RTCCTV-Live kuliah-Prerecording majlis-

Tuesday, November 18, 2008

IRFAN 1

Irfan(I) PDF Cetak E-mail

on 09-03-2008 15:06

Views : 345

Irfan dalam pandangan Ayatullah Mujtaba Tehrani (murid Irfan Imam Khomeini qs).

Hadits qudsi dari Imam Shadiq as: Allah berfirman:”Telah kuwajibkan kepada hamba Ku sepuluh kewajiban, apa bila mereka mengetahuinya maka bagi mereka adalah malakutKu, surgaKu, dan yang pertama adalah ma’rifahKu”.(Wasail us syiah jld 4 hal 674). Untuk memasuki alam irfani seorang perlu memahami dulu berbagai ragam muqadimah yang sangat diperlukan, karena tampa muqadimah manusia akan bermain pada makna kata dan bukan pada makna amal yang membawa hasil dari amal irfani.

Pengetahuan yang wajib diketahui oleh calon pesalik diantaanya adalah:

1. Ma’rifah pada tujuan penciptaan (hadaf khalqiayat)

Dalam hal ini maka ada lagi pecahannya yang dia wajib memahami dengan dalam tentang:

a. Dimensi manusia

b. Posisi penciptaan manusia dalam alam ciptaan.

c. Jalan untuk sampai pada alam ghaib.

2. Mangenai ma’rifah itu sendiri.

Maka dalam bab ini, akan dibahas dimulai dari masalah ma’rifah, karena ma’rifah adalah muqadimah penting dari pada seir (perjalanan irfani) amali.

Dalam riwayat banyak sekali hadits yang menyatakan bahwa ma’rifah merupakan muqadimah dari amal saleh, dimana berdasarkan ulama kalam bahwa tanpa ma’rifah, amal seseorang tidak akan terkabul, karena dengan makrifah seseorang boleh dikatakan mukmin dan dengan iman dia baru dapat diterima amalnya.

Riwayatkan Abi Kahmas dari Imam Baqir as: “Saya bertanya kepadanya (Imam Baqir as):”Amal apa yang lebih Afdhal setelah ma’rifah?. Beliau menjawab: “Tidak ada amal yang lebih afdhal, setelah ma’rifah dibanding dengan shalat”. (Wasail us syiah jld 4 hal 674).

Yaitu nilai makrifah melebihi amal apapun yang dapat dicontohkan. Sebagaimana ditanyakan apa amal yang lebih adhal setelah ma’rifah?. Yaitu ma’rifah mendahuli dari setiap amal apapun, maka setelah shalat ada zakat yang lebih afdhal dari puasa dan selepas itu haji.

Di dalam Islam nilai suatu amal dilihat dari ma’rifahnya. Kalau amal bukan dari ahlil ma’rifah maka tidak akan ada artinya. Derajat amal tergantung pada tingkatan ma’rifatnya, bertambah tinggi nilai ma’rifatnya maka nilai amalnya lebih saleh.

Nilai ma’rifah pun terbagi dua macam:

Pertama: kembali pada nilai akal.

Ssebagaimana yang diriwayatkan dari Imam Shadiq as ketika ada yang bertanya tentang salatnya seseorang, Imam bertanya:”Bagaimana dengan akalnya?”, orang itu berkata:”Saya tak tahu”. Kemudian Imam berkata:”Sesungguhnya pahala (tergantung) pada kadar (quality) akal”. Yaitu pahala terikat oleh kemampuan akal pelaku, quality, ma’rifah dan motivasinya.

Juga diriwayatkan oleh Imam Shadiq as:”Akal yang diciptakan Allah sebagai keindahan dan cahaya untuk makhluqNya, maka dengan akal hamba akan ma’rifah kepada Khaliq mereka, kalau mereka adalah makhluq dan Dia adalah pengatur bagi mereka”.

Kedua: nilai ilmu dan alim (pemilik ilmu).

Dari beberapa riwayat dijelaskan tentang pentingnya ilmu dan alim, sehingga nilai amal akan tergantung pada motivasi dan juga ma’rifahnya, diriwayatkan: Seorang alim yan g diikuti manusia akan lebih baik dari pada tujuh ribu ‘abid (orang yang banyak ibadah)”.(Tahful ukul : 294). Tentu sebagaimana diketahui bahwa ketaatan padanya terikat dan tergantung dari makrifahnya sehingga lupa bagi ahlil ma’rifah(seorang arif) lebih buruk dari dosanya orang jahil.

