RTCCTV-Live kuliah-Prerecording majlis-

Tuesday, November 18, 2008

IRFAN 3

Irfan (III) PDF Cetak E-mail

on 08-06-2008 14:14

Views : 239

Dimensi keberadaan manusia

Manusia adalah keberadaan yang mempunyai dua dimensi, pada satu dimensi ia menghadap kepada alam syuhud dan pada dimensi lain ia menghadap alam Ghaib.Manusia akan selalu menuju kesempurnaan Hak ta’ala dengan semua kesempurnaannya, dan setelah kematian ia akan terangkat derajatnya , karena pada alam akhirat makna kesempurnaan berbeda dengan alam duniawi. Disini kepercayaan-kepercayaan manusia kepada keberadaan (zat wujud) mempunyai peran mendasar dalam perbuatan dan tingkah lakunya. Sangat jelas sekali bahwa tujuan seseorang dan perbuatannya untuk menuju tujuan tersebut akan menjadi sebab dan pembentuk karakternya.


Sebagai contoh: Ketika seseorang berkhidmat kepada makhluq dan berdasarkan hal tersebut ia bertindak, maka tujuan akan menjadi pembentuk karakternya. Manusia mencintai perbuatannya karena perbuatan tadi akan membentuk karakter dia sendiri. Oleh karena itu kalau ia berkeyakinan bahwasannya perbuatannya tadi akan tidak terbatas menguntungkan dia maka hal tersebut akan menjadi pendukung yang sangat kuat untuk melakukan perbuatan yang lain dalam membentuk manusia yang terbatas pada dunia ini.

Sebetulnya ia telah menjadikan kekosongan sebagai pendukungnya, seseorang yang yang mana perjalanan hidupnya akan di akhiri dengan kematian dan akan kembali kepada alam (jamadat) dan tidak lebih dari itu, maka bagaimana ia bisa berkhidmat pada keberadaan haiwani dan menjadikannya pendukung terhadap perbuatan-perbuatannya.Pada hakekat perbuatan-perbuatan seperti ini dengan nama khidmat kepada manusia, egois dan khidmat kepada diri sendiri.

Tempat terciptanya manusia di alam Pencipta

Ketika manusia mempunyai tujuan dan tujuan tadi adalah Hak Ta’ala (Allah) , maka alam syuhudpun akan mempunyai tujuan. Sebagai contoh ketika seseorang sedang meminum air dan kita bertanya: “Kenapa anda meminum air?”. Ia akan menjawab: “Saya haus dan saya minum untuk menghilangkan haus”, dan kita bertanya lagi:”Kenapa anda menghilangkan haus?” , ia akan menjawab:”Untuk menjaga keselamatan/kesehatan”, dan sekali lagi kita bertanya:”Kenapa menjaga keselamatan?”. Ia akan menjawab:”Untuk tetap hidup”, dan pada pertanyaan tadi:”Apa tujuan dari menjaga kehidupan?”, maka jawabannya:”Saya ingin menikmati kehidupan”. Oleh karena itu “kenikmatan” adalah tujuan sebenarnya(bizzat).

Manusia dalam penciptaan dirinya adalah tujuan perantara dan hakekat tujuan dan hadafnya itu sendiri adalah penciptaan Zat Muqaddas Allah Swt itu sendiri.Seperti yang telah di terangkan di hadist ini (Ahkakul Hak: jilid:1 hal: 340: Yang berarti:”Wahai Bani Adam, Aku telah ciptakan segala sesuatu untukmu dan Ku ciptakanmu untukku”. Pada pembahasan lain adalah satu-satunya makhluk yang membuat keberadaan alam menjadi bertujuan, akan tetapi gerakan perputaran dan dauri itu sendiri pun memberi makna pada dunia ini, oleh karena itu gerakan daur yang merupakan gerakan perputaran mengalami kenaikan, akan tetapi mengapa gerakan dalam (inner) manusia?. Dengan dalil perputaran gerakan cinta, perjalanan cinta mempunyai bentuk lingkaran, gerakan yang mana bersumber dari cinta (eshq/mahabbah) daur dan inner-motion, akan tetapi tetap bias mengalami penurunan dan kenaikan. Al-Baqarah /156 :” inna lillah wa inna ilaihi rojiun”. (Sesungguhnya kita dariNya dan kepadaNya kita kembali).

