RTCCTV-Live kuliah-Prerecording majlis-

Tuesday, November 18, 2008

**TAUHID DAN WILAYAH

Tauhid dan Wilayah

Nopember 12, 2008

Oleh : DR. Muhammad Fana’ie Eshkavari
Setelah tahmid dan shalawat. Selamat memperingati hari kelahiran Imam Ali Ar-Ridha, semoga Allah memberikan kita kesempatan memperoleh syafaatnya. Assalâmu’alaikum wa rahmatullâh.
Dalam beberapa menit ini saya akan menyampaikan sebuah sabda beliau yang Insya Allah Anda semua sudah pernah mendengarnya. Kemudian saya akan membahas beberapa hal mengenai hadis tersebut. Ada sebuah hadis qudsi yang terkenal, yang diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya, sehingga dikenal dengan istilah silsilah dzahabiah (rantai perawi yang dinilai dengan emas). Suatu hari Imam Ali Ar-Ridha mengucapkan hadis qudsi tersebut, “Lâ ilâha illallâh adalah benteng-Ku. Barangsiapa memasuki benteng-Ku maka akan aman dari azab-Ku.” Setelah beberapa langkah, Imam Ali Ar-Ridha melanjutkan, “Tetapi dengan syarat; dan aku di antara syarat tersebut.”
Dalam hadis ini, Imam Ali Ar-Ridha menyampaikan dua hal yang penting dan mendasar dalam Islam. Pertama adalah tauhid, yakni pengesaan terhadap Allah, dan yang kedua adalah wilâyah, yakni kepemimpinan Ahlul Bait. Tauhid adalah pijakan dasar yang diyakini oleh setiap muslim, dan semua ajaran Islam bersumber dari ajaran yang satu ini. Memang semua Muslim sepakat akan keesaan Allah SWT, walaupun pada saat yang sama pemahaman tauhid tentu bisa jadi berbeda antara yang satu dengan yang lain. Karena tauhid merupakan samudera yang luas dan dalam, semakin kita menyelam maka semakin dalam pemaknaan tersebut.
Tidak ada pernyataan yang paling mendasar dalam Islam selain kalimat tauhid tersebut, di mana kita mengatakan tidak ada tuhan selain Allah, tidak ada pencipta selain Allah, tidak ada yang berhak disembah selain Allah, dan tidak ada ketaatan selain bersumber dari Allah SWT. Jika kita ingin memahami lebih dalam kalimat tersebut, maka kita akan mendapat kesimpulan bahwa tidak ada kebaikan dan kesempurnaan yang bersumber selain dari Allah. Karena setiap kesempurnaan, kebaikan dan keindahan merupakan manifestasi dari Allah SWT.
Di antara manifestasi Tuhan di muka bumi yang mewakili keindahan Allah adalah seseorang yang disebut dengan walî atau wali Allah. Walî adalah seseorang yang memiliki kesempurnaan yang tinggi. Kesempurnaan yang bersumber dari Allah karena usahanya, ibadahnya, dan kedekatannya kepada Allah. Karena karunia itu bersumber dari Allah, maka wali tidak mungkin sejajar dengan Allah. Karena itu, wali adalah seseorang yang paling sempurna dalam bertauhid kepada Allah.
Dalam hadis tadi, Imam juga menyebutkan hal lain; selain tauhid dan wilayah, Imam juga menyebutkan tentang muwahid, yakni siapa yang paling layak disebut bertauhid kepada Allah. Ketika kita menyebut wali, maka para imam Ahlul Bait adalah pribadi yang paling layak menyandang kata tesebut, sebagaimana dalam hadis tersebut. Dan sebelum sampai kepada Imam, yang paling layak menyandang kata tersebut adalah Rasulullah. Sebagaimana dalam sebuah ayat Allah berfirman: Sesungguhnya wali kalian adalah Allah dan Rasul-Nya… (QS. Al-Mâidah : 55)
Cahaya wilayah para imam didapatkan dari cahaya Rasulullah dan Rasulullah mendapatkan cahaya tersebut dari Cahaya Allah. Allah berfirman: Allah adalah Cahaya Langit dan Bumi (QS. An-Nûr : 35). Dalam Doa Kumail pun kita menyeru Allah dengan Ya Nûr Ya Quddus. Allah-lah cahaya yang sempurna, mutlak, dan tidak ada kegelapan sedikit pun. Cahaya tersebut terpancar kepada Rasul dan Ahlul Bait, karena Rasul adalah makhluk yang paling dekat kepada Allah, dan setelah Rasul, Ahlul Bait adalah yang paling dekat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Dunia dan segala isinya merupakan kegelapan dan hal itu tidak akan bermakna tanpa cahaya yang sampai kepadanya. Cahaya yang pertama kali memancar dari Allah SWT adalah cahaya yang memancar kepada Rasul dan dengan cahaya yang dibawa kepada Rasul kemudian sampai kepada para Imam Ahlul Bait dan barulah setelah itu kepada makhluk Allah lainnya beserta isi dunia. Tanpa mereka dunia berada dalam kegelapan. Mustahil bagi kita membayangkan dunia tanpa wali-wali Allah.
Karena itu, merupakan pemahaman yang salah jika kita meyakni wali hanya berada dalam lembaran sejarah; hidup dan meninggal lalu selesai, kemudian kita peringati dan kita cintai. Ini adalah pemahaman yang salah karena wali harus ada pada setiap zaman. Karena tanpa wali dunia beserta isinya berada dalam kegelapan. Wali dibutuhkan dalam rangka agar dunia dan isinya mendapat cahaya Allah. Tanpa wali maka tidak ada yang layak menerima cahaya Allah untuk kelangsungan dunia ini. Dalam sebuah hadis disebutkan, “Jika tidak ada hujjah maka dunia dan isinya akan hancur.”