Diriwayatkan juga oleh Imam Shadiq as tentang derajat seorang Syiah yang tergantung dengan ma’rifah dan pengetahuan mereka; berkata Abu Ja’far Al Baqir as:” Wahai anakku,kadar dan posisi/derajat syiah tergantung dari kadar/posisi ma’rifahnya, saya dapatkan dari buku Ali as yang saya lihat dimana harga atau nilai setiap seseorang dan kadarnya tergantung pada ma’rifahnya”.

Mungkin ada orang yang mempermasalahkannya dengan membandingkan pandangan quran yang menyatakan bahwa nilai dasar adalah taqarrub (kedekatan dengan Allah) sebagaimana difirmankan dalam ayat:”Sesungguhnya yang paling mulia dihadapan Allah adalah yang paling bertaqwa”(Hujarat 13) , jadi bagaimana ma’rifah melebihi nilai ini?!

Jawabnya adalah: Taqwa adalah hasil dari amal saleh. Dengan imannya dia memiliki keadaan ruh sehingga hendak beramal baik dan meninggalkan perbuatan buruk. Sehingga dasar dari pada taqwa adalah ma’rifah. Ma’rifah merupakan dasar dan semua kebaikan akan bersumber (source) pada ma’rifah. Imam Shadiq berkata:”Taqwa terpancar dari mata air ma’rifah Allah yang semuanya memerlukan ilmu, Dia (Allah) tidak memerlukan apapunkcuali membenahi/membetulkan ma’rifah”. (Biharul anwar jld 10 hal 294).

Juga ada permasalahan lain yang menyatakan bahwa kalau ma’rifah Allah adalah tujuan maka bagaimana Allah menyatakan bahwa:”…tidak Kuciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah”. (Az Zariyat 56).

Jawabnya adalah:

Pertama: Bahwa banyak riwayat yangmengatakan bahwa ubudiayah disini bermakna ma’rifah, ada riwayat yang disampaikan oleh Imam Shadiq dan Sajjad as:”Wahai manusia, sesungguhnya Allah tidak menciptakan hambaNya kecuali untuk mengetahuiNya”. (Biharul Anwar jld 15 hal 312). Dan Imam menjelaskan bahwa ayat yang mengatakan bahwa kata liya’budun (untuk beribadah) maksudnya adalah liya’rifun (untuk mengetahuiNya/ma’rifah padaNya).

Jadi ada beberapa hal yang perlu diperhatikan bahwa: tujuan dibagi menjadi tujuan antara dan tujuan akhir (hakiki), tujuan antara akan digunakan untuk sampai pada tujuan hakiki, maka ibadah tergantung dengan ma’rifah. Jadi ma’rifah memiliki dua fungsi, dia sebagai wasilah an juga sebagai tujuan hakiki (maqsad). Sebagaimana disebutkan dalam hadits qudsi:”Saya adalah harta (berharga) yang tersembunyi, dan Saya mau/hendak untuk diketahui (dima’rifati), maka Ku ciptakan makhluq sehingga dimakrifahi/dikenal”. (Biharul anwar jld 78 hal 344).

Hadits ini menunjukkan bahwa manusia dijadikan Allah sehinga dapat bersatu dengan kesempurnaan absolute. Sebagaimana ma’ruf dikatakan: “Sehinggalah sampai paa kepuncak keberadaan dan jadilah diri (ini) tidak ada”.

Maka perlu diketahui bahwa ada dua macam ma’rifah:

1. Ma’rifah ibtida’i (pemula), pemula sebagai muqadimah seir (perjalanan) maknawi.

2. Ma’rifah intahai (akhir/hakiki), yang merupakan buah dari ibadah.

Maka memang ibadah merupakan tujuan tapi ma’rifah merupakan tujuan hakiki, jadi ma’rifah awal akan memuat ibadah sehingga sampai pada ma’rifah hakiki.