Jalan menuju alam ghaib

Sekarang kita melihat bagaimana manusia berpindah dari alam syuhud menuju alam ghaib, seperti yang telah kita jelaskan bahwa manusia mempunyai dua dimensi, sisi maknawi manusia yang siap terbang menuju alam di atas tabiat (ma fawq tabiat), ia mampu memperluas keberadaannya di alam ini, dengan kata lain mempunyai gerakan kesempurnaan, tentunya dengan syarat dasar yaitu sampai dengan alam (ma fawq tabiat) mengadakan kesejajaran dengan alam-alam yang lain.

Keberadaan material dan jismani dengan alam yang bukan material dan mujarrad, bukan dari tahapan yang sama , di karenakan hal itu selama manusia belum sampai kepada maqam tajarrud maka ia akan di haramkan dari syuhud alam mujaradat. Semua pembahasan yang telah kita bahas untuk memulai pembahasan baru yaitu ma’rifat. Ma’rifat adalah mula dari segala sesuatu, hal ini yang akan membuat prialaku kita terhidayati. Seperti yang telah di katakan oleh Imam Ali (as) di buku Mizzanul hikmah jil: 6 hal :13 : “Almarifatu nurul qalb” , yang berarti ma’rifah adalah cahaya hati.

Yaitu cahaya hati akan menerangi jalan yang akan kita tempuh menuju kesempurnaan. Beliau bersabda pada Nahjul Balaghah khutbah pertama : “Awwalu ddin ma’rifah”, yaitu awal dari agama ialah mengenal Haq Taala (Allah).

Ma’rifat Allah sebagai kewajiban

Di riwayatkan dari Imam Sodiq (as)(dalam hadits qudsi): “Allah (swt) berfirman: “Aku telah menentukan sepuluh kewajiban kepada hamba-hambaKu dan apabila hambaKu mengetahuinya maka ia akan Kuberi syurgaKu”. “Dan yang pertama adalah ma’rifatulaah ( mengetahui Allah)”.

Terkadang di ta’birkan bahwa ma’rifatullah menjadi hal sangat wajib, Imam Shadiq (as) berkata kepada Muawiyah bin Wahab:”Wahai Muawiyah, alangkah jeleknya bagi orang yang sudah berumur 60 atau 70 tahun yang telah mendapat segala sesuatu dari Allah Swt dan hidup dariNya akan tetapi ia tidak mengetahui Allah Swt sebagaimana semestinya. Sesungguhnya sesuatu yang paling mulia dan yang paling wajib adalah mengenal Tuhan dan mengakui bahwasannya ia adalah hambaNya,

Ma’rifat adalah muqaddimah dari segala amalan

Dalam riwayat telah di tekankan bahwa muqaddimah dari amalan amalan soleh adalah ma’rifah, suatu riwayat telah di bawakan disini dari Imam Shadiq (as):”Aku bertanya:”Perbuatan apakah yang lebih mulia dari ma’rifah?. Beliau menjawab: “Dari segi mulia , setelah marifat , tidak ada yang melebihi solat”.

Yaitu keutamaan ma’rifat telah di wajibkan mendahului semua a’mal (perbuatan-perbuatan), oleh karena itu pertanyaan tadi : “Perbuatan apa yang lebih utama dari ma’rifat?”. Dari pertanyaan tadi sudah menentukan bahwa ma’rifat tentu lebih utama dari perbuatan-perbuatan yang lain.

Telah di wajibkan keutamaan ma’rifat lebih dari segala sesuatu, setelah ma’rifat dan solat tidak ada yang setingkat zakat. Dan setelah itu tidak ada yang setingkat dengan puasa dan setelah itu tidak ada yang setingkat dengan hají. Dari riwayat-riwayat ini telah di ambil kesimpulannya bahwa dahulukanlah ma’rifatullah kemudian amalan-amalan soleh.

Dalam Islam perbuatan baik seseorang mengikuti ma’rifat, tanpa ma’rifat perbuatan tadi menjadi kosong , tingkat kesolehan amal dan ma’rifat Allah harus sesuai, semakin baik kita mengenal Allah semakin baik amalan soleh kita. Dua riwayat yang mana salah satu darinya telah membahas tentang akal, seseorang datang menghadap Imam Shadiq (as) dan menceritakan tentang ibadat seseorang yang ia telah lihat, kemudian Imam bertanya:”Bagaimana dengan akalnya?”, kemudian ia menjawab:”Aku tidak tahu”, kemudian Imam Shadiq as berkata:”Sesungguhnya pahala mengimbangi akalnya”.

