan menjadi Allah mereka.’ Lagi firman Allah kepada Abraham: ‘Dari pihakmu, engkau harus memegang perjanjian-Ku, engkau dan keturunanmu turun-temurun”.

[7] Kata kohen artinya imam atau pendeta (priest), orang yang memiliki (own), penguasa tertinggi (chief ruler), pejabat (officer), pangeran atau putra mahkota (princes).

[8] Kata nasiy’ atau nasi’ artinya pangeran atau putra mahkota (prince), kapten (captain), ketua (chief), penguasa (ruler), beruap atau menguap (vapours), gubernur pemerintahan (governor), awan (clouds), bagian (part). Secara definisi adalah orang yang ditinggikan (one lifted up) atau imam (leader) dan uap yang terangkat, yakni selalu meninggi dari lainnya (raising mist).

[9] “Oleh keturunanmulah semua bangsa di bumi akan mendapat berkat, karena engkau mendengarkan firman-Ku”.

[10] “Sebab Aku telah memilih dia, supaya diperintahkannya kepada anak-anaknya dan kepada keturunannya supaya tetap hidup menurut jalan yang ditunjukkan TUHAN, dengan melakukan kebenaran dan keadilan, dan supaya TUHAN memenuhi kepada Abraham apa yang dijanjikan-Nya kepadanya.” (Kej 18:19).

[11] Bandingkan juga beberapa kedudukan Nabi Ibrahim as yang disampaikan dalam Al-Qur’an, yaitu: Pertama, sebagai nabi “Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat benar dan seorang Nabi”. (QS. 19:41). Kedua, ayat al-Qur’an ini memaparkan dua sisi, yaitu kedudukan Ibrahim as sebagai rasul dan juga moyang bagi sejumlah besar bangsa yang mana keturunannya itu akan mewarisi jabatan kenabian dan kerasulan “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh dan Ibrahim dan Kami jadikan kepada keturunan keduanya kenabian dan Al Kitab, maka di antara mereka ada yang menerima petunjuk dan banyak di antara mereka yang fasik”. (QS. 57:26). Ketiga, sebagai khalil atau sahabat Allah “Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya”. (QS. 4:125). Keempat, sebagai imam “Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhanya dengan beberapa kalimat, lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: ‘Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu sebagai imam bagi seluruh manusia.’ Ibrahim berkata: ‘dan dari keturunanku.’ Allah berfirman: ‘JanjiKu tidak mengenai orang-orang yang zalim’”. (QS. 2:124).

[12] “Manusia adalah puncak dari seluruh penciptaan. Kelebihan ciptaan ini digarisbawahi oleh kenyataan bahwa hanya manusialah yang diciptakan menurut “gambar” atau “rupa Allah”. [Dikutip dari Lembaga Biblika Indonesia, Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, disunting oleh Dianne Bergant, CSA dan Robert J. Karris, OFM (Jakarta: Penerbit Kanisius, 2002) hal. 35]. Bandingkan dengan ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang kedudukan manusia sebagai khalifah Allah dimuka (QS. 2:30) dan hadis Nabi saw yang mengatakan bahwa Adam diciptakan dari citranya.

[13] Saya sengaja mengganti kata “raja”—seperti yang ada diterjemahan Alkitab LAI—dengan kata “imam”, karena kata “raja” adalah terjemahan yang tidak tepat. Dalam bahasa Ibrani kata “raja” adalah melek, sedangkan Authorized Version (AV) tidak menyebut kata tersebut di ayat ini melek (raja) tapi nasiy’ (imam). Yakni suatu posisi atau jabatan langit tertinggi yang berasal dari Allah saja. Kedudukan ini juga diikrarkan kembali pada zaman Musa, sewaktu Allah memerintahkannya untuk mengangkat duabelas orang pemimpin atau imam dari kalangan bangsa Israel (Bdk. Bil 17:1-6). Seluruh kata yang diterjemahkan “pemimpin” di ayat tersebut di dalam AV adalah nasiy’, persis seperti kedudukan yang diberikan kepada keturunan Ismail di Kej 17:20.

[14] Saya sengaja mengganti kata “bangsa”—seperti yang diterjemahkan dalam Alkitab bahasa Indonesia—dengan kata “umat”, karena kata asli di teks Ibraninya adalah goy yang dalam bahasa Inggris bisa diterjemahkan nation dan people. Walaupun demikian, pengunaan kata “bangsa” bukan berarti keliru, hanya saja dalam kajian mesianisme Yahudi, mereka sering mengaitkan hal ini dalam konteks kebangsaan atau keturunan biologis mereka saja (nationality) yakni partikular. Sedangkan dalam mesianisme Kristen, para penafsirnya telah melepas arti “keturunan biologis” Ibrahim ini sepenuhnya dan menguniversalkan maknanya (people). (lih. Ro 4:16; Ga 3:29). Padahal, janji Allah ini memang terkait dengan kedua sisi tersebut yakni kebangsaan dan juga manusia secara umum.

[15] “Dan Kami jadikan di antara mereka itu imam-imam yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami”. (QS. 32:24; 21:73; 28:5).

[16] Sahih Bukhari, bagian 9, “Kitab al-Maqadam”, hal. 1000. Sementara dalam Musnad Ahmad diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud bahwa ia bertanya kepada Nabi tentang para khalifahnya. Beliau berkata, “Mereka duabelas orang seperti suku bani Isra’il yang dua belas.” (Musnad Ahmad, Jilid 1, hal. 398).