RTCCTV-Live kuliah-Prerecording majlis-

Tuesday, November 18, 2008

Pelaku Puasa menurut kosumsi makanan

Golongan Pelaku Puasa Menurut Konsumsi Makanan Cetak E-mail
Ditulis Oleh Malaki Tabrizi
Kamis, 11 September 2008
ImageDARI sudut pandang jenis makanan dan minuman, para pelaku puasa dapat digolongkan sebagai berikut:

Pertama
, para pelaku puasa yang makanan dan minumannya disediakan melalui sarana-sarana haram. Mereka tidak ubahnya seperti pencuri yang membawa barang-barang milik orang lain di atas punggung mereka. Sebenarnya, pada akhirnya, manfaat barang-barang itu akan kembali ke tangan si pemilik. Pahala puasa dari orang-orang semacam ini diberikan kepada pemilik makanan dan minuman yang kecurian. Sedangkan si pencuri hanya mendapatkan kelelahan dan keletihan dari lapar dan dahaganya. Bagi para pelaku kezaliman semacam ini tidak ada satu pun yang tersisa selain kemarahan dan murka Allah. Keadaan mereka persis seperti orang-orang yang menjalankan ziarah ke Makkah dengan mengendarai hewan curian. Pahala ibadah hajinya akan sampai ke pemilik hewan tersebut sementara keletihan dan kelelahan tetap menghinggapi si pencuri.

Kedua
, orang-orang yang berpuasa lalu berbuka dengan makanan dan minuman yang terdiri dari bahan-bahan yang meragukan atau syubhat (yakni halal atau haramnya tidak diketahui pasti). Mereka dapat dikelompokkan menjadi dua:

Kelompok pertama adalah mereka yang berpuasa dengan mengonsumsi setiap menu makanan dan minuman dari yang jelas kehalalannya. Sedangkan kelompok kedua adalah mereka yang mengonsumsi setiap daftar makanan dan minuman yang jelas haramnya. Orang-orang ini, dengan variasi yang tak mencolok, sama seperti orang berpuasa yang makan dan minumnya disiapkan melalui sarana-sarana haram.

Ketiga
, ialah mereka yang makan dan minumnya diperoleh dari sarana-sarana halal, tetapi berlebihan dalam mengkonsumsi baik dalam kualitas maupun kuantitas. Yakni mereka memenuhi meja makan dengan hidangan-hidangan lezat aneka warna di saat bersahur dan berbuka, serta membiarkan perut mereka kekenyangan. Nasib mereka menyerupai nasib orang kikir yang berambisi rendah hendak menghibur kekasih yang dicintainya dengan sesuatu yang tak disukai, padahal sang kekasih menginginkan si pencinta hanya memperhatikan dirinya saja dan menikmati persahabatannya.

Orang-orang kikir yang ambisius dan rendah semacam ini tidak mempunyai kejujuran dan kelayakan untuk diundang menuju pertemuan dengan Sang Kekasih. Mereka hanya pantas dihibur oleh hiburan remeh dari mereka sendiri, karena mereka telah menjadi hamba sahaya perut dan bukan hamba Allah. Kiranya lebih tepat untuk mengatakan bahwa mereka adalah budak perut ketimbang menyebut mereka sebagai hamba Allah Swt.

Keempat
, mereka yang berpuasa—yang dalam mutu dan jumlah konsumsi makanan lebih banyak dibandingkan kelompok sebelumnya—yaitu sampai ke tingkat kemewahan. Keadaan mereka persis seperti orang berpuasa yang makanan dan minumannya mengandung sarana-sarana haram, sebab kemubaziran dan pemborosan adalah terlarang dan setara dengan dosa. Karena itu, kiranya lebih tepat untuk menilai orang-orang seperti ini sebagai orang yang durhaka atau pendosa ketimbang menyebut mereka sebagai hamba Allah Swt yang taat.

Dan kelima, ialah mereka yang berpuasa yang makanan-minumannya dari yang halal sementara cara mengkonsumsinya pun diperbolehkan. Mereka tidak membiarkan bentuk kesia-siaan dan kemewahan apapun. Mereka tidak memenuhi meja hidangan mereka dengan hidangan-hidangan lezat aneka warna, tidak makan berlebihan dan tidak mengisi perut sepenuh-penuhnya.

