Irfan (III) |
|
on 08-06-2008 14:14 |
Views : 239 |
Dimensi keberadaan manusia
Manusia adalah keberadaan yang mempunyai dua dimensi, pada satu dimensi ia menghadap kepada alam syuhud dan pada dimensi lain ia menghadap alam Ghaib.Manusia akan selalu menuju kesempurnaan Hak ta’ala dengan semua kesempurnaannya, dan setelah kematian ia akan terangkat derajatnya , karena pada alam akhirat makna kesempurnaan berbeda dengan alam duniawi. Disini kepercayaan-kepercayaan manusia kepada keberadaan (zat wujud) mempunyai peran mendasar dalam perbuatan dan tingkah lakunya. Sangat jelas sekali bahwa tujuan seseorang dan perbuatannya untuk menuju tujuan tersebut akan menjadi sebab dan pembentuk karakternya.
Sebagai contoh: Ketika seseorang berkhidmat kepada makhluq dan berdasarkan hal tersebut ia bertindak, maka tujuan akan menjadi pembentuk karakternya. Manusia mencintai perbuatannya karena perbuatan tadi akan membentuk karakter dia sendiri. Oleh karena itu kalau ia berkeyakinan bahwasannya perbuatannya tadi akan tidak terbatas menguntungkan dia maka hal tersebut akan menjadi pendukung yang sangat kuat untuk melakukan perbuatan yang lain dalam membentuk manusia yang terbatas pada dunia ini.
Sebetulnya ia telah menjadikan kekosongan sebagai pendukungnya, seseorang yang yang mana perjalanan hidupnya akan di akhiri dengan kematian dan akan kembali kepada alam (jamadat) dan tidak lebih dari itu, maka bagaimana ia bisa berkhidmat pada keberadaan haiwani dan menjadikannya pendukung terhadap perbuatan-perbuatannya.Pada hakekat perbuatan-perbuatan seperti ini dengan nama khidmat kepada manusia, egois dan khidmat kepada diri sendiri.
Tempat terciptanya manusia di alam Pencipta
Ketika manusia mempunyai tujuan dan tujuan tadi adalah Hak Ta’ala (Allah) , maka alam syuhudpun akan mempunyai tujuan. Sebagai contoh ketika seseorang sedang meminum air dan kita bertanya: “Kenapa anda meminum air?”. Ia akan menjawab: “Saya haus dan saya minum untuk menghilangkan haus”, dan kita bertanya lagi:”Kenapa anda menghilangkan haus?” , ia akan menjawab:”Untuk menjaga keselamatan/kesehatan”, dan sekali lagi kita bertanya:”Kenapa menjaga keselamatan?”. Ia akan menjawab:”Untuk tetap hidup”, dan pada pertanyaan tadi:”Apa tujuan dari menjaga kehidupan?”, maka jawabannya:”Saya ingin menikmati kehidupan”. Oleh karena itu “kenikmatan” adalah tujuan sebenarnya(bizzat).
Manusia dalam penciptaan dirinya adalah tujuan perantara dan hakekat tujuan dan hadafnya itu sendiri adalah penciptaan Zat Muqaddas Allah Swt itu sendiri.Seperti yang telah di terangkan di hadist ini (Ahkakul Hak: jilid:1 hal: 340: Yang berarti:”Wahai Bani Adam, Aku telah ciptakan segala sesuatu untukmu dan Ku ciptakanmu untukku”. Pada pembahasan lain adalah satu-satunya makhluk yang membuat keberadaan alam menjadi bertujuan, akan tetapi gerakan perputaran dan dauri itu sendiri pun memberi makna pada dunia ini, oleh karena itu gerakan daur yang merupakan gerakan perputaran mengalami kenaikan, akan tetapi mengapa gerakan dalam (inner) manusia?. Dengan dalil perputaran gerakan cinta, perjalanan cinta mempunyai bentuk lingkaran, gerakan yang mana bersumber dari cinta (eshq/mahabbah) daur dan inner-motion, akan tetapi tetap bias mengalami penurunan dan kenaikan. Al-Baqarah /156 :” inna lillah wa inna ilaihi rojiun”. (Sesungguhnya kita dariNya dan kepadaNya kita kembali).