Dalam kata lain, Imam as mengatakan bahwa kita tidak bisa melihat seseorang dari besar perbuatannya, karena pengelihatan yang seperti ini adalah pengelihatan materi. Oleh karena itu dalam kemuliaan suatu perbuatan, ma’rifat , perasaan , dan cara bagaimana ia menlakukan hal tersebut mempunyai peran penentu dalam perbuatannya.

Di riwayatkan bahwa Imam Shadiq (as) menceritakan seorang Bani Israel yang selalu beribadah siang dan malam, kemudian malaikat menanyakan seberapa banyak pahala yang ia akan dapat?, Allah (swt) berfirman:”ketika kalian mendengar khabar tentang amal dan perbuatan seseorang maka lihatlah akalnya sesengguhnya pahala itu seukuran dengan akalnya”.(Hadits Qudsi). Ishak ibn Ammar menukil satu riwayat dari Imam Shadiq (as):”Ia berkata : Aku mempunyai seorang tetangga yang banyak solat dan banyak bersadekah dan banyak menunaikan ibadah haji”, kemudian Imam as bertanya: “Bagaimana dengan akalnya?”. Ia menjawab ia tidak berakal bagus, Kemudian Imam Shadiq (as) menjawab:”Maka amalan-amalan itu tidak akan menaikkan maqomnya”.

Dalam riwayat lainnya Imam Sodiq (as) menukil hadis dari Rasul Saw:”Ketika kalian melihat seseorang yang banyak melakukan solat dan sering berpuasa maka janganlah kalian bangga sebelum kalian mengetahuu akalnya”. Ini semua telah memastikan bahwa akal dan memastikan keutamaan ma’rifat, dalam riwayat Imam Sodiq (as) berkata : Allah Swt telah memberikan kepada manusia akal sebagai keindahan dan cahaya, di karenakan akal manusia mengetahui bahwa ia ádala hamba dari Penciptanya , dan Ia yang mengatur segala sesuatu.

Dan dari riwayat riwayat bagian 2 membahas keutamaan ilmu dan alim, seperti yang sering kita dengar dari riwayat berikut: “Tidurnya seorang alim adalah ibadah”, “Melihat wajah seorang alim adalah ibadah”. “Seorang alim yang berguna bagi masyarakat lebih baik dari 70 ribu hamba”. Tentunya taat di sertai oleh ma’rifat , dan yang pasti juga ma’siatnya seseorang yang telah mengetahui (ma’rifat) lebih buruk dari ma’siatnya orang jahil.

Dalam riwayat Imam Shadiq (as): “Wahai anak-anakku lihatlah kedudukan pengikutku dengan melihat ma’rifatnya, karena aku melihat di kitab Ali (as) tertulis bahwa keutamaan seseorang terlihat dari ma’rifatnya”. Tapi kita bisa mempermasalahkan hal ini karena di Quran di katakan tolak ukur bukan berdasarkan ma’rifat akan tetapi berdasarkan Taqwa, seperti ayat berikut (Inna aqromakum indallah atkokum) oleh karena itu bagaimana bisa ma’rifat sebagai tolak ukur seseorang. Jawaban hal ini: Taqwa adalah hasil dari perbuatan soleh seseorang, iman, keadaan untuk ruh manusia yang membuatnya tertarik kepada perbuatan-perbuatan baik dan membenci perbuatan-perbuatan buruk, oleh karena itu akar dari ketaqwaan adalah ma’rifat. Ma’rifat adalah suatu hal yang mendasar, sangat berharga dan tidak ada yang dapat menggantikannya. Semua kebaikan bersumber pada ma’rifat. Imam sodik dalam hal ini bersabda:”Taqwa mengalir dari sumber ma’rifat dan semua kebaikan membutuhkan taqwa dan taqwa membutuhkan ma’rifaat kepada tuhan yang benar”.

Pertanyaan lain yang timbul mengenai hal ini adalah: “Jika ujung dan tujuan yang hakiki adalah ma’rifat dan pengenalan terhadap Tuhan, maka akan bertentangan dengan ayat (wa ma kholaqtu al-jinna wal insa illa liya’budun- tidak Kuciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah). Jawabnya adalah:”Yang pertama adalah berkenaan dengan ayat ini banyak hadis yang mengatakan bahwa makna ubudiah disini adalah ma’rifat. Dibawah ayat ini Imam Shadiq as mengatakan bahwa Imam Sajjad as bersabda: “Wahai manusia! Allah Azza wa Jalla tidak menciptakan abdinya kecuali untuk mengenal dirinya”. Setelah itu, imam membaca ayat tersebut dan berkata: ”Maksud dari liya’budun di ayat ini adalah liya’rafun”.