Mereka membatasi diri dengan hanya mengonsumsi satu jenis makanan saja dan mencegah diri dari melahap makanan karena kesenangan. Bagi mereka, Allah akan membalas dengan karunia yang paling baik. Dengan kemurahan-Nya yang tiada batas Allah Swt membalas mereka, yang tak seorang pun dapat mengetahui dan membayangkan jenis pahala khusus apa yang telah dikumpulkan untuk mereka.
Penggolongan Pelaku Puasa Berdasarkan Makanan di Waktu Sahur dan Berbuka

Mereka yang berpuasa, dari sudut pandang niat untuk makan sahur dan berbuka, bisa digolongkan sebagai berikut:

1. Mereka yang tidak melakukan niat khusus untuk makan sahur dan berbuka, yakni hanya memata-mata menikmati cita rasa makanan dan minuman, seperti orang yang sedang membayar kerugian rasa haus dan lapar selama berpuasa.

2. Mereka yang makan sahur dan berbuka dengan mengedepankan kepuasan cita rasa makanan dan membayar kerugian rasa haus dan lapar, tetapi di saat yang sama juga berniat seperti yang disunahkan agama (mustahab). Sikap mengikuti sunah agama ini akan membantu mereka dalam beribadah.

3. Mereka yang makan sahur dan berbuka mengikuti apa yang disunahkan. Orang seperti ini disukai Allah Swt, dan ini akan membantunya dalam beribadah. Selain itu, mereka juga memperhatikan etiket-etiket khusus dari perintah-perintah seputar sahur dan berbuka—etiket-etiket seperti membaca al-Quran, melakukan doa-doa tertentu sebelum dan sesudah bersahur atau berbuka, dan selama melakukan keduanya mereka tidak lupa memuji dan bersyukur kepada Allah Swt.
Adab Makan di Waktu Sahur dan Berbuka

Salah satu adab paling penting sebelum makan sahur maupun berbuka puasa adalah membaca Surah al-Qadr. Juga, membaca doa khusus: Allâhuma rabb al-nûr al-'azhîm... (Allah pemilik cahaya yang agung....) seperti tercantum dalam buku al-Iqbal yang ditulis oleh Sayyid bin Thawus.

Tentang doa tersebut, ulama terkemuka ini meriwayatkan dari Imam Ja’far Shadiq as bahwa Rasulullah saw telah menganjurkan kepada Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as untuk membaca doa di atas, yang telah datang kepada beliau malaikat Jibril seraya berkata:
“Barangsiapa di bulan suci Ramadan sebelum berbuka membaca doa ini, Allah mengabulkan doanya, menerima shalat dan puasanya, memenuhi sepuluh kebutuhannya, mengampuni dosa-dosanya, menghilangkan kesedihannya, melembutkan hatinya, memberinya keinginan-keinginan Ilahiah, menjadikan perbuatannya naik ke atas bersama perbuatan-perbuatan baik para nabi dan wali yang saleh, dan pada Hari Pengadilan membawanya ke hadapan-Nya dengan paras yang bersinar bak bulan purnama.”
Ulasan

Jelaslah, intisari dari hadis-hadis di atas menjelaskan tentang makan berpuasa, yang tidak semata-mata berpantang dari makanan dan minuman, tetapi juga agar yang berpuasa mampu menolak perbuatan sia-sia dan dosa. Karena sebagian dosa, seperti menggunjing, berdusta, pandangan syahwat, mengutuk, dan penindasan—baik sedikit ataupun banyak—akan membatalkan puasa seperti halnya makan dan minum.

Oleh sebab itu, orang yang berpuasa harus berpantang dari semua hal buruk tersebut, dan selama berpuasa harus terus berusaha menjaga agar mata, telinga, tangan, kaki, dan anggota tubuh lainnya turut melakukan puasa, dan secara totalitas mencegah diri dari melakukan tindakan-tindakan yang dilarang agama. Bahkan mereka harus menghindar dari berbicara berlebihan, dan bersikap lebih banyak diam agar hari-hari puasa yang mereka lalui menjadi berbeda dengan hari-hari biasa lainnya dalam makan, minum, dan lain-lain. Ia seharusnya tidak melupakan ucapan Nabi suci Muhammad saw yang berkata: “Menolak makan dan minum adalah sesuatu yang paling mudah yang telah diwajibkan kepada para pelaku puasa.”