Jalan menuju alam ghaib
Sekarang kita melihat bagaimana manusia berpindah dari alam syuhud menuju alam ghaib, seperti yang telah kita jelaskan bahwa manusia mempunyai dua dimensi, sisi maknawi manusia yang siap terbang menuju alam di atas tabiat (ma fawq tabiat), ia mampu memperluas keberadaannya di alam ini, dengan kata lain mempunyai gerakan kesempurnaan, tentunya dengan syarat dasar yaitu sampai dengan alam (ma fawq tabiat) mengadakan kesejajaran dengan alam-alam yang lain.
Keberadaan material dan jismani dengan alam yang bukan material dan mujarrad, bukan dari tahapan yang sama , di karenakan hal itu selama manusia belum sampai kepada maqam tajarrud maka ia akan di haramkan dari syuhud alam mujaradat. Semua pembahasan yang telah kita bahas untuk memulai pembahasan baru yaitu ma’rifat. Ma’rifat adalah mula dari segala sesuatu, hal ini yang akan membuat prialaku kita terhidayati. Seperti yang telah di katakan oleh Imam Ali (as) di buku Mizzanul hikmah jil: 6 hal :13 : “Almarifatu nurul qalb” , yang berarti ma’rifah adalah cahaya hati.
Yaitu cahaya hati akan menerangi jalan yang akan kita tempuh menuju kesempurnaan. Beliau bersabda pada Nahjul Balaghah khutbah pertama : “Awwalu ddin ma’rifah”, yaitu awal dari agama ialah mengenal Haq Taala (Allah).
Ma’rifat Allah sebagai kewajiban
Di riwayatkan dari Imam Sodiq (as)(dalam hadits qudsi): “Allah (swt) berfirman: “Aku telah menentukan sepuluh kewajiban kepada hamba-hambaKu dan apabila hambaKu mengetahuinya maka ia akan Kuberi syurgaKu”. “Dan yang pertama adalah ma’rifatulaah ( mengetahui Allah)”.
Terkadang di ta’birkan bahwa ma’rifatullah menjadi hal sangat wajib, Imam Shadiq (as) berkata kepada Muawiyah bin Wahab:”Wahai Muawiyah, alangkah jeleknya bagi orang yang sudah berumur 60 atau 70 tahun yang telah mendapat segala sesuatu dari Allah Swt dan hidup dariNya akan tetapi ia tidak mengetahui Allah Swt sebagaimana semestinya. Sesungguhnya sesuatu yang paling mulia dan yang paling wajib adalah mengenal Tuhan dan mengakui bahwasannya ia adalah hambaNya,
Ma’rifat adalah muqaddimah dari segala amalan
Dalam riwayat telah di tekankan bahwa muqaddimah dari amalan amalan soleh adalah ma’rifah, suatu riwayat telah di bawakan disini dari Imam Shadiq (as):”Aku bertanya:”Perbuatan apakah yang lebih mulia dari ma’rifah?. Beliau menjawab: “Dari segi mulia , setelah marifat , tidak ada yang melebihi solat”.
Yaitu keutamaan ma’rifat telah di wajibkan mendahului semua a’mal (perbuatan-perbuatan), oleh karena itu pertanyaan tadi : “Perbuatan apa yang lebih utama dari ma’rifat?”. Dari pertanyaan tadi sudah menentukan bahwa ma’rifat tentu lebih utama dari perbuatan-perbuatan yang lain.
Telah di wajibkan keutamaan ma’rifat lebih dari segala sesuatu, setelah ma’rifat dan solat tidak ada yang setingkat zakat. Dan setelah itu tidak ada yang setingkat dengan puasa dan setelah itu tidak ada yang setingkat dengan hají. Dari riwayat-riwayat ini telah di ambil kesimpulannya bahwa dahulukanlah ma’rifatullah kemudian amalan-amalan soleh.
