Golongan Pelaku Puasa Menurut Konsumsi Makanan |
Ditulis Oleh Malaki Tabrizi | |
Kamis, 11 September 2008 | |
DARI sudut pandang jenis makanan dan minuman, para pelaku puasa dapat digolongkan sebagai berikut: Pertama, para pelaku puasa yang makanan dan minumannya disediakan melalui sarana-sarana haram. Mereka tidak ubahnya seperti pencuri yang membawa barang-barang milik orang lain di atas punggung mereka. Sebenarnya, pada akhirnya, manfaat barang-barang itu akan kembali ke tangan si pemilik. Pahala puasa dari orang-orang semacam ini diberikan kepada pemilik makanan dan minuman yang kecurian. Sedangkan si pencuri hanya mendapatkan kelelahan dan keletihan dari lapar dan dahaganya. Bagi para pelaku kezaliman semacam ini tidak ada satu pun yang tersisa selain kemarahan dan murka Allah. Keadaan mereka persis seperti orang-orang yang menjalankan ziarah ke Makkah dengan mengendarai hewan curian. Pahala ibadah hajinya akan sampai ke pemilik hewan tersebut sementara keletihan dan kelelahan tetap menghinggapi si pencuri. Kedua, orang-orang yang berpuasa lalu berbuka dengan makanan dan minuman yang terdiri dari bahan-bahan yang meragukan atau syubhat (yakni halal atau haramnya tidak diketahui pasti). Mereka dapat dikelompokkan menjadi dua: Kelompok pertama adalah mereka yang berpuasa dengan mengonsumsi setiap menu makanan dan minuman dari yang jelas kehalalannya. Sedangkan kelompok kedua adalah mereka yang mengonsumsi setiap daftar makanan dan minuman yang jelas haramnya. Orang-orang ini, dengan variasi yang tak mencolok, sama seperti orang berpuasa yang makan dan minumnya disiapkan melalui sarana-sarana haram. Ketiga, ialah mereka yang makan dan minumnya diperoleh dari sarana-sarana halal, tetapi berlebihan dalam mengkonsumsi baik dalam kualitas maupun kuantitas. Yakni mereka memenuhi meja makan dengan hidangan-hidangan lezat aneka warna di saat bersahur dan berbuka, serta membiarkan perut mereka kekenyangan. Nasib mereka menyerupai nasib orang kikir yang berambisi rendah hendak menghibur kekasih yang dicintainya dengan sesuatu yang tak disukai, padahal sang kekasih menginginkan si pencinta hanya memperhatikan dirinya saja dan menikmati persahabatannya. Orang-orang kikir yang ambisius dan rendah semacam ini tidak mempunyai kejujuran dan kelayakan untuk diundang menuju pertemuan dengan Sang Kekasih. Mereka hanya pantas dihibur oleh hiburan remeh dari mereka sendiri, karena mereka telah menjadi hamba sahaya perut dan bukan hamba Allah. Kiranya lebih tepat untuk mengatakan bahwa mereka adalah budak perut ketimbang menyebut mereka sebagai hamba Allah Swt. Keempat, mereka yang berpuasa—yang dalam mutu dan jumlah konsumsi makanan lebih banyak dibandingkan kelompok sebelumnya—yaitu sampai ke tingkat kemewahan. Keadaan mereka persis seperti orang berpuasa yang makanan dan minumannya mengandung sarana-sarana haram, sebab kemubaziran dan pemborosan adalah terlarang dan setara dengan dosa. Karena itu, kiranya lebih tepat untuk menilai orang-orang seperti ini sebagai orang yang durhaka atau pendosa ketimbang menyebut mereka sebagai hamba Allah Swt yang taat. Dan kelima, ialah mereka yang berpuasa yang makanan-minumannya dari yang halal sementara cara mengkonsumsinya pun diperbolehkan. Mereka tidak membiarkan bentuk kesia-siaan dan kemewahan apapun. Mereka tidak memenuhi meja hidangan mereka dengan hidangan-hidangan lezat aneka warna, tidak makan berlebihan dan tidak mengisi perut sepenuh-penuhnya. Mereka membatasi diri dengan hanya mengonsumsi satu jenis makanan saja dan mencegah diri dari melahap makanan karena kesenangan. Bagi mereka, Allah akan membalas dengan karunia yang paling baik. Dengan kemurahan-Nya yang tiada batas Allah Swt membalas mereka, yang tak seorang pun dapat mengetahui dan membayangkan jenis pahala khusus apa yang telah dikumpulkan untuk mereka. Penggolongan Pelaku Puasa Berdasarkan Makanan di Waktu Sahur dan Berbuka Mereka yang berpuasa, dari sudut pandang niat untuk makan sahur dan berbuka, bisa digolongkan sebagai berikut: 1. Mereka yang tidak melakukan niat khusus untuk makan sahur dan berbuka, yakni hanya memata-mata menikmati cita rasa makanan dan minuman, seperti orang yang sedang membayar kerugian rasa haus dan lapar selama berpuasa. 2. Mereka yang makan sahur dan berbuka dengan mengedepankan kepuasan cita rasa makanan dan membayar kerugian rasa haus dan lapar, tetapi di saat yang sama juga berniat seperti yang disunahkan agama (mustahab). Sikap mengikuti sunah agama ini akan membantu mereka dalam beribadah. 