Ilmu dan Irfan

Dalam artian lexical makna ma’rifah dan ilmu memiliki makna yang sama, yaitu menetahui, yaitu pengetahuan (tahu) manusia terhadap sesuatu, maka jahil berarti tidak tahu. Maka dalam artian bahasa keduanya memilikimkna yang sama, tapi dalam kita yang khusus akan terdapat perbedaan.

Raghib Isfahami dalam bukunya Mufradat mengatakan: ma’rifah adalah ilmu pada kesan sesuatu, yang lawannya (opposite) adalah inkar. Ilmu adalah tahu kepada zat sesautu. Kemudian melanjutkan tentang ma’rifah kepada Allah, dengan membandingkan bahwa manusia tidak akan sampai pada hakikat pengetahuan (pada Allah) dengan ilmu, tapi dapat dengan ma’rifah. Maka berdasarkan ahli bahasa ini ada perbedaan antara ilmu dan ma’rifah.

Tapi dalam istilah irfan ini dugunakan dengan makna yang berbeda lagi, yaitu sudah masuk dalam istilah yang lebih khusus. Syekh Bahai (tidak ada hubungannya dengan aliran Bahaiyah), seorang arif besar yang terkenal; mengatakan bahwa adanya perbedaan antara ilmu dan ma’rifah.

Ilmu kepada sesuatu merupakan gambaran pertama dan pengetahuan yang permulaan, yaitu awal hasil pengetahuan yang sampai pada manusia dari sesuatu, inilah ilmu. Tapi kalau pengetahuan pada peringkat kedua, dan diantara pengetahuan awal dan tahu kedua terjadi kealpaan (lupa/tidak tahu) maka pengetahuan yang dihasilkan pada peringkat kedua dinamakan ma’rifah.

Maka pada permasalahan ma’rifah Allah, beliau menafsirkan: penciptaan arwah (jamak:ruh)telah terjadi sebelum jasad dan badan. Ketika arwah telah diciptakan, mereka bersyahadah (bersaksi) tentang ke rububiyahan Allah, sebagaimana difirmankan Allah dalam quran:”Bukankah Aku adalah Rabb (Tuhan) kamu?. Mereka menjawab: Iya”.(Al A’raf 172). Ini tejadi dialam ruh.

Ahlil Ma’rifah mengatakan: ketika ruh datang ke alam kegelapan ini, dan berjumpa dengan jasad. Karena terbenam dalam sisi materi mereka melupakan janii dengan Allah. Dengan riadhah syar’i dan amal pada taklif Ilahi maka belenggu penjara dunia akan hancur, dan akan melihat janji awalnya. Melihat kembali (untuk kedua kalinya) janji (syahadah) disebut irfan dan ma’rifat.

Pembahagian ma’rifah tehadap manusia.

Pengetahuan manusia terhadap sesuatu ada dua bentuknya:

1. Pengetahuan Mafhumi

2. Pengetahuan Misdaqi

Pengetahuan Mafhumi adalah dimana insan tidak berhubungan secara langsung dengan objek (pengetahuan), tapi dengan sifat yang diberikan kepadanya sehingga terbentuklah kefahaman di dalam akal, dengan itu diistilahkan telah mengetahui. Sehingga dengan ini, ilmu adalah suatu sisi pengetahuan dari aspek kefahaman.

Ma’rifat, adalah pengetahuan misdaq. Maka dengan ini dapat dibedakan; dimana mengetahui tidak sama dengan mengenal. Misalnya: ketika seseorang mensifatkan (menjelaskan) sesuatu kepada kita, maka akan terbentuklah gambaran di dalam akal kita, kemudian kita mengatakan saya sudah faham. Tapi ketika kita berhadapan dengan orangnya langsung, dan mengenalnya dari dekat, maka kemudian kita mengatakan: sekarang saya mengenalnya !.

Dalam falsafah hal ini juga dikembangkan. Falsafah berkeyakinan ilmu terhadap sesuatu dibagimenjadi dua bentukan:

a. Ilmu Husuli.

b. Ilmu Hudhuri.