Dalam Islam perbuatan baik seseorang mengikuti ma’rifat, tanpa ma’rifat perbuatan tadi menjadi kosong , tingkat kesolehan amal dan ma’rifat Allah harus sesuai, semakin baik kita mengenal Allah semakin baik amalan soleh kita. Dua riwayat yang mana salah satu darinya telah membahas tentang akal, seseorang datang menghadap Imam Shadiq (as) dan menceritakan tentang ibadat seseorang yang ia telah lihat, kemudian Imam bertanya:”Bagaimana dengan akalnya?”, kemudian ia menjawab:”Aku tidak tahu”, kemudian Imam Shadiq as berkata:”Sesungguhnya pahala mengimbangi akalnya”.
Dalam kata lain, Imam as mengatakan bahwa kita tidak bisa melihat seseorang dari besar perbuatannya, karena pengelihatan yang seperti ini adalah pengelihatan materi. Oleh karena itu dalam kemuliaan suatu perbuatan, ma’rifat , perasaan , dan cara bagaimana ia menlakukan hal tersebut mempunyai peran penentu dalam perbuatannya.
Di riwayatkan bahwa Imam Shadiq (as) menceritakan seorang Bani Israel yang selalu beribadah siang dan malam, kemudian malaikat menanyakan seberapa banyak pahala yang ia akan dapat?, Allah (swt) berfirman:”ketika kalian mendengar khabar tentang amal dan perbuatan seseorang maka lihatlah akalnya sesengguhnya pahala itu seukuran dengan akalnya”.(Hadits Qudsi). Ishak ibn Ammar menukil satu riwayat dari Imam Shadiq (as):”Ia berkata : Aku mempunyai seorang tetangga yang banyak solat dan banyak bersadekah dan banyak menunaikan ibadah haji”, kemudian Imam as bertanya: “Bagaimana dengan akalnya?”. Ia menjawab ia tidak berakal bagus, Kemudian Imam Shadiq (as) menjawab:”Maka amalan-amalan itu tidak akan menaikkan maqomnya”.
Dalam riwayat lainnya Imam Sodiq (as) menukil hadis dari Rasul Saw:”Ketika kalian melihat seseorang yang banyak melakukan solat dan sering berpuasa maka janganlah kalian bangga sebelum kalian mengetahuu akalnya”. Ini semua telah memastikan bahwa akal dan memastikan keutamaan ma’rifat, dalam riwayat Imam Sodiq (as) berkata : Allah Swt telah memberikan kepada manusia akal sebagai keindahan dan cahaya, di karenakan akal manusia mengetahui bahwa ia ádala hamba dari Penciptanya , dan Ia yang mengatur segala sesuatu.
Dan dari riwayat riwayat bagian 2 membahas keutamaan ilmu dan alim, seperti yang sering kita dengar dari riwayat berikut: “Tidurnya seorang alim adalah ibadah”, “Melihat wajah seorang alim adalah ibadah”. “Seorang alim yang berguna bagi masyarakat lebih baik dari 70 ribu hamba”. Tentunya taat di sertai oleh ma’rifat , dan yang pasti juga ma’siatnya seseorang yang telah mengetahui (ma’rifat) lebih buruk dari ma’siatnya orang jahil.