3. Mereka yang makan sahur dan berbuka mengikuti apa yang disunahkan. Orang seperti ini disukai Allah Swt, dan ini akan membantunya dalam beribadah. Selain itu, mereka juga memperhatikan etiket-etiket khusus dari perintah-perintah seputar sahur dan berbuka—etiket-etiket seperti membaca al-Quran, melakukan doa-doa tertentu sebelum dan sesudah bersahur atau berbuka, dan selama melakukan keduanya mereka tidak lupa memuji dan bersyukur kepada Allah Swt. Adab Makan di Waktu Sahur dan Berbuka Salah satu adab paling penting sebelum makan sahur maupun berbuka puasa adalah membaca Surah al-Qadr. Juga, membaca doa khusus: Allâhuma rabb al-nûr al-'azhîm... (Allah pemilik cahaya yang agung....) seperti tercantum dalam buku al-Iqbal yang ditulis oleh Sayyid bin Thawus. Tentang doa tersebut, ulama terkemuka ini meriwayatkan dari Imam Ja’far Shadiq as bahwa Rasulullah saw telah menganjurkan kepada Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as untuk membaca doa di atas, yang telah datang kepada beliau malaikat Jibril seraya berkata: “Barangsiapa di bulan suci Ramadan sebelum berbuka membaca doa ini, Allah mengabulkan doanya, menerima shalat dan puasanya, memenuhi sepuluh kebutuhannya, mengampuni dosa-dosanya, menghilangkan kesedihannya, melembutkan hatinya, memberinya keinginan-keinginan Ilahiah, menjadikan perbuatannya naik ke atas bersama perbuatan-perbuatan baik para nabi dan wali yang saleh, dan pada Hari Pengadilan membawanya ke hadapan-Nya dengan paras yang bersinar bak bulan purnama.” Ulasan Jelaslah, intisari dari hadis-hadis di atas menjelaskan tentang makan berpuasa, yang tidak semata-mata berpantang dari makanan dan minuman, tetapi juga agar yang berpuasa mampu menolak perbuatan sia-sia dan dosa. Karena sebagian dosa, seperti menggunjing, berdusta, pandangan syahwat, mengutuk, dan penindasan—baik sedikit ataupun banyak—akan membatalkan puasa seperti halnya makan dan minum. Oleh sebab itu, orang yang berpuasa harus berpantang dari semua hal buruk tersebut, dan selama berpuasa harus terus berusaha menjaga agar mata, telinga, tangan, kaki, dan anggota tubuh lainnya turut melakukan puasa, dan secara totalitas mencegah diri dari melakukan tindakan-tindakan yang dilarang agama. Bahkan mereka harus menghindar dari berbicara berlebihan, dan bersikap lebih banyak diam agar hari-hari puasa yang mereka lalui menjadi berbeda dengan hari-hari biasa lainnya dalam makan, minum, dan lain-lain. Ia seharusnya tidak melupakan ucapan Nabi suci Muhammad saw yang berkata: “Menolak makan dan minum adalah sesuatu yang paling mudah yang telah diwajibkan kepada para pelaku puasa.” Sekiranya para ulama dan fukaha menilai puasa dari seorang yang masih juga berbuat satu dosa tertentu sebagai hal yang benar (yakni tidak membatalkan puasa secara lahiriah, penerj.), adalah semata-mata hanya dilihat dari pertimbangan bahwa orang tersebut tidak wajib lagi mengulang atau meng-qadha puasanya. Tetapi, apa yang dimaksud dengan benarnya suatu puasa, sebagaimana diterangkan dalam hadis-hadis, sepenuhnya tergantung pada penerimaan Allah Swt. Dalam banyak kasus seorang yang berpuasa bisa saja melakukan satu jenis puasa tertentu yang sejalan dengan perintah-perintah lahiriah agama sebagaimana dituntunkan oleh seorang fakih sehingga tidak wajib lagi baginya melakukan puasa qadha di waktu yang lain. Tetapi, apakah puasa yang dilakukan tersebut diterima oleh Allah Swt? Di sinilah letak substansi permasalahannya. Kebenaran dan kesempurnaan puasa yang disediakan Allah Swt ialah agar mukmin yang menunaikannya bisa bermikraj. Dalam berpuasa itu si mukmin mesti menyertainya dengan berpantang dari semua dosa jasmani dan dosa batini (hati). Dengan kata lain, ia harus bisa mencegah diri untuk tidak mengingat apapun selain hanya mengingat Allah Swt. Karena, tujuan puasa yang paling penting dan utama ialah mengenyahkan segala sesuatu selain Allah Swt. Hanya dengan selalu mengingat Allah sajalah kita akan terhindar dari dosa. Dalam ungkapan al-Quran ditegaskan, bahwa diwajibkannya bagi mukminin berpuasa ialah agar (mereka) bertakwa. Seseorang yang benar-benar telah menemukan kebajikan dan hakikat puasa akan terus menerus berpantang dari segala jenis dosa dan kedurhakaan. Jika tidak, maka bagaimana ia mesti mempertanggungjawabkan mata, telinga, lidah, dan anggota tubuh lain, serta hati dan jiwa di Hari Pengadilan kelak? Mengapa anggota jasmani dan jiwanya tidak ikut melakukan puasa, dan semata-mata hanya berhenti dari makan dan minum sekadar untuk membebaskan dirinya dari menjalankan puasa qadha di waktu yang lain. Berhati-hatilah, sebab perbuatan seperti itu tidak akan menjadikannya kebal dan luput dari perhitungan dan hukuman Allah di Hari Pengadilan. [Malaki Tabrizi, Puasa Lahir Puasa Batin, Jakarta: Al-Huda] |
No comments:
Post a Comment