Permasalahan wilayah Ahlul Bait bukanlah permasalahan sejarah, tapi merupakan sebuah hal yang akan terus belangsung hingga akhir zaman. Bukankha kita membaca dalam Doa Nudbah, “Di manakah orang yang menjadi penyambung antara langit dan bumi?” Hal ini membuktikan bahwa di setiap zaman harus ada wali dari keturunan Rasulullah yang akan “menyambungkan” antara langit dan bumi dan itulah hakikat keberadaan Imam Mahdi baik scara fisik atau ghaib.
Begitu juga dengan keberagamaan kita yang diwujudkan dengan ibadah dan ketaatan kepada Allah tidak akan terlaksana kecuali dengan pemahaman kita kepada para imam. Dalam sebuah doa disebutkan: “Ya Allah kenalkan kepadaku siapa Engkau, karena ketika aku tidak mengenal-Mu, maka aku tidak akan mengenal nabi-Mu. Ya Allah kenalkan kepadaku siapa nabi-Mu, karena ketika aku tidak mengenal nabi-Mu maka takut tidak akan mengenal siapa hujjah-Mu, dan ketika aku tidak mengenal hujjah-Mu pada zaman ini maka aku akan berada dalam kesesatan.” Mengapa kesesatan? Karena kita berada dalam kegelapan. Kita tidak mendapat cahaya Allah yang dititipkan kepada mereka. Bersama dengan Ahlul Bait kita berada dalam cahaya. Sebagaimana firman Allah: Allah adalah walî orang-orang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya. Dan orang-orang kafir, wali-wali mereka ada thaghut yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan… (QS. Al-Baqarah : 257).
Dari sini kita bisa memahami mengapa Imam Ali Ar-Ridha menyebutkan dalam hadis tetadi “Aku adalah salah satu syarat”. Mengapa Imam menyebutkan bahwa orang bisa selamat dari siksa Allah dengan lâ ilâha illallâh tapi juga harus menyandingkannya dengan Imam Ali Ar-Ridha? Karena bertauhid tanpa ada wilayah kepada Ahlul Bait yang pada zaman itu adalah Imam Ali Ar-Ridha, maka akan menyebabkan adanya kegelapan dan kesesatan. Sedangkan cahaya hanya kita dapatkan dari mereka sebagai pelanjut dari Rasul.
Memang kenabian merupakan sebuah perjalanan sejarah yang kemudian akan berakhir ketika terjadi kematian, namun wilayah tidaklah demikian. Wilayah terus bersambung selama dunia ini ada dan haruslah ada seorang wali yang menyambung ajaran Allah kepada manusia melalui nabi dan cahaya Allah. Memang benar bahwa Rasulullah SAW adalah nabi terakhir, wahyu yang diturunkan sebagai pemberi petunjuk kepada manusa adalah Quran kita terakhir. Setelah ini tidak ada lagi nabi dan kitab. Tapi dibutuhkan imam yang akan menafsirkan wahyu tersebut kepada manusia dan membimbing manusia kepada konsep Allah dalam Al-Quran. Kenabian dapat berhenti, namun wilayah tidak akan berhenti.
Karena itu tidak benar jika seseorang mengatakan bahwa ketika Allah menurukan Quran dan Quran sebagai wahyu dan kitab terakhir, maka untuk apalagi kita butuh petunjuk lain atau wali. Penjelasannya adalah bahwa wali bukanlah membawa petunjuk baru, bukan membawa agama baru, tapi para wali setelah Rasul adalah penjelas tentang maksud Quran dan pemberi petunjuk. Untuk beragama kita butuh kepada wali, karena tanpa petunjuk imam maka keagamaan kita menjadi salah. Sementara kalau ada pemahaman dan praktik yang ma’shûm, hal itu menjamin kemurnian agama yang sampai kepada kita.
Keberadaan Quran sebagai konsep dan sunnah sebagai pemberi petunjuk tidak menjamin setiap orang akan berada dalam kesalamatan dan berada dalam cahaya. Karena dibutuhkan mereka orang yang mengontrol pemahaman dan praktik yang benar yang diambil dari Quran dan sunnah, itulah peran imam Ahlul Bait. Bukti nyata ketika orang meninggalkan Ahlul Bait maka akan muncul problem dan masalah serta perpecahan, keterpurukan dan keterbelakangan dalam umat Islam.
Karena itu Imam Ali Ar-Ridha AS menegaskan bahwa lâ ilâha illallâh tidaklah cukup, tetapi harus dimitrakan dengan Ahlul Bait yang pada zaman itu adalah beliau. Itulah syarat yang menyelamatkan manusia kemudian kita harus berpegang teguh kepadanya. Ketika Imam menyebutkan hal itu, hal itu bukan berasal dari dirinya dan ucapannya tidak terlepas dari Al-Quran. Karena Quran pun menyebutkan bahwa kalimat tauhid saja tidak cukup. Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan “Tuhan kami ialah Allah”, kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka… (QS. Fushshilat : 30). Hal itu berarti harus diiringi dengan konsistensi (istiqamah) bahwa kita harus mengamalkan tauhid selain beramal saleh adalah berwilayah kepada Ahlul Bait.
Tentu berwilayah kepada Ahlul Bait tidak cukup hanya dengan ucapan dan keinginan untuk berziarah kepada makam beliau. Tapi berwilayah kepada Ahlul Bait adalah dengan memperbanyak mengenal dan mendalami hakikat dan ajaran yang beliau sampaikan. Memahami tidak terlalu butuh biaya besar sebagaimana ziarah, meski berziarah memiliki keutamaan dan pahalanya tersendiri. Tapi jangan lupa bahwa menggali ilmu makrifat tentang apa yang beliau sabdakan merupakan bagian terpenting. Apa yang saya sampaikan hanya satu hadis dan sebagian penjelasan dari hadis tersebut. Anda semua dapat melanjutkan pemahaman tersebut. Sekali lagi selamat atas kelahiran beliau. Wassalâmu ’alaikum