Dalam riwayat Imam Shadiq (as): “Wahai anak-anakku lihatlah kedudukan pengikutku dengan melihat ma’rifatnya, karena aku melihat di kitab Ali (as) tertulis bahwa keutamaan seseorang terlihat dari ma’rifatnya”. Tapi kita bisa mempermasalahkan hal ini karena di Quran di katakan tolak ukur bukan berdasarkan ma’rifat akan tetapi berdasarkan Taqwa, seperti ayat berikut (Inna aqromakum indallah atkokum) oleh karena itu bagaimana bisa ma’rifat sebagai tolak ukur seseorang. Jawaban hal ini: Taqwa adalah hasil dari perbuatan soleh seseorang, iman, keadaan untuk ruh manusia yang membuatnya tertarik kepada perbuatan-perbuatan baik dan membenci perbuatan-perbuatan buruk, oleh karena itu akar dari ketaqwaan adalah ma’rifat. Ma’rifat adalah suatu hal yang mendasar, sangat berharga dan tidak ada yang dapat menggantikannya. Semua kebaikan bersumber pada ma’rifat. Imam sodik dalam hal ini bersabda:”Taqwa mengalir dari sumber ma’rifat dan semua kebaikan membutuhkan taqwa dan taqwa membutuhkan ma’rifaat kepada tuhan yang benar”.
Pertanyaan lain yang timbul mengenai hal ini adalah: “Jika ujung dan tujuan yang hakiki adalah ma’rifat dan pengenalan terhadap Tuhan, maka akan bertentangan dengan ayat (wa ma kholaqtu al-jinna wal insa illa liya’budun- tidak Kuciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah). Jawabnya adalah:”Yang pertama adalah berkenaan dengan ayat ini banyak hadis yang mengatakan bahwa makna ubudiah disini adalah ma’rifat. Dibawah ayat ini Imam Shadiq as mengatakan bahwa Imam Sajjad as bersabda: “Wahai manusia! Allah Azza wa Jalla tidak menciptakan abdinya kecuali untuk mengenal dirinya”. Setelah itu, imam membaca ayat tersebut dan berkata: ”Maksud dari liya’budun di ayat ini adalah liya’rafun”.
Yang kedua adalah kita dapat mengambil 2 (dua) poin dari ayat tersebut:
-
Penciptaan manusia bukan tidak memiliki tujuan dan pengecualian yang ada dalam ayat menunjukkan “inhisor” (tidak ada yang lain) makna dari ayat itu:”Bukanlah Aku tidak menciptakan manusia dan jin agar Aku bisa menjadi sesembahan mereka”, tapi maknanya adalah:”Aku tidak menciptakan selain untuk ibadah”. Penjelasannya adalah seperti yang sudah berlalu bahwa tujuan dibagi menjadi wasatiyah dan hakikiyah.
-
Pada ayat ini salah satu dari alat yang bisa menyampaikan manusia kepada tujuan hakikinya, yaitu ma’rifat adalah ibadah karena ibadah datang dari ma’rifat. Sebenarnya ayat ini menisbahkan tujuan pada hasil yang akan didapatkan oleh manusia (ketika dia beribadah), meskipun ketika kita mengatakan bahwa tujuan hakiki adalah ma’rifat, kesempurnaan dan keuntungan manusia juga terkandung didalamnya, karena ma’rifat bukan hanya alat untuk sampai pada hak, akan tetapi dapat diartikan bahwa ma’rifat adalah tujuan itu sendiri.
Sebuah hadis qudsi mengatakan: “Aku adalah harta karun yang tersembunyi dan ingin diketahui maka Aku ciptakan makhluk agar Aku dapat diketahui”. Dari ayat ini kita dapat mengambil kesimpulan bahwa satu-satunya makhluk yang dapat menyampaikan dirinya pada kesempurnaan adalah manusia. Penting untuk mengingat satu poin bahwa ada dua macam ma’rifat:
-
Ma’rifat ibtida’i (permulaan) yang merupakan sumber perjalanan maknawi
-
Ma’rifat intiha’i (akhir), hasil dari ubudiyah
Ma’rifat dengan dua makna tersebut terdapat dalam riwayat, oleh karena itu, tidak ada pertentangan diantara makna ayat yang telah lalu yang mengatakan bahwa tujuan adalah ibadah dan pendapat yang mengatakan bahwa ma’rifat adalah tujuan hakiki para makhluk. pada satu tempat menunjukkan ma’rifat ibtida’i dan pada temapt lain ma’rifat naha’i (akhir). [IM/M]
No comments:
Post a Comment