Ilmu Hudhuri adalah pandangan ilmu manusia terhadap diri dan pandangan serta pemikirannya. Pada ilmu hudhuri –syuhudi- tidak ada perantara. Kenyataan ma’lum (objek ilmu) dan alim (subjek) adalah satu. Dalam istilah irfan terhadap Allah SWT; ketika dengan berusaha maka insan menyaksikan kefahaman Allah tampa adanya perantara. Dengan kata lain, dalam sitilah irfan hal ini disebut dengan mukasafah dan musyahadah. Dalam riwayat hal ini disebutkan dimana adanya pemagian yang diutarakan oleh Imam Ali as:” Ilmu ada dua (ilmu), ilmu mathbu’ (fitri, ilmu hudhuri)dan ilmu masmu’ (ilmu hushuli), kalau tidak ada matbu’ tidak akan ada artinya masmu’”.(Nahjul balaghah, hikmah 331).

Dengan dasar inilah mengenal Tuhan dibagi menjadi dua jalan: jalan dhahir dan bathin.

Pertama {Jalan dhahiri (lahiriyah)}: kefahaman yang didapatkan dengan proses ilmu hushuli. Kedua {jalan bathini}, berdasarkan ilmu hudhuri. Berkenaan dengan ini terdapat riwayat lain yang sama maknanya, dimana Rasulullah bersabda:”Ilmu ada dua (ilmu). Ilmu lisan, maka dia menjadi hujjah bagi anak Adam as. Dan Ilmu dihati dan inilah ilmu yang berfaedah”. (Biharul Anwar jld 1 hal 225) Mungkin yang pertama adalah ilmu husuli dan yang kedua adalah ilmu hudhuri.

Ilmu adalah penghidup diri (nafs) dan penerang akal:”Ilmu adalah ahaya yang dihidupkan Allah dihati siapapun”. (Biharul Anwar jld 70 hal 140).

Seeorang yangmemasuki pembahasan ma’rifat Allah, yang dimasksudnya adalah irfan, maka ilmu yang dimaksud adalah ilmu Hudhuri.[IM/M]


No comments:

...SOALAN CEPU ALIAS MENYENTAP BENAK....

Adakah Jabatan Imam Allah?

Masalah kepemimpinan merupakan salah satu persoalan yang sangat mendasar di dalam kehidupan manusia. Sejak kecil, setiap orang akan mengenal dan berinteraksi dengan persoalan ini. Kita mengenal istilah orang tua sebagai pemimpin di rumah, guru di sekolah, direktur di perusahaan, komandan di keperwiraan, kepala pemerintahan dan seterusnya. Intinya, persoalan kepemimpinan meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Ia menjadi pondasi dan tulang punggung keberlangsungan spesies manusia dimanapun dan kapanpun mereka berada. Tanpa adanya kepemimpinan, maka seluruh pilar dan sistem kehidupan manusia niscaya porak poranda atau khaos—lawan katanya adalah kosmos, yakni teratur. Hal ini sangat jelas sehingga tak perlu pembuktian lagi. Bahkan dalam skala komunitas yang paling sederhana sekalipun, kalimat “broken home” adalah istilah umum yang ditujukan bagi seorang anak yang tidak merasakan adanya figur pemimpin dirumahnya.

Pada dasarnya, makna pemimpin adalah pengatur, pembimbing, penuntun, pengawas, penegak aturan dan pemberi keputusan sehingga hubungan antara kepemimpinan dan keteraturan adalah perkara yang mustahil bisa dipisahkan. Secara esensial, penataan sekelompok masyarakat sangat bergantung pada dua kunci utama bagi terwujudnya suatu tatanan kehidupan yang harmonis, yakni adanya seperangkat aturan atau hukum dan figur pelaksananya atau penegak aturan tersebut yakni hakim. Untuk itu, munculnya kesadaran dan kebutuhan manusia bagi adanya seperangkat hukum dan keberadaan hakim adalah perkara rasional. Sedangkan penolakan atau penerimaan salah satu darinya saja adalah irasional.

Sehubungan dengan hal ini, secara garis besar agama bisa dimaknai sebagai seperangkat aturan yang diharapkan bisa menata hubungan dan perilaku manusia kepada Tuhan dan alam kehidupannya. Di setiap agama, wacana kepemimpinan adalah topik sentral yang tak bisa disepelekan terutama bagi keberlangsungan ajaran tersebut dan juga penganutnya. Saat ini, agama-agama di dunia umumnya dibagi menjadi dua kelompok. Pertama adalah agama-agama yang melandasi ajarannya berdasarkan wahyu atau “agama samawi”. Dan kedua adalah agama-agama yang melandasi ajarannya berdasarkan kebijakan dan tradisi.