1 comment:

elfan said...

Dlm Al Quran yang menyebut 'ahlulbait', rasanya ada 3 (tiga) ayat dan 3 surat.


1. QS. 11:73: Para Malaikat itu berkata: "Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan kebrkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlulbait. Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah".


Ayat ini jika dikaitkan dengan ayat sebelumnya, maka makna 'ahlulbait' adalah isteri dari Nabi Ibrahim.


2. QS. 28:12: Dan Kami cegah Musa dari menyusu kepada perempuan-perempuan yang mau menyusukan(nya) sebelum itu; maka berkatalah Saudara Musa: 'Maukahkamu aku tunjukkan kepadamu 'ahlulbait' yang akan memeliharanya untukmu, dan mereka dapat berlaku baik kepadanya?


Ayat ini jika dikaitkan dengan ayat sebelumnya, maka makna 'ahlulbait' adalah Ibu Nabi Musa As. atau ya Saudara Nabi Musa As.


3. QS. 33:33: "...Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu 'ahlulbait' dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya".


Ayat ini jika dikaitkan dengan ayat sebelumnya QS. 33: 28, 30 dan 32, maka makna ahlulbait adalah para isteri Nabi Muhammad SAW. Sedangkan sesudah ayar 33 yakni QS. 33:34, 37 dan 40 penggambaran ahlulbaitnya mencakup keluarga besar Nabi Muhammad SAW. isteri plus anak-anak beliau.


Coba baca catatan kaki dari kitab: Al Quran dan Terjemahannya, maka ahlulbaik yaitu hanya ruang lingkup keluarga rumah tangga MUHAMMAD RASULULLAH SAW. Dan jika kita kaitkan dengan makna ketiga ayat di atas, maka ruang lingkup ahlul bait tsb. menjadi:

1. Kedua orang tua Saidina Muhammad SAW, sayangnya kedua orang tua beliau ini disaat Saidina Muhammad SAW diangkat sbg 'nabi' sudah meninggal terlebih dahulu.