ImageSekiranya para ulama dan fukaha menilai puasa dari seorang yang masih juga berbuat satu dosa tertentu sebagai hal yang benar (yakni tidak membatalkan puasa secara lahiriah, penerj.), adalah semata-mata hanya dilihat dari pertimbangan bahwa orang tersebut tidak wajib lagi mengulang atau meng-qadha puasanya.

Tetapi, apa yang dimaksud dengan benarnya suatu puasa, sebagaimana diterangkan dalam hadis-hadis, sepenuhnya tergantung pada penerimaan Allah Swt. Dalam banyak kasus seorang yang berpuasa bisa saja melakukan satu jenis puasa tertentu yang sejalan dengan perintah-perintah lahiriah agama sebagaimana dituntunkan oleh seorang fakih sehingga tidak wajib lagi baginya melakukan puasa qadha di waktu yang lain. Tetapi, apakah puasa yang dilakukan tersebut diterima oleh Allah Swt? Di sinilah letak substansi permasalahannya.

Kebenaran dan kesempurnaan puasa yang disediakan Allah Swt ialah agar mukmin yang menunaikannya bisa bermikraj. Dalam berpuasa itu si mukmin mesti menyertainya dengan berpantang dari semua dosa jasmani dan dosa batini (hati).
Dengan kata lain, ia harus bisa mencegah diri untuk tidak mengingat apapun selain hanya mengingat Allah Swt. Karena, tujuan puasa yang paling penting dan utama ialah mengenyahkan segala sesuatu selain Allah Swt. Hanya dengan selalu mengingat Allah sajalah kita akan terhindar dari dosa. Dalam ungkapan al-Quran ditegaskan, bahwa diwajibkannya bagi mukminin berpuasa ialah agar (mereka) bertakwa.

Seseorang yang benar-benar telah menemukan kebajikan dan hakikat puasa akan terus menerus berpantang dari segala jenis dosa dan kedurhakaan. Jika tidak, maka bagaimana ia mesti mempertanggungjawabkan mata, telinga, lidah, dan anggota tubuh lain, serta hati dan jiwa di Hari Pengadilan kelak?

Mengapa anggota jasmani dan jiwanya tidak ikut melakukan puasa, dan semata-mata hanya berhenti dari makan dan minum sekadar untuk membebaskan dirinya dari menjalankan puasa qadha di waktu yang lain. Berhati-hatilah, sebab perbuatan seperti itu tidak akan menjadikannya kebal dan luput dari perhitungan dan hukuman Allah di Hari Pengadilan.

[Malaki Tabrizi, Puasa Lahir Puasa Batin, Jakarta: Al-Huda]

No comments:

...SOALAN CEPU ALIAS MENYENTAP BENAK....

Adakah Jabatan Imam Allah?

Masalah kepemimpinan merupakan salah satu persoalan yang sangat mendasar di dalam kehidupan manusia. Sejak kecil, setiap orang akan mengenal dan berinteraksi dengan persoalan ini. Kita mengenal istilah orang tua sebagai pemimpin di rumah, guru di sekolah, direktur di perusahaan, komandan di keperwiraan, kepala pemerintahan dan seterusnya. Intinya, persoalan kepemimpinan meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Ia menjadi pondasi dan tulang punggung keberlangsungan spesies manusia dimanapun dan kapanpun mereka berada. Tanpa adanya kepemimpinan, maka seluruh pilar dan sistem kehidupan manusia niscaya porak poranda atau khaos—lawan katanya adalah kosmos, yakni teratur. Hal ini sangat jelas sehingga tak perlu pembuktian lagi. Bahkan dalam skala komunitas yang paling sederhana sekalipun, kalimat “broken home” adalah istilah umum yang ditujukan bagi seorang anak yang tidak merasakan adanya figur pemimpin dirumahnya.

Pada dasarnya, makna pemimpin adalah pengatur, pembimbing, penuntun, pengawas, penegak aturan dan pemberi keputusan sehingga hubungan antara kepemimpinan dan keteraturan adalah perkara yang mustahil bisa dipisahkan. Secara esensial, penataan sekelompok masyarakat sangat bergantung pada dua kunci utama bagi terwujudnya suatu tatanan kehidupan yang harmonis, yakni adanya seperangkat aturan atau hukum dan figur pelaksananya atau penegak aturan tersebut yakni hakim. Untuk itu, munculnya kesadaran dan kebutuhan manusia bagi adanya seperangkat hukum dan keberadaan hakim adalah perkara rasional. Sedangkan penolakan atau penerimaan salah satu darinya saja adalah irasional.