Dalam kaitannya dengan studi kristologi, pembahasan komprehensif ditujukan kepada agama-agama yang mendasari ajarannya melalui wahyu Tuhan atau profetisme, yakni kenabian. Dan pada saat ini, agama-agama seperti Islam, Yahudi dan Kristen adalah ajaran-ajaran yang meyakini tentang keberadaan para nabi Tuhan. Secara substansial, kendati masing-masing agama itu punya banyak perbedaan, tapi secara umum, seluruh agama wahyu ini punya satu simpul yang sama, yaitu adanya pengakuan dari masing-masing agama tersebut bahwa Abraham [Islam: Ibrahim] adalah seorang nabi Tuhan.

Di dalam Alkitab Perjanjian Lama (Yudaisme: Tanakh), Abraham memiliki beberapa gelar yang masing-masing mencerminkan jabatan langit yang diembannya. Hal ini memposisikan Abraham sebagai orang pilihan yang mulia disisi Allah dan juga dihadapan keturunan dan para pengikutnya. Dia disebut sebagai nabi (Kej 20:7) [1], bapa sejumlah besar bangsa (Kej 17:15-16) [2], sahabat Allah (2Taw 20:7; Yes 41: 8) [3], dan yang terpenting dari semua adalah raja-imam (Kej: 12:7; 13:4) [4]. Jabatan Abraham sebagai imam Allah ini memang sangat unik dan berbeda dari kedudukan-kedudukan dia sebelumnya sehingga ada pendapat umum bahwa Kejadian 14 merupakan salah satu bab yang paling sukar dalam Kitab Kejadian.[5] Istilah “raja” dan “imam” yang selanjutnya dipadukan menjadi raja-imam mengindikasikan kepada otoritas penuh yang dijabat oleh Abraham dan keturunannya. Yakni sebagai penguasa dan pemimpin sekaligus. Hal ini otomastis berimplikasi bagi adanya suatu wilayah kekuasaan dan kepemimpinan (Kej 17:8-9) [6]. Adapun peristiwa pemberkatan Abraham sebagai Imam Alah bisa ditemukan dalam Kitab Kejadian di pasal 14:1-24. Peran Abraham sebagai pemimpin atau imam yang dipilih dan dinobatkan secara langsung oleh Allah ini—melalui perantaraan Melkisedek—adalah peristiwa yang tak dinafikan kebenarannya, baik oleh Yahudi maupun Kristen.

Secara etimologi, kata “imam” dalam bahasa Ibraninya di Authorized Version (AV) adalah kohen [7] dan nasiy [8]. Masing-masing dari kata ini di ulang sebanyak 750 kali dan 132 kali. Kedudukan ini juga menandai perjanjian atau covenant antara Abraham dan Allah yang mana melalui keturunannya itu Dia akan mengutus seorang yang diurapiNya atau Mesiah, dan akan menjadi berkat bagi seluruh bangsa di bumi (Kej 18:18).[9] Pengesahan kovenan ini ditandai dengan kewajiban penuh bagi Abraham dan keturunannya untuk mentaati hukum-hukum Ilahi berdasarkan prinsip kebenaran dan keadilan.[10]

Untuk itu, kendati sudah ada tiga jabatan langit yang diberikan kepada Abraham, yakni sebagai nabi atau rasul dan kedudukan khususnya sebagai sahabat Allah. Namun masih ada satu jabatan langit terakhir yang tertinggi, yakni sebagai imam Allah. Kedudukan ini juga dianugerahkan kepada Abraham dan keturunan biologisnya. [11] Adapun dari segi pelaksanaan bahwa meskipun jabatan imam Allah ini munculnya belakangan, namun inti dari ajaran Allah kepada manusia itu sendiri sebenarnya baru bisa direalisasikan, apabila hukum-hukum tersebut telah selesai disyariatkan oleh para nabi. Dan setelah itu, syariat ini akan ditegakkan oleh imam-imam Allah yang berasal dari keturunan biologis Abraham. Fakta ini jelas sangat rasional karena tak ada hakim kecuali setelah adanya hukum. Dan hukum pun mustahil bisa ditegakkan kecuali setelah adanya para hakim.