Yang kedua adalah kita dapat mengambil 2 (dua) poin dari ayat tersebut:

  1. Penciptaan manusia bukan tidak memiliki tujuan dan pengecualian yang ada dalam ayat menunjukkan “inhisor” (tidak ada yang lain) makna dari ayat itu:”Bukanlah Aku tidak menciptakan manusia dan jin agar Aku bisa menjadi sesembahan mereka”, tapi maknanya adalah:”Aku tidak menciptakan selain untuk ibadah”. Penjelasannya adalah seperti yang sudah berlalu bahwa tujuan dibagi menjadi wasatiyah dan hakikiyah.

  2. Pada ayat ini salah satu dari alat yang bisa menyampaikan manusia kepada tujuan hakikinya, yaitu ma’rifat adalah ibadah karena ibadah datang dari ma’rifat. Sebenarnya ayat ini menisbahkan tujuan pada hasil yang akan didapatkan oleh manusia (ketika dia beribadah), meskipun ketika kita mengatakan bahwa tujuan hakiki adalah ma’rifat, kesempurnaan dan keuntungan manusia juga terkandung didalamnya, karena ma’rifat bukan hanya alat untuk sampai pada hak, akan tetapi dapat diartikan bahwa ma’rifat adalah tujuan itu sendiri.


Sebuah hadis qudsi mengatakan: “Aku adalah harta karun yang tersembunyi dan ingin diketahui maka Aku ciptakan makhluk agar Aku dapat diketahui”. Dari ayat ini kita dapat mengambil kesimpulan bahwa satu-satunya makhluk yang dapat menyampaikan dirinya pada kesempurnaan adalah manusia. Penting untuk mengingat satu poin bahwa ada dua macam ma’rifat:

  • Ma’rifat ibtida’i (permulaan) yang merupakan sumber perjalanan maknawi

  • Ma’rifat intiha’i (akhir), hasil dari ubudiyah

Ma’rifat dengan dua makna tersebut terdapat dalam riwayat, oleh karena itu, tidak ada pertentangan diantara makna ayat yang telah lalu yang mengatakan bahwa tujuan adalah ibadah dan pendapat yang mengatakan bahwa ma’rifat adalah tujuan hakiki para makhluk. pada satu tempat menunjukkan ma’rifat ibtida’i dan pada temapt lain ma’rifat naha’i (akhir). [IM/M]

No comments:

...SOALAN CEPU ALIAS MENYENTAP BENAK....

Adakah Jabatan Imam Allah?

Masalah kepemimpinan merupakan salah satu persoalan yang sangat mendasar di dalam kehidupan manusia. Sejak kecil, setiap orang akan mengenal dan berinteraksi dengan persoalan ini. Kita mengenal istilah orang tua sebagai pemimpin di rumah, guru di sekolah, direktur di perusahaan, komandan di keperwiraan, kepala pemerintahan dan seterusnya. Intinya, persoalan kepemimpinan meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Ia menjadi pondasi dan tulang punggung keberlangsungan spesies manusia dimanapun dan kapanpun mereka berada. Tanpa adanya kepemimpinan, maka seluruh pilar dan sistem kehidupan manusia niscaya porak poranda atau khaos—lawan katanya adalah kosmos, yakni teratur. Hal ini sangat jelas sehingga tak perlu pembuktian lagi. Bahkan dalam skala komunitas yang paling sederhana sekalipun, kalimat “broken home” adalah istilah umum yang ditujukan bagi seorang anak yang tidak merasakan adanya figur pemimpin dirumahnya.

Pada dasarnya, makna pemimpin adalah pengatur, pembimbing, penuntun, pengawas, penegak aturan dan pemberi keputusan sehingga hubungan antara kepemimpinan dan keteraturan adalah perkara yang mustahil bisa dipisahkan. Secara esensial, penataan sekelompok masyarakat sangat bergantung pada dua kunci utama bagi terwujudnya suatu tatanan kehidupan yang harmonis, yakni adanya seperangkat aturan atau hukum dan figur pelaksananya atau penegak aturan tersebut yakni hakim. Untuk itu, munculnya kesadaran dan kebutuhan manusia bagi adanya seperangkat hukum dan keberadaan hakim adalah perkara rasional. Sedangkan penolakan atau penerimaan salah satu darinya saja adalah irasional.