2. Saudara kandung Saidina Muhammad SAW, tapi sayangnya saudara kandung beliau ini tak ada karena beliau 'anak tunggal' dari Bapak Abdullah dengan Ibu Aminah.

3. Isteri-isteri beliau.

4. Anak-anak beliau baik perempuan maupun laki-laki. Khusus anak lelaki beliau, sayangnya tak ada yang hidup sampai anaknya dewasa, sehingga anak lelakinya tak meninggalkan keturunan.

Seandainya ada anak lelaki beliau yang berkeluarga, ada anak lelaki pula, wah ini masalah pewaris tahta 'ahlul bait' akan semakin seru. Inilah salah satu mukjizat, mengapa Saidina Muhammad SAW tak diberi oleh Allah SWT anak lelaki sampai dewasa dan berketurunan. Pasti, perebutan tahta ahlul baitnya dahsyat jadinya.

Bagaimana tentang pewaris tahta 'ahlul bait' dari Bunda Fatimah?. Ya jika merujuk pada QS. 33:4-5, jelas bahwa Islam tidak mengambil garis nasab dari perempuan kecuali bagi Nabi Isa Al Masih yakni bin Maryam. Lalu, apakah anak Bunda Fatimah dengan Saidina Ali boleh kita nasabkan kepada Bunda Fatimah, ya jika merujuk pada Al Quran tidak bisalah. Kalaupun kita paksakan, bahwa anak Bunda Fatimah juga ahlul bait, maka karena kita mau mengambil garis dari perempuannya (Bunda Fatimah), seharusnya pemegang waris tahta ahlul bait diambil dari anak perempuannya seperti Zainab, bukan Hasan dan Husein sbg penerima warisnya. Jadi tidak sistim nasab itu berzigzag, setelah nasab perempuan lalu lari kembali ke nasab laki-laki.

Bagaimana Saidina Ali bin Abi Thalib, anak paman Saidina Muhammad SAW, ya jika merujuk pada ayat-ayat ahlul bait pastilah beliau bukan termasuk kelompok ahlul bait. Jadi, anak Saidina Ali bin Abi Thalib baik anak lelakinya mapun perempuan, otomatis tidaklah dapat mewarisi tahta 'ahlul bait'.

Kesimpulan dari tulisan di atas, maka pewaris tahta 'ahlul bait' yang terakhir hanyalah bunda Fatimah, sementara anaknya Saidina Hasan dan Husein bukan lagi pewaris dari tahta AHLUL BAIT.

Ya jika Saidina Hasan dan Husein saja bukan Ahlul Bait, pastilah anak-anaknya otomatis bukan pewaris Ahlul Bait juga. Tutuplah debat masalah Ahlul Bait ini, karena fihak-fihak yang mengklaim mereka keturunan ahlul bait itu sebenarnya tidak ada karena tahta ahlul bait memang tak diwariskan lagi.

...SOALAN CEPU ALIAS MENYENTAP BENAK....

Adakah Jabatan Imam Allah?

Masalah kepemimpinan merupakan salah satu persoalan yang sangat mendasar di dalam kehidupan manusia. Sejak kecil, setiap orang akan mengenal dan berinteraksi dengan persoalan ini. Kita mengenal istilah orang tua sebagai pemimpin di rumah, guru di sekolah, direktur di perusahaan, komandan di keperwiraan, kepala pemerintahan dan seterusnya. Intinya, persoalan kepemimpinan meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Ia menjadi pondasi dan tulang punggung keberlangsungan spesies manusia dimanapun dan kapanpun mereka berada. Tanpa adanya kepemimpinan, maka seluruh pilar dan sistem kehidupan manusia niscaya porak poranda atau khaos—lawan katanya adalah kosmos, yakni teratur. Hal ini sangat jelas sehingga tak perlu pembuktian lagi. Bahkan dalam skala komunitas yang paling sederhana sekalipun, kalimat “broken home” adalah istilah umum yang ditujukan bagi seorang anak yang tidak merasakan adanya figur pemimpin dirumahnya.