Pada dasarnya, jabatan imam Allah merupakan satu-satunya jabatan tertinggi dan tunas dari “Pohon Kejadian” yang menjadi tujuan atas penciptaan manusia di bumi. [12] Sedangkan kenabian atau kerasulan adalah cabang dari “Pohon Kejadian” tersebut. Artiya, institusi ilahiah ini secara gradual diawali oleh keimaman—yang menduduki puncak dari hierarki rububiyah itu, kemudian disusul dengan kerasulan atau kenabian. Sedangkan penampakan atas jabatan imam Allah di alam dunia (syahadah) secara hierarki adalah kebalikan dari hakekatnya di alam sorgawi (ghayb). Di alam dunia, kemunculan jabatan-jabatan langit ini diawali lebih dahulu dengan kenabian, kerasulan dan imamah.

Setelah Ibraham wafat, jabatan-jabatan ini terus diwariskan melalui keturunan biologis Ismail dan Ishak yang mana keduanya adalah nabi. Dalam Alkitab dinubuatkan bahwa dari Ismail dan keturunannya akan muncul duabelas orang imam “Tentang Ismael, Aku telah mendengarkan permintaanmu; ia akan Kuberkati, Kubuat beranak cucu dan sangat banyak; ia akan memperanakkan dua belas imam, [13] dan Aku akan membuatnya menjadi umat [14] yang besar (Kej 17:20). Kondisi serupa juga ditampakkan kepada bangsa Israel pada zaman Musa as yang mana dia telah diperintahkan oleh Allah untuk melantik duabelas orang imam yang dikepalai oleh Harun dan keturunannya (Bil 17:1-13). Pelantikan para imam Allah ini menandai kesempurnaan RisalahNya dan puncak dari kovenan antara Allah dan para nabi yang ditugaskan untuk menyampaikan AjaranNya kepada manusia. Bahkan fungsi utama dari pengutusan seorang nabi atau rasul itu adalah untuk menegakkan kerajaan imam dan umat yang kudus.Alkitab dan Al-Qur’an menyatakan:

“Jadi sekarang, jika kamu sungguh-sungguh mendengarkan firman-Ku dan berpegang pada perjanjian-Ku, maka kamu akan menjadi harta kesayangan-Ku sendiri dari antara segala bangsa, sebab Akulah yang empunya seluruh bumi. Kamu akan menjadi bagi-Ku kerajaan imam dan bangsa yang kudus. Inilah semuanya firman yang harus kaukatakan kepada orang Israel. (Keluaran 19:5-6)

“Dan ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu, dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putera Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh”. (QS. 33:7)

Sedangkan mengenai perjanjian [mitsaq] yang dimaksudkan itu, maka Al-Qur’an menjelaskan lagi, “Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian dari Bani Israil dan telah Kami angkat di antara mereka 12 orang pemimpin” (QS. 5:12).

Alhasil, substansi yang ingin ditegaskan dalam pengantar yang ringkas ini bahwa status seorang imam di dalam agama Ibrahimik—menurut tinjauan kristologi—itu memang ada dan dipilih secara mutlak oleh Allah sebagaimana halnya kenabian dan kerasulan. Artinya tidak melalui konsensus. Imam Allah adalah jabatan sorgawi yang kudus dan tidak terbentuk melalui mekanisme pemilihan umum ataupun cara-cara lain yang dilandasi oleh perspektif manusia. Sungguh tidak mengherankan bila Al-Qur’an sendiri pernah menegaskan bahwa keluarga Ibrahim as telah dianugerahi suatu kerajaan yang besar.

“Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya? Sesungguhnya Kami memberikan Kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar”. (QS. 4:54)

Secara historis, pena sejarah umat manusia belum pernah mencatat bahwa keluarga Ibrahim ada yang mendirikan monarki keluarga, misalnya seperti Ibrahimiyah, Ismailiyah, Ishakiyah, Yakubiyah, Yusufiyah, Musaiyah atau Haruniyah dan lain sebagainya. Hal itu disebabkan keluarga Ibrahim lebih dikenang sebagai mata airnya kenabian, kerasulan dan imamah. Jika demikian, maka kerajaan besar apakah yang dimaksudkan oleh al-Qur’an itu? Apabila hal ini tidak merujuk kepada mamlakah kohen atau kerajaan imam,[15] tentu akan sulit menemukan makna yang sebenarnya dari ayat tersebut. Lalu, apabila keluarga Ibrahim telah diwariskan kerajaan besar oleh Allah, maka bagaimanakah dengan nasib keluarga Muhammad saw sendiri? Artinya, apakah mungkin dari keturunan Muhammad saw ini akan ada yang menjadi imam-imam Allah seperi yang pernah terjadi di masa para nabi terdahulu yang berasal dari keluarga Ibrahim? Dan apabila jumlah para imam dari keluarga Ibrahim as ini selalu duabelas orang, maka mungkinkah jumlah para imam dari keluarga Muhammad pun juga demikian?

Sebagai penutup, barangkali hadis Nabi saw yang pernah diriwayatkan dalam Sahih Bukhari[16] ini bisa membawa kita kepada kontemplasi mendalam yang selaras dengan pendewasaan beragama. “Jabir ibn Samurah mengatakan, ‘Saya mendengar Nabi berkata: “Akan ada duabelas pemimpin setelah saya.” Kemudian mengatakan, “Saya mendengar ayah saya mengatakan ia mendengar Nabi berkata, “Mereka berasal dari suku Qurays”’”. Wallahu’alam.

Catatan Kaki:

[1]“Jadi sekarang, kembalikanlah isteri orang itu, sebab dia seorang nabi;”.

[2]“Aku akan memberkatinya, dan dari padanya juga Aku akan memberikan kepadamu seorang anak laki-laki, bahkan Aku akan memberkatinya, sehingga ia menjadi ibu bangsa-bangsa; raja-raja bangsa-bangsa akan lahir dari padanya”.

[3] “Bukankah Engkau Allah kami yang menghalau penduduk tanah ini dari depan umat-Mu Israel, dan memberikannya kepada keturunan Abraham, sahabat-Mu itu, untuk selama-lamanya?”; Dan juga “Tetapi engkau, hai Israel, hamba-Ku, hai Yakub, yang telah Kupilih, keturunan Abraham, yang Kukasihi;”.

[4] ”Ketika itu TUHAN menampakkan diri kepada Abram dan berfirman: ‘Aku akan memberikan negeri ini kepada keturunanmu.’ Maka didirikannya di situ mezbah bagi TUHAN yang telah menampakkan diri kepadanya”; Dan juga “ke tempat mezbah yang dibuatnya dahulu di sana; di situlah Abram memanggil nama TUHAN”.

[5] Lembaga Biblika Indonesia, Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, disunting oleh Dianne Bergant, CSA dan Robert J. Karris, OFM (Jakarta: Penerbit Kanisius, 2002) hal. 52.

[6] “Kepadamu dan kepada keturunanmu akan Kuberikan negeri ini yang kaudiami sebagai orang asing, yakni seluruh tanah Kanaan akan Kuberikan menjadi milikmu untuk selama-lamanya; dan Aku akan menjadi Allah mereka.’ Lagi firman Allah kepada Abraham: ‘Dari pihakmu, engkau harus memegang perjanjian-Ku, engkau dan keturunanmu turun-temurun”.

[7] Kata kohen artinya imam atau pendeta (priest), orang yang memiliki (own), penguasa tertinggi (chief ruler), pejabat (officer), pangeran atau putra mahkota (princes).

[8] Kata nasiy’ atau nasi’ artinya pangeran atau putra mahkota (prince), kapten (captain), ketua (chief), penguasa (ruler), beruap atau menguap (vapours), gubernur pemerintahan (governor), awan (clouds), bagian (part). Secara definisi adalah orang yang ditinggikan (one lifted up) atau imam (leader) dan uap yang terangkat, yakni selalu meninggi dari lainnya (raising mist).

[9] “Oleh keturunanmulah semua bangsa di bumi akan mendapat berkat, karena engkau mendengarkan firman-Ku”.

[10] “Sebab Aku telah memilih dia, supaya diperintahkannya kepada anak-anaknya dan kepada keturunannya supaya tetap hidup menurut jalan yang ditunjukkan TUHAN, dengan melakukan kebenaran dan keadilan, dan supaya TUHAN memenuhi kepada Abraham apa yang dijanjikan-Nya kepadanya.” (Kej 18:19).