Sehubungan dengan hal ini, secara garis besar agama bisa dimaknai sebagai seperangkat aturan yang diharapkan bisa menata hubungan dan perilaku manusia kepada Tuhan dan alam kehidupannya. Di setiap agama, wacana kepemimpinan adalah topik sentral yang tak bisa disepelekan terutama bagi keberlangsungan ajaran tersebut dan juga penganutnya. Saat ini, agama-agama di dunia umumnya dibagi menjadi dua kelompok. Pertama adalah agama-agama yang melandasi ajarannya berdasarkan wahyu atau “agama samawi”. Dan kedua adalah agama-agama yang melandasi ajarannya berdasarkan kebijakan dan tradisi.

Dalam kaitannya dengan studi kristologi, pembahasan komprehensif ditujukan kepada agama-agama yang mendasari ajarannya melalui wahyu Tuhan atau profetisme, yakni kenabian. Dan pada saat ini, agama-agama seperti Islam, Yahudi dan Kristen adalah ajaran-ajaran yang meyakini tentang keberadaan para nabi Tuhan. Secara substansial, kendati masing-masing agama itu punya banyak perbedaan, tapi secara umum, seluruh agama wahyu ini punya satu simpul yang sama, yaitu adanya pengakuan dari masing-masing agama tersebut bahwa Abraham [Islam: Ibrahim] adalah seorang nabi Tuhan.

Di dalam Alkitab Perjanjian Lama (Yudaisme: Tanakh), Abraham memiliki beberapa gelar yang masing-masing mencerminkan jabatan langit yang diembannya. Hal ini memposisikan Abraham sebagai orang pilihan yang mulia disisi Allah dan juga dihadapan keturunan dan para pengikutnya. Dia disebut sebagai nabi (Kej 20:7) [1], bapa sejumlah besar bangsa (Kej 17:15-16) [2], sahabat Allah (2Taw 20:7; Yes 41: 8) [3], dan yang terpenting dari semua adalah raja-imam (Kej: 12:7; 13:4) [4]. Jabatan Abraham sebagai imam Allah ini memang sangat unik dan berbeda dari kedudukan-kedudukan dia sebelumnya sehingga ada pendapat umum bahwa Kejadian 14 merupakan salah satu bab yang paling sukar dalam Kitab Kejadian.[5] Istilah “raja” dan “imam” yang selanjutnya dipadukan menjadi raja-imam mengindikasikan kepada otoritas penuh yang dijabat oleh Abraham dan keturunannya. Yakni sebagai penguasa dan pemimpin sekaligus. Hal ini otomastis berimplikasi bagi adanya suatu wilayah kekuasaan dan kepemimpinan (Kej 17:8-9) [6]. Adapun peristiwa pemberkatan Abraham sebagai Imam Alah bisa ditemukan dalam Kitab Kejadian di pasal 14:1-24. Peran Abraham sebagai pemimpin atau imam yang dipilih dan dinobatkan secara langsung oleh Allah ini—melalui perantaraan Melkisedek—adalah peristiwa yang tak dinafikan kebenarannya, baik oleh Yahudi maupun Kristen.

Secara etimologi, kata “imam” dalam bahasa Ibraninya di Authorized Version (AV) adalah kohen [7] dan nasiy [8]. Masing-masing dari kata ini di ulang sebanyak 750 kali dan 132 kali. Kedudukan ini juga menandai perjanjian atau covenant antara Abraham dan Allah yang mana melalui keturunannya itu Dia akan mengutus seorang yang diurapiNya atau Mesiah, dan akan menjadi berkat bagi seluruh bangsa di bumi (Kej 18:18).[9] Pengesahan kovenan ini ditandai dengan kewajiban penuh bagi Abraham dan keturunannya untuk mentaati hukum-hukum Ilahi berdasarkan prinsip kebenaran dan keadilan.[10]

Untuk itu, kendati sudah ada tiga jabatan langit yang diberikan kepada Abraham, yakni sebagai nabi atau rasul dan kedudukan khususnya sebagai sahabat Allah. Namun masih ada satu jabatan langit terakhir yang tertinggi, yakni sebagai imam Allah. Kedudukan ini juga dianugerahkan kepada Abraham dan keturunan biologisnya. [11] Adapun dari segi pelaksanaan bahwa meskipun jabatan imam Allah ini munculnya belakangan, namun inti dari ajaran Allah kepada manusia itu sendiri sebenarnya baru bisa direalisasikan, apabila hukum-hukum tersebut telah selesai disyariatkan oleh para nabi. Dan setelah itu, syariat ini akan ditegakkan oleh imam-imam Allah yang berasal dari keturunan biologis Abraham. Fakta ini jelas sangat rasional karena tak ada hakim kecuali setelah adanya hukum. Dan hukum pun mustahil bisa ditegakkan kecuali setelah adanya para hakim.