Pada dasarnya, makna pemimpin adalah pengatur, pembimbing, penuntun, pengawas, penegak aturan dan pemberi keputusan sehingga hubungan antara kepemimpinan dan keteraturan adalah perkara yang mustahil bisa dipisahkan. Secara esensial, penataan sekelompok masyarakat sangat bergantung pada dua kunci utama bagi terwujudnya suatu tatanan kehidupan yang harmonis, yakni adanya seperangkat aturan atau hukum dan figur pelaksananya atau penegak aturan tersebut yakni hakim. Untuk itu, munculnya kesadaran dan kebutuhan manusia bagi adanya seperangkat hukum dan keberadaan hakim adalah perkara rasional. Sedangkan penolakan atau penerimaan salah satu darinya saja adalah irasional.

Sehubungan dengan hal ini, secara garis besar agama bisa dimaknai sebagai seperangkat aturan yang diharapkan bisa menata hubungan dan perilaku manusia kepada Tuhan dan alam kehidupannya. Di setiap agama, wacana kepemimpinan adalah topik sentral yang tak bisa disepelekan terutama bagi keberlangsungan ajaran tersebut dan juga penganutnya. Saat ini, agama-agama di dunia umumnya dibagi menjadi dua kelompok. Pertama adalah agama-agama yang melandasi ajarannya berdasarkan wahyu atau “agama samawi”. Dan kedua adalah agama-agama yang melandasi ajarannya berdasarkan kebijakan dan tradisi.

Dalam kaitannya dengan studi kristologi, pembahasan komprehensif ditujukan kepada agama-agama yang mendasari ajarannya melalui wahyu Tuhan atau profetisme, yakni kenabian. Dan pada saat ini, agama-agama seperti Islam, Yahudi dan Kristen adalah ajaran-ajaran yang meyakini tentang keberadaan para nabi Tuhan. Secara substansial, kendati masing-masing agama itu punya banyak perbedaan, tapi secara umum, seluruh agama wahyu ini punya satu simpul yang sama, yaitu adanya pengakuan dari masing-masing agama tersebut bahwa Abraham [Islam: Ibrahim] adalah seorang nabi Tuhan.

Di dalam Alkitab Perjanjian Lama (Yudaisme: Tanakh), Abraham memiliki beberapa gelar yang masing-masing mencerminkan jabatan langit yang diembannya. Hal ini memposisikan Abraham sebagai orang pilihan yang mulia disisi Allah dan juga dihadapan keturunan dan para pengikutnya. Dia disebut sebagai nabi (Kej 20:7) [1], bapa sejumlah besar bangsa (Kej 17:15-16) [2], sahabat Allah (2Taw 20:7; Yes 41: 8) [3], dan yang terpenting dari semua adalah raja-imam (Kej: 12:7; 13:4) [4]. Jabatan Abraham sebagai imam Allah ini memang sangat unik dan berbeda dari kedudukan-kedudukan dia sebelumnya sehingga ada pendapat umum bahwa Kejadian 14 merupakan salah satu bab yang paling sukar dalam Kitab Kejadian.[5] Istilah “raja” dan “imam” yang selanjutnya dipadukan menjadi raja-imam mengindikasikan kepada otoritas penuh yang dijabat oleh Abraham dan keturunannya. Yakni sebagai penguasa dan pemimpin sekaligus. Hal ini otomastis berimplikasi bagi adanya suatu wilayah kekuasaan dan kepemimpinan (Kej 17:8-9) [6]. Adapun peristiwa pemberkatan Abraham sebagai Imam Alah bisa ditemukan dalam Kitab Kejadian di pasal 14:1-24. Peran Abraham sebagai pemimpin atau imam yang dipilih dan dinobatkan secara langsung oleh Allah ini—melalui perantaraan Melkisedek—adalah peristiwa yang tak dinafikan kebenarannya, baik oleh Yahudi maupun Kristen.

Secara etimologi, kata “imam” dalam bahasa Ibraninya di Authorized Version (AV) adalah kohen [7] dan nasiy [8]. Masing-masing dari kata ini di ulang sebanyak 750 kali dan 132 kali. Kedudukan ini juga menandai perjanjian atau covenant antara Abraham dan Allah yang mana melalui keturunannya itu Dia akan mengutus seorang yang diurapiNya atau Mesiah, dan akan menjadi berkat bagi seluruh bangsa di bumi (Kej 18:18).[9] Pengesahan kovenan ini ditandai dengan kewajiban penuh bagi Abraham dan keturunannya untuk mentaati hukum-hukum Ilahi berdasarkan prinsip kebenaran dan keadilan.[10]