[11] Bandingkan juga beberapa kedudukan Nabi Ibrahim as yang disampaikan dalam Al-Qur’an, yaitu: Pertama, sebagai nabi “Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat benar dan seorang Nabi”. (QS. 19:41). Kedua, ayat al-Qur’an ini memaparkan dua sisi, yaitu kedudukan Ibrahim as sebagai rasul dan juga moyang bagi sejumlah besar bangsa yang mana keturunannya itu akan mewarisi jabatan kenabian dan kerasulan “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh dan Ibrahim dan Kami jadikan kepada keturunan keduanya kenabian dan Al Kitab, maka di antara mereka ada yang menerima petunjuk dan banyak di antara mereka yang fasik”. (QS. 57:26). Ketiga, sebagai khalil atau sahabat Allah “Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya”. (QS. 4:125). Keempat, sebagai imam “Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhanya dengan beberapa kalimat, lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: ‘Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu sebagai imam bagi seluruh manusia.’ Ibrahim berkata: ‘dan dari keturunanku.’ Allah berfirman: ‘JanjiKu tidak mengenai orang-orang yang zalim’”. (QS. 2:124).

[12] “Manusia adalah puncak dari seluruh penciptaan. Kelebihan ciptaan ini digarisbawahi oleh kenyataan bahwa hanya manusialah yang diciptakan menurut “gambar” atau “rupa Allah”. [Dikutip dari Lembaga Biblika Indonesia, Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, disunting oleh Dianne Bergant, CSA dan Robert J. Karris, OFM (Jakarta: Penerbit Kanisius, 2002) hal. 35]. Bandingkan dengan ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang kedudukan manusia sebagai khalifah Allah dimuka (QS. 2:30) dan hadis Nabi saw yang mengatakan bahwa Adam diciptakan dari citranya.

[13] Saya sengaja mengganti kata “raja”—seperti yang ada diterjemahan Alkitab LAI—dengan kata “imam”, karena kata “raja” adalah terjemahan yang tidak tepat. Dalam bahasa Ibrani kata “raja” adalah melek, sedangkan Authorized Version (AV) tidak menyebut kata tersebut di ayat ini melek (raja) tapi nasiy’ (imam). Yakni suatu posisi atau jabatan langit tertinggi yang berasal dari Allah saja. Kedudukan ini juga diikrarkan kembali pada zaman Musa, sewaktu Allah memerintahkannya untuk mengangkat duabelas orang pemimpin atau imam dari kalangan bangsa Israel (Bdk. Bil 17:1-6). Seluruh kata yang diterjemahkan “pemimpin” di ayat tersebut di dalam AV adalah nasiy’, persis seperti kedudukan yang diberikan kepada keturunan Ismail di Kej 17:20.

[14] Saya sengaja mengganti kata “bangsa”—seperti yang diterjemahkan dalam Alkitab bahasa Indonesia—dengan kata “umat”, karena kata asli di teks Ibraninya adalah goy yang dalam bahasa Inggris bisa diterjemahkan nation dan people. Walaupun demikian, pengunaan kata “bangsa” bukan berarti keliru, hanya saja dalam kajian mesianisme Yahudi, mereka sering mengaitkan hal ini dalam konteks kebangsaan atau keturunan biologis mereka saja (nationality) yakni partikular. Sedangkan dalam mesianisme Kristen, para penafsirnya telah melepas arti “keturunan biologis” Ibrahim ini sepenuhnya dan menguniversalkan maknanya (people). (lih. Ro 4:16; Ga 3:29). Padahal, janji Allah ini memang terkait dengan kedua sisi tersebut yakni kebangsaan dan juga manusia secara umum.

[15] “Dan Kami jadikan di antara mereka itu imam-imam yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami”. (QS. 32:24; 21:73; 28:5).

[16] Sahih Bukhari, bagian 9, “Kitab al-Maqadam”, hal. 1000. Sementara dalam Musnad Ahmad diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud bahwa ia bertanya kepada Nabi tentang para khalifahnya. Beliau berkata, “Mereka duabelas orang seperti suku bani Isra’il yang dua belas.” (Musnad Ahmad, Jilid 1, hal. 398).