Sehubungan dengan hal ini, secara garis besar agama bisa dimaknai sebagai seperangkat aturan yang diharapkan bisa menata hubungan dan perilaku manusia kepada Tuhan dan alam kehidupannya. Di setiap agama, wacana kepemimpinan adalah topik sentral yang tak bisa disepelekan terutama bagi keberlangsungan ajaran tersebut dan juga penganutnya. Saat ini, agama-agama di dunia umumnya dibagi menjadi dua kelompok. Pertama adalah agama-agama yang melandasi ajarannya berdasarkan wahyu atau “agama samawi”. Dan kedua adalah agama-agama yang melandasi ajarannya berdasarkan kebijakan dan tradisi.

Dalam kaitannya dengan studi kristologi, pembahasan komprehensif ditujukan kepada agama-agama yang mendasari ajarannya melalui wahyu Tuhan atau profetisme, yakni kenabian. Dan pada saat ini, agama-agama seperti Islam, Yahudi dan Kristen adalah ajaran-ajaran yang meyakini tentang keberadaan para nabi Tuhan. Secara substansial, kendati masing-masing agama itu punya banyak perbedaan, tapi secara umum, seluruh agama wahyu ini punya satu simpul yang sama, yaitu adanya pengakuan dari masing-masing agama tersebut bahwa Abraham [Islam: Ibrahim] adalah seorang nabi Tuhan.

Di dalam Alkitab Perjanjian Lama (Yudaisme: Tanakh), Abraham memiliki beberapa gelar yang masing-masing mencerminkan jabatan langit yang diembannya. Hal ini memposisikan Abraham sebagai orang pilihan yang mulia disisi Allah dan juga dihadapan keturunan dan para pengikutnya. Dia disebut sebagai nabi (Kej 20:7) [1], bapa sejumlah besar bangsa (Kej 17:15-16) [2], sahabat Allah (2Taw 20:7; Yes 41: 8) [3], dan yang terpenting dari semua adalah raja-imam (Kej: 12:7; 13:4) [4]. Jabatan Abraham sebagai imam Allah ini memang sangat unik dan berbeda dari kedudukan-kedudukan dia sebelumnya sehingga ada pendapat umum bahwa Kejadian 14 merupakan salah satu bab yang paling sukar dalam Kitab Kejadian.[5] Istilah “raja” dan “imam” yang selanjutnya dipadukan menjadi raja-imam mengindikasikan kepada otoritas penuh yang dijabat oleh Abraham dan keturunannya. Yakni sebagai penguasa dan pemimpin sekaligus. Hal ini otomastis berimplikasi bagi adanya suatu wilayah kekuasaan dan kepemimpinan (Kej 17:8-9) [6]. Adapun peristiwa pemberkatan Abraham sebagai Imam Alah bisa ditemukan dalam Kitab Kejadian di pasal 14:1-24. Peran Abraham sebagai pemimpin atau imam yang dipilih dan dinobatkan secara langsung oleh Allah ini—melalui perantaraan Melkisedek—adalah peristiwa yang tak dinafikan kebenarannya, baik oleh Yahudi maupun Kristen.

Secara etimologi, kata “imam” dalam bahasa Ibraninya di Authorized Version (AV) adalah kohen [7] dan nasiy [8]. Masing-masing dari kata ini di ulang sebanyak 750 kali dan 132 kali. Kedudukan ini juga menandai perjanjian atau covenant antara Abraham dan Allah yang mana melalui keturunannya itu Dia akan mengutus seorang yang diurapiNya atau Mesiah, dan akan menjadi berkat bagi seluruh bangsa di bumi (Kej 18:18).[9] Pengesahan kovenan ini ditandai dengan kewajiban penuh bagi Abraham dan keturunannya untuk mentaati hukum-hukum Ilahi berdasarkan prinsip kebenaran dan keadilan.[10]

Untuk itu, kendati sudah ada tiga jabatan langit yang diberikan kepada Abraham, yakni sebagai nabi atau rasul dan kedudukan khususnya sebagai sahabat Allah. Namun masih ada satu jabatan langit terakhir yang tertinggi, yakni sebagai imam Allah. Kedudukan ini juga dianugerahkan kepada Abraham dan keturunan biologisnya. [11] Adapun dari segi pelaksanaan bahwa meskipun jabatan imam Allah ini munculnya belakangan, namun inti dari ajaran Allah kepada manusia itu sendiri sebenarnya baru bisa direalisasikan, apabila hukum-hukum tersebut telah selesai disyariatkan oleh para nabi. Dan setelah itu, syariat ini akan ditegakkan oleh imam-imam Allah yang berasal dari keturunan biologis Abraham. Fakta ini jelas sangat rasional karena tak ada hakim kecuali setelah adanya hukum. Dan hukum pun mustahil bisa ditegakkan kecuali setelah adanya para hakim.