Untuk itu, kendati sudah ada tiga jabatan langit yang diberikan kepada Abraham, yakni sebagai nabi atau rasul dan kedudukan khususnya sebagai sahabat Allah. Namun masih ada satu jabatan langit terakhir yang tertinggi, yakni sebagai imam Allah. Kedudukan ini juga dianugerahkan kepada Abraham dan keturunan biologisnya. [11] Adapun dari segi pelaksanaan bahwa meskipun jabatan imam Allah ini munculnya belakangan, namun inti dari ajaran Allah kepada manusia itu sendiri sebenarnya baru bisa direalisasikan, apabila hukum-hukum tersebut telah selesai disyariatkan oleh para nabi. Dan setelah itu, syariat ini akan ditegakkan oleh imam-imam Allah yang berasal dari keturunan biologis Abraham. Fakta ini jelas sangat rasional karena tak ada hakim kecuali setelah adanya hukum. Dan hukum pun mustahil bisa ditegakkan kecuali setelah adanya para hakim.

Pada dasarnya, jabatan imam Allah merupakan satu-satunya jabatan tertinggi dan tunas dari “Pohon Kejadian” yang menjadi tujuan atas penciptaan manusia di bumi. [12] Sedangkan kenabian atau kerasulan adalah cabang dari “Pohon Kejadian” tersebut. Artiya, institusi ilahiah ini secara gradual diawali oleh keimaman—yang menduduki puncak dari hierarki rububiyah itu, kemudian disusul dengan kerasulan atau kenabian. Sedangkan penampakan atas jabatan imam Allah di alam dunia (syahadah) secara hierarki adalah kebalikan dari hakekatnya di alam sorgawi (ghayb). Di alam dunia, kemunculan jabatan-jabatan langit ini diawali lebih dahulu dengan kenabian, kerasulan dan imamah.

Setelah Ibraham wafat, jabatan-jabatan ini terus diwariskan melalui keturunan biologis Ismail dan Ishak yang mana keduanya adalah nabi. Dalam Alkitab dinubuatkan bahwa dari Ismail dan keturunannya akan muncul duabelas orang imam “Tentang Ismael, Aku telah mendengarkan permintaanmu; ia akan Kuberkati, Kubuat beranak cucu dan sangat banyak; ia akan memperanakkan dua belas imam, [13] dan Aku akan membuatnya menjadi umat [14] yang besar (Kej 17:20). Kondisi serupa juga ditampakkan kepada bangsa Israel pada zaman Musa as yang mana dia telah diperintahkan oleh Allah untuk melantik duabelas orang imam yang dikepalai oleh Harun dan keturunannya (Bil 17:1-13). Pelantikan para imam Allah ini menandai kesempurnaan RisalahNya dan puncak dari kovenan antara Allah dan para nabi yang ditugaskan untuk menyampaikan AjaranNya kepada manusia. Bahkan fungsi utama dari pengutusan seorang nabi atau rasul itu adalah untuk menegakkan kerajaan imam dan umat yang kudus.Alkitab dan Al-Qur’an menyatakan:

“Jadi sekarang, jika kamu sungguh-sungguh mendengarkan firman-Ku dan berpegang pada perjanjian-Ku, maka kamu akan menjadi harta kesayangan-Ku sendiri dari antara segala bangsa, sebab Akulah yang empunya seluruh bumi. Kamu akan menjadi bagi-Ku kerajaan imam dan bangsa yang kudus. Inilah semuanya firman yang harus kaukatakan kepada orang Israel. (Keluaran 19:5-6)

“Dan ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu, dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putera Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh”. (QS. 33:7)

Sedangkan mengenai perjanjian [mitsaq] yang dimaksudkan itu, maka Al-Qur’an menjelaskan lagi, “Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian dari Bani Israil dan telah Kami angkat di antara mereka 12 orang pemimpin” (QS. 5:12).

Alhasil, substansi yang ingin ditegaskan dalam pengantar yang ringkas ini bahwa status seorang imam di dalam agama Ibrahimik—menurut tinjauan kristologi—itu memang ada dan dipilih secara mutlak oleh Allah sebagaimana halnya kenabian dan kerasulan. Artinya tidak melalui konsensus. Imam Allah adalah jabatan sorgawi yang kudus dan tidak terbentuk melalui mekanisme pemilihan umum ataupun cara-cara lain yang dilandasi oleh perspektif manusia. Sungguh tidak mengherankan bila Al-Qur’an sendiri pernah menegaskan bahwa keluarga Ibrahim as telah dianugerahi suatu kerajaan yang besar.

“Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya? Sesungguhnya Kami memberikan Kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar”. (QS. 4:54)

Secara historis, pena sejarah umat manusia belum pernah mencatat bahwa keluarga Ibrahim ada yang mendirikan monarki keluarga, misalnya seperti Ibrahimiyah, Ismailiyah, Ishakiyah, Yakubiyah, Yusufiyah, Musaiyah atau Haruniyah dan lain sebagainya. Hal itu disebabkan keluarga Ibrahim lebih dikenang sebagai mata airnya kenabian, kerasulan dan imamah. Jika demikian, maka kerajaan besar apakah yang dimaksudkan oleh al-Qur’an itu? Apabila hal ini tidak merujuk kepada mamlakah kohen atau kerajaan imam,[15] tentu akan sulit menemukan makna yang sebenarnya dari ayat tersebut. Lalu, apabila keluarga Ibrahim telah diwariskan kerajaan besar oleh Allah, maka bagaimanakah dengan nasib keluarga Muhammad saw sendiri? Artinya, apakah mungkin dari keturunan Muhammad saw ini akan ada yang menjadi imam-imam Allah seperi yang pernah terjadi di masa para nabi terdahulu yang berasal dari keluarga Ibrahim? Dan apabila jumlah para imam dari keluarga Ibrahim as ini selalu duabelas orang, maka mungkinkah jumlah para imam dari keluarga Muhammad pun juga demikian?

Sebagai penutup, barangkali hadis Nabi saw yang pernah diriwayatkan dalam Sahih Bukhari[16] ini bisa membawa kita kepada kontemplasi mendalam yang selaras dengan pendewasaan beragama. “Jabir ibn Samurah mengatakan, ‘Saya mendengar Nabi berkata: “Akan ada duabelas pemimpin setelah saya.” Kemudian mengatakan, “Saya mendengar ayah saya mengatakan ia mendengar Nabi berkata, “Mereka berasal dari suku Qurays”’”. Wallahu’alam.

Catatan Kaki:

[1]“Jadi sekarang, kembalikanlah isteri orang itu, sebab dia seorang nabi;”.

[2]“Aku akan memberkatinya, dan dari padanya juga Aku akan memberikan kepadamu seorang anak laki-laki, bahkan Aku akan memberkatinya, sehingga ia menjadi ibu bangsa-bangsa; raja-raja bangsa-bangsa akan lahir dari padanya”.

[3] “Bukankah Engkau Allah kami yang menghalau penduduk tanah ini dari depan umat-Mu Israel, dan memberikannya kepada keturunan Abraham, sahabat-Mu itu, untuk selama-lamanya?”; Dan juga “Tetapi engkau, hai Israel, hamba-Ku, hai Yakub, yang telah Kupilih, keturunan Abraham, yang Kukasihi;”.

[4] ”Ketika itu TUHAN menampakkan diri kepada Abram dan berfirman: ‘Aku akan memberikan negeri ini kepada keturunanmu.’ Maka didirikannya di situ mezbah bagi TUHAN yang telah menampakkan diri kepadanya”; Dan juga “ke tempat mezbah yang dibuatnya dahulu di sana; di situlah Abram memanggil nama TUHAN”.

[5] Lembaga Biblika Indonesia, Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, disunting oleh Dianne Bergant, CSA dan Robert J. Karris, OFM (Jakarta: Penerbit Kanisius, 2002) hal. 52.

[6] “Kepadamu dan kepada keturunanmu akan Kuberikan negeri ini yang kaudiami sebagai orang asing, yakni seluruh tanah Kanaan akan Kuberikan menjadi milikmu untuk selama-lamanya; dan Aku akan menjadi Allah mereka.’ Lagi firman Allah kepada Abraham: ‘Dari pihakmu, engkau harus memegang perjanjian-Ku, engkau dan keturunanmu turun-temurun”.

[7] Kata kohen artinya imam atau pendeta (priest), orang yang memiliki (own), penguasa tertinggi (chief ruler), pejabat (officer), pangeran atau putra mahkota (princes).

[8] Kata nasiy’ atau nasi’ artinya pangeran atau putra mahkota (prince), kapten (captain), ketua (chief), penguasa (ruler), beruap atau menguap (vapours), gubernur pemerintahan (governor), awan (clouds), bagian (part). Secara definisi adalah orang yang ditinggikan (one lifted up) atau imam (leader) dan uap yang terangkat, yakni selalu meninggi dari lainnya (raising mist).

[9] “Oleh keturunanmulah semua bangsa di bumi akan mendapat berkat, karena engkau mendengarkan firman-Ku”.