Pada dasarnya, jabatan imam Allah merupakan satu-satunya jabatan tertinggi dan tunas dari “Pohon Kejadian” yang menjadi tujuan atas penciptaan manusia di bumi. [12] Sedangkan kenabian atau kerasulan adalah cabang dari “Pohon Kejadian” tersebut. Artiya, institusi ilahiah ini secara gradual diawali oleh keimaman—yang menduduki puncak dari hierarki rububiyah itu, kemudian disusul dengan kerasulan atau kenabian. Sedangkan penampakan atas jabatan imam Allah di alam dunia (syahadah) secara hierarki adalah kebalikan dari hakekatnya di alam sorgawi (ghayb). Di alam dunia, kemunculan jabatan-jabatan langit ini diawali lebih dahulu dengan kenabian, kerasulan dan imamah.

Setelah Ibraham wafat, jabatan-jabatan ini terus diwariskan melalui keturunan biologis Ismail dan Ishak yang mana keduanya adalah nabi. Dalam Alkitab dinubuatkan bahwa dari Ismail dan keturunannya akan muncul duabelas orang imam “Tentang Ismael, Aku telah mendengarkan permintaanmu; ia akan Kuberkati, Kubuat beranak cucu dan sangat banyak; ia akan memperanakkan dua belas imam, [13] dan Aku akan membuatnya menjadi umat [14] yang besar (Kej 17:20). Kondisi serupa juga ditampakkan kepada bangsa Israel pada zaman Musa as yang mana dia telah diperintahkan oleh Allah untuk melantik duabelas orang imam yang dikepalai oleh Harun dan keturunannya (Bil 17:1-13). Pelantikan para imam Allah ini menandai kesempurnaan RisalahNya dan puncak dari kovenan antara Allah dan para nabi yang ditugaskan untuk menyampaikan AjaranNya kepada manusia. Bahkan fungsi utama dari pengutusan seorang nabi atau rasul itu adalah untuk menegakkan kerajaan imam dan umat yang kudus.Alkitab dan Al-Qur’an menyatakan:

“Jadi sekarang, jika kamu sungguh-sungguh mendengarkan firman-Ku dan berpegang pada perjanjian-Ku, maka kamu akan menjadi harta kesayangan-Ku sendiri dari antara segala bangsa, sebab Akulah yang empunya seluruh bumi. Kamu akan menjadi bagi-Ku kerajaan imam dan bangsa yang kudus. Inilah semuanya firman yang harus kaukatakan kepada orang Israel. (Keluaran 19:5-6)

“Dan ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu, dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putera Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh”. (QS. 33:7)

Sedangkan mengenai perjanjian [mitsaq] yang dimaksudkan itu, maka Al-Qur’an menjelaskan lagi, “Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian dari Bani Israil dan telah Kami angkat di antara mereka 12 orang pemimpin” (QS. 5:12).

Alhasil, substansi yang ingin ditegaskan dalam pengantar yang ringkas ini bahwa status seorang imam di dalam agama Ibrahimik—menurut tinjauan kristologi—itu memang ada dan dipilih secara mutlak oleh Allah sebagaimana halnya kenabian dan kerasulan. Artinya tidak melalui konsensus. Imam Allah adalah jabatan sorgawi yang kudus dan tidak terbentuk melalui mekanisme pemilihan umum ataupun cara-cara lain yang dilandasi oleh perspektif manusia. Sungguh tidak mengherankan bila Al-Qur’an sendiri pernah menegaskan bahwa keluarga Ibrahim as telah dianugerahi suatu kerajaan yang besar.

“Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya? Sesungguhnya Kami memberikan Kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar”. (QS. 4:54)

Secara historis, pena sejarah umat manusia belum pernah mencatat bahwa keluarga Ibrahim ada yang mendirikan monarki keluarga, misalnya seperti Ibrahimiyah, Ismailiyah, Ishakiyah, Yakubiyah, Yusufiyah, Musaiyah atau Haruniyah dan lain sebagainya. Hal itu disebabkan keluarga Ibrahim lebih dikenang sebagai mata airnya kenabian, kerasulan dan imamah. Jika demikian, maka kerajaan besar apakah yang dimaksudkan oleh al-Qur’an itu? Apabila hal ini tidak merujuk kepada mamlakah kohen atau kerajaan imam,[15] tentu akan sulit menemukan makna yang sebenarnya dari ayat tersebut. Lalu, apabila keluarga Ibrahim telah diwariskan kerajaan besar oleh Allah, maka bagaimanakah dengan nasib keluarga Muhammad saw sendiri? Artinya, apakah mungkin dari keturunan Muhammad saw ini akan ada yang menjadi imam-imam Allah seperi yang pernah terjadi di masa para nabi terdahulu yang berasal dari keluarga Ibrahim? Dan apabila jumlah para imam dari keluarga Ibrahim as ini selalu duabelas orang, maka mungkinkah jumlah para imam dari keluarga Muhammad pun juga demikian?

Sebagai penutup, barangkali hadis Nabi saw yang pernah diriwayatkan dalam Sahih Bukhari[16] ini bisa membawa kita kepada kontemplasi mendalam yang selaras dengan pendewasaan beragama. “Jabir ibn Samurah mengatakan, ‘Saya mendengar Nabi berkata: “Akan ada duabelas pemimpin setelah saya.” Kemudian mengatakan, “Saya mendengar ayah saya mengatakan ia mendengar Nabi berkata, “Mereka berasal dari suku Qurays”’”. Wallahu’alam.

Catatan Kaki:

[1]“Jadi sekarang, kembalikanlah isteri orang itu, sebab dia seorang nabi;”.

[2]“Aku akan memberkatinya, dan dari padanya juga Aku akan memberikan kepadamu seorang anak laki-laki, bahkan Aku akan memberkatinya, sehingga ia menjadi ibu bangsa-bangsa; raja-raja bangsa-bangsa akan lahir dari padanya”.

[3] “Bukankah Engkau Allah kami yang menghalau penduduk tanah ini dari depan umat-Mu Israel, dan memberikannya kepada keturunan Abraham, sahabat-Mu itu, untuk selama-lamanya?”; Dan juga “Tetapi engkau, hai Israel, hamba-Ku, hai Yakub, yang telah Kupilih, keturunan Abraham, yang Kukasihi;”.

[4] ”Ketika itu TUHAN menampakkan diri kepada Abram dan berfirman: ‘Aku akan memberikan negeri ini kepada keturunanmu.’ Maka didirikannya di situ mezbah bagi TUHAN yang telah menampakkan diri kepadanya”; Dan juga “ke tempat mezbah yang dibuatnya dahulu di sana; di situlah Abram memanggil nama TUHAN”.

[5] Lembaga Biblika Indonesia, Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, disunting oleh Dianne Bergant, CSA dan Robert J. Karris, OFM (Jakarta: Penerbit Kanisius, 2002) hal. 52.

[6] “Kepadamu dan kepada keturunanmu akan Kuberikan negeri ini yang kaudiami sebagai orang asing, yakni seluruh tanah Kanaan akan Kuberikan menjadi milikmu untuk selama-lamanya; dan Aku akan menjadi Allah mereka.’ Lagi firman Allah kepada Abraham: ‘Dari pihakmu, engkau harus memegang perjanjian-Ku, engkau dan keturunanmu turun-temurun”.

[7] Kata kohen artinya imam atau pendeta (priest), orang yang memiliki (own), penguasa tertinggi (chief ruler), pejabat (officer), pangeran atau putra mahkota (princes).

[8] Kata nasiy’ atau nasi’ artinya pangeran atau putra mahkota (prince), kapten (captain), ketua (chief), penguasa (ruler), beruap atau menguap (vapours), gubernur pemerintahan (governor), awan (clouds), bagian (part). Secara definisi adalah orang yang ditinggikan (one lifted up) atau imam (leader) dan uap yang terangkat, yakni selalu meninggi dari lainnya (raising mist).

[9] “Oleh keturunanmulah semua bangsa di bumi akan mendapat berkat, karena engkau mendengarkan firman-Ku”.