Pada dasarnya, jabatan imam Allah merupakan satu-satunya jabatan tertinggi dan tunas dari “Pohon Kejadian” yang menjadi tujuan atas penciptaan manusia di bumi. [12] Sedangkan kenabian atau kerasulan adalah cabang dari “Pohon Kejadian” tersebut. Artiya, institusi ilahiah ini secara gradual diawali oleh keimaman—yang menduduki puncak dari hierarki rububiyah itu, kemudian disusul dengan kerasulan atau kenabian. Sedangkan penampakan atas jabatan imam Allah di alam dunia (syahadah) secara hierarki adalah kebalikan dari hakekatnya di alam sorgawi (ghayb). Di alam dunia, kemunculan jabatan-jabatan langit ini diawali lebih dahulu dengan kenabian, kerasulan dan imamah.

Setelah Ibraham wafat, jabatan-jabatan ini terus diwariskan melalui keturunan biologis Ismail dan Ishak yang mana keduanya adalah nabi. Dalam Alkitab dinubuatkan bahwa dari Ismail dan keturunannya akan muncul duabelas orang imam “Tentang Ismael, Aku telah mendengarkan permintaanmu; ia akan Kuberkati, Kubuat beranak cucu dan sangat banyak; ia akan memperanakkan dua belas imam, [13] dan Aku akan membuatnya menjadi umat [14] yang besar (Kej 17:20). Kondisi serupa juga ditampakkan kepada bangsa Israel pada zaman Musa as yang mana dia telah diperintahkan oleh Allah untuk melantik duabelas orang imam yang dikepalai oleh Harun dan keturunannya (Bil 17:1-13). Pelantikan para imam Allah ini menandai kesempurnaan RisalahNya dan puncak dari kovenan antara Allah dan para nabi yang ditugaskan untuk menyampaikan AjaranNya kepada manusia. Bahkan fungsi utama dari pengutusan seorang nabi atau rasul itu adalah untuk menegakkan kerajaan imam dan umat yang kudus.Alkitab dan Al-Qur’an menyatakan:

“Jadi sekarang, jika kamu sungguh-sungguh mendengarkan firman-Ku dan berpegang pada perjanjian-Ku, maka kamu akan menjadi harta kesayangan-Ku sendiri dari antara segala bangsa, sebab Akulah yang empunya seluruh bumi. Kamu akan menjadi bagi-Ku kerajaan imam dan bangsa yang kudus. Inilah semuanya firman yang harus kaukatakan kepada orang Israel. (Keluaran 19:5-6)

“Dan ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu, dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putera Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh”. (QS. 33:7)

Sedangkan mengenai perjanjian [mitsaq] yang dimaksudkan itu, maka Al-Qur’an menjelaskan lagi, “Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian dari Bani Israil dan telah Kami angkat di antara mereka 12 orang pemimpin” (QS. 5:12).

Alhasil, substansi yang ingin ditegaskan dalam pengantar yang ringkas ini bahwa status seorang imam di dalam agama Ibrahimik—menurut tinjauan kristologi—itu memang ada dan dipilih secara mutlak oleh Allah sebagaimana halnya kenabian dan kerasulan. Artinya tidak melalui konsensus. Imam Allah adalah jabatan sorgawi yang kudus dan tidak terbentuk melalui mekanisme pemilihan umum ataupun cara-cara lain yang dilandasi oleh perspektif manusia. Sungguh tidak mengherankan bila Al-Qur’an sendiri pernah menegaskan bahwa keluarga Ibrahim as telah dianugerahi suatu kerajaan yang besar.

“Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya? Sesungguhnya Kami memberikan Kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar”. (QS. 4:54)

Secara historis, pena sejarah umat manusia belum pernah mencatat bahwa keluarga Ibrahim ada yang mendirikan monarki keluarga, misalnya seperti Ibrahimiyah, Ismailiyah, Ishakiyah, Yakubiyah, Yusufiyah, Musaiyah atau Haruniyah dan lain sebagainya. Hal itu disebabkan keluarga Ibrahim lebih dikenang sebagai mata airnya kenabian, kerasulan dan imamah. Jika demikian, maka kerajaan besar apakah yang dimaksudkan oleh al-Qur’an itu? Apabila hal ini tidak merujuk kepada mamlakah kohen atau kerajaan imam,[15] tentu akan sulit menemukan makna yang sebenarnya dari ayat tersebut. Lalu, apabila keluarga Ibrahim telah diwariskan kerajaan besar oleh Allah, maka bagaimanakah dengan nasib keluarga Muhammad saw sendiri? Artinya, apakah mungkin dari keturunan Muhammad saw ini akan ada yang menjadi imam-imam Allah seperi yang pernah terjadi di masa para nabi terdahulu yang berasal dari keluarga Ibrahim? Dan apabila jumlah para imam dari keluarga Ibrahim as ini selalu duabelas orang, maka mungkinkah jumlah para imam dari keluarga Muhammad pun juga demikian?

Sebagai penutup, barangkali hadis Nabi saw yang pernah diriwayatkan dalam Sahih Bukhari[16] ini bisa membawa kita kepada kontemplasi mendalam yang selaras dengan pendewasaan beragama. “Jabir ibn Samurah mengatakan, ‘Saya mendengar Nabi berkata: “Akan ada duabelas pemimpin setelah saya.” Kemudian mengatakan, “Saya mendengar ayah saya mengatakan ia mendengar Nabi berkata, “Mereka berasal dari suku Qurays”’”. Wallahu’alam.

Catatan Kaki:

[1]“Jadi sekarang, kembalikanlah isteri orang itu, sebab dia seorang nabi;”.

[2]“Aku akan memberkatinya, dan dari padanya juga Aku akan memberikan kepadamu seorang anak laki-laki, bahkan Aku akan memberkatinya, sehingga ia menjadi ibu bangsa-bangsa; raja-raja bangsa-bangsa akan lahir dari padanya”.

[3] “Bukankah Engkau Allah kami yang menghalau penduduk tanah ini dari depan umat-Mu Israel, dan memberikannya kepada keturunan Abraham, sahabat-Mu itu, untuk selama-lamanya?”; Dan juga “Tetapi engkau, hai Israel, hamba-Ku, hai Yakub, yang telah Kupilih, keturunan Abraham, yang Kukasihi;”.

[4] ”Ketika itu TUHAN menampakkan diri kepada Abram dan berfirman: ‘Aku akan memberikan negeri ini kepada keturunanmu.’ Maka didirikannya di situ mezbah bagi TUHAN yang telah menampakkan diri kepadanya”; Dan juga “ke tempat mezbah yang dibuatnya dahulu di sana; di situlah Abram memanggil nama TUHAN”.

[5] Lembaga Biblika Indonesia, Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, disunting oleh Dianne Bergant, CSA dan Robert J. Karris, OFM (Jakarta: Penerbit Kanisius, 2002) hal. 52.

[6] “Kepadamu dan kepada keturunanmu akan Kuberikan negeri ini yang kaudiami sebagai orang asing, yakni seluruh tanah Kanaan akan Kuberikan menjadi milikmu untuk selama-lamanya; dan Aku akan menjadi Allah mereka.’ Lagi firman Allah kepada Abraham: ‘Dari pihakmu, engkau harus memegang perjanjian-Ku, engkau dan keturunanmu turun-temurun”.

[7] Kata kohen artinya imam atau pendeta (priest), orang yang memiliki (own), penguasa tertinggi (chief ruler), pejabat (officer), pangeran atau putra mahkota (princes).

[8] Kata nasiy’ atau nasi’ artinya pangeran atau putra mahkota (prince), kapten (captain), ketua (chief), penguasa (ruler), beruap atau menguap (vapours), gubernur pemerintahan (governor), awan (clouds), bagian (part). Secara definisi adalah orang yang ditinggikan (one lifted up) atau imam (leader) dan uap yang terangkat, yakni selalu meninggi dari lainnya (raising mist).

[9] “Oleh keturunanmulah semua bangsa di bumi akan mendapat berkat, karena engkau mendengarkan firman-Ku”.