[10] “Sebab Aku telah memilih dia, supaya diperintahkannya kepada anak-anaknya dan kepada keturunannya supaya tetap hidup menurut jalan yang ditunjukkan TUHAN, dengan melakukan kebenaran dan keadilan, dan supaya TUHAN memenuhi kepada Abraham apa yang dijanjikan-Nya kepadanya.” (Kej 18:19).

[11] Bandingkan juga beberapa kedudukan Nabi Ibrahim as yang disampaikan dalam Al-Qur’an, yaitu: Pertama, sebagai nabi “Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat benar dan seorang Nabi”. (QS. 19:41). Kedua, ayat al-Qur’an ini memaparkan dua sisi, yaitu kedudukan Ibrahim as sebagai rasul dan juga moyang bagi sejumlah besar bangsa yang mana keturunannya itu akan mewarisi jabatan kenabian dan kerasulan “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh dan Ibrahim dan Kami jadikan kepada keturunan keduanya kenabian dan Al Kitab, maka di antara mereka ada yang menerima petunjuk dan banyak di antara mereka yang fasik”. (QS. 57:26). Ketiga, sebagai khalil atau sahabat Allah “Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya”. (QS. 4:125). Keempat, sebagai imam “Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhanya dengan beberapa kalimat, lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: ‘Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu sebagai imam bagi seluruh manusia.’ Ibrahim berkata: ‘dan dari keturunanku.’ Allah berfirman: ‘JanjiKu tidak mengenai orang-orang yang zalim’”. (QS. 2:124).

[12] “Manusia adalah puncak dari seluruh penciptaan. Kelebihan ciptaan ini digarisbawahi oleh kenyataan bahwa hanya manusialah yang diciptakan menurut “gambar” atau “rupa Allah”. [Dikutip dari Lembaga Biblika Indonesia, Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, disunting oleh Dianne Bergant, CSA dan Robert J. Karris, OFM (Jakarta: Penerbit Kanisius, 2002) hal. 35]. Bandingkan dengan ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang kedudukan manusia sebagai khalifah Allah dimuka (QS. 2:30) dan hadis Nabi saw yang mengatakan bahwa Adam diciptakan dari citranya.

[13] Saya sengaja mengganti kata “raja”—seperti yang ada diterjemahan Alkitab LAI—dengan kata “imam”, karena kata “raja” adalah terjemahan yang tidak tepat. Dalam bahasa Ibrani kata “raja” adalah melek, sedangkan Authorized Version (AV) tidak menyebut kata tersebut di ayat ini melek (raja) tapi nasiy’ (imam). Yakni suatu posisi atau jabatan langit tertinggi yang berasal dari Allah saja. Kedudukan ini juga diikrarkan kembali pada zaman Musa, sewaktu Allah memerintahkannya untuk mengangkat duabelas orang pemimpin atau imam dari kalangan bangsa Israel (Bdk. Bil 17:1-6). Seluruh kata yang diterjemahkan “pemimpin” di ayat tersebut di dalam AV adalah nasiy’, persis seperti kedudukan yang diberikan kepada keturunan Ismail di Kej 17:20.

[14] Saya sengaja mengganti kata “bangsa”—seperti yang diterjemahkan dalam Alkitab bahasa Indonesia—dengan kata “umat”, karena kata asli di teks Ibraninya adalah goy yang dalam bahasa Inggris bisa diterjemahkan nation dan people. Walaupun demikian, pengunaan kata “bangsa” bukan berarti keliru, hanya saja dalam kajian mesianisme Yahudi, mereka sering mengaitkan hal ini dalam konteks kebangsaan atau keturunan biologis mereka saja (nationality) yakni partikular. Sedangkan dalam mesianisme Kristen, para penafsirnya telah melepas arti “keturunan biologis” Ibrahim ini sepenuhnya dan menguniversalkan maknanya (people). (lih. Ro 4:16; Ga 3:29). Padahal, janji Allah ini memang terkait dengan kedua sisi tersebut yakni kebangsaan dan juga manusia secara umum.

[15] “Dan Kami jadikan di antara mereka itu imam-imam yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami”. (QS. 32:24; 21:73; 28:5).

[16] Sahih Bukhari, bagian 9, “Kitab al-Maqadam”, hal. 1000. Sementara dalam Musnad Ahmad diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud bahwa ia bertanya kepada Nabi tentang para khalifahnya. Beliau berkata, “Mereka duabelas orang seperti suku bani Isra’il yang dua belas.” (Musnad Ahmad, Jilid 1, hal. 398).