[10] “Sebab Aku telah memilih dia, supaya diperintahkannya kepada anak-anaknya dan kepada keturunannya supaya tetap hidup menurut jalan yang ditunjukkan TUHAN, dengan melakukan kebenaran dan keadilan, dan supaya TUHAN memenuhi kepada Abraham apa yang dijanjikan-Nya kepadanya.” (Kej 18:19).

[11] Bandingkan juga beberapa kedudukan Nabi Ibrahim as yang disampaikan dalam Al-Qur’an, yaitu: Pertama, sebagai nabi “Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat benar dan seorang Nabi”. (QS. 19:41). Kedua, ayat al-Qur’an ini memaparkan dua sisi, yaitu kedudukan Ibrahim as sebagai rasul dan juga moyang bagi sejumlah besar bangsa yang mana keturunannya itu akan mewarisi jabatan kenabian dan kerasulan “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh dan Ibrahim dan Kami jadikan kepada keturunan keduanya kenabian dan Al Kitab, maka di antara mereka ada yang menerima petunjuk dan banyak di antara mereka yang fasik”. (QS. 57:26). Ketiga, sebagai khalil atau sahabat Allah “Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya”. (QS. 4:125). Keempat, sebagai imam “Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhanya dengan beberapa kalimat, lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: ‘Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu sebagai imam bagi seluruh manusia.’ Ibrahim berkata: ‘dan dari keturunanku.’ Allah berfirman: ‘JanjiKu tidak mengenai orang-orang yang zalim’”. (QS. 2:124).

[12] “Manusia adalah puncak dari seluruh penciptaan. Kelebihan ciptaan ini digarisbawahi oleh kenyataan bahwa hanya manusialah yang diciptakan menurut “gambar” atau “rupa Allah”. [Dikutip dari Lembaga Biblika Indonesia, Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, disunting oleh Dianne Bergant, CSA dan Robert J. Karris, OFM (Jakarta: Penerbit Kanisius, 2002) hal. 35]. Bandingkan dengan ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang kedudukan manusia sebagai khalifah Allah dimuka (QS. 2:30) dan hadis Nabi saw yang mengatakan bahwa Adam diciptakan dari citranya.

[13] Saya sengaja mengganti kata “raja”—seperti yang ada diterjemahan Alkitab LAI—dengan kata “imam”, karena kata “raja” adalah terjemahan yang tidak tepat. Dalam bahasa Ibrani kata “raja” adalah melek, sedangkan Authorized Version (AV) tidak menyebut kata tersebut di ayat ini melek (raja) tapi nasiy’ (imam). Yakni suatu posisi atau jabatan langit tertinggi yang berasal dari Allah saja. Kedudukan ini juga diikrarkan kembali pada zaman Musa, sewaktu Allah memerintahkannya untuk mengangkat duabelas orang pemimpin atau imam dari kalangan bangsa Israel (Bdk. Bil 17:1-6). Seluruh kata yang diterjemahkan “pemimpin” di ayat tersebut di dalam AV adalah nasiy’, persis seperti kedudukan yang diberikan kepada keturunan Ismail di Kej 17:20.

[14] Saya sengaja mengganti kata “bangsa”—seperti yang diterjemahkan dalam Alkitab bahasa Indonesia—dengan kata “umat”, karena kata asli di teks Ibraninya adalah goy yang dalam bahasa Inggris bisa diterjemahkan nation dan people. Walaupun demikian, pengunaan kata “bangsa” bukan berarti keliru, hanya saja dalam kajian mesianisme Yahudi, mereka sering mengaitkan hal ini dalam konteks kebangsaan atau keturunan biologis mereka saja (nationality) yakni partikular. Sedangkan dalam mesianisme Kristen, para penafsirnya telah melepas arti “keturunan biologis” Ibrahim ini sepenuhnya dan menguniversalkan maknanya (people). (lih. Ro 4:16; Ga 3:29). Padahal, janji Allah ini memang terkait dengan kedua sisi tersebut yakni kebangsaan dan juga manusia secara umum.

[15] “Dan Kami jadikan di antara mereka itu imam-imam yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami”. (QS. 32:24; 21:73; 28:5).

[16] Sahih Bukhari, bagian 9, “Kitab al-Maqadam”, hal. 1000. Sementara dalam Musnad Ahmad diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud bahwa ia bertanya kepada Nabi tentang para khalifahnya. Beliau berkata, “Mereka duabelas orang seperti suku bani Isra’il yang dua belas.” (Musnad Ahmad, Jilid 1, hal. 398).