[10] “Sebab Aku telah memilih dia, supaya diperintahkannya kepada anak-anaknya dan kepada keturunannya supaya tetap hidup menurut jalan yang ditunjukkan TUHAN, dengan melakukan kebenaran dan keadilan, dan supaya TUHAN memenuhi kepada Abraham apa yang dijanjikan-Nya kepadanya.” (Kej 18:19).

[11] Bandingkan juga beberapa kedudukan Nabi Ibrahim as yang disampaikan dalam Al-Qur’an, yaitu: Pertama, sebagai nabi “Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat benar dan seorang Nabi”. (QS. 19:41). Kedua, ayat al-Qur’an ini memaparkan dua sisi, yaitu kedudukan Ibrahim as sebagai rasul dan juga moyang bagi sejumlah besar bangsa yang mana keturunannya itu akan mewarisi jabatan kenabian dan kerasulan “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh dan Ibrahim dan Kami jadikan kepada keturunan keduanya kenabian dan Al Kitab, maka di antara mereka ada yang menerima petunjuk dan banyak di antara mereka yang fasik”. (QS. 57:26). Ketiga, sebagai khalil atau sahabat Allah “Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya”. (QS. 4:125). Keempat, sebagai imam “Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhanya dengan beberapa kalimat, lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: ‘Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu sebagai imam bagi seluruh manusia.’ Ibrahim berkata: ‘dan dari keturunanku.’ Allah berfirman: ‘JanjiKu tidak mengenai orang-orang yang zalim’”. (QS. 2:124).

[12] “Manusia adalah puncak dari seluruh penciptaan. Kelebihan ciptaan ini digarisbawahi oleh kenyataan bahwa hanya manusialah yang diciptakan menurut “gambar” atau “rupa Allah”. [Dikutip dari Lembaga Biblika Indonesia, Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, disunting oleh Dianne Bergant, CSA dan Robert J. Karris, OFM (Jakarta: Penerbit Kanisius, 2002) hal. 35]. Bandingkan dengan ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang kedudukan manusia sebagai khalifah Allah dimuka (QS. 2:30) dan hadis Nabi saw yang mengatakan bahwa Adam diciptakan dari citranya.

[13] Saya sengaja mengganti kata “raja”—seperti yang ada diterjemahan Alkitab LAI—dengan kata “imam”, karena kata “raja” adalah terjemahan yang tidak tepat. Dalam bahasa Ibrani kata “raja” adalah melek, sedangkan Authorized Version (AV) tidak menyebut kata tersebut di ayat ini melek (raja) tapi nasiy’ (imam). Yakni suatu posisi atau jabatan langit tertinggi yang berasal dari Allah saja. Kedudukan ini juga diikrarkan kembali pada zaman Musa, sewaktu Allah memerintahkannya untuk mengangkat duabelas orang pemimpin atau imam dari kalangan bangsa Israel (Bdk. Bil 17:1-6). Seluruh kata yang diterjemahkan “pemimpin” di ayat tersebut di dalam AV adalah nasiy’, persis seperti kedudukan yang diberikan kepada keturunan Ismail di Kej 17:20.

[14] Saya sengaja mengganti kata “bangsa”—seperti yang diterjemahkan dalam Alkitab bahasa Indonesia—dengan kata “umat”, karena kata asli di teks Ibraninya adalah goy yang dalam bahasa Inggris bisa diterjemahkan nation dan people. Walaupun demikian, pengunaan kata “bangsa” bukan berarti keliru, hanya saja dalam kajian mesianisme Yahudi, mereka sering mengaitkan hal ini dalam konteks kebangsaan atau keturunan biologis mereka saja (nationality) yakni partikular. Sedangkan dalam mesianisme Kristen, para penafsirnya telah melepas arti “keturunan biologis” Ibrahim ini sepenuhnya dan menguniversalkan maknanya (people). (lih. Ro 4:16; Ga 3:29). Padahal, janji Allah ini memang terkait dengan kedua sisi tersebut yakni kebangsaan dan juga manusia secara umum.

[15] “Dan Kami jadikan di antara mereka itu imam-imam yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami”. (QS. 32:24; 21:73; 28:5).

[16] Sahih Bukhari, bagian 9, “Kitab al-Maqadam”, hal. 1000. Sementara dalam Musnad Ahmad diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud bahwa ia bertanya kepada Nabi tentang para khalifahnya. Beliau berkata, “Mereka duabelas orang seperti suku bani Isra’il yang dua belas.” (Musnad Ahmad, Jilid 1, hal. 398).